Sudah hampir dua minggu sekolah dimulai dan aku selalu antusias berangkat ke sekolah. Ada hal baru yang selalu aku kerjakan dan membuatku selalu berdebar tak karuan. Namun, pagi ini ada yang beda dan sontak membuat aku sedikit kecewa.
“Dit, katanya istirahat nanti Arik mau nembak Ranti,” ujar Erwin pagi itu.
Padahal aku baru datang, baru meletakkan tas di bangkuku. Semangatku untuk belajar baru saja terisi penuh, tiba-tiba langsung menguar ke udara usai mendengar ucapan Erwin barusan.
“Kata siapa, Win?” tanyaku penasaran.
“Aku tadi ketemu Andri di parkiran dan Andri bilang kalau istirahat nanti Arik mau nembak Ranti. Arik juga yakin seratus persen bakal diterima Ranti.”
Aku terdiam sambil berulang menghela napas panjang. Aku berdiri mengarahkan pandanganku keluar jendela. Aku mencoba mencari sosok Ranti di seberang sana. Aku berharap bisa melihatnya kali ini dan memastikan kalau yang dikatakan Erwin barusan salah. Namun, nyatanya Ranti tidak tampak duduk di sana. Penghuni bangkunya sudah berubah, bukan Ranti.
Aku menghempaskan pantatku dengan keras ke bangku kayu. Entah bagaimana kacau balau perasaanku kali ini. Apa mungkin aku sedang patah hati? Rasanya begitu menyesakkan di dadaku dan entah mengapa sepanjang pagi ini aku sama sekali tidak konsen mengikuti pelajaran.
Baru kali ini aku merasakan hampa dan kosong. Aku bahkan tidak bisa mencerna semua pelajaran yang diberikan bapak ibu guru. Apa separah ini pengaruh patah hati pada makhluk Tuhan yang belum cukup dewasa ini.
“Dit, yuk kita ke kantin!!!” Erwin menepuk bahuku dengan keras. Mungkin dia sengaja melakukannya agar aku mendengar ucapannya. Seharian tadi aku terus diam dan tidak nyambung saat diajak bicara.
Aku menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala. Mungkin sebaiknya aku lupakan saja ucapan Erwin tadi pagi. Belum tentu juga semuanya terbukti. Aku tahu siapa Ranti. Dia sudah membangun tembok mengelilingi tubuhnya, dia tidak mungkin mengizinkan sembarang orang untuk masuk ke daerah kekuasaannya.
Entahlah kali ini aku merasa yakin kalau dia akan memilihku, bukan Arik. Dengan berbekal keyakinan super besar itu aku keluar kelas. Aku dan Erwin sengaja jajan di kantin depan. Kantin dekat kelasku sangat ramai bahkan aku tidak bisa melakukan pemesanan.
“Dit, kamu pesan apa?” tanya Erwin.
Kami sudah berada di kantin depan. Kantin di sini mayoritas pembelinya adalah para siswa. Mungkin karena letaknya sedikit jauh dari kelas membuat para siswi malas datang ke sini. Selain itu di sini hanya menyediakan minuman dan makanan ringan saja.
“Es jeruk aja, Win ama gorengan,” jawabku asal.
Erwin mengangguk, rambut brokolinya ikut berayun membuat aku mengulum senyum. Aku memilih duduk di salah satu bangku sambil menunggu Erwin membawa pesanan. Selang beberapa saat Erwin datang dan kami menikmatinya dengan lahap. Aku bahkan lupa kalau di momen yang sama ada sesuatu yang sedang terjadi.
Beberapa menit sebelum bel tanda masuk kelas berbunyi, aku dan Erwin memilih kembali lebih dulu. Baru beberapa langkah kami meninggalkan kantin, tiba-tiba Andri sudah mencegat kami.
“Dit, Win nanti pulang sekolah jangan langsung pulang, ya!” pinta Andri.
Aku mengernyitkan alis dan hal yang sama juga dilakukan Erwin. “Kenapa, Dri?” tanya Erwin ingin tahu.
Andri sontak tersenyum lebar sambil memperlihatkan gigi putihnya. Tentu saja aku semakin penasaran dibuatnya. Lagi-lagi Andri tertawa lebar dengan wajah yang berseri-seri, kemudian melihat ke arahku dan Erwin bergantian.
“Arik barusan nembak Ranti dan diterima. Itu sebabnya dia mau traktir kalian di kafe dekat sekolah. Pulang sekolah nanti kumpul di parkiran, ya!!”
Aku sontak terdiam, mengatupkan rapat bibirku tanpa berkomentar sedikit pun. Sementara Erwin hanya terdiam sambil berulang kali melirik ke arahku.
“Udah ya. Aku mau kasih tahu yang lain.” Erwin hanya mengangguk dengan lesu, sementara aku hanya diam membisu.
“Dit, kamu gak papa, ‘kan?” Erwin bertanya penuh perhatian.
Aku yakin makhluk dengan rambut brokolinya ini sedang menatapku dengan cemas kali ini. Erwin adalah sahabatku dan dia paling tahu apa yang sedang aku rasakan kali ini. Perlahan aku mengangkat kepala dan tersenyum lebar ke arahnya.
“Aku gak papa, kok. Memangnya kamu pikir aku bakal nangis dan sedih, gitu.” Aku berkata dengan membesarkan hatiku. Berusaha menahan rasa sakit yang tak kuminta tiba-tiba datang menyerang.
Erwin tidak menjawab hanya menganggukkan kepala sambil menatapku dengan sendu. Aku yakin dia pasti tahu apa yang sedang aku alami saat ini. Namun, aku tidak mau dibilang cengeng apalagi pengecut. Ya ... meskipun sebagian dari diriku merasa seperti itu. Aku mendongakkan kepala berusaha menahan buliran bening di sudut mataku yang tidak diminta sudah berkumpul.
“Yuk, kita balik kelas!!” ajakku dengan bergegas.
Erwin mengangguk kemudian sudah berjalan beriringan menuju kelas. Aku hanya membisu dan terus berjalan di sampingnya. Sepanjang perjalanan aku hanya membisu, terdiam dan terus merutuki diriku. Menyesali sikapku, kebodohanku dan keegoisanku.
Harusnya aku tidak menyangkal rasa ini. Harusnya aku berterus terang sedari dulu. Tanpa perlu harus malu dengan usiaku, tanpa malu dengan keadaanku dan hanya menunjukkan perasaanku padanya. Aku tidak menyalahkan Ranti jika dia menerima pernyataan Arik. Arik memang cukup pintar bahkan terlahir dari keluarga kaya yang tak pernah kekurangan materi.
Aku yakin Arik bisa membuat Ranti bahagia. Mungkin satu kekurangan Arik hanya di fisiknya saja. Mungkin itu bisa diatasi seiring berjalannya waktu. Akh ... kenapa bicaraku ngaco seperti ini. Seakan aku sudah dewasa dan ditinggal gadis pujaanku menikah dengan pria lain.
Setiba di kelas, aku berdiri menatap kelas di seberang. Aku mencari sosok gadis manis pujaanku biasanya duduk. Namun, lagi-lagi dia tak tampak di sana. Apa ini pertanda dari Tuhan, kalau dia tidak bisa kujangkau lagi. Aku menghela napas panjang dan menghempaskan tubuhku ke kursi.
Sakit banget hatiku ... pedih, secara tidak langsung Ranti sudah melukaiku. Andai saja aku bisa membencinya dan membuat semua rasa ini hilang sirna. Namun, rasanya itu tidak mungkin.
Selang beberapa saat bel tanda pulang sekolah berbunyi. Aku sengaja memilih pulang paling akhir. Aku tidak mau ikut acara selebrasi yang diadakan Arik. Mungkin hampir separuh siswa di sekolah ini merayakan keberhasilannya menaklukan gadis pujaanku. Biarlah, mereka bergembira. Biar aku nikmati kesendirianku.
“Dit, pulang yuk!!” ajak Erwin.
Dari tadi sahabat baikku itu menemaniku. Aku salut padanya, dia memang teman sejati yang patut diacungi jempol dan aku kagum padanya. Aku janji dia akan selalu menjadi sahabat baikku sampai akhir hayat nanti.
Aku mengangguk, menyambar tas ranselku lalu dengan lesu keluar dari kelas. Suasana parkiran sudah mulai sepi, hanya beberapa sepeda yang masih tertinggal di sana. Erwin sudah mengambil sepedanya dan menungguku di luar gerbang. Letak sepedaku memang sedikit jauh dari pintu keluar. Aku sedang berjalan menuju ke sana. Namun, langkahku tiba-tiba terhenti.
Aku mematung di tempatku saat melihat Ranti juga sedang berada di sana. Ternyata letak sepedanya terparkir bersebelahan dengan sepedaku dan pedalnya kini nyangkut masuk ke dalam jeruji roda sepedaku. Aku hanya diam memperhatikan.
Jadi ini gadis yang membuatku kacau sepanjang hari? Berantakan dan tak karuan hari ini. Dia yang membuatku seperti ini. Kenapa juga Tuhan malah mempertemukan aku saat hatiku kacau seperti ini? Tanpa disangka Ranti membalikkan badan, menoleh ke arahku. Mata kami saling bertemu.
Harusnya aku marah, kesal, jengkel dan meluapkan segala emosiku kali ini. Namun, yang ada aku hanya diam membisu menatapnya tanpa kedip dengan banyak rasa yang tidak bisa aku utarakan dengan kata-kata. Andai saja aku bisa membencimu, Ranti. Andai saja aku bisa melakukannya pasti aku tidak akan sesakit ini.