Kata orang cinta pertama itu indah dan sulit dilupakan bahkan mungkin tak bisa dipadamkan begitu saja. Banyak juga yang bilang akan terus dikenang sepanjang masa. Hmm ... sebenarnya aku tidak percaya dengan ungkapan itu, tapi saat aku mengalaminya. Aku tidak bisa berkata apa-apa.
Sebut saja namaku Aditya Samuel, aku mengenal cinta pertamaku saat usiaku masih belasan, masih 14 tahun dan masih berseragam putih biru. Cinta pertamaku itu jatuh pada seorang gadis manis bernama Ranti Adinda. Dia teman sekelasku dan entah mengapa sejak hari itu aku sangat tertarik padanya.
Aku tidak ingat tanggal berapa dan tahun berapa saat aku mulai memperhatikan Ranti. Itu dimulai saat keingintahuanku muncul akan ulah teman-temanku sekelas.
Setiap pergantian jam pelajaran, kelasku selalu gaduh. Ada yang sibuk mondar-mandir tak jelas di dalam kelas. Ada yang sibuk menyalin pelajaran di papan dan ada juga yang sibuk melamun seperti yang aku lakukan saat ini.
“Dit, kamu sudah ngerjain PR Fisika, belum?” tanya Erwin, teman sebangkuku membuyarkan lamunan.
Aku mendongak menatap wajah anak laki-laki dengan rambut seperti brokoli itu sambil tersenyum.
“Sudah. Kamu mau pinjem?” Erwin langsung mengangguk membuat rambut brokolinya bergoyang dengan lucu.
Aku kembali tersenyum kemudian bergegas mengambil buku dalam tas dan menyerahkannya ke Erwin. Erwin dengan suka cita menyambut dan langsung mengerjakannya dengan cepat. Memang sesaat lagi pelajaran Fisika akan dimulai, tentu saja Erwin tidak mau dipanggil dan disuruh berdiri di depan sampai jam pelajaran berakhir.
Erwin kini sibuk menyalin PR-ku sementara aku kembali sibuk dengan lamunanku. Kini mataku tertuju pada gerombolan Arik yang berada duduk di depanku. Arik bersama genk-nya tampak tertawa cekikikan sambil sesekali melirik ke bagian lain kelas.
Aku penasaran, dan mengikuti arah mata mereka melihat. Lalu mataku berhenti pada sosok cantik yang sedang duduk anteng di seberang sana. Dia tak lain dan tak bukan adalah Ranti Adinda. Sudah sejak semester tiga aku sekelas dengan Ranti hanya saja baru kali ini aku memperhatikannya.
Ranti memang salah satu gadis tercantik di kelasku, kulitnya bersih dengan rambut sebahu dan wajah imut yang menggemaskan. Apalagi kalau sedang tersenyum, dia manis banget kalah deh gula jawa. Hanya saja tingkat acuh dan ketakpeduliannya aku acungin jempol. Dia sangat cuek dan tak pernah peduli dengan sekitar. Dia seakan memiliki tembok tinggi yang mengitari dirinya dan sulit untuk ditembus.
“Percuma, Rik!! Kamu liatin sampai matamu keluar juga, Ranti gak bakal nengok,” cetus salah satu teman Arik yang duduk di depanku.
“Masa, sih. Aku penasaran. Cuek banget nih anak. Masa gak tahu ada Mas Ganteng yang lagi ngeliatin dia.”
Aku hampir tertawa mendengar ucapan Arik. Kenapa juga dia begitu PD menyebut dirinya Mas Ganteng. Padahal kalau dilihat-lihat dia sebelas dua belas dengan Erwin, teman sebangkuku. Bedanya rambut Arik tidak seperti brokoli saja.
Tiba-tiba Arik dan genk-nya menoleh ke arahku. Sepertinya Arik tahu kalau aku sedang membatinnya kali ini. Arik menatapku dengan tajam dan aku balas menatapnya. Kenapa juga anak itu tiba-tiba mengintimidasiku seperti ini.
“Dit, kamu ‘kan cakep. Bagi dikit dong rahasianya,” ujar Arik kemudian.
Aku hanya melongo mendengar ucapannya. Kenapa juga tiba-tiba Arik berkata seperti itu. Memang sih, aku gak mau sombong. Wajahku lumayan ganteng dengan rambut belah tengah ala oppa Korea. Namun, tentu saja penampilan fisikku itu tidak membuatku besar kepala. Bagiku tetap yang nomor satu isi otak dan itu yang sulit aku dapatkan.
“Iya, Dit. Beruntung banget jadi kamu. Ngapain juga kamu gak deketin cewek-cewek. Yakin deh kamu gak bakal ditolak,” sahut teman Arik yang lain berceloteh.
Aku hanya terkekeh mendengarnya.
“Tuh, kasihan Arik. Dari tadi ngeliatin Ranti gak digubris juga, untung saja matanya gak keluar.”
“Kalian kurang kerjaan banget, sih. Ngapain juga ngeliatin Ranti. Kalau perlu samperin saja ‘kan beres.”
“Ya ... Adit. Namanya juga lagi suka, kalau ngeliat dan merhatiin orang yang kita suka dari jauh itu asyik banget. Beda tahu rasanya.”
Aku hanya terdiam mendengar penjelasan Arik. Apa benar seperti itu? Kenapa juga aku gak tahu? Apa mungkin karena aku belum mengenal cinta? Atau aku memang terlalu lugu dan selalu mementingkan study di dalam hidupku. Aku masih diam dan kembali mengamati aksi Arik.
Pelajaran belum dimulai dan sepertinya belum tampak tanda-tanda kedatangan guruku. Sepertinya akan ada jam kosong lagi hari ini. Aku senang juga sih. Mana ada coba anak sekolah zaman sekarang yang nolak jam kosong.
Arik kembali memperhatikan Ranti, kini dia malah meletakkan kepalanya ke atas meja sambil melirik Ranti yang duduk manis di seberang sana. Lama-lama bisa gila juga tuh si Arik. Karena penasaran, akhirnya aku ikutan juga.
Sebenarnya bukan karena aku suka Ranti. Aku penasaran keasyikan apa yang dirasakan Arik saat melakukan itu semua. Akhirnya kini mataku sudah mengarah ke Ranti. Gadis itu duduk manis di bangkunya. Dia memang duduk di dekat jendela sementara aku dan Arik berjarak dua deretan bangku.
Ranti masih tampak menunduk dan tengah menulis. Entah dia sedang menulis apa saat ini. Bisa jadi dia juga sedang mengerjakan PR sama seperti yang dilakukan Erwin, teman sebangkuku. Bisa juga dia sedang menyalin catatan di papan tulis. Entah aku tak tahu.
Anehnya kini mataku sudah memindai semua anggota tubuhnya. Mulai dari rambut hitam sebahunya, tangannya yang putih mulus, hidung bangirnya, bibir mungilnya yang sibuk bergerak-gerak dengan lucu seakan sedang berkomat-kamit, lalu matanya yang tampak terus mengerjap seakan sedang memindai sesuatu yang dia tulis.
Semua kegiatan aneh ini aku lakukan dengan diam-diam, aku tidak mau Arik tahu kalau aku juga mengikuti ulahnya. Kemudian tiba-tiba lamunanku buyar saat Erwin menjawil bahuku. Aku menoleh dan menatapnya dengan bingung.
“Aku udah selesai, nih bukumu. Makasih, Dit.” Aku mengangguk dan segera memasukkan buku ke dalam tas.
“Aku mau ke kantin, Dit. Kamu mau nitip, gak?”
“Iya, beliin es teh, Win. Aku haus.” Erwin mengangguk kemudian sudah berlalu pergi meninggalkan aku.
Aku kembali meneruskan kegiatan baruku yang sempat terhenti tadi. Aku lihat Arik bersama genk-nya sudah keluar kelas, sepertinya mereka juga ke kantin saat ini. Aku menghela napas lega, dengan begitu Arik tidak akan marah jika aku ketahuan mengikuti ulahnya.
Kini mataku kembali mengarah ke bagian lain kelas, tepatnya ke bangku tempat Ranti duduk. Memang kali ini hampir sebagian murid keluar kelas. Sehingga memudahkan aku melihat ke tempat Ranti tanpa halangan.
Aku kembali memperhatikan gadis itu, wajah imutnya, bibir mungilnya, hidung bangirnya dan juga semua gestur tubuhnya. Mengapa juga semua yang aku lihat begitu indah dan entah mengapa ada getar aneh yang tiba-tiba menjalari relung hatiku.
Getaran aneh itu semakin mengusikku apalagi saat dengan tiba-tiba Ranti mengangkat kepala dan menoleh ke arahku. Mata kami bersiroboh beberapa detik dan aku hanya terdiam melihat sosok yang begitu indah di depanku.
Aku tak tahu detik ke berapa saat dewa cupid melesatkan panahnya ke dadaku, yang pasti sejak saat itu aku sudah mulai menyukainya.