Saat aku mengintip dari balik dinding yang memisahkan ruang depan dan ruang dalam, aku sempat terpana. Wah, cakep juga orangnya. Pantas Kak Tina ngotot pengen pacaran dengannya!
“Ehm!” Aku berdehem ketika sudah berdiri di sampingnya.
Dia jadi kaget karena tadi asyik memandangi akuarium yang ada di sudut ruangan.
“Oh, maaf, saya tidak lihat. Kenalkan, nama saya Budi. Saya temennya Tina,” kata Budi sambil menyalami aku.
“Temen atau pacar?” godaku.
Wajah Budi tersipu-sipu.
“Kamu…?”
“Aku Asti, adiknya Tina. Silahkan duduk…!”
“Terima kasih!”
Kami duduk berhadapan. Aku jadi tersipu malu saat pandangan mata Budi menyapu diriku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Perasaanku jadi berdebar-debar sendiri.
“Dik Asti sekolah di mana?” tanya Budi kemudian.
“Saya sekolah di SMA Negeri 1, sudah kelas duabelas,” jawabku kalem.
“Wah, sebentar lagi lulus. Mau nerusin ke mana setelah lulus?”
“Belum tahu, Mas. Belum dipikirkan…”
“Kok belum dipikirkan. Memang dik Asti tidak punya cita-cita?”
“Punya, Mas. Tapi… gimana ya? Takut tidak kesampaian saja…”
“Jangan suka ragu. Karena keraguan itu sudah merupakan bagian dari kegagalan. Jika kita punya tujuan, maka kita harus berusaha dengan sekuat tenaga mencapai tujuan itu. Apapun resiko yang harus dihadapi. Karena bisa meraih apa yang kita impikan, itu akan membuat kita puas dan bahagia!”
Aku tersenyum mendengar kata-kata Budi yang bijak. Kayaknya Budi orangnya enak diajak ngobrol. Pintar dan berwawasan luas. Pantas Tina memilihnya menjadi pacar.
Tapi sayang, aku tak bisa berlama-lama ngobrol dengan ‘calon iparku’ itu. Tiba-tiba Tina sudah berdiri di sampingku, menampakkan wajah cemberut.
“Hei, ngapain kamu di sini. Ayo, ke belakang sana, bantu Ibu!” bentak Tina dengan nada ketus.
Aku beranjak dari tempat dudukku.
“Sori ya, Mas. Aku tinggal ke belakang. Ada tugas memanggil. Bye…!” ujarku sambil melambaikan tangan pada cowok handsome itu.
“Ih, ganjen amat, sih. Ayo, sana pergi!” Tina jadi kesal melihat tingkahku.
Sementara Budi malah tersenyum. Aku senang melihat senyumnya. Lebih senang lagi saat mendapati matanya masih terus menatapku hingga di ujung pintu. Dan kurasakan detak jantungku berdebar hebat.
Ya, Tuhan. Ada apa denganku? Belum pernah aku merasakan debar aneh seperti ini sebelumnya, bahkan terhadap Restu, cowok paling cakep di sekolahku. Apakah ini artinya aku…ah, kutepis jauh-jauh pikiran itu!