Pagi ini, awan yang cerah di akhir musim kemarau perlahan mulai menghitam. Mungkin tanda kehadiran musim penghujan sudah terlihat. Rasanya doa-doa para petani yang mengharapkan sawahnya terpenuhi air terjawab sudah.
Seperti biasa pagi ini aku kayuh sepedaku. Aku berangkat lebih pagi dari biasanya. Entahlah semangatku untuk bersekolah semakin membara akhir-akhir ini. Bisa jadi itu semua karena keberadaan Ranti. Akh ... kenapa juga hatiku langsung bergetar setiap kusebut namanya. Lama-lama kayak lirik lagu aja nih kedengarannya.
Aku menarik napas panjang dengan senyum lebar saat gerbang sekolahku sudah terlihat. Gegas aku parkir sepeda dan berjalan santai masuk ke dalam kelas. Sekali lagi senyumku langsung terkembang saat melihat makhluk manis yang namanya terus kusebut setiap malam tampak sedang duduk di bangkunya.
“Hmm ... jam berapa dia berangkat? Kenapa sepagi ini dia sudah tiba?” gumamku.
Aku berjalan pelan menuju bangkuku kemudian duduk di sana dengan manis. Aku edarkan pandanganku ke dalam kelas. Mengapa juga banyak temanku yang datang pagi dan tampak sibuk menulis di tempatnya masing-masing. Apa ada PR untuk pelajaran hari ini dan aku melupakannya?
Aku menoleh ke Erwin yang juga sedang duduk manis di sebelah.
“Win, emang ada PR apaan sih kok anak-anak pada sibuk gitu?”
“Gak ada PR, cuman hari ini kita disuruh ngumpulin catatan Fisika. Masa kamu lupa. Jangan-jangan kamu juga belum merapikan catatanmu, ya?”
Aku terdiam sesaat kemudian membuka tas dan mengambil buku catatan Fisika. “Catatan ini maksudnya?”
Erwin melirik buku catatanku dan mengangguk dengan cepat. “Bagus banget gambar alat optikmu, Dit!” puji Erwin.
Aku hanya meringis mendengarnya. Jangan ditanya kalau urusan menggambar, aku memang ahlinya. Apalagi kalau disuruh menggambar Ranti. Hadew ... kenapa malah nyambung ke sana, sih. Aku menggelengkan kepala sambil gegas memasukkan buku catatanku ke dalam tas.
Baru saja aku memutar tubuh ke depan, seketika dikejutkan dengan Ranti yang sudah membalikkan tubuhnya dan melihat ke arahku. Gadis cantik itu tersenyum padaku dan sumpah senyumnya bikin aku meleyot.
“Eng ... Dit, aku boleh minta tolong, gak?” Ranti kembali bersuara.
Aku hanya terdiam. Antara bengong memperhatikan dan tak bisa bersuara saking gugupnya. Baru kali ini dia memanggil namaku sambil melihat ke arahku. Entah yang pasti kini hatiku sibuk berloncatan saking senangnya.
“Iya ... minta tolong apa?” Setelah beberapa saat akhirnya aku bersuara.
Ranti tiba-tiba mengeluarkan buku catatannya dan menyodorkan ke arahku. “Minta gambarin alat optik, bisa? Aku gak pintar gambar, Dit.”
Aku terdiam dan hanya menatapnya tanpa kedip. Dia juga melakukan hal yang sama. Untuk beberapa saat kami saling terdiam tanpa bersuara. Hingga Erwin yang menyenggol lenganku lebih dulu.
“Dit, Ranti minta tolong, tuh. Buruan!! Nanti keburu masuk.”
Sontak aku terkejut dan dengan gegas mengangguk. Aku ambil buku milik Ranti, kemudian dengan sigap mulai menggambar alat optik yang dimaksud. Memang pelajaran Fisika kali ini sedang mempelajari hal tersebut dan wajar kalau di setiap catatan mengharuskan ada gambar obyek yang kita bahas.
“Ada tiga yang belum aku gambar. Kamu gak keberatan menggambarnya untukku, ‘kan?” pinta Ranti.
Aku tidak menjawab hanya mengangguk sambil terus konsen menggambar alat optik yang dimaksud. Sumpah, kenapa juga tanganku tiba-tiba gemeteran bahkan garis yang aku buat selalu miring. Ada apa denganku? Apa pesona gadis cantik di depanku ini sudah memikatku tanpa ampun hingga aku seperti ini? Aku tidak tahu.
Aku terus mencoba konsen dan merampungkan gambar yang diminta Ranti dengan baik. Kenapa juga waktu berjalan begitu lambat kali ini. Bahkan bel tanda mulai pelajaran belum terdengar sama sekali, apa petugas yang membunyikan bel sedang ketiduran atau sedang berbaik hati agar aku meraampungkan tugasku dulu.
Aku masih menggoreskan pensilku di buku Ranti mencoba menggambar alat optik yang dia minta sebagus mungkin. Tentu saja aku tidak mau mengecewakannya. Bukankah aku yang terpilih untuk menulis di bukunya bukan orang lain. Ini adalah kebanggaan tersendiri bagiku. Aduh ... kenapa aku jadi melankolis seperti ini.
“Akhhrr ... .” Aku menghela napas sambil mendongakkan kepala supaya leherku tidak penat terus menunduk sedari tadi.
Tidak kukira ternyata Ranti masih duduk di depanku dan sedang menghadap ke arahku bahkan kepalanya sudah diletakkan di atas meja dengan tangan yang menyanggah. Aku terkejut melihatnya. Lagi-lagi mata kami bertemu dan jantungku kembali menjadi pemicu bom yang siap meledak.
“Capek ya, Dit?” tanyanya kemudian.
“Eng ... enggak, kok. Aku hanya ... sedikit melakukan peregangan tadi.”
Ranti tampak manggut-manggut sambil tersenyum ke arahku dan kini aku membalasnya dengan senyuman juga. Akh, jadi begini caranya. Aku tahu apa yang aku lakukan saat gadis cantik itu bereaksi manis padaku. Kenapa juga hatiku makin berbunga-bunga sekarang.
Aku kembali menunduk dan melanjutkan gambaranku tadi. Tinggal beberapa bagian yang belum selesai, sementara Ranti masih dengan kesibukan awalnya yaitu memperhatikan aku.
“Tulisanmu bagus ya, Dit. Kayak cewek.” Lagi Ranti bersuara dan kembali membuat aku terbuai terbang tinggi di angkasa.
Memang ada beberapa bagian gambar tersebut yang harus ditulis dengan huruf. Dan mungkin tulisan itu yang dia maksud. Padahal kalau aku lihat aku hanya menuliskan dua huruf saja dan paling banyak lima huruf, kenapa dia langsung memuji tulisanku bagus. Masa iya, Ranti sedang modusin aku.
Tanpa sadar aku mengulum senyum dan sepertinya Ranti melihat reaksiku.
“Bener loh, Dit. Tulisanmu bagus.” Ranti mengulang pujiannya.
Aku mengangkat kepala dan mata kami bertemu untuk yang kesekian kali. “Iya, makasih. Tulisanmu juga bagus. Ini sudah selesai.”
Aku menyodorkan buku catatannya ke arah Ranti. Ranti tersenyum dan menyambut dengan suka cita.
“Makasih, Adit. Nanti kalau istirahat aku beliin jajan, ya!!” ucapnya lagi.
Aku menggeleng dengan cepat dengan gerakan tangan yang menolak. “Enggak, gak usah. Aku sudah bawa bekal, kok.”
“Oh gitu.” Ranti tampak kecewa dan kini menundukkan kepala. Aku hanya meliriknya sekilas dan tidak tega rasanya melihat wanita cantik pujaanku berwajah muram seperti itu.
Andai saja aku boleh jujur, aku tidak menginginkan imbalan itu. Cukup semakin dekat denganmu saja sudah senang. Sayangnya bibirku terkatup rapat dan lidahku tiba-tiba kelu tak bisa bersuara. Aku hanya bisa meneriakkannya dalam hati. Kalau aku suka kamu, Ranti.
“Nih!!!” Aku kembali terkejut saat Ranti tiba-tiba menyodorkan sebuah tisu untukku.
Aku hanya bergeming sambil menatapnya dengan bingung. Ranti langsung tersenyum melihat ekspresiku.
“Gara-gara aku, sepagi ini kamu sudah keringetan. Ini untuk menyeka peluhmu,” imbuhnya kemudian.
Aku mengerti dan gegas menerima tisu pemberiannya. Padahal udara pagi ini sangat sejuk dan aku bahkan tidak melakukan aktivitas yang menguras tenaga. Hanya saja gara-gara ulah Ranti yang meletakkan kepalanya di mejaku dan memperhatikan aku membuat kepanasan tanpa sebab.
Ranti sudah kembali memutar tubuhnya dan duduk di depanku, tak lama kemudian bel tanda pelajaran dimulai yang aku tunggu berbunyi. Semua sudah duduk dengan rapi di tempatnya. Erwin yang menghilang sedari tadi kini tiba-tiba sudah muncul dan duduk manis di sampingku.
“Kamu dari mana, Win?” tanyaku.
“Dari kantin, aku laper belum sarapan.” Aku hanya manggut-manggut mendengar jawabannya.
“Lagian aku gak mau ganggu kamu tadi.” Aku sontak tertawa mendengar ucapan Erwin. Emang aku dan Ranti lagi ngapain. Aku hanya menggelengkan kepala sambil mulai mengeluarkan pelajaran pertama hari ini.
Namun, tiba-tiba Erwin mendekat ke arahku bahkan bibirnya sudah nempel di telingaku. Aku mengernyit dan menatapnya dengan bingung.
“Ada apa?”
Erwin diam, menarik napas sebentar kemudian kembali menempelkan bibirnya di telingaku.
“Kata anak-anak, nanti pulang sekolah Arik mau nembak Ranti.”
Seketika aku terkejut setengah mati, menoleh dengan cepat ke arah Erwin dengan mata terbelalak dan bibir yang spontan berseru.
“APA??!!!”