Tapi tidak berlangsung lama, perasaan itu kembali, setiap aku merasa memiliki interaksi lebih pada suatu hubungan.
Takut. Saat aku menyadari hubungan itu, aku takut kehilangan. Kehilangan yang pasti, kehilangan yang tidak bisa dielak, kehilangan karena habis batas waktu, atau kehilangan karena memilih pergi.
Kelak hilang. Tidak ada lagi untukku. Jika itu suatu yang berwujud namun tidak hidup. Kehilangan yang dimaksud, bisa jadi karena rusak tidak bisa digunakan lagi, berpindah kepemilikan, dibuang, atau dikembalikan ke pemilik semula.
Kelak hilang. Jika itu seseorang dalam kehidupanku, bisa jadi karena pergi atau sudah saatnya kembali dan meninggalkan.
Pada akhirnya tidak ada yang benar-benar dimiliki, karena yang sedang dimiliki itu sifatnya sementara. Bukan selamanya.
Ketakutanku. Apakah bagian dari ketamakan?
Ketamakan karena ingin memiliki. Semakin ingin, membuatku semakin takut.
Menyesakkan.
Saat kembali berpikir jernih, pikirkan dalam kondisi tenang, ketakutanku ini perlahan bisa diatasi. Aku perlu...
Ikhlas. Keikhlasan yang jadi penyembuh takut akan kehilangan.
Ikhlas. Banyak perkataan yang ku dengar untuk mendefinisikan, mengajarkan, melatih, memaknai prosesnya yang tidak memiliki batas waktu pasti.
"Ikhlas," tergumamkan olehku.
Walau terucap pelan, sepertinya terdengar.
Beberapa detika dia melihatku, lalu pandangannya kembali pada semangguk sekoteng di tangannya.
Satu suapan diberikan padaku.
Aku tidak ingin berekspekati padanya. Mengartikan tindakan-tindakan absurd dengan pemikiranku.
Saat ini, apapun itu yang aku butuhkan adalah sesuatu yang jelas. Tidak menerka-nerka memakan waktu. Jika dugaanku salah, rugilah aku. Karena pengalaman itu mahal.
"Setelah pulang, baiknya direnungkan lagi. Biar tidak terus mengulur waktu. Bulan depan kita bertemu lagi dengan keputusan," katanya dengan sikap.
"Baik. Aku setuju. Bulan depan kita bertemu."