Ohh kasur..
Ohh bantal..
Ohh selimut..
Selimut yang beberapa bulan masih belum ku cuci. Jadi rencanaku yang masih wacana. Seperti beberapa pasang sepatu yang tertunda dicuci, kamar yang terhiasi sarang laba-laba rapuh di ujung plafon, tumpukan barang di rak meja belajar yang belum diorganisir.
Mereka jadi tumpukan dari pekerjaan yang tertunda olehku.
Jendela yang basah karena air hujan, semakin memberatkan badan beranjak dari kasur di hari Sabtu. Waktu yang begitu brilliant di akhir pekan yang jadi tujuan utamaku setiap berjumpa Senin. Setiap pagi ku ucap, semoga lekas Jumat.
Siklus kelelahan yang di mulai pada Senin, semakin curam dan naik drastis di Selasa, memuncak di hari Rabu, landai di hari Kamis, dan tertatih turun perlahan di Jumat sore. Targetnya adalah Sabtu. Sedang Minggu adalah pancaroba dan kemelut.
Hati-hati yang entah ingin disudahi berkali-kali. Namun, berulang kembali.
Sejak kapan ku katakan ingin JUJUR? Sengguhnya sebelum jujur pada insan lain, Aku lebih bertanggung jawab jujur pada diriku sendiri. Kejujuran yang terus menerus ku hindari. Karena menghindar, aku pikir diriku masih bisa bertahan. Jika menghadapi kejujuran, aku takut. Hancur dalam diriku yang susah payah ditutupi dari mata mereka, nanti terlihat.
Kehancuran yang sulit ku bangun kembali. Setiap kali aku kira mampu, ternyata rusaknya di setiap sisi. Dari mana yang harus ku perbaiki??
Tanganku bahkan tak mampu terangkat untuk membangunkan diriku yang telah lama meratap.
Sepertinya cuaca mendung terlalu lekat pada hari-hari. Sekuat tenaga ku kelabui dengan cerah saat berjumpa dengan manusia lainnya. Tapi mendung, terlalu lama berteman denganku.
Suara getar dari Hp yang ku letakkan di meja tidak kunjung henti. Entah panggilan ke berapa. Tidak ku angkat, karena aku tau bukan aku yang dicari.
Ah! Mungkin aku terlupa untuk menyalakan mode do not distrusb lagi.
Panggilan yang disebabkan orang lain. Tapi belasan hingga puluhan kali aku yang dicari setiap hari.
Sedikit cerita kemarahanku pernah memuncak, namun siapa yang peduli? semuanya sudah sibuk sailing menyembuhkan Luka diri.
Lagi dan lagi diriku yang ingin membangun kekuatan, ibarat tembok yang kembali dihancurkan. Entah dengan sengaja atau tidak, kerusakannya sudah lama parah.
Dari mana harus ku perbaiki?
Waktu sebulan itupun berlalu, hingga tinggal seminggu lagi.
Apa dia benar-benar menunggu?