Loading...
Logo TinLit
Read Story - GUGUR
MENU
About Us  

5 Januari 2024

Wanita 22 tahun yang akan berusia 23 tahun di bulan ini sedang duduk di pojok kursi warung kue bakar.

Tepat di hadapannya, warung bakso itu berada, masih beroperasi seperti dulu. Pengunjungnya kian malam kian ramai. Namun, wanita itu tidak berniat membeli bakso. Melainkan roti bakar, pesanan suaminya di rumah.

Warung kue bakar itu sama ramainya dengan warung bakso di depan. Wanita itu duduk di pojokan kursi, dia sudah memesan, hanya menunggu...

Walau tidak suka menunggu, dia akan tetap menunggu.

Warung bakso di hadapan warung kue bakar itu membuatnya teringat suatu kejadian. Kejadian yang tak pernah ia lupakan seumur hidupnya.

Kejadian yang membuatnya belajar, bahwa di dunia ini, semuanya akan bisa menjadi apa saja.

 

***

 

Awal Agustus, 2017. Di mana kisah ini dimulai.

Pagi itu, hujan deras mengguyur wilayah Sidoarjo. Hujan yang tak membuat semangat murid-murid SMK pupus untuk menuntut ilmu.

Salah satunya seorang siswi yang berlari di tepi jalan dengan ransel di angkat ke udara sebagai pelindung tubuhnya dari air hujan, sebab ia tidak membawa payung seperti murid lainnya.

Tempat parkirnya jauh dari gerbang, sekitar lima puluh meter.

Berhentilah si gadis di depan ruang guru. Napasnya tersengal-sengal. Kemudian dia mengeluh sebab tasnya basah kuyup. Segera dia mengeluarkan buku-bukunya dari dalam tas. Wajah gadis itu semakin cemas karena isi dari dalam ranselnya juga basah. Sejenak dia menjadi tontonan oleh siswa-siswi yang lalu-lalang di depan ruang guru.

“Aduh, kirain tasnya anti air,” keluhnya.

Sebelum dilihat oleh beberapa guru, gadis itu kembali mengemasi isi tasnya, kemudian berlari-lari kecil menuju ke kelas.

Kelas XI Multimedia.

“Eira?” seseorang terkejut dengan kedatangan gadis itu.

“Hai, guys.” Gadis itu—Eira, tersenyum tipis. Kemudian dia dengan wajahnya yang separuh kecewa, berjalan memasuki kelas.

“Kok mukamu lesu gitu, sih, Ey?” tanya temannya yang lain.

Eira meletakkan buku-buku serta tasnya yang basah di atas meja. Wajah dari kedua temannya itu langsung syok.

“Ei—”

“Ssstt!” Eira bersuara sebelum dua temannya itu lebih dulu berbicara. “Aku tahu apa yang akan kalian omongin.”

“Tapi bukumu basah, Ey.”

“Udah tahu hujannya deras, masih aja maksa. Nanti kamu belajar pakai apa?”

Eira menutup telinga. Nafa, temannya yang selalu khawatir. Dan Harun, teman Eira sekaligus ketua kelas yang selalu mengomel. Eira sudah sangat lelah mendengar omelan mereka. Padahal jelas sekali, Eira perlu diomeli.

“Kenapa nggak meneduh aja, Ey?” Harun bertanya lagi.

“Keburu telat. Ini udah pukul 06.53.” jawab Eira sembari menunjukkan arloji kecil di pergelangan tangannya.

Nafa dan Harun kompak menghela napas. Sudah sangat lelah meladeni Eira.

“Hari ini nanti materi apa aja? Aku lupa,” tanya Eira.

“Matematika, Animasi 2D & 3D, sama Bahasa Inggris., jawab Harun yang selalu hafal dengan jadwal kelas.

Eira menghela napas lega. Dia merogoh kolong meja, mengeluarkan beberapa buku materi yang telah disebutkan oleh Harun. Kemudian dia menyeringai lebar seperti karakter jahat di anime.“

Untung aja, aku bawa buku mapel kemarin.” Eira terkekeh-kekeh.

Harun dan Nafa saling bertukar pandang. Eira ini, selalu meninggalkan bukunya ke kolong meja. Dan di rumah, dia tidak pernah belajar. Nafa dan Harun sampai lelah mengingatkan temannya yang satu itu agar membawa pulang buku-bukunya untuk belajar.

“Ya udah, itu bukumu yang basah nanti jemur kalau udah nggak hujan lagi.” Usul Nafa.

Eira mengacungkan jempolnya.

Kemudian Harun mengambil kursi yang kosong, lantas duduk di samping meja Eira dan Nafa. “Kalian nanti mau ikut aku, gak?” ucapnya mengubah topik obrolan.

“Ke mana?” Eira menjawab antusias. Sementara Nafa sibuk sendiri dengan smartphone-nya.

“Nyari Mas-ku. Dia udah seminggu gak pulang-pulang.”

Eira menundukkan pandang. Harun selalu menceritakan sosok kakak laki-lakinya yang beda setahun— sekolah di SMK Negeri 1. Walaupun Eira tidak tahu rupa wajahnya, Harun selalu berkata kalau kakaknya itu jarang sekali pulang ke rumah hingga membuat Papa dan Mama khawatir.

Kemudian Eira mengangguk. “Boleh.” Kemudian dia menyikut pelan lengan Nafa. “Mau ikut, gak?”

Nafa mengangkat pandangan dan tersenyum. Sejak tadi dia mendengar suara Harun meski pandangannya tertuju kepada benda pipih itu. “Maaf, guys. Aku udah ada agenda ikut Bapak ke Tunjungan.” Ucapnya dengan nada memelas.

Harun tersenyum simpul. “Nggak apa-apa, Fa. Biar aku sama Eira aja kalau gitu.”

“Maaf banget, ya, Run,” ucap Nafa lagi.

“Santai.”

Eira hanya tersenyum dan mendengarkan. Cukup menyenangkan bisa mendengar cerita teman-temannya mengenai orangtua mereka. Eira penasaran seperti apa memiliki orangtua itu. Karena sejak kecil, Eira diasuh oleh budhe...

“Ey,” panggil Harun.

Gadis itu memekik. “Iya?”

“Nanti berangkatnya habis maghrib aja, ya. Biar bisa sholat.”

Eira tersenyum, mengangguk setuju.

 

***

 

Eira menghabiskan waktu-waktu di sekolahnya dengan riang gembira. Saat jam istirahat dan matahari bersinar terik di siang hari, ia menjemur tas serta buku-bukunya di atas rak sepatu yang terletak di koridor kelas. Dengan begini, Eira bisa bersantai sekaligus menjaga buku-bukunya.

Selama jam pelajaran berlangsung, Eira tidak tergolong siswa yang pintar, bukan juga siswa yang pemalas. Dia dengan keahliannya yang pas-pasan itu selalu mengikuti saran Harun yang pandai di bidang multimedia. Apalagi Nafa, yang jika sudah berkutat dengan komputer, dia jadi tidak menghiraukan kondisi sekitar.

Tibalah bel pulang itu berbunyi nyaring, yang membuat rasa kantuk murid-murid SMK PGRI menghilang. Terutama Eira yang sudah siap menenteng tasnya.

Bye, Ey, Run!” Nafa melambaikan tangan saat melihat mobil bapaknya berhenti di tepi gapura sekolah.

Eira melambaikan tangan dengan semangat, sementara Harun tersenyum dan mengangguk.

“Kalau gitu aku pulang, ya, Run,” pamit Eira.

“Nggak sekalian pulangnya sama aku?” ucapan Harun mengurungkan langkah kaki Eira.

“Aku bawa motor sendiri, kok. Kebetulan Mbak Sari lagi cuti hari ini.”

Harun ber-oh kecil, lantas tersenyum. Pantas saja, akhirnya dia mengerti kenapa Eira sampai di sekolah mepet sekali—nyaris terlambat. “Ya udah kalau gitu, hati-hati di jalan, ya.”

Eira mengangguk, kemudian dia berjalan menuju ke parkiran motor. Harun menatap punggung gadis itu sampai menghilang ditelan kerumunan. Padahal Harun ingin sekali mengantarnya pulang seperti hari-hari biasanya.

Sedangkan Eira sendiri, dia merasa sungkan jika Harun yang terlalu baik itu selalu menolongnya.

Gadis itu memasang helm, kemudian mulai melajukan motornya di tepi jalanan. Harun sempat menyusul Eira hingga keduanya bersebelahan.

“Duluan, Ey!” seru Harun, kemudian dia melajukan motornya lebih cepat.

Eira terkekeh di balik kaca helm.

Sekitar dua puluh menit perjalanan, Eira sampai di rumah. Tempat ia dibesarkan sejak bayi oleh kakak dari ibunya—Eira terbiasa memanggilnya Budhe Ina. Dan motor yang sempat ia pakai hari ini adalah motor kakak sepupunya yang berprofesi sebagai guru SMP. Hari ini dia cuti karena demam.

Satu-satunya keluarga yang Eira miliki hanya mereka berdua.

“Udah pulang?” Eira disambut oleh Sari yang berselimut di sofa panjang. Wajahnya pucat.

Eira mengangguk sembari melepas sepatu, kemudian merapikannya di rak. “Mbak udah enakan, belum?”

Sari menggosok tengkuknya, lantas mendudukkan diri di sofa panjang. “Masih berkunang-kunang.”

“Mending Mbak tidur aja, biar cepet sembuh,” ucap Eira, lantas memasuki kamarnya yang pintunya terhubung dengan ruang tamu.

Kemudian Eira keluar dari kamar setelah mengganti baju. “Budhe mana?” dia duduk di sofa tunggal seraya menyantap keripik pisang.

“Ke apotek beliin Mbak obat.” Jawab Sari lemas.

“Lah terus Budhe naik apa ke apotek?”

“Naik sepeda.”

“Kenapa nggak titip ke aku aja tadi?”

“Hape kamu mati, gitu, sih.” Sari menyelonjorkan kakinya.

Eira lupa akan hal itu. Dia pun menyeringai lebar.

“Ey, pijitin kakinya Mbak, dong.”

Eira mengerucutkan bibirnya. “Yah, Mbak, jajannya belum habis.”

“Sini Mbak habisin.”

Awalnya Eira tidak mau, tetapi karena kasihan dengan kondisi kakak sepupunya itu, dia pun memberikan jajannya. Kemudian Eira berpindah tempat, memangku kaki Sari lantas memijatnya.

“Makasih, ya, Ey. Nanti kalau Mbak sembuh, Eira mau apa?”

Eira terkekeh mendengarnya. “Minta kakak ipar.”

Sari nyaris tersedak makanan. “Gak mau!”

“Padahal umur Mbak udah 26 tahun.”

“Ey, nikah itu enggak mudah. Mbak aja belum bisa ngurus diri Mbak, apalagi ngurus keluarga. Usia bukan patokan buat seseorang itu kapan nikah. Nanti, ada waktu tersendiri buat Mbak," ujar Sari sembari mengunyah keripik.

Eira diam tak berkomentar. Dia terus memijat kaki Sari yang hangat.

“Tahun depan kamu udah kelas dua belas, ya.”

“He-em.”

“Kalau udah lulus, mau kuliah di mana nanti?”

Eira menggerung pelan. “Ke Unesa? Mbak, kan, alumni sana. Maunya jurusan bahasa Indonesia aja. Terus jadi guru kayak Mbak.”

Sari tertawa ringan. “Belajar yang bener dulu.” Kemudian dia menyamankan posisi tidurnya. “Semoga nantu Mbak bisa biayain kuliah kamu. Walaupun Mbak lulusan S1, tapi adik Mbak boleh aja jadi lulusan S3 kalau bisa.”

Jika sudah membicarakan hal ini, kedua mata Eira berkaca-kaca karena terharu. Namun, Eira menutup hal itu dengan tawa riangnya. “Tapi Eira takut nanti kuliah materinya sulit.”

Sari mendengus. “Belum dicoba aja udah bilang sulit.”

“Hehehe…”

“Eira? Udah pulang, Nak?” sebuah suara terdengar. Seorang wanita berjilbab, usianya sekitar 50-an tauun, datang memasuki rumah.

“Iya, Budhe.” Eira menyambut Ina dengan santai.

Kemudian Sari bangkit berdiri. Ina memberikan obat yang telah ia beli kepada putrinya itu.

“Makasih, Mama,” ucap Sari manja.

“Obatnya diminum setelah makan," ujar Ina. Kemudian dia menatap ke arah keponakannya. “Kamu udah makan belum, Nak?”

Eira menyeringai, lantas menggeleng.

“Sana makan sama Mbak. Budhe tadi masak soto.”

Eira mengangguk, kemudian dia berdiri dari duduknya, melangkah riang menuju dapur.

“Ey, ambilin buat Mbak juga, ya.” Pinta Sari dengan suara lemasnya.

“Siap, Nona!”

 

***

 

Eira selalu menceritakan tentang teman-temannya di sekolah kepada Mbak Sari dan Budhe Ina. Bahkan Sari sampai lelah jika Eira selalu menceritakan tentang Harun dan Nafa. Seolah tidak ada teman lain saja.

Namun, hanya itulah teman yang bisa Eira percaya. Bagi Eira, Nafa dan Harun adalah keluarga keduanya.

Selepas sholat maghrib, Eira telah meminta izin kepada Budhe Ina, bahwa setelah maghrib nanti, ia akan ikut Harun untuk mencari kakaknya.

“Emang ke mana Mama sama Papa mereka, Ey?” tanya Ina saat duduk di kursi sofa.

Eira yang masih duduk di meja makan, hanya bisa mengangkat bahu. “Mungkin kerja lah, Budhe. Mamanya Harun itu… Eira nggak tahu soalnya belum pernah ketemu. Terus katanya, sih, papanya Harun dosen.”

Ina manggut-manggut, lantas menyalakan televisi dengan remot.

Dapur dan ruang tamu di rumah itu ada dalam satu petak, saling terhubung. Sehingga memungkinkan mereka bertiga mengobrol sembari melakukan aktivitas masing-masing.

“Harun temen kamu yang ganteng itu, ya?” Sari mulai meledek adiknya.

“Ya emang ganteng, sih, Mbak. Bibit unggul.” Eira menjawab saat menata piring ke dalam rak dengan cekatan. “Emangnya kenapa, sih?” kali ini dia mulai mendecak sebal.

Sari terkekeh. “Eira kalau diajak bahas Harun jadi malu-malu gitu.”

“Mbak…” Eira mendecak, mengernyit. Memang benar, setiap kali kakak sepupunya itu membahas Harun, wajah Eira akan menghangat. Reaksi normal untuk seorang perempuan yang tidak pernah mendapat figur seorang ayah secara langsung.

“Udah udah. Eira nanti jangan malam-malam pulangnya, ya.” Budhe Ina duduk di sofa.

Eira tersenyum cerah. “Oke, Budhe.” Kemudian dia memasuki kamarnya.

Ting! Ponsel Eira berbunyi—tanda pesan baru. Segera Eira mengambil ponsel, itu Harun yang mengirim pesan.

 

Harun : Aku udah sampai di gang biasanya.

 

Eira tersenyum, dia pun beranjak memasuki kamar untuk bersiap diri. Eira mengepang rambut panjangnya. Kemudian memakai sweater dan celana kulot panjang. Di luar sedang dingin, apalagi ini malam hari. Tak lupa, Eira juga menenteng tas kecil untuk tempat ponselnya.

“Budhe, Eira berangkat dulu," pamit Eira saat keluar dari kamar, hendak mencium tangan budhenya.

“Loh? Emangnya Harun udah sampai?” Budhe Ina menatap bingung keponakannya itu.

Eira menyeringai. “Eira samperin dia di gang selatan. Harun malu kalau ketemu Mbak Sari, bisa-bisa nanti kita diledekin mulu.”

Di sofa, Sari tertawa lemas. Sementara Budhe Ina menggeleng-geleng heran.

Eira mencium tangan Budhe, lantas melambaikan tangan kepada Sari. Di teras rumah, ia memakai sandal gunung yang sudah dua tahun tidak ganti. Kemudian gadis itu melangkah menyusuri gang selatan dengan langkah kaki riang gembira.

Rumah mereka ada di daerah barongan—sebutan untuk hutan kecil dalam bahasa daerah. Namun, tempat tinggal Eira memiliki halaman yang luas. Dan ada dua gang yang mengarah ke selatan dan utara. Letak tempat tinggal Eira ada di paling pojok, sangat dekat dengan barongan. Sehingga rumah yang mendiami dalam gang itu disebut dengan “Gang Barongan.”

Eira melambaikan tangan kepada Harun yang berdiri di sebuah mobil putih. Itu mobil yang biasanya Harun gunakan di luar—selain di sekolah.

Melihat kedatangan Eira, Harun membuka pintu mobil. “Langsung masuk aja, Ey.”

Eira pernah menaiki mobil itu bersama Nafa juga saat mereka bertiga ada tugas kelompok. Tapi kali ini, hanya mereka berdua, dan itu membuat Eira sedikit gugup.

“Jadi, gimana?” Tanya Eira saat ia sudah ada di dalam mobil, duduk di baris paling depan—bersebelahan dengan bangku kemudi.

Harun menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi mobil. “Tadi Mas baru aja kirim WA, kalau dia ada di Surabaya.” Dia memijat keningnya.

“Hah? Jauh banget di Surabaya.” Eira pun tak kalah terkejutnya.

“Bensin motor dia habis. Rekening udah diblokir sama Papa. Dia ngirim WA tadi lewat hape temennya. Aku percaya, sih, Mas tadi sempet video call nunjukin wajahnya juga.”

Eira manggut-manggut. "Kenapa temennya enggak minjemin duit aja ke masmu biar pulang sendiri?"

"Dia enggak bakalan pulang, Ey. Lanjut keluyuran," sahut Harun.

Eira tersenyum simpul.

“Kamu mau ke Surabaya, kan, Ey? Enggak apa-apa, kan?” Harun menatap wajah temannya itu.

Tentu saja Eira tidak bisa menolak ajakan temannya itu. Dia bisa menjadi teman mengobrol Harun sepanjang perjalanan. “Iya. nggak masalah, kok.”

“Makasih, Ey.” Harun mulai menyalakan mesin, kemudian menancapkan gas.

Selama perjalanan, Eira tentu teman yang menyenangkan jika diajak berbicara. Ada saja topik darinya. Seperti membahas tentang luar angkasa (karena Eira melihat bintang dan tiba-tiba saja membicarakannya), juga obrolan mereka berujung dengan pembahasan anime Jepang yang mereka sama-sama gemar menontonnya. Harun sesekali tertawa, kemacetan perjalanan itu seketika terobati dengan topik yang dibawa oleh Eira.

Jalanan kembali lancar, tidak ada kemacetan lagi.

“Ey, tolong bukain hape-ku.” Pinta Harun seraya menunjuk ponselnya di desk mobil dengan dagunya.

Eira pun mengambil ponsel Harun. “Terus?”

“Buka WA, tadi Mas janji bakalan shareloc.”

Eira menekan tombol power. “Password hape-mu apa, Run?”

“Ehh…” Tiba-tiba wajah Harun termangu.

“Apa, Run?” tanya Eira tak sabaran.

“242424.”

Eira pun langsung menekan tombol seperti yang Harun katakan. Ponsel itu pun terbuka.

“Nah, kamu langsung buka aja WA, terus ada nomor yang belum aku simpan, foro profilnya Mitsuha, terus kamu buka.”

Eira manggut-manggut, dia tahu siapa itu Mistuha—karakter anime Kimi no Nawa yang rilis tahun kemarin. Dia melakukan apa yang Harun katakan. “Kakakmu suka anime juga, ya?”

Harun menyeringai. “Bukan, itu nomor temennya. Sebenarnya Mas-ku itu enggak suka sama anime. Dia lebih suka cewek asli."

Eira tersenyum simpul. Pandangannya kembali pada ponsel Harun. “Eh, dia udah ngirim lokasi, nih.”

“Coba kamu lihat. Di dekat mana lokasinya.”

Setelah loading beberapa saat, Eira melihat lokasi di layar ponsel itu. Kemudian dia menunjukkannya kepada Harun.

Harun menghela napas berat setelah melihatnya sekilas. “Ya ampun…”

“Emangnya kenapa, Run? Kalau boleh tahu…”

“Jauh banget itu, Ey. Di Ketintang, dekat Royal.” Harun mengusap wajahnya.

Eira hanya bisa tersenyum simpul.

“Gimana, ya, Ey… aku sebagai adiknya nggak bisa ngomongin hal-hal buruk tentang dia.” Wajah Harun terlihat memelas. “Papa sama Mama capek lihat kelakuannya.”

Eira mengangkat kedua alisnya.

“Apa aku cerita aja ke kamu, ya, Ey? Biar pundakku ringan dikit.”

Eira mengangkat kedua bahu, tersenyum. “Boleh aja.”

Pertama, Harun mengambil napas lantas membuangnya. “Sebenarnya Mas-ku itu orang nakal. Nakalnya itu sama perempuan. Aduh… gimana, ya bilangnya… Ya pokoknya dia suka main sama cewek. Kamu bisa bayangin sendiri.”

Eira tertegun untuk beberapa saat. “Maksud kamu playboy gitu?”

“I-iya gitu, deh.” Harun terkekeh—bersyukur karena Eira tidak sampai membahas yang aneh-aneh. “Sekarang dia ada di rumah temannya, soalnya dia pernah kepergok selingkuh sama pacarnya. Habis deh, nggak bisa main cewek lagi.”

Eira tersenyum simpul—tidak tahu harus menjawab dengan kalimat apa.

“Mas sampai nggak berani ngabarin ke Papa, dia baru aja ini tadi ngabarin aku lewat WA temennya. Mama di rumah sedih, Mas nggak pulang-pulang.”

Eira mengangguk, dia menepuk pundak Harun yang sedang fokus mengemudi. “Sabar, Run. Setiap orang bisa berubah. Mungkin dengan masalah ini, Mas-mu bisa balik ke jalan yang benar.”

“Iya. Semoga aja, ya, Ey.” Harun tersenyum. Hatinya terasa lega setelah membagi cerita dengan Eira.

Perjalanan masih panjang. Mereka baru saja melewati Bundaran Aloha, sekitar tiga puluh menit lagi mereka akan sampai di tujuan. Harun melihat rute melalui map di ponselnya. Eira yang pandai membaca map, juga membantu Harun selagi dia fokus menyetir.

“Oh, iya, Run. Aku lupa nanya.” Eira bersuara.

“Silakan.”

“Kenapa password hape kamu 242424, ya? Bukannya tanggal lahir kamu 9?”

Seketika Harun tercekat, tetapi dia masih fokus dengan jalan raya. “Ya, nggak apa-apa, sih…”

“Nafa juga tanggal lahirnya 3. 24 itu, kan, tanggal lahirku…” Eira menatap Harun dengan ujung mata, terlihat sinis—tentu saja itu gurauan. Eira suka sekali dengan ekspresi wajah Harun yang mati kutu seperti itu.

“Itu cuma angka acak aja. Lagian kenapa aku pake tanggal lahir kamu?” kemudian Harun tertawa—tawa yang terdengar canggung.

Suasana mobil lengang. Eira menatap jeli rute perjalanan agar dirinya dan Harun tidak salah jalan. Kurang lebih selama empat puluh menit kemudian (dengan kondisi kemacetan lalu lintas Surabaya), mereka akhirnya sampai di tujuan.

Sebuah rumah berpagar hitam yang terletak di pinggir jalanan pedesaan.

Harun keluar dari mobil, Eira menyusul kemudian.

“Bentar, mau telepon Mas dulu.” Harun menggeser layar ponsel.

Eira mengangguk.

“Halo, Mas, aku udah sampe. Mas di mana? Gerbang hitam, kan? Aku di depan. Oke, oke. Gak, ini sama temen. Motor? Ditinggal aja dulu, kapan-kapan bisa diambil. Hm. Hm. Udah, cepetan keluar.”

Kemudian Harun menutup sambungan telepon itu.

Eira menyeringai. Harun sepertinya sedang kesal.

“Run,”

Sebuah suara terdengar saat setelah pintu gerbang hitam itu dibuka. Harun bernapas lega sekaligus ingin marah saat melihat wajah dari kakaknya.

Sementara Eira menatap lamat-lamat sosok yang selalu dibicarakan Harun itu. Dalam kesan pertama, Eira berpikir dia laki-laki yang urakan karena rambut gondrongnya.

“Wah, adek kamu, Mal?” temannya berbicara.

“Halo, Mas.” Harun berjabat tangan dengan Riski—teman kakaknya itu. “Makasih banget, Mas, udah nampung Mas Kamal.”

Eira ber-oh pelan. Ternyata kakaknya Harun itu bernama Kamal. Eira belum mengetahuinya—karena sebelumnya, Harun tidak pernah menyebut nama kakaknya saat bercerita.

“Ah, gampang itu. Dia emang sering main ke sini, kok.” Riski tersenyum, kemudian menepuk pundak Kamal. “Motormu taruh sini aja, kapan-kapan bisa diambil.”

Kamal menundukkan pandangan, mengangguk. Dengan tas ransel yang berisikan beberapa pakaian dan barang pribadi, Kamal membuka pintu mobil di bangku ke-dua, lantas memasukinya. Harun dan Eira menyusul dan duduk di bangku masing-masing.

“Hati-hati di jalan,” ucap Riski. Harun dan Eira tersenyum sebagai jawabannya. Sedangkan Kamal terlihat melamun.

Kemudian mobil perlahan melaju. Sebagai sahabatnya, tentu Riski merasa khawatir dengan kondisi Kamal—walaupun Riski sendiri merasa kesal dengan perilaku sahabatnya itu.

 

***

 

Suasana di dalam mobil lengang selama tiga puluh menit perjalanan.

Eira tidak tahu harus berbicara apa. Diam-diam dia melihat wajah Kamal dari kaca spion di tengah. Rambuut gondrong, kumis tipis, sangat urakan.

Kemudian bola mata Kamal bergeser ke arah kaca spion itu. Dan Eira langsung memalingkan pandangannya karena ketahuan.

“Siapa, Rub?” suara Kamal memecah keheningan.

Sembari fokus mengemudi, Harun menjawab santai, “Eira, teman sekelas. Aku ajak dia karena gak ada temennya buat jemput kamu. Surabaya jauh tau.”

Kamal merebahkan punggungnya ke sandaran kursi mobil, lantas mengangguk-angguk. “Yakin cuma temen?”

Mendengar itu, Eira melotot.

“Iya, dong.” Harun bisa menjawab dengan santai. “Sekarang Mas Kamal harus siapin mental buat ngadepin Papa.”

Kamal menundukkan kepala, mendengus pelan.

“Seminggu nggak pulang, ke mana aja, sih, Mas? Enggak bosen main cewek?” cicit Harun.

“Gak usah nanya.”

“Berarti bener.”

“Gak penting.”

Sedikitpun Eira tidak bersuara, karena obrolan mereka terdengar serius sekali—apalagi intonasi Harun yang mulai kesal.

Setelah melewati kemacetan jalan raya, Harun menghentikan mobilnya di depan pasar malam. Dia membeli beberapa jajan jalanan, untuknya dan untuk Eira—menolak membelikan kakaknya. Eira dengan senang hati menerima pemberian Harun. Kemudian Harun mengantarkan Eira pulang, mobil berhenti tepat di gang yang sama seperti sebelumnya.

“Makasih, Ey. Kita pulang dulu, ya,” ucap Harun saat mengobrol dengan Eira dari jendela mobil, Eira sudah turun dari mobil itu.

Eira tersenyum, mengangguk. “Hati-hati. Makasih juga buat jajannya.”

Harun mengacungkan jempol, kemudian dia melajukan mobilnya di jalanan desa.

Harun sudah memperingatkan kakaknya untuk menyiapkan diri saat sampai di rumah nanti. Karena kenakalan Kamal sudah membuat Papa dan Mama resah.

Di dalam mobil itu, kedua tangan Kamal bergetar hebat. Dia akan mempersiapkan kalimat yang tepat jika papanya bertanya.

Mobil putih itu sampai di sebuah rumah dengan pagar emas yang indah. Halamannya terlihat sangat asri dan luas. Di sebelah bangunan berwarna putih dengan corak keemasan itu, terdapat air mancur dengan kolam ikan.

Harun memarkirkan mobilnya dengan mulus di dalam garasi rumah. Kamal keluar dari mobil bersama dengan tas ransel setelah berkali-kali menarik dan membuang napasnya.

Kamal berjalan dengan Harun di sebelahnya—sesekali Harun menepuk pundak Kamal, guna membuat saudaranya itu bersemangat.

Assalamualaikum.” Harun mengucap salam.

Waalaikumussalam—” seorang wanita berambut pendek, menjawab salam anak bungsunya. Kemudian senyumannya semakin mengembang saat melihat anak sulungnya.

“Kamal? Ke mana aja kamu, Le?” wanita itu—Lastri, langsung memeluk Kamal, melepas rasa rindunya.

Kamal tersenyum haru. Mama selalu berhati lembut menghadapi sikap anak-anaknya. Hal ini membuat Kamal semakin merasa bersalah.

Kemudian dari dalam rumah, keluar seorang pria dengan kaos oblong dan celana training panjang muncul. Wajahnya langsung serius saat melihat keberadaan Kamal.

“Duduk kamu di sofa, Lais Kamalauddin. Papa mau rapat.” Ucap sosok pria itu—namanya Arto, kepala keluarga di rumah ini. Seorang dengan kepribadian yang tegas.

Jika sudah nyaris menyebut nama lengkap, ini berbahaya sekali. Siaga.

Lastri mengusap ujung matanya yang berair. Kemudian Kamal dengan wajah tertunduk berjalan menuju sofa, lantas duduk berhadapan dengan Arto di sofa itu.

Lastri dan Harun juga ikut duduk. Keadaan menjadi lengang selama beberapa detik.

“Ke mana aja kamu? Nggak sekolah?” tanya Arto seraya mengedikkan dagunya.

“Ke Surabaya, Pa,” jawab Kamal pelan.

Arto bersedekap. “Coba jelasin ke Papa, kenapa uang sebanyak 20 juta di rekening kamu habis dalam sehari aja? Buat apa? Papa simpan uang itu ke rekening kamu buat bayar sekolah!”

Harun menghela napas. Arto sebenarnya sudah tahu jawaban atas pertanyaannya itu. Dia hanya ingin menguji kejujuran putranya.

Kamal diam selama beberapa menit. Tidak berani menjawab.

Kemudian Arto menyamankan posisi duduknya. “Kalau kamu mau pergi dari rumah, silakan. Papa izinkan. Tapi kamu melanggar aturan Papa dengan meninggalkan sekolah. Tujuh hari kamu absen tanpa keterangan. Kepala sekolah kamu sempet datang ke rumah, bilang kalau kamu udah dikeluarin dari sekolah.”

Mendengar itu, jantung Kamal langsung berdebar lebih cepat. Pandangannya kembali terangkat. “A-apa…”

“Iya, lho. Papa nggak bohong.” Arto menegaskan. Kemudian dia mengeluarkan amplop dari saku training, lantas memberikannya kepada si sulung.

Kamal menerima dab buru-buru membuka amplop, lalu membaca isi dari kertas itu, sebuah surat dari SMK Negeri 1. Demi membaca suratnya, tangan Kamal gemetar.

Harun turut prihatin dengan keadaan kakaknya saat ini. Kamal sangat beruntung bisa masuk di sekolah negeri berkat kecerdasan otaknya. Namun, Kamal tidak mengasah kelebihannya itu, dan malah membuang kesempatan emasnya.

“Jadi, Papa sama Mama udah bikin keputusan buat menyekolahkan kamu ke sekolah Adek.” Arto menghela napas kasar.

Harun menganga lebar.

Kamal mengernyit. “Tapi kan ada sekolah selain—”

“Itu keputusan Papa sama Mama,” sahut Arto. “Kamu udah dikasih kebebasan malah seenaknya sendiri.”

Kamal mendengus pelan, dia memegang dahinya yang terasa pening. Dia benar-benar keberatan jika harus satu sekolah dengan Harun. Karena adiknya itu selalu mengomel, memata-matainya, melarangnya berbuat ini-itu. Kamal muak.

Namun, Harun melakukan itu untuk kebaikan kakaknya sendiri. Dia tidak mau kakaknya terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak baik.

 

***

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 1 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
ATHALEA
1383      620     1     
Romance
Ini cerita tentang bagaimana Tuhan masih menyayangiku. Tentang pertahanan hidupku yang akan kubagikan denganmu. Tepatnya, tentang masa laluku.
Salted Caramel Machiato
13657      4322     0     
Romance
Dion seorang mahasiswa merangkap menjadi pemain gitar dan penyanyi kafe bertemu dengan Helene seorang pekerja kantoran di kafe tempat Dion bekerja Mereka jatuh cinta Namun orang tua Helene menentang hubungan mereka karena jarak usia dan status sosial Apakah mereka bisa mengatasi semua itu
Unframed
546      368     4     
Inspirational
Abimanyu dan teman-temannya menggabungkan Tugas Akhir mereka ke dalam sebuah dokumenter. Namun, semakin lama, dokumenter yang mereka kerjakan justru menyorot kehidupan pribadi masing-masing, hingga mereka bertemu di satu persimpangan yang sama; tidak ada satu orang pun yang benar-benar baik-baik saja. Andin: Gue percaya kalau cinta bisa nyembuhin luka lama. Tapi, gue juga menyadari kalau cinta...
Ayugesa: Kekuatan Perempuan Bukan Hanya Kecantikannya
7727      2350     204     
Romance
Nama adalah doa Terkadang ia meminta pembelajaran seumur hidup untuk mengabulkannya Seperti yang dialami Ayugesa Ada dua fase besar dalam kehidupannya menjadi Ayu dan menjadi Gesa Saat ia ingin dipanggil dengan nama Gesa untuk menonjolkan ketangguhannya justru hariharinya lebih banyak dipengaruhi oleh keayuannya Ketika mulai menapaki jalan sebagai Ayu Ayugesa justru terus ditempa untuk membu...
Mari Collab tanpa Jatuh Hati
4611      1739     2     
Romance
Saat seluruh kegiatan terbatas karena adanya virus yang menyebar bernama Covid-19, dari situlah ide-ide kreatif muncul ke permukaan. Ini sebenarnya kisah dua kubu pertemanan yang menjalin hubungan bisnis, namun terjebak dalam sebuah rasa yang dimunculkan oleh hati. Lalu, mampukah mereka tetap mempertahankan ikatan kolaborasi mereka? Ataukah justru lebih mementingkan percintaan?
Renjana
510      377     2     
Romance
Paramitha Nareswari yakin hubungan yang telah ia bangun selama bertahun-tahun dengan penuh kepercayaan akan berakhir indah. Selayaknya yang telah ia korbankan, ia berharap agar semesta membalasnya serupa pula. Namun bagaimana jika takdir tidak berkata demikian? "Jika bukan masaku bersamamu, aku harap masanya adalah milikmu."
Ada Apa Esok Hari
202      156     0     
Romance
Tarissa tak pernah benar-benar tahu ke mana hidup akan membawanya. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sering kali tak ramah, ia hanya punya satu pegangan: harapan yang tak pernah ia lepaskan, meski pelan-pelan mulai retak. Di balik wajah yang tampak kuat, bersembunyi luka yang belum sembuh, rindu yang tak sempat disampaikan, dan cinta yang tumbuh diam-diamtenang, tapi menggema dalam diam. Ada Apa E...
Redup.
687      411     0     
Romance
Lewat setiap canda yang kita tertawakan dan seulas senyum yang kerap dijadikan pahatan. Ada sebuah cerita yang saya pikir perlu kamu dengarkan. Karena barangkali saja, sebuah kehilangan cukup untuk membuat kita sadar untuk tidak menyia-nyiakan si kesayangan.
Bersyukur Tanpamu
588      390     4     
Short Story
Without You, I\'m Fine
Begitulah Cinta?
17545      2637     5     
Romance
Majid Syahputra adalah seorang pelajar SMA yang baru berkenalan dengan sebuah kata, yakni CINTA. Dia baru akan menjabat betapa hangatnya, betapa merdu suaranya dan betapa panasnya api cemburu. Namun, waktu yang singkat itu mengenalkan pula betapa rapuhnya CINTA ketika PATAH HATI menderu. Seakan-akan dunia hanya tanah gersang tanpa ada pohon yang meneduhkan. Bagaimana dia menempuh hari-harinya dar...