“Astagfirullah, kamu kalau mau balapan jangan di jalan kompleks!”
“Sorry.”
“Ustadz tidak apa-apa?” tanya Rendra
“Tidak apa-apa, itu tadi siapa, Abah?” tanya Shaka.
Rendra menatap Shaka dengan serba salah, tapi pria paruh baya itu mengajak Shaka untuk menjauh dari para murid TPA tidak jauh dari masjid.
“Itu Amara, Cucu saya. Sekali lagi maafkan cucu saya, Ustadz.”
“Ini bukan salah, Abah.” Shaka merasa tidak enak karena membuat Abah sedih.
Setelah selesai berbincang Shaka pamit karena hari sudah sore, pria berbadan tegap itu segera menuju ke mobilnya. Ia harus segera sampai rumah sebelum magrib.
Setelah mobil yang dikemudikan oleh Shaka sudah tidak terlihat lagi, Rendra menuju ke rumahnya yang tidak jauh dari masjid. Pria paruh baya itu menatap motor milik cucunya, di mana motor itu hampir menabrak seseorang yang begitu berjasa dalam hidupnya. Shaka pria yang sudah menyelamatkan nyawanya, hingga keduanya kini dekat.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
“Kek, kok baru pulang?” tanya Rania yang tidak lain Nenek dari Amara.
Rendra hanya tersenyum, pria itu menatap cucunya yang kini sedang duduk dengan kaki naik di atas sofa.
“Amara, mulai besok kamu tidak boleh naik motor lagi.” Rendra terpaksa mengatakan itu.
“Kakek, lalu Amara sekolah naik apa?” tanya Amara dengan menatap pria yang begitu mirip Daddynya itu.
Rendra menarik napas panjang, pria paruh baya itu menatap istrinya. Melihat Rania mengangguk barulah ia menjawab, “Naik bus.”
“What?”
“Amara pelankan suaramu, Nak. Tidak sopan bicara keras kepada orang yang lebih tua darimu,” ujar Rania.
“Maaf, tapi enggak gitu juga, Kek. Masa aku naik bus,” keluh Amara.
“Itu hukuman untukmu karena hampir menabrak Ustaz Shaka!” kata Rendra tegas.
“Astagfirullah, Amara!” Rania begitu terkejut.
“Siapa suruh berdiri di jalan,” gerutu Amara.
Rendra dan Rania hanya menggelengkan kepalanya saat melihat cucunya yang begitu luar biasa kerasnya itu. Sedangkan Amara memilih masuk ke kamar untuk bermain game.
“Kenapa gue mulu yang disalahin, enggak Mommy, Daddy. Sekarang Kakek dan Nenek.”
Amara menghempaskan tubuhnya ke kasur, gadis itu asyik bermain sosial media miliknya. Hingga tanpa terasa ia ketiduran.
Tepat mau magrib Rania membuka pintu kamar cucunya, wanita menarik napas panjang melihat Amara masih tertidur begitu nyenyak.
“Amara, bangun!” kata Rania.
“Mom, Mara masih mengantuk,” ucap Amara dengan mata yang terpejam.
“Mara, ini Nenek. Bukan Mommy!” seru Rania.
“Nenek.” Amara langsung duduk.
“Bangun, setelah itu shalat Magrib!” titah Rania.
Amara hanya mengangguk, gadis itu segera turun dari ranjang. Ia segera melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim.
Setelah selesai melaksanakan kewajibannya, gadis itu membuka pintu balkon kamarnya. Ditutupnya arah jalan, netra Amara bertemu dengan netra indah milik pria yang hampir ditabraknya. Sedetik pandangan keduanya tertahan, tetapi tidak lama Shaka memalingkan wajahnya sambil istigfar
Amara segera masuk kamar, tidak lupa ia mengunci pintu. Saat sampai tangan paling bawah, gadis itu mendengar suara orang mengobrol. Namun, ia acuh saja.
Amara yang hanya memakai hotpants sepaha pergi ke dapur, biasa jam segini neneknya berada di dapur untuk menyiapkan makan malam.
Gadis itu berjalan ke arah ruang keluarga, tetapi sang nenek juga tidak ada. Gadis itu berjalan menuju ruang tamu. “Kakek Nenek ke mana ya?”
“Astagfirullah,’ kata Shaka dan Rendra bersamaan melihat Amara yang hanya memakai hotpants sepaha dan kaus oversize.
Shaka langsung memalingkan wajahnya ke arah lain, sedangkan Rendra menarik cucunya ke ruang keluarga. Amara kamu itu kalau ada tamu pakai pakaian yang sopan, mulai besok kamu tidak boleh memakai celana seperti ini lagi, Paham Kamu!”
Rendra begitu malu, akan cara berpakaian cucunya itu. Pria paruh baya itu menarik napas panjang, sebelum menemui Shaka.
“Maafkan cucu saya, Nak.”
Shaka hanya tersenyum, keduanya melanjutkan obrolannya lagi. Walaupun agak sedikit canggung.
Setelah adzan isya berkumandang, kedua pria itu keluar. Sedangkan Amara masih asyik dengan film kartunnya.
Tepat pukul sembilan, Rendra pulang bersama istrinya. Melihat itu Amara melihat sekilas dan kembali lagi asyik dengan film kartunnya lagi.
"Amara Shalat dulu, setelah itu kita makan malam," perintah Rania.
"Makan aja dulu, Nek. Mara lapar," ujar gadis itu.
Rania yang hendak menjawab apa kata cucunya, langsung berhenti. saat suaminya mengusap lengannya." Biarkan saja dulu, nanti kita bicarakan lagi."
Mendengar itu Rania hanya mengangguk, pasangan itu masuk kamar. Sedangkan Amara menarik napas panjang, bukannya ia tidak mendengar. Namun, gadis itu masih ingin menonton televisinya.
Amara segera beranjak dari duduknya, gadis naik ke lantai dua dengan bersenandung lagi. Saat sampai kamar ia segera membuka pintu. Namun, saat akan membuka menutup pintu ditahan oleh neneknya. Siap Shalat bantu nenek.”
“Iya.” Amara menjawab dengan singkat.
Mendengar itu Rania hanya tersenyum, ia begitu gemas dengan cucu semata wayangnya itu. Wanita itu tidak bisa menyalahkan Amara, karena semua itu kesalahan Rafka dan istrinya yang sama-sama sibuk bekerja. Hingga Amara kurang perhatian dari kedua orang tuanya.
Setelah selesai melakukan kewajibannya Amara keluar dari kamar, gadis itu kini mengenakan rok panjang yang belahannya sampai di paha.
Saat menuruni tangga, Rania melihat itu hanya mengusap dadanya saja. Hal itu membuat Rendra menoleh.
Rendra menghembuskan napasnya kasar dan berkata,” Besok kamu ajak beli pakaian yang sopan, Nek.”
“Pelan-pelan, kita tidak bisa membuatnya langsung berubah,” kata Rania.
Rendra mengangguk tanda setuju, entah kenapa dulu Rafka begitu baik dan menurut. Namun, pria itu tidak menyalahkan anak dan menantunya.
Kini mereka makan malam bersama, Amara menatap Kakek dan Neneknya bergantian. Kek, Amara janji akan hati-hati mengendarai motor, tapi Amara mohon jangan disita.”
“Tapi Kakek takut terjadi yang tidak diinginkan.”
“Amara janji, Kek.”
Rendra menatap sang istri, kedua orang itu kini menatap cucunya yang menampakkan wajah memelasnya.
“Baiklah, tapi ini yang terakhir.”
“Siap, Kakek. Amara sayang Kakek dan Nenek.”
“Kalau ada maunya saja sayang,” cibir Rania.
Amara langsung memeluk wanita paruh baya itu, melihat itu Rendra tersenyum. Rumah yang dulu begitu sepi, kini sudah mulai ramai dan terasa hangat lagi.
Setelah selesai makan, Ketiganya duduk di ruang keluarga, Amara berbaring di paha neneknya. Hal itu membuat sang kakek tersenyum. “Kakek harap kamu konsentrasi untuk belajar saat ini, Mara. Nanti kuliah di sini saja.”
“Harus kuliah ya, Kek?” tanya Amara.
“Kamu mau jadi apa kalau hanya lulus SMA, lagian pasti orang tuamu ingin supaya kamu kuliah yang bagus,” kata Rendra.
“Amara mau nikah aja, capek belajar mulu,” jawab Amara.
Rania mendengar apa kata cucunya, wanita itu langsung menyentil telinga Amara.” Kamu itu, anak satu-satunya Rafel. Mana mungkin tidak kuliah.”
“Kalau Daddy sudah pintar dari sananya, Nek. Kalau Mara sudah belajar juga masih nilai jelek,” aku Amara.
“Nek, ajarin Amara mengaji, ya!” pinta Amara.
“Kamu sudah kelas dua belas harusnya sudah tamat Al Quran, Mara.”
“Amara belum katam, Nek. Karena ustadznya ganti ustadzah dulu, malas jadinya,” jelas Amara.
Rendra mendengar itu mengangguk, Pria paruh baya itu menatap cucunya.” Apa besok mau mulai belajar mengaji?”
“Boleh, guru mengajinya yang tampan ya, Kek,” pinta Amara.
“Kamu sudah tahu dan pernah bertemu.’ Rendra tersenyum menepuk bahu cucunya.
Amara diam, gadis itu sedang memikirkan siapa orang yang ditemuinya. Merasa buntu akhirnya ia menyerah dan bertanya, “Siapa ya, Kek?”