Uniq mempercepat langkahnya melewati pelataran gedung bertingkat empat. Ia menaiki anak tangga, berbelok ke kiri menuju sebuah lorong panjang. Di kanan kirinya beberapa kelas sudah terisi oleh sebagian mahasiswa yang sedang mengikuti perkuliahan.
Uniq mengeluarkan selembar kertas putih berisi jadwal kuliah. Di hari itu dia mempunyai dua mata pelajaran, yang saat ini salah satu kelasnya kemungkinan sudah dimulai. Tangannya menyusuri deretan huruf bertuliskan Teori-teori Mitologi Kuno berada di ruang R13 lantai empat. Menyadari hal itu, Uniq segera menaiki tangga yang berada di pojok kiri lorong.
Jam tangan Uniq mengeluarkan suara bip berulang kali. Kecemasan mulai menjalarinya. Ia tidak ingin terlambat masuk kelas di hari pertamanya sebagai mahasiswa.
“Kenapa tidak naik lift saja, Mba?” tanya kakek tua.
Uniq terkejut mendengar suara yang berat tepat berada di belakangnya. Ia mulai kehabisan napas saat menaiki anak tangga menuju lantai empat. “Saya gak tahu kalau ada lift di sini, Pak.”
Kakek tua itu menunjuk papan kecil bertuliskan lift yang tercetak huruf kapital tebal berlatar warna hijau dengan tanda panah putih ke arah kanan. Menyadari hal itu, Uniq hanya bisa tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepadanya. Dalam hati mulai merutuki kebodohan yang dia lakukan.
“Ruang kelas berapa?” tanya kakek tua itu.
“Umm... tiga belas, Pak.”
“Ada di pojok kanan, Mbak.” Tunjuknya lagi.
Uniq mengiyakan apa yang dikatakan kakek tua tadi. Tanpa berlama-lama segera ia menaiki sisa anak tangga menuju lantai empat dan berlari masuk ke dalam kelas.
Saat berada di depan pintu masuk Uniq melihat hal yang tidak biasa. Tampak sesuatu yang samar mengombak di sudut ruangan. Ia tidak yakin bagaimana bentuk sebenarnya. Namun yang pasti energi yang terpancar sangat gelap. Keraguan muncul sampai suara lain menyadarkan dirinya.
“Permisi Mbak, mau masuk ndak ya?” tanya lelaki bertubuh gempal.
“Oh iya, Mas, saya juga mau masuk. Maaf.”
Lelaki itu segera mengambil kursi di bagian paling belakang bergabung dengan beberapa temannya. Uniq memilih untuk duduk di kursi depan yang tersisa. Ia tidak menyangka bahwa kelas hari pertama di pagi itu sudah hampir penuh seluruhnya oleh para mahasiswa.
“Untuk mahasiswa yang terlambat datang ke kelas pada hari ini. Silakan mengisi daftar hadir dan selanjutnya toleransi keterlambatan hanya diberikan 5 menit saja. Lebih dari itu, saya tidak akan mengizinkan siapa pun masuk ke dalam kelas ini,” ujar dosen muda berkacamata tebal.
Kemudian dia kembali berceloteh tentang serangkaian kisah-kisah mitologi kuno yang tersebar di seluruh dunia, meliputi mitos dan fakta. Dengan menjelaskan asal-usul mahkluk mitologi dan pengertiannya.
Dua puluh menit pertama yang sangat membosankan. Uniq mencatat semua pelajaran dan mencoba berkonsentrasi terhadap apa yang dikatakan sang dosen di depan kelas. Suhu AC di ruangan ini membuatnya seperti di dalam kulkas hingga badannya menggigil kedinginan.
Lehernya terasa dingin dan berat. Uniq meraba bagian belakang karena ketidaknyamanan itu. Ketika secara tiba-tiba datang bayangan hitam perlahan menyelimuti dirinya. Uniq merasa dadanya kini sesak, kaki dan tangannya sulit untuk digerakan, bahkan tidak mampu untuk berbicara.
Bayangan hitam itu terus berkumpul membentuk gumpalan tebal seperti asap. Kepanikan muncul membuat Uniq tidak berdaya. Perutnya terasa seperti diremas-remas akibat ketegangan yang luar biasa. Lampu ruangan tiba-tiba menjadi gelap dan situasi berubah menjadi darurat.
Uniq memejamkan mata sekuat tenaga berharap bayangan hitam itu segera menghilang. Ia meremas apa saja yang ada di sekelilingnya serta berusaha menggerakkan kakinya yang terasa kaku. Sengaja berupaya menendang dan menjejakkannya dengan lebih keras.
Keadaan menjadi semakin sulit baginya. Uniq tidak ingin diganggu oleh hantu atau makhluk astral lainnya pada saat ini. Paling tidak, bukan di hari pertamanya masuk kuliah. Pengalaman buruk sewaktu kecil, cukup membuatnya mengalami trauma berat sehingga harus menjalani terapi.
Jika beberapa orang—mungkin—merasa keren ketika memiliki teman khayalan, tapi tidak untuk Uniq. Baginya itu seperti mimpi buruk yang tidak ada habisnya. Belum lagi apabila sering dianggap aneh oleh orang lain atau teman sebayanya. Bahkan, keluarganya sendiri pun berpikiran hal yang sama.
Meskipun Uniq mencoba untuk menjelaskan apa yang dilihatnya dan dialaminya. Tapi, hal itu hanya dianggap sebagai halusinasi saja. Sungguh pengalaman yang sangat menyakitkan baginya.
Uniq menjerit kencang saat bayangan hitam itu menyentuh wajahnya. Ia jatuh terjerembap dengan bunyi berdebum yang keras. Hebat. Kini Uniq terbaring di lantai, menangkupkan wajahnya dengan posisi yang aneh. Betapa keras jeritannya hingga membuat seisi kelas hening dan dosen yang mengajar pun terdiam seketika.
Uniq perlahan bangkit dari posisinya saat itu dibantu oleh teman lain yang duduk di kanan dan kirinya. Dosen muda tadi berkata, “Kenapa Mba? Kelas saya membosankan, ya?”
“Tidak, Pak. Ini tadi saya kepleset.”
Ya Tuhan, alasan apa ini. Sungguh menjijikan sekali. Uniq mengerutkan wajahnya menyadari bahwa alasannya barusan benar-benar tidak masuk akal.
“Kok bisa?” tanya dosen itu lagi.
“Lantainya licin soalnya, Pak.”
Uniq benar-benar tidak tahu apa yang harus ia katakan. Alasannya itu membuat semua mahasiswa di kelas tersenyum dan tertawa geli. Sungguh kejadian ini sangat memalukan.
“Sudah. Sudah. Kalian diam semuanya,” ucap dosen itu mengambil alih kembali suasan kelas yang ramai. “Baiklah. Saya sudahi kelas pada hari ini dan jangan lupa membentuk kelompok untuk tugas yang sudah dijelaskan tadi. Selamat siang.” Dosen muda itu mengakhiri kelasnya lalu pergi meninggalkan mahasiswa yang ramai mencari teman berkelompok.
“Nama kamu siapa?” tanya dosen muda kembali ke dalam ruangan.
“Uniq, Pak.”
“Lain kali hati-hati kalau sedang belajar di kelas. Jangan kebanyakan melamun. Oke?”
“Baik, Pak. Terima kasih.” Aku berkata sembari menahan rasa nyeri di lutut.
Uniq membetulkan letak kursi yang terjatuh dan kembali duduk. Salah satu teman yang membatunya berkata, “Mau satu kelompok sama aku?”
“Boleh.”
“Kenalkan aku... Siska,” ucapnya.
“Uniq.”
“Wah, nama kamu unik ya? Sama seperti orangnya,” ujar anak lelaki berambut gimbal. “Bagas. Boleh satu kelompok, kan?”
Uniq memutar kedua bola matanya, sedangkan Siska mengangukkan kepala memberi senyum tipis menyambut satu orang baru lainnya ke dalam kelompok mereka. Ketiganya mulai berdiskusi tentang tugas yang baru saja diberikan seraya keluar dari ruang kelas.
Di kantin Uniq melihat jam tangannya yang kini telah menunjuk pukul sebelas. Melihat antrian panjang membuatnya menghela napas. Perutnya sudah mulai keroncongan minta segera diisi.
“Kalian mau pesan makanan apa?” tanya Bagas.
“Aku mau bakso,” kata Siska.
“Aku juga sama. Bakso,” kata Uniq.
Baru saja menempatkan bokong di atas bangku coklat di tengah ruangan ketika seseorang dari arah belakang Siska menyapa dan melambaikan tangan. Senyumnya berseri-seri membuat kedua matanya menyipit.
“Hai,” sapa gadis tersebut.
“Halo. Ada yang bisa dibantu?” tanya Siska. Wajahnya penasaran dengan kedatangan gadis tersebut.
“Amel..., dan kalau gak keberatan boleh gabung satu kelompok dengan kalian? Aku tadi yang duduk di sebelah kiri kamu. Kebetulan aku lihat kalian ke sini dan aku belum dapat kelompok. So, masih bisa kan aku gabung di kelompok kalian?” tanya Amel menjelaskan maksud kedatangannya pada kami.
“Boleh. Why not?” kata Bagas dengan senyum sumringah.
“Thanks.” Amel membalas tersenyum.
Uniq dan Siska paham dengan tingkah laku Bagas. Laki-laki mana yang tidak senang jika berada satu kelompok dengan seorang gadis cantik.
Well, kelompok Uniq kini genap berjumlah empat orang. Sembari menunggu pesanan datang keempatnya mulai mendiskusikan tugas masing-masing.
***