“Buruan sini!! Kamu udah hapal dengan yang aku tulis tadi, kan?” tanya Erwin.
Pulang sekolah ini, aku keluar kelas lebih dulu dan sedang menunggu Ranti di parkiran bersama Erwin. Sesuai dengan nasehat Erwin, aku akan mengutarakan perasaanku hari ini. Erwin sudah menuliskan beberapa dialog yang harus aku lakukan dengan Ranti nanti. Dengan terpaksa aku menghapalnya tadi. Entah mengapa kini tingkah Erwin tak ayalnya seperti seorang sutradara saja.
“Jangan gugup!!! Tarik napas, buang. Terus kalau bisa tatap matanya saat bicara. Itu membuat dia yakin kalau kamu benar-benar menyukainya.”
Lagi-lagi Erwin memberi nasehat. Pengen banget aku tertawa ngakak melihat ekspresi wajahnya ditambah rambut brokolinya yang terus bergerak lucu. Memangnya dia kelahiran tahun berapa sih? Kok bisa-bisanya nasehatin aku tentang cara menyatakan perasaan. Padahal dia sendiri belum pernah melakukannya. Memang dipikir gampang, apa lagi untuk pria kecil yang belum cukup umur ini.
Aku menghela napas sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Sepertinya Erwin tahu kalau aku sama sekali tidak serius menanggapi nasehatnya. Erwin langsung berkacak pinggang dan menatapku tajam.
“Dit!! Kamu dengar yang aku bilang, ‘kan?”
Aku mengangguk cepat. “Iya, aku denger. Aku sudah hapal semuanya, tinggal bilang ‘Aku suka kamu, Ranti.’ Gitu doang, ‘kan?”
Erwin berdecak dan menggelengkan kepala. “Dengan perasaan dong, Dit. Terus bilangnya yang tegas, jangan menye-menye, gitu. Jangan lupa tatap matanya, tatap matanya!”
Aku mengulum senyum geli mendengar ocehan Erwin. Kenapa juga ucapannya seperti jarkon salah satu master magician di tanah air ini.
“Kok malah ketawa, sih. Aku serius, Dit. Kamu beneran suka atau nggak, sih.”
Akhirnya Erwin sedikit kesal menanggapi sikapku. Aku menghela napas sambil menepuk bahu Erwin berulang. Aku tidak mau mengecewakan sobat kecilku yang sangat membantuku ini.
“Kalau aku bohongan kenapa juga mau melakukan ini?”
Erwin langsung tersenyum mendengar ucapanku. “Ya udah, kalau begitu lakukan dengan benar. Aku tunggu di tempat biasa.”
Erwin langsung berlalu pergi meninggalkan aku seorang diri. Aku melihat parkiran mulai ramai, beberapa murid sudah keluar dan tampak sibuk mengambil sepeda mereka masing-masing. Aku masih menunggu di tempatku sambil mengedarkan pandangan mencoba mencari sang Pujaan hatiku.
Aku yakin kalau Ranti masih berada di dalam kelas dan belum keluar tadi. Itu artinya, tidak mungkin kalau dia pulang lebih dulu. Semakin lama aliran murid yang mengambil sepeda dan keluar dari pintu gerbang berangsur berkurang bahkan tinggal satu dua saja.
Aku masih menunggu dengan gelisah, sesekali aku lirik jam di pergelangan tanganku. Hampir tiga puluh menit aku menunggu. Mengapa Ranti belum keluar? Jangan-jangan dia tidak membawa sepeda hari ini dan pulang dijemput ayahnya. Akh ... kenapa juga aku gak kepikiran itu.
Aku menepuk keningku dengan keras lalu segera membalikkan badan dan berjalan cepat menuju kelas. Aku ingin memastikan kalau Ranti sudah pulang atau belum. Aku setengah berlari menuju kelas. Karena tergesa aku tidak melihat depan dan langsung menabrak seseorang yang baru saja keluar dari kelas.
BRUK!!!
Buku yang dibawa sosok tersebut jatuh berhamburan di lantai. Aku gegas merunduk dan membantu mengambil bukunya. Serta merta hidungku tersentak oleh aroma feminin yang sangat aku kenal ini. Aku mendongakkan kepala dan melihat Ranti di depanku. Lagi-lagi aku menabraknya.
“Maaf ... Ranti. Aku tidak melihatmu tadi,” ucapku gugup.
Ranti hanya tersenyum sambil menerima buku yang baru aku ambil.
“Iya, gak papa.”
Aku masih berdiri di depannya dan kulihat suasana kelas sudah sepi. Hanya kami berdua yang berdiri di depan pintu. Ini kesempatan untuk mengutarakan perasaanku. Namun, aku benar-benar bingung harus memulai dari mana. Kenapa saat membaca naskah yang ditulis Erwin tadi begitu mudah, tapi sulit mempraktekkannya. Ranti tampak bingung melihatku, mungkin dia ingin bertanya mengapa aku kembali ke kelas dengan tergesa.
“Aku ... eng ... penggarisku ketinggalan,” sahutku cepat seakan menjawab pertanyaan Ranti. Padahal jelas-jelas gadis manis di depanku ini tidak mengajukan pertanyaan sama sekali.
Ranti hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum. Seharusnya aku gegas masuk ke dalam kelas dan pura-pura mengambil penggaris yang ketinggalan. Namun, nyatanya aku masih bergeming di depan Ranti dan terlihat bingung. Entah mengapa semua dialog catatan dari Erwin tadi yang sudah kuhapal di luar kepala tiba-tiba menguar di udara.
Pesona gadis manis di depanku ini membuat aku tak berdaya. Kenapa juga hanya aku yang merasakannya? Kenapa dia tidak merasakan apa yang aku rasa juga? Atau jangan-jangan dia juga merasakannya hanya tidak mengatakannya.
“Dit, katamu mau ngambil garisan. Gak jadi?” Ranti menginterupsi lamunanku.
Aku tersenyum kemudian menganggukkan kepala.
“Iya, aku ambil dulu. Tunggu bentar!” Aku gegas berlari ke bangkuku dan pura-pura mengambil sesuatu di laci mejaku. Padahal jelas-jelas penggarisku tersimpan rapi di dalam tasku.
Aku kembali menghampirinya. “Bareng ke parkiran, yuk!”
Ranti terdiam dan menggeleng. Dia menolak ajakanku.
“Maaf, Dit. Aku dijemput, hari ini aku baru saja didaftarkan les oleh Mama. Itu sebabnya pulang sekolah aku langsung ke tempat les.”
Aku terdiam mendengarnya. Ternyata tepat dugaanku kalau hari ini Ranti tidak membawa sepeda dan dijemput ortunya. Untung saja aku segera balik ke kelas dan tidak menunggu di parkiran.
“Hmm ... gitu. Jauh tempat lesnya?”
“Aku gak tahu. Kata Mama deket dari sekolah.”
Aku hanya terdiam sambil menganggukkan kepala. Ranti cukup pintar di kelasku bahkan masuk lima besar, kenapa juga dia masih membutuhkan les tambahan. Apa dia belum cukup puas dengan nilai-nilainya selama ini.
“Kamu sudah siap menghadapi ujian akhir semester besok, Dit?” Ranti tiba-tiba bertanya mengalihkan topik pembicaraan.
Lagi-lagi aku terdiam dan tidak menjawab langsung pertanyaannya. Sekilas aku bisa menangkap kalau Ranti masih memikirkan study-nya. Sementara aku ...
Akh ... aku jadi malu dengan diriku sendiri. Harusnya aku sibuk belajar untuk menghadapi ujian akhir semester besok. Bukannya sibuk mencemaskan perasaanku pada gadis ini. Aku masih terlalu belia untuk mengenal cinta. Cinta monyet lagi. Mungkin sebaiknya aku urungkan saja niatku kali ini. Bukan karena aku takut ditolak Ranti, tapi aku takut dia menganggapku hanya pemuda yang suka main-main dan tidak serius dengan masa depannya apalagi sekolahnya.
“Dit, aku duluan, ya!!” Ranti membuyarkan lamunanku. Belum sempat aku menjawab Ranti sudah berlalu pergi.
Aku melihatnya berlari keluar gerbang. Ada seorang wanita paruh baya yang menunggunya di atas motor. Itu pasti ibunya Ranti. Aku memicingkan mata sambil melihat sosok Ranti dari kejauhan hingga menghilang.
Aku menghela napas panjang sambil memejamkan mata kemudian sebuah kuluman senyum sudah terukir di wajahku. Hari ini banyak sekali peristiwa yang membuatku tertampar dan intropeksi diri. Mungkin kali ini bukan saatnya untuk mengutarakan perasaanku, mungkin aku hanya diperbolehkan belajar saja.
Siapa tahu dengan giat belajar membuat aku semakin dekat dengan Ranti. Entah bagaimana caranya mulai hari ini aku akan memacu semangat belajarku. Aku juga tidak mau kalah dengannya. Aku ingin meraih cita-citaku dan mewujudkannya.
Sebuah tepukan tiba-tiba mendarat di bahuku, aku menoleh dan langsung tersentak kaget begitu melihat Erwin sudah berdiri di depanku.
“Gimana? Udah, belum?”
Astaga!! Kenapa aku melupakan makhluk satu ini? Dia pasti marah karena aku membuatnya menunggu lama. Siap-siap pulang sekolah ini uang sakuku terkuras. Aku harus membelikan bakso sebagai upeti untuk Erwin.