Read More >>"> Rumah (Sudah Terbit / Open PO) (Bab 13) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Rumah (Sudah Terbit / Open PO)
MENU 0
About Us  

“Assalamu’alaikum!”


Bara melambaikan tangannya sambil menjawab salam dari Fajar yang kini sudah melajukan motornya menuju kampusnya. Hari ini, Fajar akan sidang skripsi. Sesuatu yang seharusnya Bara tidak perlu terkejut dengan hal itu. Semua mahasiswa akan mengalaminya bukan? Tapi tetap saja Bara masih kaget. Selain karena Fajar yang terlihat jarang me-ngerjakan skripsinya, Bara juga kaget karena orang itu adalah Fajar.


Si nomor tiga itu lalu menyelesaikan menyapu teras lalu memasukkan sampah-sampah ke dalam tempat sampah berwarna biru di dekat pagar rumah buatan Guntur sebelum akhirnya melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Gala, Bintang dan Guntur belum berangkat. Masih ada waktu setengah jam lagi sebelum mereka berangkat ke sekolahnya. Itulah kenapa Guntur dan Bintang masih terlihat duduk manis di sofa ruang tengah sambil menonton kartun sedangkan Gala masih sibuk menggoreng ikan asin di dapur. Bara melangkahkan kakinya menuju sofa ruang tengah, memilih untuk bergabung dengan Guntur dan Bintang di sana. Namun belum sempurna ia duduk di sofa, wajah bingung Mas Bumi yang baru keluar dari kamar Mama menarik perhatiannya.


“Kenapa Mas?” tanya Bara beberapa saat setelah ia sampai di depan Mas Bumi. Si nomor tiga itu lalu mengintip sedikit ke dalam kamar Mama lewat cela pintu.


“Mama nggak bangun-bangun Bar,” jawab Mas Bumi sepelan mungkin. Sebisa mungkin tidak membuat keributan. Sedangkan Bara mengernyit.

“Nggak bangun-bangun gimana Mas?”


Mas Bumi menggeleng. Ia sendiri juga tidak tau kenapa. Belum pernah Mama seperti ini. Biasanya Mama akan menggerakkan tangannya jika memang belum mau makan atau masih mau tidur. Tapi kali ini Mama hanya diam. Tidak bergerak. Mas Bumi terlihat gusar sekali saat ini, berbanding dengan Bara yang terlihat sangat bingung.


“Bentar, biar gue periksa,” ucap Bara sesaat sebelum akhirnya melewati Mas Bumi dan memasuki kamar Mama. Bara ini dulunya anggota PMR, jadi sedikit banyak Bara tau tentang ilmu kedoteran.


Mas Bumi menggigit kukunya pelan. Si nomor dua itu menatap tak tentu arah, gusar. Ia benar-benar gelisah saat ini. Melambungkan do’a-do’a yang ia ucapkan dalam hatinya. Berharap apa semuanya hanya mimpi. Berharap Mama akan bangun lalu Mas Bumi akan menyuapinya bubur seperti biasanya. 


Namun sepertinya, semesta kembali menguji mereka. Bara menyentuh pelan pergelangan tangan Mama, berharap menemukan denyut nadi Mama. Tak mendapat hasil, Bara lalu memeriksa di tempat lain dengan harapan yang sama. Bara mencelos, seharusnya seperti ini saja sudah terlihat seperti apa hasilnya. Tapi Bara belum mau menyerah. Ia lalu menjulurkan jari telunjuknya, memeriksa apakah ada sedikit udara yang keluar dari hidung Mamanya. Bara mengusap kasar wajahnya.

Padahal sudah jelas bagaimana keadaannya, tapi dorongan kuat dari hatinya justru membuatnya semakin tertampar oleh kenyataan. 


Mama sudah pulang.


Nafas Bara menggebu-gebu, melakukan hal sia-sia seperti menahan air matanya yang sudah sedari tadi turun tanpa seizinnya. Dengan sisa tenaga yang ia punya, Bara lalu berjalan gontai menuju pintu kamar yang semakin membuat hatinya sakit, menemui Mas Bumi yang kini menatapnya harap. Bara tak mengatakan apa-apa. Pun juga dengan Mas Bumi yang tidak bertanya apa-apa. Apa pula guna bertanya jika semuanya sudah jelas.


“Enggak Bar, Mama masih tidur,” ucap Mas Bumi sambil menerobos Bara yang masih berdiri di ambang pintu. Si nomor dua itu kembali duduk di samping ranjang Mama. Menggoyangkan lengan Mama pelan sambil memanggil pelan namanya. Guncangan di lengan Mama semakin keras sebab Mas Bumi yang tak mendapat jawaban apapun seperti biasanya. Mas Bumi kalut.

Bara dengan cepat masuk dan menarik lengan Mas Bumi yang langsung ditepis kasar oleh pemiliknya. “Mas udah Mas,”
“Apanya yang udah? Mama nggak kenapa-kenapa,” ucap Mas Bumi sambil menatap tajam ke arah Bara. Mas Bumi kembali menggoyangkan lengan Mama sambil memanggil-manggil Mama seperti biasanya.


“Mas udah Mas, Mama udah pulang Mas,” ucap Bara sedikit menaikkan suaranya sambil melepas paksa tangan Mas Bumi dari lengan Mama. Kali ini Mas Bumi tidak melawan, si nomor dua itu lalu terduduk lemas di samping ranjang Mama. Pandangannya kosong.
Hening. Kamar Mama benar-benar hening saat ini. Bahkan suara isak Bara pun tak terdengar. Bara sudah cukup sakit hati ketika mendapati Mama sudah berpulang. Melihat Mas Bumi yang hanya diam tanpa sepatah kata atau air mata, Bara merasa lebih terluka dari sebelumnya. Sekuat mungkin, Bara menempatkan dirinya duduk di samping Mas Bumi yang sedari tadi diam. Tangannya menepuk pelan punggung Mas Bumi. Menangislah Mas Bumi, kau kan juga manusia.


Bukan bagaimana hari-harinya tanpa Mama yang ia risaukan, bukan pula kenangan indahnya bersama Mama yang terlintas di benaknya. Tapi bagaimana adik-adiknya jika Mama berpulang. Bagaimana cara memberitahu mereka. Terlebih Guntur dan Bintang yang paling sering mengatakan rindu pada Mama. Lalu bagaimana dengan Bara dan Gala yang wisudanya tak di hadiri oleh orangtua mereka? Dan Fajar...


“Bara, Fajar Bar.” Mas Bumi menatap harap kepada adik pertamanya di depannya. “Fajar lagi sidang Bar, Fajar belum makan.”


Bara masih diam di tempatnya. Ia masih mencoba untuk mencerna ucapan Mas Buminya walau sebenarnya ia sudah paham apa yang Mas Bumi maksudkan. “Tolong lo jemput Fajar kalo dia udah selesai Bar, ajak dia makan dulu sebelum pulang. Fajar kalo sedih nggak mau makan.”


Mas Bumi, bisakah kau setidaknya menangis sebentar sebelum mengkhawatirkan orang lain? Tak hanya mereka yang kehilangan, lo juga ditinggalkan Mas. Menangislah Mas. Katakan bahwa semuanya tidak mungkin terjadi. Katakan bagaimana dirimu jika tanpa Mama Mas. Berdukalah sebentar Mas, jangan memikirkan duka orang lain dulu. Kau terlalu banyak mengalah Mas.


“Pastiin dia makan dulu, biar gue ngurus yang di rumah,” ucap Mas Bumi sambil bangkit dari duduknya. Sesaat kemudian si nomor dua itu merogoh sakunya dan mengeluarkan selembar uang seratus ribu untuk ia sodorkan kepada Bara.


“Iya,” ucap Bara pelan sambil mengambil uang yang disodorkan oleh Mas Bumi. Bara lalu bangkit, mulai melangkahkan kakinya keluar kamar. Namun langkahnya terhenti ketika melihat Guntur dan Bintang sudah berdiri di depan pintu kamar Mama. Tenggorokannya tercekat melihat Guntur yang sudah menatapnya dengan pipi basah, berbeda dengan Bintang yang masih menatap datar Mama dari depan pintu. Tak sampai hati, Bara segera melangkahkan kakinya keluar rumah.


“Mas, Mama...”


Mas Bumi tidak menjawab. Ditatapnya wajah Guntur yang sudah sembab. Pem-bicaraan Bara dan Mas Bumi terdengar sampai luar ruangan. Tak perlu sepatah katapun dari Mas Bumi untuk membuat mereka paham bahwa Mama sudah pulang. Pulang ke rumah-Nya. 


“Guntur, Bintang, sekolahnya izin dulu ya? Nanti Mas yang ngizinin-“ Mas Bumi menghentikan ucapannya ketika Guntur melangkah perlahan memeluknya. Menumpahkan segala kecewa dan sedihnya di sana. Sedangkan Bintang, anak itu lalu masuk ke dalam kamar Mama. Diusapnya kasar pipinya, menghalau air mata yang keluar.


“Mama sudah tidak sakit. Mama sudah pulang,” gumamnya. “Bintang udah lama nggak salim sama Mama kalo mau pergi  kemana-mana. Jadi sebelum Mama bener-bener pulang, Bintang mau salim dulu ya Ma.” Bintang mengulurkan tangannya, menyambut tangan dingin Mama. Diciumnya tangan Mama sedikit lebih lama daripada biasanya. Sebab ini adalah terakhir kalinya ia melakukan ini. Tak ada lagi kesempatan lain. Sebab Mama sudah pulang.


“Tunggu Bintang di sana ya Ma,” bisiknya pelan.


Rumah Pak Surya pagi ini suram sekali. Tak peduli betapa terangnya matahari bersinar. Tak peduli betapa cepatnya waktu berjalan. Tangis Guntur seakan menghentikan segalanya. Permohonan Bintang seakan meredupkan segalanya. Bahkan tangisan pelan Gala yang mencoba menyibukkan dirinya dengan tumpukan piring kotor seakan menjelaskan segalanya. Bahwa mereka berduka. Bahwa mereka putus asa.
Ramai jalan raya seakan tak mampu meredam berisik kepala Bara pagi ini. Berkali-kali ia melihat ke arah spion motor Fajar untuk memastikan tak ada tanda duka di wajahnya. Si nomor tiga itu duduk dengan gelisah di atas motor Fajar, memikirkan dialog apa yang harus ia gunakan ketika Fajar datang nanti. Bagaimana cara mengatakan bahwa Mama sudah pulang. Bagaimana ini bagaimana itu. Bara frustasi. Sedikit banyak ia khawatir dengan keadaan di rumah. Apa Guntur sudah berhenti menangis? Apa Gala juga menangis? Apa Bintang baik-baik saja? Bara masih tenggelam dalam lamunannya ketika Fajar datang dengan wajah cerah seketika menyadarkannya.


“Loh, kok kesini?” tanya Fajar sambil menepuk pelan bahu Bara yang sedang berusaha menahan tangisnya.


“Jemput lo,” ucap Bara singkat sambil memberikan helm kepada Fajar sesaat sebelum memakai helmnya sendiri.

Tanpa banyak bicara, Bara mulai menyalakan mesin motor. Mengabaikan Fajar yang sedang berbunga-bunga sebab sidang skripsinya yang lancar.


“Langsung pulang?” 


“Makan dulu,” jawab Bara sambil melajukan motornya. 


Motor mereka berhenti di depan warung nasi bebek kesukaan Fajar di jalan Kalianak. Fajar jelas senang sekali mengetahui Bara ternyata mengajaknya makan di tempat langganannya. Setelah sidang skripsi yang berjalan lancar, sepertinya makan nasi bebek juga termasuk kebaikan di hari Jum’at yang berkah ini. Hanya Fajar yang makan, Bara lebih memilih memainkan ponselnya. Tidak lapar katanya. 

Sepanjang perjalanan, Fajar menceritakan bagaimana ia menjawab soal dari dosen penguji dan betapa bahagianya ia ketika ia berhasil menjawab semua pertanyaan dosen tanpa ada yang kurang sedikitpun. Namun binar di matanya sedikit meredup ketika motor mereka memasuki komplek. Di depan sana, ia tau itu rumahnya. Tapi kenapa ada banyak orang?


“Jar, maafin gue,” ucap Bara sambil menghentikan motor mereka tepat di depan pagar rumah mereka. Dari sini, terlihat betapa sesaknya teras rumah mereka. Menunjukkan betapa ramainya rumahnya saat ini.


Belum sempat menanyakan kenapa Bara meminta maaf, Fajar terlebih dulu kebingungan melihat betapa ramainya rumahnya. Ditambah dengan keranda yang terletak tak jauh dari teras rumah mereka. Si nomor empat itu lalu turun dari motor sambil melepas kasar helm dari kepalanya. Fajar tak tau apa yang terjadi. Lebih tepatnya tidak mau mengerti apa yang terjadi. Dengan segera, laki-laki itu menghampiri seseorang yang duduk diam di kursi bambu dekat pohon mangga di halaman rumah. 


“Gala, ini kenapa? Kok rame?”


Namun bukannya menjawab, Gala malah diam tak berkutik. Tatapannya kosong. Menunjukkan bahwa tak ada yang baik-baik saja disini. Fajar menggeleng, ada banyak kemungkinan yang muncul di kepalanya. Suara berisik di kepalanya seakan mencekiknya perlahan. Dengan segera ia langkahkan kakinya masuk ke dalam rumah hanya untuk membuat lututnya lemas tak terkira. Mas Bumi yang berdiri di pojok ruangan, Guntur yang duduk sambil menangis dengan Bintang yang hanya diam di sana. Dan Mama yang terbaring di tengah kerubungan orang-orang.
Mas Bumi di pojok ruangan, diam tak banyak bicara. Fajar yakin sekali Mas Bumi pasti bisa menjelaskan padanya apa yang terjadi. Jadi dengan langkah cepat, Fajar berjalan menghampiri Mas Bumi yang kini menatapnya sendu.


“Mas, ini kenapa? Mama kok tiduran di tengah gitu?” tanya Fajar sambil menggoyang pelan lengan Mas Bumi. Kakaknya itu tidak banyak bicara. Hanya melepas pelan tangan Fajar di lengannya lalu mengangguk sebagai jawabannya. Sedangkan Fajar, menggeleng pelan. Bukan anggukan yang ia butuhkan. Ia butuh penjelasan. Tidak, ia butuh pernyataan bahwa Mama hanya bosan di dalam kamar. Ia butuh pernyataan bahwa Mama baik-baik saja.


“Enggak.” Fajar lalu beralih menuju Mama yang sudah terpejam matanya sejak tadi. Mengguncang pelan lengan Mamanya yang cantik itu. “Ma, bangun Ma, Fajar udah selesai sidang loh Ma.”
Fajar menahan sekuat tenaga air matanya. Menyangkal sesuatu yang bahkan sudah terlihat jelas di depan mata.

“Bangun ya Ma... Fajar mau wisuda loh Ma...” Sia-sia, Fajar bahkan tak melihat satu jaripun yang bergerak dari Mama. Fajar terus menggoyangkan lengan Mama, berharap sebuah keajaiban walau ia sendiri tau bahwa itu tak mungkin.


“Udah Mas...” ucap Bintang sambil menggenggam tangan Fajar. Kembali mencoba menarik Fajar setelah terlalu lama tenggelam dalam angan-angan. 


Tak banyak menolak, sepertinya Fajar sendiri sudah tau bahwa apa yang ia lakukan benar-benar sia-sia. Pandangannya kembali ia edarkan. Dilihatnya kembali Gala yang masih diam di kursi bambu di halaman rumah. Guntur yang masih menangisi Mama. Bintang yang kini diam-diam terisak sambil menggenggam tangannya. Mas Bumi yang masih berdiri di ujung ruangan. Semuanya sudah jelas seharusnya. Seharusnya. Tapi Fajar benar-benar belum sanggup menerimanya.


“Ma... Mama bilang mau hadir di wisudanya Fajar kan? Kenapa pulang duluan?” 


Mas Bumi masih diam di tempatnya ketika Bara berjalan ke arahnya. Bara menatap dalam mata Mas Bumi yang tidak sekalipun meneteskan air mata. Bara tau pasti bukan berarti Mas Bumi tak berduka. Terlihat jelas di matanya, ada kehidupan yang hancur disana. Berbeda dengan dirinya yang sudah terlihat sembab matanya.


“Mas, lo gapapa?” tanya Bara memperhatikan Mas Bumi yang masih diam di tempat-nya. Dijawab dengan anggukan, Bara semakin merasa hatinya remuk melihat jawaban Mas Bumi yang berlainan dengan keadaannya.


“Nangis aja Mas,” ucap Bara. Kali ini, Mas Bumi menatapnya. Menggeleng pelan. “Nggak Bar, Nggak bisa. Kalo gue nangis, nanti yang diemin mereka siapa?”


Bara mengusap kasar wajahnya. Kembali melihat wajah Mas Bumi yang kini terlihat memerah. Tidak mungkin Mas Bumi tidak menahan tangisnya. Tidak mungkin Mas Bumi tidak lebih hancur dari mereka. Tidak bisakah Mas Bumi egois untuk sekali saja?

Sepersekian detik kemudian merangkul tubuh lelah Mas Bumi. Berharap, Mas Bumi mau walau untuk sekedar menghela nafas panjang agar ada duka yang bisa ia lampiaskan. “Nangis Mas, biar gue tau lo manusia.”


Bara tak tau apa yang terjadi sampai ia merasa bahunya basah. Diliriknya Mas Bumi yang masih diam. Atau menangis dalam diam lebih tepatnya. “Gue sedih Bar. Rasanya kosong. Gue selalu gagal Bar, sebagai apapun. Gue nggak pernah bisa nggantiin posisi Bapak sebagai tulang punggung keluarga, gue juga nggak pernah bisa nggantiin posisi Mas Langit sebagai kakak paling tua. Harapan terakhir gue ada di Mama Bar. Gue pingin sekali aja bikin Mama seneng. Gue pingin bawa Mas Langit pulang biar Mama nggak sakit lagi. Tapi ujung-ujungnya gue gagal lagi, Mama pulang sebelum bisa liat wajah Mas Langit Bar.”


Bara tidak tau sesakit apa dan seberat apa bahu Mas Bumi saat ini. Mendengarnya menangis sambil mengeluarkan semua yang menjadi beban pikirannya selama ini benar-benar membuatnya seakan ikut merasakan rasa sakit itu.


“Mas, lo nggak harus jadi orang paling hebat untuk jadi orang yang membanggakan. Lo nggak harus nanggung semua beban sendirian Mas. Lo nggak harus memenuhi ekspetasi semua orang untuk jadi orang hebat. Lo udah bertahan sejauh ini Mas, lo hebat.” Memangnya apa lagi yang bisa Bara ucapkan selain ini? Rasa sakit yang Mas Bumi alami saja tidak bisa ia bayangkan. Lalu apa lagi yang bisa ia ucapkan?


“Bagi bebanmu ke gue Mas, biar kita tanggung bareng-bareng. Bawa luka lo kesini, biar gue obati. Karena lo nggak pernah sendirian Mas.”


Karena kau tak pernah bisa selalu mengandalkan dirimu, Mas Bumi. Jangan susah-susah menanggung beban seberat itu sendiri.


+++


Ada banyak kisah tak tertulis tentang sedalam apa mereka berduka. Tentang Guntur yang belajar berjalan sendiri tanpa Mama. Tentang Bintang yang mulai memahami arti hidup dan mati. Tentang Gala yang tak mengerti kemana ia harus pergi. Tentang Fajar yang sedikit banyak mulai menerima keadaan. Tentang Bara dan Bumi yang saling mengerti. Ada banyak yang berubah setelah kepulangan Mama. Seperti tataan rumah yang sedikit diubah agar tidak terlalu meninggalkan luka. Atau cat rumah yang berganti warna dari merah muda menjadi biru muda. Ada juga yang tidak berubah setelah kepulangan Mama. Seperti perasaan yang ditinggalkan, kamar Mama yang tetap terkunci, dan Mas Langit yang tak tau kemana.


Sudah berjalan sepuluh bulan setelah pulangnya Mama. Keadaan rumah tak berbeda jauh daripada sebelumnya. Meja makan masih menjadi tempat paling ramai sejauh ini. Walau terkadang berujung mereka yang terdiam setelah tak sengaja mencuri pandang ke arah pintu kamar Mama. Aura berduka kerap mereka rasakan. Terkadang Guntur menangis diam-diam sebelum tidur. Atau Fajar yang belum juga mendaftar wisuda. Padahal mereka kira ditinggal Mama tak akan sesakit ini walau mereka jarang bertemu selama empat taun terakhir. Tapi nyatanya rasa sakit ditinggalkan itu tetap ada. Sebab tidak pernah ada perpisahan yang indah. Seindah apapun perpisahan, banyak sedikit tetap akan meninggalkan rasa sakit yang mendalam.


“Jadi gitu Mas,” Gala menyelesaikan ceritanya sesaat sebelum melahap potongan tahu goreng tepung buatan Mas Bara. Si nomor tiga itu (jujur yang lainnya juga bingung kenapa) akhir-akhir ini jadi suka membantu Gala di dapur. Entah itu membantu menggoreng, mengupas bawang, memotong sayur, sampai membantu do’a. Tapi paling sering Mas Bara bantu bengong sih. Dan kali ini, Mas Bara mengidekan akan menyiapkan makan malam ini. Katanya sih biar Gala bisa ngerasain gimana rasanya gabut di meja makan. Dan jadilah tahu goreng tepung keasinan dan sambel tomat kemanisan yang baru dilahap Gala barusan.


“Ah, gimmic doang itu mah, jangan percaya,” ucap Fajar sambal mengusap dagunya. Lagaknya seperti orang yang sedang mencari tau tentang rahasia negara. Padahal mereka hanya membahas siapa dalang di balik konspirasi pencurian sarung Pak Danang yang di jemur di teras rumahnya.


“Kalo kata gue, Pak Udin mencurigakan sih,” Guntur angkat bicara setelah sekian lama diam memperhatikan kakak-kakaknya berdebat mengenai siapa tersangka utamanya.


“Kok jadi Pak Udin sih? Kan beliau yang bantuin Pak Danang nyari pelakunya,” protes Bintang membela diikuti oleh anggukan yang lainnya. Sedangkan Guntur hanya mengangguk sambal mengangkat tangannya. Membuat Fajar yang melihatnya tiba-tiba teringat Pak RT ketika mau membagikan sembako. 


“Gini ya bapak-bapak, kan lo pada bilang kalo yang pertama kali nyadar kalo  sarungnya Pak Danang yang dijemur di teras hilang itu Pak Udin kan? Pertanyaannya, kok bisa Pak Udin sadar kalo sarungnya ilang?” tanya Guntur dengan wajah songong abis. Si bungsu itu kini menatap satu-persatu saudara-saudaranya dengan tatapan yang seolah mengatakan ‘gimana hayo…’ kepada saudara-saudaranya.
“Lah kan gaada di teras sarungnya, ya berarti hilang dong,” bantah Bintang yang langsung dibalas gelengan kepala oleh Guntur. “Kan bisa aja sarungnya diambil sama Pak Danang, kok bisa Pak Udin langsung ngeklaim kalo sarungnya ilang?” ucap Guntur yang seketika membungkam mulut Bintang rapat-rapat. Dengan perasaan bingung campur ‘oh iya ya’, Bintang menatap Guntur yang saat ini mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Seolah mengatakan bahwa dialah pemenang debat malam ini.


“Kok lo tau? Wah, lo komplotannya ya?” tanya Fajar curiga.


“Dih, iri aja kan lo pada, kalian yang debatin ini daritadi tapi gue yang dapetin jawabannya,” balas Guntur menye-menye. Membuat Bara yang sedang menguleg sambel merasa ingin menguleg adik bungsunya juga.


“Ya enggak lah! Justru disini lo yang mencurigakan, kok bisa lo ngejudge Pak Udin mencurigakan? Padahal beliau yang sampe ngetatin penjagaan pos ronda,” ucap Gala sesaat sebelum melakukan tos dengan Fajar di sampingnya.


Lalu dengan senyum jumawa, si bungsu itu memajukan wajahnya sedikit lalu berkata; “Mas, don’t judge the book by it cover.


“GAK NYAMBUNG WOY!”


Bara menggeleng pelan mendengar perdebatan -yang selalu- tidak penting d meja makan. Malam ini mereka membahas pencuri sarung Pak Danang. Malam lalu mereka membahas kiat-kiat mujarab melatih ayam berkokok dengan nada. Malam sebelumnya lagi, mereka membahas konspirasi bagaimana bisa Pak Sumali membuat cilok. Selalu ada perdebatan yang tidak penting di meja makan. Entah itu pagi hari atau malam hari. Bara bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mereka mendebatkan sesuatu yang memang perlu di diskusikan. Tapi setidaknya, itu membuat Bara lega.

Perdebatan yang berujung menggoda si bungsu itu sedikit banyak menghibur mereka sebenarnya. Hal yang tidak berubah walau Mama sudah berpulang. Dan semoga sampai kapanpun tak akan berubah.


Diam-diam Bara melirik satu kursi kosong di meja makan di ujung sana. Bukan kursinya, itu kursi Mas Bumi. Kakaknya itu jadi sering pulang malam dan berangkat kelampau pagi setelah Mama berpulang. Biasanya saat mereka bangun, di meja makan sudah ada sarapan lengkap dengan rumah yang sudah bersih. Lalu di malam hari, Mas Bumi akan pulang tengah malam. Menikmati makan malamnya sendirian, lalu tidur untuk kembali bangun 3 jam lagi. Bara yakin sekali bukan uang yang ia cari, tap ketenangan hati. Tagihan pemakaman Mama sudah dibayar lunas di hari pertama, dan semua uang SPP adik-adiknya sudah lunas. Mas Bumi hanya menghindar. Bara tau itu. Karena di pagi dan malam hari, Mas Bumi selalu datang ke kamar Mama untuk menyuapinya bubur buatannya. Dan kini tak ada lagi yang bisa ia suapi bubur tiap pagi dan malam. Mas Bumi belum terbiasa dengan kehilangan, namun tak mau berhenti berpura-pura sempurna.


“Guntur anjir! Jangan di makan itu tahunya! Itu punya Mas Bumi setaann!!” teriak Gala sambal menyentil bibir Guntur yang hampir menodai tahu goreng tepung yang sengaja dipisah untuk Mas Bumi. Sedangkan si bungsu yang terkejut reflek melempar tahu goreng tepung tersebut kembali ke tempatnya. 


“Mas Bumi lembur lagi Mas?” tanya Bintang kepada Bara yang baru meletakkan cobek dengan sambal yang entah bagaimana rasanya kali ini. Bara diam sebentar, lalu mengangguk sebagai jawaban. Bintang sendiri, setelah melihat sendiri jawaban dari Mas Bara-nya lalu mendengus. Sudah lama sekali mereka tidak melihat Mas Bumi duduk di kursinya, menikmati makan malam dan sarapan bersama mereka. “Lembur mulu,” gumam Bintang sambal mendorong piringnya yang seperti biasa masih sisa beberapa suap nasi di atasnya pelan, membuat bunyi dentingan antara piring kacanya dan gelas di sebelah sana.


“Mas Bumi kayak gini sejak Mama meninggal nggak sih?” pertanyaan yang meluncur begitu saja dari mulut Guntur seketika membuat seisi ruangan hening. Fajar yang semula ingin menambah beberapa centong nasi mengurungkan niatnya begitu mendengar kata ‘Mama’ disebut. 


Sama seperti Mas Bumi, rupanya Fajar, tidak, rupanya semua anak Pak Surya belum benar-benar berdamai dengan sebuah kehilangan. Hanya cara mereka melampiaskannya saja yang berbeda. Seperti Mas Bumi yang menjadi gila kerja, Bara yang tiba-tiba suka memasak, Guntur yang masih sering menangis diam-diam di atas ranjangnya. Gala yang menjadi sedikit sensitive terhadap kesehatan Bintang, dan Bintang yang semakin malas berobat. Ada banyak kisah tak tertulis tentang bagaimana mereka mencoba terus berjalan walau tertatih tanpa Mama. Dan bagaimana mereka perlahan-lahan mulai menghargai sebuah kehilangan.


Meja makan kembali hening. Seperti biasa. Walau meja makan tak berubah walau sepeninggal Mama, meja makan ini juga tak pernah tak sepi di akhir perdebatan mereka. Selalu ada sesuatu barang sekecil apapun yang mengingatkan mereka kepada Mama. Dan berujung sebuah hening yang mencekik siapapun disana. Sebab mereka belum rela. Sebab mereka belum damai dengan sepi. 

Mereka rindu Mama. Dan heninglah yang mengungkapkannya.


“Dek, ikhlas…” ucap Bara sambal menatap satu-persatu wajah adik-adiknya. Beberapa menunduk, sisanya pura-pura biasa saja. Tak ada jawaban, menambah keras suara ramai dalam kepala masing-masing yang ada disana. “Hidup itu tentang menerima dan melepaskan. Kalian harus siap melepaskan apa yang sudah menjadi milik kalian. Karena hakikatnya, kita tak pernah memiliki apapun. Sama kayak Mama. Mama bukan punya kita, jadi kita harus siap kalo Mama diambil. Ya?”


“Hidup itu tentang menerima dan melepaskan. Tidak lebih dan tidak kurang. Itu saja. Kita akan menemukan banyak kehilangan dalam hidup, begitupula pemberian. Tidak ada yang tidak sama rata. Semuanya adil sesuai porsinya. Semua yang diberikan kepada kita harus diterima dan semua yang diambil dari kita harus dilepaskan. Bukan punya kita dek, Mama punya Yang Maha Kuasa.” Bara tau itu tidak mudah. Ikhlas tak semudah membalikkan tempe di atas penggorengan. Atau semudah memecah telur pakai dua tangan. Ikhlas tidak mudah. Tidak bisa dipaksakan. Namun ikhlas adalah sebuah keharusan. Keharusan mutlak agar kita tidak tetap diam di tempat. 
“Gue tau kok kalo kalian kangen sama Mama. Kangen itu nggak pa-pa kok, manusiawi. Tapi kalian juga harus terus maju. Dunia akan terus berjalan walau dunia kalian sedang hancur berantakan. Jangan terus-menerus meratapi sesuatu yang sudah terjadi dek. Kalian nggak akan dapetin apapun selain capek.”


“Nggak pa-pa, sedih dulu sekarang. Toh, Mas juga belum sepenuhnya bisa ikhlas. Tapi janji sama Mas, besok udah nggak boleh sedih-sedih begini lagi. Berdamai sama badai. Ya?” ucap Bara sambil memberikan senyuman terbaik yang pernah ia punya. Menatap penuh harap pada adik-adiknya agar mau kembali bangkit dan merangkul satu sama lain. 


Dapur masih hening ketika mereka belum juga memberikan jawaban, sampai suara serak Fajar yang pertama kali terdengar mengangkat perlahan kepala mereka. Memberi harapan walau tak secerah biasanya. “Gue mau Mas. Emangnya gue bisa apa selain ikhlas? Toh, sampe gue tantrum pun, nggak akan bikin Mama dateng ke wisuda gue kan?” ucap Fajar tanpa ragu. Apa salahnya mencoba? Toh, dia tidak pernah sendirian.


“Gue tau kalian juga udah capek nangis sendirian tiap malem. Mau sampe kapan kayak gini?” tanya Fajar sambil menatap wajah sembab Guntur yang sudah menahan tangisnya sejak tadi pagi. 


“Kita cuma beratin Mama disana…” gumam Bintang diikuti anggukan pelan dari Bara. Si nomor tiga itu masih berusaha meyakinkan sisanya yang belum juga memberi jawaban walau sebuah anggukan. “Kita masih punya satu sama lain. Mama juga nggak akan seneng liat kita ngedown kayak gini.”
“Ikhlas ya? Nggak pa-pa pelan-pelan aja. Nanti kita bantu Mas Bumi juga. Ya?” Iya, membantu Mas Bumi. Mas Bumi tidak akan bisa berdamai sendiri. Bagaimana bisa dia meredakan ombak besar di tengah lautan yang juga berombak? Bara tak menyerah begitu saja sampai sebuah gumaman dari Gala menumbuhkan secercah senyuman bagi Bara. “Mas.”


“Iya?”


“Gue pengen BAB.”


Senyum Bara yang awalnya mengembang luntur seketika, digantikan wajah kesal ketika Gala dengan wajah menyebalkan tiba-tiba melipir begitu saja ke kamar mandi. Dapur masih sepi ketika Fajar bergumam sambil mengibas-kibaskan tangannya di depan wajahnya. “Bau banget, apaan dah?”


Suara sakral yang berasal dari kamar mandi seketika menarik atensi semua orang di meja makan. Terutama Fajar yang mencium bau-bau surgawi yang kini semakin lama semakin menusuk hidungnya. Mungkin jika ada ilustrasi, akan digambarkan bulu-bulu hdung Fajar yang kini meronta-ronta sebab kekeringan karena bau itu. Berbeda dengan Fajar yang masih sibuk menutupi hidungnya dan Bara-Guntur yang masih bingung, Bintang seketika berdiri dari tempatnya dan mengusap wajahnya kasar.


“Ngapa Mas?” tanya Guntur semakin bingung melihat Bintang yang kini menatapnya aneh.


“Gini, aduh, gimana ya ngomongnya-“


“Bisikin bisikin,” ucap Guntur sambil mendekatkan telinganya. Bintang, entah dia tidak enak hati pada Gala atau memang bingung cara mengatakannya mulai membisikkan sesuatu di telinga Guntur.


“HAH? SUMPAH?”


“Kenapa? Kenapa?” Padahal niat hati Bintang mengatakannya lewat bisikan agar tidak ramai, tapi rupanya memang benar ucapan Mas Bumi waktu itu; tidak boleh ada rahasia sesama saudara.


“MAS GALA KECIRIT!!”

+++


Senyumnya mengembang sempurna ketika sebuah pagar kayu dengan tumbuhan rambat ada di depannya. Sebuah kertas HVS berwarna biru yang di tempelkan di sebuah batang tumbuhan dengan tulisan ‘MAS BARA DILARANG PEGANG-PEGANG’ mengundang kekehan kecil darinya. Rumah minimalis di depannya itu rupanya tidak banyak berubah. Hanya letak kursi bamboo dan cat temboknya saja yang berubah. Oh, jumlah motornya juga bertambah rupanya.


Malam ini sudah lama dinanti olehnya. Oleh Langit yang sudah lama tak pulang ke rumahnya. Rumah yang menjadi tempat teraman baginya. Rumah yang akan selalu siap menerimanya. Sejauh dan selama apapun ia pergi, rumahnya akan selalu menjadi tempat pulang baginya. Laki-laki itu sudah pulang sekarang. Sudah lama rindu itu menyiksanya. Sekarang ia sudah pulang, untuk kembali merasakan apa yang sudah lama tidak ia dapat selama ini. Ia rindu ramai meja makan di dapur dengan tempe goreng buatan Gala atau mie soto pake telur buatan Bumi. Ia juga rindu Mama. 


Empat tahun lamanya Langit tak kembali. Bukan inginnya untuk pergi tanpa kembali. Selalu ada do’a yang ia panjatkan agar ia diperkenankan untuk pulang ke rumahnya. Atau setidaknya menelpon mereka yang ada di rumah. Tapi jeruji besi dan orang-orang besar itu tak pernah mengizinkannya menghubungi siapapu barang cuma sekedar mengatakan bahwa ia masih hidup. Membuanya diam-diam menyesali keputusannya untuk pergi jauh ke ibukota tanpa hati lapang Mama.


Selama ini, penjara adalah sebuah ketidakmungkinan yang Langit tekankan pada dirinya untuk tidak pernah mengunjunginya. Jika bukan karena dirinya yang tak terlalu mengenal betapa kerasnya ibukota, mungkin ia sudah pulang dengan membawa uang yang memenuhi ransel tuanya. Ambisinya untuk membawa banyak uang ketika pulang membuatnya lupa bahwa ia hanyalah seorang Langit yang mengunjungi ruang BK saja tidak pernah. 
Seorang laki-laki dengan jas hitam bersih menawarkan sebuah pekerjaan padanya. Langit masih ingat bagaimana rupa laki-laki itu. Ingatkan Langit untuk mendorong laki-laki itu ke kolam lele jika ia melihatnya lagi. Laki-laki itu bilang tidak sulit kerjanya. Hanya mengirim barang-barang saja, namun ia berjanji untuk memberinya bayaran yang besar. Langit teringat oleh Bumi yang sebentar lagi wisuda dan masuk kuliah, Gala yang sebentar lagi masuk SMA, juga Guntur yang sebentar lagi masuk SMP. Bayang-bayang adiknya terlintas, membuatnya menyetujui permintaan laki-laki itu tanpa berpikir kemungkinan bisa saja dirinya sedang dijebak.


Dan benar saja. Langit ingat, saat itu hari Selasa pagi sekitar pukul sembilan, beberapa polisi yang sedang melakukan Razia menggeledah paket yang harusnya ia kirim pada teman laki-laki berjas hitam itu. Langit tak tau apa yang terjadi sampai tiba-tiba tangannya diborgol dan ia dibawa masuk ke dalam mobil menuju kantor polisi. 


Apa yang terjadi? Namun tak ada satupun mulut yang sudi menjawab pertanyaan Langit yang sudah sangat bingung pagi itu. Ia hanya diperintahkan untuk melakukan tes dan konfirmasi yang entah apa tujuannya. Setelah lama menunggu di kantor polisi, seorang di antara orang-orang besar yang ikut memborgolnya mulai bertanya dari mana Langit mendapatkan benda-benda terlarang itu.


“Saya baru sampai di sini dua hari yang lalu, saya cuma disuruh ngirim paket ini ke alamat ini. Saya nggak tau apa-apa pak, wallahi.” Ah, Langit sampai hapal benar bagaimana cara dia memberi pembelaan pada dirinya sendiri dan berujung tak di dengarkan. Mereka tak mendengarkan jawaban Langit, tapi terus-terusan bertanya padanya. Bahkan ketika tes itu menunjukkan bahwa tubuh Langit tak mengandung barang itu, mereka tetap tak percaya apa kata Langit. Sore itu seorang polisi lalu membawanya ke dalam ruangan sempit untuk ia tinggali selama empat tahun. Mereka bilang itu adalah sebuah keringanan sebab tak menemukan bukti selain paket yang akan ia kirim. Bahkan ponselnya juga disita.
Dan disinilah Langit sekarang. Dengan tangan bergetar menyentuh permukaan pintu kayu jati di depannya. Terdengar jelas betapa ramainya rumah itu. Tidak berubah. Masih sama seperti sebelum ia pergi.


“JIJIK EWH!!!”


“JAUH-JAUH LO! AAAAAAA!!!!”


Langit sangat gugup saat ini. Mendengar suara Guntur yang sedikit berubah dan suara tawa Bintang yang masih terdengar seperti lumba-lumba entah kenapa membuat laki-laki itu gugup setengah mati. Lalu dengan penuh keyakinan, si sulung itu mulai mengetuk pintu rumahnya.


“Tur, buka Tur,” titah Gala yang saat ini sudah berbaring di atas sofa. Perutnya keram sehabis mentertawakan Guntur yang baru saja ia lap mukanya menggunakan tangannya yang sudah ia usapkan pada ketiaknya. Sedangkan si bontot mengedarkan pandangannya.

“Bintang aja ih, dia kan lagi berdiri. Sekalian,” ucap Guntur.


Bintang yang merasa disebut ‘sedang berdiri’ kemudian reflek mendudukkan dirinya di atas karpet. Tidak memedulikan pantatnya yang sedikit sakit sebab menduduki remot televisi.

“Gue duduk kok.”


Guntur mendumel. Wajahnya masam tak terkira. Dengan langka yang berat sekali, si bontot lalu mulai membawa dirinya berjalan menuju pintu depan rumahnya. Memastikan akan marah-marah jika nanti yang datang ternyata sales yang menawarkan obat pemutih atau pembesar pantat. Namun belum sempat mengatakan sepatah katapun, Guntur sudah terpaku begitu melihat siapa yang berdiri di depan pintu. 
Bukan sales banci yang sukanya menawarkan mesin cuci. Bukan juga Bu Sukiyah yang sering meminta garam dan minta dibenarkan listriknya. Apalagi orang asing yang mengetuk pintu rumah hanya untuk bertanya dimana arah menuju tugu pahlawan.


Bukan. Bukan mereka. Tapi Mas Langit.


“Mas Langit?” tanya Guntur pelan.

Matanya bahkan tidak berkedip sejak awal ia membuka pintu rumahnya. Masih terpaku menatap kakak sulung yang sudah lama tak terdengar kabarnya kini berdiri di depannya.


“Siapa Tur?” teriak Bintang dari dalam.


“Kebiasaan nih beldek, kalo ada pengamen di dengerin dulu,” oceh Fajar sesaat setelah Bintang. Merutuki kebiasaan adik bungsunya itu ketika bertemu pengamen. Dimana-mana, orang-orang akan cepat-cepat memberi uang agar pengamen itu cepat pergi. Berbeda lagi dengan Guntur. Guntur tetap memberi uang kok, bedanya ditunggu duu sampai lagunya selesai, baru uangnya dikasih. Mubadzir lagunya katanya.


Tak mendapat jawaban dari Guntur, Bintang yang sudah tidak sabar lalu beranjak dari tempat duduknya. Si nomor enam itu lalu membawa langkahnya menuju tepat Guntur berdiri dan seperti yang Guntur lakukan barusan. Bintang-pun sama terkejutnya dengan Guntur. Ikut terpaku menatap wajah tampan kakaknya yang sudah hampir ia lupakan.


“Mas Langit? Ini beneran Mas Langit?” tanya Bintang sambil maju beberapa langkah agar ia bisa melihat lebih jelas wajah kakak sulungnya. Yang ditanya lalu mengangguk dengan senyum penuh arti. Anggukan Mas Langit seketika membuat Guntur yang semula terdiam tak tau harus bagaimana segera berjalan menuju Mas Langitnya, merengkuh badan kakak sulung yang sering menemaninya tidur dulu.

Sedangkan si nomor enam itu terkesiap sejenak kemudian berteriak memanggil seluruh orang yang ada di rumah. “Mas Langit Mas! Mas Langit pulang!”


Tak perlu waktu lama sejak Bintang berteriak kencang untuk membuat semua orang beranjak dari tempatnya. Dan sama seperti sebelumnya, mreka terkejut bukan main ketika melihat Mas Langit yang tak tau bagaimana kabarnya kini berdiri di depan mereka. Nyata, bukan lewat videocall atau cuma stand seperti di bazar sekolah mereka. Dalam sekejap mereka semua menghambur ke dalam pelukan kakak sulung yang dinanti kapan datangnya.

Oh, tidak semuanya. Rupanya si nomor empat masih berdiri di tempatnya. Memberi jarak antara dirinya dan saudara-saudaranya yang sedang bersuka cita disana. Entah kenapa, tapi Fajar yang paling dekat dengan Mas Langit daripada saudara-saudara yang lain, daripada senang, Fajar merasa sedikit aneh. Ia rindu Mas Langit. Rindu sekali malah. Tapi melihat Mas Langit yang kini pulang setelah susah payah mereka menjalani semuanya, jujur Fajar tidak suka. 


Ia tau ia salah. Walau tidak tau pasti kenapa Mas Langit tiba-tiba menghilang, Fajar yakin Mas Langit punya alasan tersediri mengapa ia melakukan ini. Fajar tau benar Mas angit tidak akan mengingkari janjinya. Mas Langit juga bukan orang teledor dan serampangan. Mas Langit adalah role model bagi Fajar setelah Bapak.Namun setelah empat tahun menghilang dan melihat bagaimana susahnya Mas Bumi menghadapi semuanya yang terasa mendadak, tanpa Fajar sadari, rasa kecewa itu sudah lama ia tumpuk di dalam relung hati yang paling dalam. Menyimpannya rapi, sebab Fajar sendiri kadang masih berharap bahwa Mas Langit akan pulang suatu saat nanti. Tapi Faja tetap tak bisa membohongi dirinya. Bahwa ia marah. Bahwa ia kecewa.

Setelah terdiam melihat Mas Langit dari kejauhan, Fajar lalu melangkahkan kakinya menaik satu demi satu anak tangga dan masuk ke dalam kamarnya. Lampunya ia matikan, agar semua orang tau bahwa ia akan tidur cepat malam ini.


“Mas darimana aja?” tanya Guntur sambil menggenggam tangan kakak sulungnya. Sofa biru muda di ruang tengah menjadi tempat paling menyenangkan untuk istirahat Mas Langit yang sedari tadi hanya bisa mengistirahatkan tubuh lelahnya di dalam kereta.


“Nanti Mas cerita ya? Oh iya, Bumi sama Fajar kemana?” tanya Mas Langit setelah menyadari ketidakhadiran mereka sejak awal ia memasuki rumahnya. 


“Mas Bumi sih masih kerja mas,” jawab Bintang.


“Jam segini masih kerja?”


“Iya, biasanya pulangnya itu kalo nggak jam duabelas ya sebelasan gitu deh. Malah pernah nggak pulang,” kini gentian Gala menjelaskan. Sedangkan Mas Langit diam-diam menyimpan rasa bersalah karena telah membuat adik keduanya itu terbebani selama ia tidak ada. Langit tau sekali betapa lamanya ia tak berkabar. Jangankan mengirim uang, mengabari bahwa ia masih hidup saja tidak. Ia tau, pasti berat sekali bagi adik keduanya itu untuk menanggung semua sendiri. Sekarang yang ada di pikirannya adalah, bagaimana bisa ceritanya Bumi tidak pulang?


“Uh… kalo Fajar dimana?”


“Oh, paling molor paling. Jam segini kan waktu tidurnya bayi,” jelas Gala diikuti gelak tawa oleh yang lainnya. 


Di tempatnya, diam-diam Mas Langit mencuri-curi pandang antara pintu kamar Mama yang terus tertutup dan dapur yang sepi. Mama itu tidak biasanya tidur jam segini. Biasanya jam segini Mama akan menonton tv Bersama Guntur dan Bintang, atau biasanya menjahit beberapa baju berlubang milik Gala yang entah bagaimana cara jalannya sampai bisa membuat semua celananya robek. Tapi sedaritadi, Mas Langit tak juga melihat adanya Mama. bahkan suaranya saja tidak.


“Mama mana dek?” tanya Mas Langit yang seketika meredam canda tawa yang semula menggema. Hening mengisi jeda di antara mereka. Dengan gerakan tidak nyaman, mereka saling memandang seakan tak ada yang mau menjelaskan apa yang terjadi. Dan keputusan final itu berada pada Bara yang posisinya paling tua diantara mereka.


“Mas, Mama udah nggak ada.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
A.P.I (A Perfect Imaginer)
129      110     1     
Fantasy
Seorang pelajar biasa dan pemalas, Robert, diharuskan melakukan petualangan diluar nalarnya ketika seseorang datang ke kamarnya dan mengatakan dia adalah penduduk Dunia Antarklan yang menjemput Robert untuk kembali ke dunia asli Robert. Misi penjemputan ini bersamaan dengan rencana Si Jubah Hitam, sang penguasa Klan Kegelapan, yang akan mencuri sebuah bongkahan dari Klan Api.
Memories About Him
3417      1608     0     
Romance
"Dia sudah tidak bersamaku, tapi kenangannya masih tersimpan di dalam memoriku" -Nasyila Azzahra --- "Dia adalah wanita terfavoritku yang pernah singgah di dalam hatiku" -Aldy Rifaldan --- -Hubungannya sudah kandas, tapi kenangannya masih berbekas- --- Nasyila Azzahra atau sebut saja Syila, Wanita cantik pindahan dari Bandung yang memikat banyak hati lelaki yang melihatnya. Salah satunya ad...
Nyanyian Burung di Ufuk Senja
2852      1081     0     
Romance
Perceraian orangtua Salma membuatnya memiliki kebimbangan dalam menentukan suami masa depannya. Ada tiga pria yang menghiasi kehidupannya. Bram, teman Salma dari semenjak SMA. Dia sudah mengejar-ngejar Salma bahkan sampai menyatakan perasaannya. Namun Salma merasa dirinya dan Bram berada di dunia yang berbeda. Pria kedua adalah Bagas. Salma bertemu Bagas di komunitas Pencinta Literasi di kampu...
Seharap
6092      2340     1     
Inspirational
Tisha tidak pernah menyangka, keberaniannya menyanggupi tantangan dari sang kakak untuk mendekati seorang pengunjung setia perpustakaan akan menyeretnya pada sebuah hubungan yang meresahkan. Segala kepasifan dan keteraturan Tisha terusik. Dia yang terbiasa menyendiri dalam sepi harus terlibat berbagai aktivitas sosial yang selama ini sangat dihindari. Akankah Tisha bisa melepaskan diri dan ...
The Arcana : Ace of Wands
139      122     1     
Fantasy
Sejak hilang nya Tobiaz, kota West Montero diserang pasukan berzirah perak yang mengerikan. Zack dan Kay terjebak dalam dunia lain bernama Arcana. Terdiri dari empat Kerajaan, Wands, Swords, Pentacles, dan Cups. Zack harus bertahan dari Nefarion, Ksatria Wands yang ingin merebut pedang api dan membunuhnya. Zack dan Kay berhasil kabur, namun harus berhadapan dengan Pascal, pria aneh yang meminta Z...
The Black Heart
1166      664     0     
Action
Cinta? Omong kosong! Rosita. Hatinya telah menghitam karena tragedi di masa kecil. Rasa empati menguap lalu lenyap ditelan kegelapan. Hobinya menulis. Tapi bukan sekadar menulis. Dia terobsesi dengan true story. Menciptakan karakter dan alur cerita di kehidupan nyata.
Bittersweet My Betty La Fea
3500      1218     0     
Romance
Erin merupakan anak kelas Bahasa di suatu SMA negeri. Ia sering dirundung teman laki-lakinya karena penampilannya yang cupu mirip tokoh kutu buku, Betty La Fea. Terinspirasi dari buku perlawanan pada penjajah, membuat Erin mulai berani untuk melawan. Padahal, tanpa disadari Erin sendiri juga sering kali merundung orang-orang di sekitarnya karena tak bisa menahan emosi. Di satu sisi, Erin j...
Langit Indah Sore Hari
113      98     0     
Inspirational
Masa lalu dan masa depan saling terhubung. Alka seorang remaja berusia 16 tahun, hubungannya dengan orang sekitar semakin merenggang. Suatu hari ia menemukan sebuah buku yang berisikan catatan harian dari seseorang yang pernah dekat dengannya. Karena penasaran Alka membacanya. Ia terkejut, tanpa sadar air mata perlahan mengalir melewati pipi. Seusai membaca buku itu sampai selesai, Alka ber...
Le Papillon
2404      1040     0     
Romance
Victoria Rawles atau biasa di panggil Tory tidak sabar untuk memulai kehidupan perkuliahannya di Franco University, London. Sejak kecil ia bermimpi untuk bisa belajar seni lukis disana. Menjalani hari-hari di kampus ternyata tidak mudah. Apalagi saat saingan Tory adalah putra-putri dari seorang seniman yang sangat terkenal dan kaya raya. Sampai akhirnya Tory bertemu dengan Juno, senior yang terli...
Premium
Titik Kembali
4759      1536     16     
Romance
Demi membantu sebuah keluarga menutupi aib mereka, Bella Sita Hanivia merelakan dirinya menjadi pengantin dari seseorang lelaki yang tidak begitu dikenalnya. Sementara itu, Rama Permana mencoba menerima takdirnya menikahi gadis asing itu. Mereka berjanji akan saling berpisah sampai kekasih dari Rama ditemukan. Akankah mereka berpisah tanpa ada rasa? Apakah sebenarnya alasan Bella rela menghabi...