Hari ini keadaan kelas sangat gaduh saat aku datang. Entah mengapa semua temanku sibuk berkumpul di bangku Andri. Andri adalah ketua kelasku dan hari ini dia tampak sibuk.
“Ada apa, Win?” tanyaku ke Erwin.
“Tahu tuh Bu Asti masa tiba-tiba masuk kelas dan ngomel-ngomel.”
Aku yang baru datang tentu saja sedikit senang mendengar ucapan Erwin. Senang karena tidak mendengar omelan wali kelasku yang super duper cerewet itu.
“Emang ngomel kenapa?”
“Bu Asti dapat aduan dari beberapa guru. Kelas kita katanya ramai dan tidak pernah memperhatikan guru yang mengajar. Itu sebabnya Bu Asti minta Andri mengacak kelas.”
“Mengacak kelas?” Aku bertanya sambil mengernyitkan alis.
“Iya. Bu Asti minta duduknya dicampur, berbaur antara cewek dan cowoknya. Tidak seperti ini.”
Aku terdiam dan memperhatikan sekeliling. Memang keadaan kelasku sedikit terpecah. Dua deret di bagian yang aku duduki dan di sebelahku ini memang mayoritas ditempati siswa. Sementara dua deret lain yang juga diduduki Ranti ditempati oleh para siswi. Memang benar apa yang dikatakan Bu Asti, kelasku tidak bercampur. Namun, mengapa juga baru kali ini dipermasalahkan.
“Terus Andri yang disuruh mengatur kelas?”
Erwin tidak menjawab hanya rambut brokolinya yang bergoyang membuat gestur yang lucu. Aku hanya menghela napas panjang. Bagiku diacak atau tidak, tidak menjadi masalah yang penting aku duduk sama Erwin saja.
“Woi!! Diem semua, guys!!!” seru Andri menginterupsi.
Sontak semua perhatian siswa dan siswi di kelas melihat ke arahnya.
“Mulai hari ini kalian duduk berdasarkan denah ini. Aku tempel di sini, ya!!” Andri sudah meletakkan sebuah kertas dengan nama setiap siswa siswi di sana kemudian menempelkan kertas itu di bagian papan pengumuman.
Sontak semua anak berhamburan melihat ke papan pengumuman, lalu dengan aneka ekspresi mereka kembali ke tempat. Aku sengaja tidak ingin melihatnya karena ada Erwin yang sudah maju lebih dulu untuk melihatnya.
“Santai, Dit. Kita tetap duduk di situ, kok,” seru Erwin.
Aku hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Memang aku tidak akrab dengan Andri, tapi aku berterima kasih sekali padanya. Jujur kalau disuruh duduk di barisan depan aku keberatan, aku sedikit gugup dan nervous. Nanti yang ada aku malah gak bisa konsen dengan pelajaran karena sibuk menghalau ketakutanku sendiri. Lucu juga kedengerannya, tapi itulah diriku.
BRAK!!!
Lamunanku terinterupsi saat mendengar suara tas seperti dibanting ke atas meja. Aku mendongakkan kepala dan sontak terkejut saat melihat sosok cantik yang berdiri di depanku.
“Maaf, ngagetin kamu,” ucap sosok itu yang tak lain Ranti Adinda.
Aku hanya diam dan dengan gerakan seperti robot menganggukkan kepala. Apa ini mimpi atau aku ngelindur? Mengapa juga tiba-tiba gadis manis yang seharian aku amati kemarin duduk di depanku.
“Ranti dan Ana mulai hari ini duduk di depan kita, Dit,” bisik Erwin. Sepertinya dia tahu kalau aku sangat terkejut tadi.
Aku hanya mengangguk sambil terus melihat ke arah Ranti yang sibuk mengatur tas dan bangkunya. Mengapa juga tiba-tiba jantungku berdetak semakin kencang, lagi-lagi ada rasa aneh yang merayap di dalam sana.
Aku masih asyik mengamati gadis manis di depanku ini dan tanpa sadar matanya melihat ke arahku. Lagi, sama seperti kemarin, mata kami beradu dan untuk seperkian detik aku hanya tertegun memperhatikannya. Hal yang sama juga Ranti alami. Gadis itu hanya terdiam untuk beberapa saat.
Waktu seakan berhenti seketika, tapi jantungku malah bertalu semakin keras dengan ritme yang semakin cepat. Apa yang terjadi? Apa aku suka padanya? Apa ini yang dinamakan cinta? Aku mau ketawa kalau mengatakannya. Sungguh aku malu kalau harus bilang cinta-cintaan di usia yang dini, tapi cinta memang tak mengenal usia. Aku sudah merasakannya kini.
Ranti langsung berbalik memutus pertemuan mata kami. Sekilas kulihat wajahnya tampak memerah tadi, apa dia sedang tersipu malu. Tersipu malu karena melihatku atau karena hal lain? Akh ... aku tak mau menduga. Banyak hal yang bisa menyebabkan wajahnya memerah. Bisa juga karena cuaca panas akhir-akhir ini. Aku tak mau GR dulu.
“Selamat pagi, anak-anak!!” lamunanku terjeda saat guru matematika masuk ke dalam kelas.
Hari ini mata pelajaran pertama adalah matematika. Pelajaran yang biasanya paling kubenci kini entah mengapa aku begitu menikmatinya. Apalagi ada bidadari cantik yang duduk di hadapanku. Kenapa juga aku jadi semakin sering melihat Ranti bahkan mengamatinya. Ternyata benar kata Arik, ini adalah hal yang paling menyenangkan untuk dilakukan. Sepertinya hobbyku akan bertambah satu yaitu memperhatikan Ranti.
“Dit!!” Erwin memanggil dan menyenggol lenganku. Aku sedikit terkejut dan menoleh dengan gugup ke arahnya.
“Kamu ngapain?” ujarnya kemudian. Tentu saja pertanyaannya ini membuat alisku mengernyit ke atas.
Memangnya ada apa dengan diriku? Mengapa dia bertanya seperti itu? Erwin tidak berkata lagi, tapi gestur tubuh dan lirikan matanya membuatku melihat ke arah buku tulisku. Sontak aku terperangah kaget saat melihat tulisan di buku tulisku.
Mataku melotot dengan sebuah seruan yang hampir membuat semua mata di kelas menoleh ke arahku.
“HAH!!”
“Kenapa Adit?” tanya Bu Lina, guru matematika.
“Eng ... enggak, Bu. Ini ada yang salah mencatat,” jawabku gugup.
Aku sontak membalik halaman bukuku dan mencatat kembali semua yang diterangkan Bu Lina di halaman berbeda. Gila apa yang terjadi padaku kenapa juga aku menuliskan nama Ranti begitu banyak di bukuku. Apa otakku hanya ada namanya sekarang? Apa ini namanya cinta?
“Kamu suka dia, Dit?” lagi Erwin bertanya dengan mata menyelidik.
Aku tidak menjawab. Bukan karena aku malu, tapi aku tidak tahu jawaban pastinya. Lagipula bidadari cantik yang namanya aku tulis itu sedang duduk manis di depanku. Apa jadinya kalau dia tahu? Apa dia juga punya rasa yang sama denganku atau jangan-jangan hanya aku saja yang punya dan dia tidak.
“Hati-hati loh. Sainganmu banyak, Dit.” Erwin menambahkan dengan suara lirihnya. Mungkin dia juga takut pembicaraan kita ini didengar oleh makhluk cantik di depanku ini.
Aku hanya diam, tidak berani menjawab atau bersuara. Aneh kalau aku tidak menyukainya. Aneh juga jika aku tidak jatuh cinta padanya. Kalau ternyata dia memang begitu indah. Bahkan jantungku di dalam sana membenarkan keindahan sosoknya. Aku suka dia, entah sejak kapan dan mulai kapan. Yang pasti aku sudah menyukainya.
Aku masih meneruskan menyalin semua catatan yang diberikan Bu Lina di papan tulis. Bersamaan tak lama kemudian Ranti membalikkan tubuhnya. Ia memang meletakkan tasnya di belakang punggungnya sehingga dia selalu melihat ke belakang setiap memasukkan atau mengambil buku. Sama seperti saat ini, wajah imutnya sudah menoleh ke belakang.
Matanya tampak menunduk mencari sesuatu di dalam tas sedangkan bibirnya yang mungil tampak sibuk berkomat kamit lirih seakan sedang bergumam sesuatu. Sumpah demi Tuhan, kenapa juga mataku ini malah melihat ke arahnya dan mengalihkan semua catatan di depan sana. Aku mengulum senyum seorang diri melihat keindahan wajahnya. Mungkin Tuhan sangat berbaik hati saat mencipta Ranti, sehingga Ranti terlahir dengan banyak keindahan layaknya bidadari.
Sekali lagi untuk seperkian detik, dia mengangkat kepala dan matanya bertemu dengan mataku seakan sedang menyapa. “HAI!!”