Aku berlari di kegelapan. Di antara deretan pohon jati dan burung malam yang berdecit nyaring. Napasku mulai tersengal hingga jantung berdenyut kencang ketika memompa darah, rasanya seperti akan meledak. Keringat sebesar biji jagung mengalir deras membanjiri tubuhku.
Aku tak sanggup bertahan untuk terus berlari menjauh. Kedua kakiku semakin gemetar. Aku membiarkan tubuhku jatuh di atas tanah kasar dan berbau lembab. Saat muncul bayangan hitam tepat di atas kepalaku. Samar terdengar bunyi bisikan lirih seperti menyebut namaku.
"Saga..."
Aku terbangun dalam posisi duduk tegak di atas kasur. Kedua tanganku mengepal selimut begitu erat. Terkejut dengan mimpi yang terasa begitu nyata. Aku mencoba untuk mengingat, menangkap setiap detailnya yang perlahan mulai menghilang. Yang kuingat hanya deretan hutan jati yang sangat luas... tak berujung... serta bayangan hitam ... yang muncul entah dari mana.
Terdengar suara teriakan seseorang lalu disusul oleh gedoran keras di pintu kamarku.
"Saga!" Teriakan ibu menggelegar. "Ayo cepat bangun sudah siang ini."
Membayangkan bagaimana raut wajah ibuku yang kesal membuatku bergidik. Sungguh akan menjadi malapetaka yang nyata saat dia muncul di pintu kamar dengan suara lembutnya. "Kamu gak ada kuliah hari ini?"
Aku merangkak lalu melompat dari tempat tidur. Tanganku masih gemetar. Perlahan aku mencoba menata kembali napasku agar lebih tenang dan teratur. Aku tidak ingin membuatnya khawatir mendengar mimpi yang sama setiap malam.
"Mimpi lagi?" tanya ibu sembari mengusap kepalaku—saat menangkap sesuatu yang sedang kusembunyikan. Namun aku menggelengkan kepala.
Sejak dulu ibu memang sangat suka bermain dengan rambutku yang kasar. Terkadang dengan nada bercanda dia berkata bahwa jenis rambutku ini sangat langka—menariknya hingga membuatku sedikit kesakitan. "Duh!"
Aku berusaha untuk tidak terlalu menanggapinya. Meski hal itu bukan masalah bagiku, tapi untuknya tetap menjadi suatu hal yang penting. Aku sangat mengenalnya, sebagaimana dia sangat memahami kedua anak-anaknya. Apa pun yang dia lakukan sebenarnya untuk membuat kehidupan kami selalu baik-baik saja.
Aku menggaruk sisi kanan kepala yang sebenarnya tidak terlalu gatal. Sambil merapikan rambut yang berantakan di depan cermin, aku menarik handuk yang tersampir di kursi samping rak buku.
Di dalam kamar mandi aku masih mencoba untuk mengingat potongan-potongan mimpi yang masih samar. Kali ini mimpi itu sungguh terasa nyata bagiku. Aku bersandar di dinding kamar mandi mencoba untuk menyeimbangkan tubuh. Dinding kamar mandi yang dingin ternyata cukup membuat perasaanku sedikit tenang. Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya sedikit keras. Detak jantung kembali normal. Aku memutar kran pancuran, dinginnya air yang mengalir di pagi itu membuat kepalaku terasa lebih ringan dan segar.
Tiga puluh menit kemudian, aku sudah berada di depan meja makan. Ibu menyiapkan nasi goreng seafood pedas lengkap dengan gorengan tempe dan kerupuk udang. Sungguh menu sarapan yang istimewa. Tanpa perlu berlama-lama segera aku menyantapnya dengan lahap.
"Hari ini Rayi ada kegiatan ekskul lagi, Ma?" tanyaku sambil menyuap sesendok penuh nasi goreng. Rasa pedasnya langsung pecah di mulut bercampur dengan aroma bumbu penyedap yang menggoda.
"Katanya sih gak ada," ujar ibu yang sibuk menyiapkan minuman. "Tapi, nanti sore sehabis pulang sekolah mau langsung pergi dengan teman-temannya."
"Kemana?" tanyaku penasaran.
"Mama juga gak tau. Dia gak bilang ke Mama."
"Harusnya Mama tanya ke mana anak itu pergi dengan teman-temannya."
"Mama sudah tanya, tapi dia buru-buru pergi saat Sion jemput." Kata Ibu sembari memberiku segelas es teh.
"Nanti Saga chat Rayi kalau gitu, Ma."
"Iya." Ibu merespon singkat.
Sejak kepergian ayah beberapa tahun yang lalu aku berusaha untuk menjaga ibu dan Rayi, adikku satu-satunya. Pagi yang cerah saat ayah mengabarkan berita bahwa mendapatkan promosi sebagai kepala divisi di sebuah perusahaan asing. Aku dan Rayi sangat senang karena di hari itu ayah mengantar kami ke sekolah.
Sepanjang perjalanan ayah selalu menyempatkan memberi nasihat untuk belajar dengan rajin, terus memiliki mimpi dan harapan di setiap doa.
Ayah menyetel lagu yang ceria, melontarkan beberapa candaan kecil yang menurutku tidak terlalu lucu, tapi kami tetap tertawa tanpa tahu alasannya. Bahkan, Rayi kecil yang pendiam pun ikut tersenyum. Lalu sedetik kemudian peristiwa yang sangat mengejutkan terjadi ... membuatkan kami melayang dan terhempas begitu saja.
Di antara kesadaranku yang perlahan mengibas pergi. Aku melihat bayangan hitam berkerumun membentuk sebuah lingkaran di atas tubuh ayah dan Rayi. Terdengar suara gaduh di kejauhan mengatakan sesuatu yang tidak aku pahami. Seseorang dengan langkah berat menghampiriku, wajahnya buram dan dia seperti bergumam.
Terjaga di siang hari yang terasa panas, aku mendapat kabar bahwa ayah telah meninggal. Karena mengalami trauma, aku sudah tidak sadarkan diri selama beberapa hari akibat peristiwa kecelakaan di pagi itu. Ini membuatku menjadi lebih sensitif ketika menyadari ada banyak hal terlewat tanpa aku ketahui.
Saat jarum jam sudah menunjuk angka sepuluh, segera aku pamit pergi ke kampus. Hari ini adalah jadwal technical meeting untuk acara makrab yang akan diadakan seminggu lagi.
Aku mengeluarkan sepeda motor hitam dan melaju menuju Universitas Ganesha.
Di pertengahan perjalanan perutku tiba-tiba saja mulas. Entah karena makanan pedas atau reaksi dari kenangan tentang ayah. Aku terhenti di traffic light, menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Pada saat itulah aku mencium wewangian yang sangat familier seperti aroma parfum musk bercampur cedarwood yang hangat.
Ayah... aku berucap perlahan, melirik ke samping kiri tampak sebuah mobil Chevy tua yang bahkan sebagian catnya sudah terkelupas. Di dalam kendaraan itu tergantung penyegar udara berbentuk persegi, dan lelaki tua dengan wajah seperti sedang menahan kantuk. Aku ragu untuk mendekat dengan maksud sekedar memeriksa bagaimana kondisinya.
Sesekali aku melirik lampu jalanan yang masih berwarna merah. Hingga akhirnya aku putuskan untuk mengetuk saja kaca jendela mobil yang terbuka setengah bagian itu.
Baru saja aku akan mengangkat tangan mobil itu sudah bergerak. Tak berapa lama terdengar suara hantaman yang sangat keras. Brak!
“Awas—”
Aku terkejut saat seseorang menepuk pundak dengan kencang. Dia memandang penuh keheranan melihat kedua tanganku yang terulur ke depan. “Mas? Kenapa?” katanya.
Suasana canggung itu sontak membuatku malu. Beberapa pengendara menatapku dengan pandangan aneh, sebagian lainnya tersenyum seraya diam-diam mencuri lirikan ke arahku, lainnya memprotes dengan membunyikan klakson.
Seorang pengendara meneriakiku, “Ayo maju, Mas!”
Aku bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Jelas-jelas mobil Chevy itu hancur terseret karena ditabrak oleh truk tronton besar. Namun yang kini aku lihat mobil itu tengah melaju santai berserta kendaraan lainnya.
Aku bergegas menyusul mobil tua berwarna kuning pudar dengan dempul putih tebal menghiasi beberapa sisi di bagian belakang. Saat motorku dan tempat duduk supir telah sejajar, aku melirik ke arah jendela samping. Betapa terkejutnya aku bahwa yang berada di balik kemudi bukanlah lelaki tua, melainkan seorang pria yang masih muda.
Aku melambatkan laju motor, menepi dan mematikan mesin, mencerna peristiwa aneh yang terjadi. Perasaan tidak nyaman kembali menjalar di dadaku. Perutku mual.