Read More >>"> Rumah (Sudah Terbit / Open PO) (Bab 4) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Rumah (Sudah Terbit / Open PO)
MENU 0
About Us  

Bintang tidak tau bahwa selembar kertas hasil lab kemarin akan mengubah hidupnya seperti ini.


Si nomor enam itu mengintip dari celah pintunya. Dilihatnya Mas Bumi sudah ber-pakaian rapi dengan celemek yang ia ikat asal sambil menggoreng perkedel kentang di dapur. Padahal ini masih jam 6 pagi, tapi di hari Minggu yang harusnya menjadi hari bersantai, kakak keduanya itu sudah sesibuk ini. Bintang paham sekali, pasti Mas Bumi ada kelas pagi ini. Atau ada panggilan dadakan dari dosennya. Sementara printilan-printilan Mas Bumi –terutama Mas Bara yang suara ngoroknya lebih keras dari sound tetangga. Mas Bumi memang sudah terbiasa melakukan ini setiap pagi. Tak jarang Mas Gala juga ikut membantu memasak. Walau kelihatannya Mas Gala ini sukanya malas-malasan, Mas Gala adalah orang yang bisa diandalkan jika masalah mengurus rumah. Apalagi untuk masalah memasak. Di rumah ini hanya Mas Gala yang bisa menggoreng ikan sambil mengerjakan PR matematika Guntur.


Biasanya jika Mas Gala yang memasak, Mas Bumi akan mengerjakan pekerjaan lain. Soal bersih-bersih, anak Mama tidak perlu dibagi tugas. Jika Mas Gala dan Mas Bumi sudah memasak, yang bangun setelah mereka berdua akan langsung mulai membersihkan rumah, dari menyapu, mengepel, sampai mencuci piring bekas makan mereka. Kadang-kadang Guntur, kadang-kadang Bintang, sampai Mas Bara juga ikut membersihkan rumah. Mas Fajar juga ikut membantu kok, membantu menghabiskan makanan biasanya.


Bintang menghela nafas. Tekadnya untuk menyembunyikan penyakitnya dari Mas Bumi sangat kuat. Beban yang Mas Bumi pikul sudah cukup berat. Ditinggal Bapak, Mas Langit hilang, Mama sakit, dan adik-adiknya yang belum selesai sekolah. Cita-cita Mas Bumi untuk menyekolahkan adik-adiknya setinggi mungkin adalah alasan mengapa Mas Bumi dengan sukarela lembur atau sampai tidak pulang demi pendidikan adik-adiknya. Hilangnya Mas Langit semakin menambah beban Mas Bumi. Mau tidak mau, Mas Bumi harus berperan sebagai orangtua dan kakak bagi adik-adiknya.

Menggantikan Bapak yang berpulang, Mama yang sakit parah dan Mas Langit yang hilang entah kemana.
Bukan Bintang tak butuh Mas Bumi. Bintang hanya tidak mau Mas Bumi lebih lelah lagi.


Setelah menghela nafas panjang, Bintang menyambar handuk yang tergantung di kursi depan meja belajarnya. Dengan langkah yakin, bahwa tak ada takdir yang salah, Bintang melangkahkan kakinya keluar kamarnya. Berpura-pura semua baik-baik saja yang selalu diharapkan Bintang akan menjadi kenyataan. Melambungkan mimpi-mimpi yang Bintang harapkan tak akan mudah jatuh walau keadaan tak lagi sama.


+++


“Buset, gendang telinga gue.”


Fajar menggerutu sambil menutup telinganya. Terlihat dari rambutnya yang masih sangat berantakan dan wajahnya yang sekucel kaos sangsang Guntur, sepertinya laki-laki itu terbangun karena dangdut koplo yang di setel Pak Kholis di sound systemnya.
Pak Kholis ini memang suka berbagi. Biasanya jika gorengan yang di warung istrinya masih sisa, Pak Kholis akan membaginya kepada orang terakhir yang beli sebelum warung itu ditutup. Barangkali itu adalah alasan kenapa Guntur gemar sekali beli di warung Pak Kholis menjelang adzan maghrib walau sekedar membeli pop ice rasa mangga. Pak Kholis ini tidak suka menikmati sesuatu sendirian. Sampai perkara dangdut koplo saja Pak Kholis tak mau mendengar sendiri.


“Ho’oh, dangdutnya sampe meresap ke otak,” jawab Guntur sambil memasukkan sampah yang ia kumpulkan ke dalam tempat sampah.


“Punya otak lo?” Tanya Gala yang di balas tatapan tajam dari Guntur. Kalau Gala bukan kakaknya, mungkin Guntur sudah melempar elpiji ke kepala kakak ke-5 nya itu. Sontak saja ucapan Gala membuat seisi ruangan tergelak. Kecuali Fajar, sepertinya dia masih dongkol dengan lagu ikan dalam kolam versi koplo yang katanya Guntur meresap ke otak. Sambil makan kerupuk ikan buatan Guntur hasil tugas praktek, laki-laki itu mencoba mendamaikan telinganya dengan lagu-lagu koplo itu.


“Kayak lo punya aja,” ucap Bumi yang sukses membuat Gala mencebik. Seisi ruangan tergelak bukan main, terutama Guntur yang tertawanya paling keras sambil menunjuk-nunjuk muka Gala yang masam.


“Punya ga?” Tanya Bintang sambil menyenggol lengan Gala.


“Punyalah anjir!” jawab Gala cepat sambl mengangkat tinggi piring yang masih penuh busa dan sabun. Bersiap untuk melempar piring itu kalau-kalau adiknya itu semakin nyeleneh.

Sedangkan Gutur, dengan tawa penuh kemenangannya, si bontot mengunyak kerupuk ikan yang semula di bawa Fajar yang gatau kemana.


“Kok gue ga keliatan ya bang?” Tanya Bintang sambil berpura-pura mencari-cari sesuatu.


“Iya nih, yang keliatan malah dosa-dosamu,” sahut Guntur.


Gala yang geram lalu meletakkan piring-piring yang belum selesai dicucinya lalu segera berlari secepat angin untuk mengejar Bintang dan Guntur. Tapi bukan Bintang namanya jika tidak pandai berkilah. Anak itu berlalri kencang setelah merebut tempe yang hampir dimakan Bumi. Sementara Guntur lebih memilih bersembunyi di dalam kamar mandi, acara kejar-kejaran antara Gala dan Bintang tak bisa terelakkan. Mereka terus berlari melewati Bara yang baru bangun tidur, mengelilingi sofa ruang tamu, dan memutari Mas Bumi yang sedang menggoreng sambal.


“Sini lo! Tak obras lambemu!”


Bumi dan Guntur tergelak bukan main saat Gala yang harusnya mengejar Bintang malah tersandung sapu yang di letakkan sembarangan oleh Guntur.

Sontak saja Gala langsung terjatuh ke lantai, menambah kencang gelak tawa seisi ruangan (termasuk Bara yang tiba-tiba mentertawakan bagian Gala terjatuh walau tidak tau bagaimana ceritanya lengkapnya.)


Namun, disaat Bintang masih tertawa penuh kemenangan, Gala yang memang pada dasarnya tidak mau kalah lalu menarik celana aladin Bintang yang dalam waktu sekejap menampakkan kolor biru tua dengan gambar tranformers disisi kanannya. Dengan wajah memerah menahan malu, Bintang berusaha menarik kembali celananya yang justru di manfaatkan oleh Gala. Dengan gerakan cepat, Gala menarik tangan Bintang sampai terjatuh lalu menindih kakinya. Tangannya ia angkat tinggi-tinggi sebelum akhirnya mulai meng-gelitiki Bintang yang berada di bawah kekuasaannya.


“MAASS!! UWES MAASSS!!! AMPOONN!!”


Namun sayang beribu sayang, bukannya menolong, Bumi dan lainnya justru semakin tergelak. Guntur bahkan sampai gelendotan di kaki meja makan.
“Nyoh! Enak toh? Enak??” ucap Gala geram. Sedangkan Bintang menggeliat, melupakan celananya yang sudah melorot jauh di bawah. 


“FAJAAARRR!!! KELUAR KAMU!!!”


Suara melengking yang berasal dari luar rumah seakan menghentikan waktu. Bumi, Guntur dan Bara yang awalnya tertawa seketika terdiam. Gala yang dengan brutal menggelitiki Bintang pun seketika berhenti, begitupula dengan Bintang yang awalnya menggeliat seperti cacing kepanasan juga seketika berhenti. Jangankan mereka, cicak di samping jam dinding sampai ikut terdiam.


Sampai beberapa detik kemudian, suara Pak Kholis kembali terdengar. Teriakan yang sama, yang sepertinya lebih keras dari sebelumnya. Bumi (setelah terdiam sebentar) lalu mencoba untuk keluar, menghampiri Pak Kholis yang sepertinya sudah tumbuh 5 tanduk. Nyalinya sedikit menciut, melihat Pak Kholis dengan singlet berwarna putih tulang dan sarung kotak-kotak ungu hijau sudah berdiri dengan garang di depan pintu pagar mereka. Wajahnya memerah, bahkan botak tengahnya ikut memerah.


“Kenapa ya pak?” Tanya Bumi gugup.
Dengan nafas memburu dan sorot mata penuh amarah, Pak Kholis berkata, “MANA? MANA ADEKMU FAJAR?” garang sekali, Bumi benar-benar merinding sekarang.


“Sabar dulu tho pak…” terlihat Bu Imeh bersimpati pada Bumi yang pucat wajahnya.


“YA GIMANA MAU SABAR? LISTRIK SAYA DIMATIKAN!!”


“HAHAHA anjir–UHUK!” 


“Kualat,” cibir Bintang sambil menyodorkan segelas air putih pada Gala yang kini menepuk pelan dadanya. Dengan cepat Gala menyambar gelas itu dan meneguknya brutal sebelum akhirnya kembali tertawa.


“Gue gabisa bayangin, gimana perasaan Mas Bumi tadi,” ucap Guntur sambil menopang dagu. Setelah menjelaskan tragedy listrik tadi, Bumi langsung berangkat kuliah setelah menyadari bahwa setengah jam lagi kelasnya akan di mulai.


“Terus terus, Fajar mana?” Tanya Bara.

“Nah itu yang bikin kesel,” jawab Gala cepat, menimbulkan banyak pertanyaan di benak saudara-saudaranya.


“Dengan gatau dirinya, si Fajar malah molor di kamar!”


+++


Sebelumnya Fajar memang tidak ada niatan untuk bangun sepagi itu karena dirinya memang tidak ada kelas hari ini. Jika bukan karena lagu Sanes yang terdengar dari sound system Pak Kholis, pasti Fajar masih terbaring di kasurnya, bergelung di bawah selimut bergambar sinchan dan mengabaikan keramaian di bawah, memilih untuk mengakhirkan sarapannya. 


Fajar yang sejujurnya masih sangat mengantuk hanya menatap malas Gala yang mulai mengangkat tinggi-tinggi centong nasi yang baru mau dipakai Bumi untuk memindahkan nasi dari magic jar ke baskom di depannya sambil mengejar Bintang yang terus mengejeknya. Sudah setengah jam yang lalu Fajar berdiam diri di kursi makan dengan toples berisi kerupuk ikan di pangkuannya. Telinganya ia paksa untuk terus beradaptasi dengan lagu-lagu koplo yang berasal dari sound system punya Pak Kholis. Dengan wajah merengut, mencoba menghibur dirinya dengan kerupuk alot buatan Guntur.


“Makin jadi anjir…” gumamnya sambil memasukkan 3 kerupuk sekaligus ke dalam mulutnya. Dan benar saja, rupanya Pak Kholis baru menambah volume sound systemnya, menambah kesal Fajar yang hampir tumbuh tanduk.


Tanpa ba-bi-bu, Fajar lalu meletakkan toples bening itu dan mulai melangkahkan kakinya menuju rumah Pak Kholis yang berjarak 2 rumah dari rumahnya. Masih dengan kaus hitam dan celana pendeknya, Fajar dengan yakin mengetuk pintu rumah Pak Kholis. Wajahnya semakin masam ketika telinganya mendengar suara lagu dari sound system yang semakin terdengar jelas dari depan pagar rumah Pak Kholis. Diam-diam, Fajar bertanya-tanya. Jangan-jangan Pak Kholis tak hanya punya satu sound system di rumahnya.


Usaha Fajar sia-sia, suara ketukan Fajar pada pintu rumah Pak Kholis jelas kalah dengan lagu Siko Bagi Duo yang berasal dari dalam rumah Pak Kholis.
Fajar mengacak rambutnya frustasi. Jika divisualkan, mungkin telinga Fajar sudah mengeluarkan asap dengan teriakan-teriakan meminta tolong yang bersahutan. Demi tuhan, Fajar sudah benar-benar tidak tahan dengan lagu-lagu itu. Matanya melirik kotak listrik (ah, Fajar tidak tau apa namanya) yang tertempel di samping pintu dekat jendela. 


Entah apa yang ada di kepala Fajar saat ini sampai tanpa peduli anak keempat dari tujuh bersaudara itu menekan tombol yang ada di kotak itu, membuat listrik di rumah Pak Kholis mati, lalu melenggang pergi.


“Tapi jujur ya anjir, gue gatau sejak kapan soundnya mati,” ujar Bintang sambil mengetuk-ketukkan sendoknya. Entah karena efek terlalu lama digelitiki Gala, Bintang rasa dia sudah kenyang (atau mual?). Bahkan sop dan perkedel kentang buatan Mas Bumi di depannya terkalahkan oleh rasa kenyangnya. 


“Bintang, makanan jangan di buat mainan,” tegur Bara. Bintang melirik Bara sekilas, lalu mendorong piring itu menjauh darinya sambil menyandarkan punggungnya. “Gue udah,” ucapnya sebagai penegasan.


Di tempatnya, Guntur diam-diam melirik Bintang yang kini mulai memainkan game di ponselnya. Entah perasaanya saja atau bagaimana, belakangan ini, Bintang seperti mengurangi porsi makannya. Padahal biasanya, Bintang adalah saingan mutlaknya dalam memperebutkan porsi terakhir masakan Mas Bumi dan Mas Gala. Dan tentang kebiasaan baru Bintang yang tiba-tiba saja meminta dibawakan bekel. Tapi ini bukan soal Bintang yang membawa bekel, tapi tentang Bintang yang tidak pernah menghabiskan bekelnya. Guntur bukannya tidak tau bahwa kakak beda 11 bulannya itu bukan orang yang irit makan. Dan belakangan ini, Bintang tak pernah menghabiskan makanannya.


Atau, Bintang memang kenapa-kenapa?


“Mas, besok anterin gue ye? Besok upacara, gue paskibra,” ucap Gala sambil menyelesaikan suapan terakhirnya. Bara yang awalnya menikmati sarapannya dengan tenang kini menatap Gala tak percaya.


“Serius? Ga salah milih tuh?” Bara menggeleng tak percaya, sedangkan Gala kini menatap kakaknya nyalang. “Bocah tengil kek lo? Jadi paskibra? Fiks, guru lo butuh kacamata,” lanjut Bara kembali focus pada sarapannya.


“Daripada lo, kagak pernah,” celetuk Gala.


“Gini-gini gue senior popular ya.”


“Iya popular, langganan BK soalnya, banyak utang lagi.”


Entah bagaimana kejadiannya, Bara kini sudah menepuk-nepuk dadanya lantaran dirinya tersedak potongan wortel –yang sebenarnya cukup besar, diikuti Guntur yang dengan segera mengambil air minum di dispenser dekat kulkas. Sementara Bintang mentertawakan kecerobohan Bara, Gala justru beralih ke piring di depan Bintang dan mulai melahapnya, mengabaikan Bara yang kini meneguk air di gelas dengan brutal. Kata-kata ‘mutiara’ urung ia ucapkan, potongan wortel itu keluar saja sudah syukur.


“Diem mulu lo, kayak bapak-bapak mikirin tunggakan,” Guntur mendongak terkejut saat Gala yang duduk di depannya kini menopang dagu setelah menyinggungnya. Guntur mengerjap sebentar, lalu menggaruk pelan tengkuknya yang tak gatal. Guntur gugup, sedangkan Gala sudah kembali focus pada perkedel kentang di depannya.


“Mas, kalo gue pindah sekolah gimana?” Suasana meja makan saat itu sangat sunyi ketika Guntur dengan sedikit bergetar mulai mengatakan apa yang selama ini tertahan di benaknya. Tatapan bingung Bara dan Bintang lantas tak membuat Guntur menarik kata-katanya. 


“Pindah?”


Dengan segala keyakinan yang ada, Guntur mengangguk pelan. “Kenapa? Lo ada masalah?” Gala bangkit dari duduknya ketika Bintang kini mulai menginterupsi adik bungsunya itu. Lain dengan Guntur yang terdiam, Gala kini mulai mengambil piring-piring yang ada di depan saudara-saudaranya dan menumpuknya menjadi satu; untuk ia bawa ke wastafel dan ia cuci. 


“Enggak… pengen nyari pengalaman baru aja,” ucap Guntur sambil tertawa kikuk. Bintang bersidekap, menatap tajam Guntur yang kini mengusap tengkuknya yang mulai dingin. 


Di tempatnya, Bara melirik sekilas Guntur yang tiba-tiba meminta pindah sekolah. Jawaban Guntur barusan; mencari pengalaman baru, Bara yakin itu hanya alibi saja. Bara sangat mengenal adik bungsunya. Guntur bukan orang yang pandai berbohong. Guntur akan sangat gugup ketika menyembunyikan sesuatu. Termasuk refleknya yang kini sedang mengusap tengkuknya. 


“Biar apa?”


Guntur menoleh ke belakang ketika dirasa telinganya mendengar sebuah suara dari arah belakangnya. Fajar (masih dengan kaus hitam dan celananya pendeknya) yang baru turun tangga berjalan santai menuju kulkas. Tangan kanannya mulai mencari-cari air dingin disana sedangkan tangan kirinya menggaruk pelan rambutnya. Guntur memilih menunduk walau Fajar yang mulai berjalan menuju meja makan tidak terlihat terusik dengan pernyataan Guntur tadi.


“Besok lagi kalo air dinginnya abis diisi lagi,” ucap Fajar sebelum meneguk air dingin terakhir yang ada di kulkas sebelum akhirnya kembali bertanya dengan isyarat dagunya. “Biar apa?” tanyanya sekali lagi karena Guntur tak kunjung menjawab.


“Biar… ya biar punya temen baru aja-”


“Emang temen lo kenapa?”


Guntur mengerjap beberapa kali, melirik sekilas Fajar yang mulai sibuk dengan ponselnya –walau Guntur yakin telinganya tetap waspada, dan Bara yang mulai beranjak menyusul Gala di depan wastafel.


“Guntur kenapa?” Tanya Bara pelan pada Gala yang masih sibuk dengan tumpukan piring kotor di depannya. Tangannya mulai membilas piring-piring yang masih bersabun di di samping kiri Gala. “Gue yakin banget ada apa-apa di sekolahnya,” lanjut Bara. Sedangkan Gala hanya melirik sekilas Bara yang ada di sampingnya lalu mengendikkan bahu. Pura-pura tidak tau.


“Gapapa…” jawab Guntur pelan sambil menunduk dalam, membuat Fajar kini menatapnya bingung. “Kalo ada masalah di sekolah itu selesein, bukannya malah mau pindah,” celetuk Bintang yang dibalas anggukan oleh Fajar.


Gabisa selesai…’


“Kalo cuma masalah pengen punya temen baru atau punya pengalaman baru, mending gausah pindah Tur, uang pindah sekolah itu ga dikit,” Fajar menopang dagu. “Kasian Mas Bumi, Tur.”


Guntur juga tau itu. Tak perlu diingatkan pun Guntur sangat tau masalah itu. Ia tau sekali bagaimana perjuangan Mas Bumi agar bisa menyekolahkan adik-adiknya, termasuk Guntur. Pernah suatu malam, Guntur ingat sekali saat itu sekitar jam 2 dini hari. Ketika Guntur baru keluar dari kamar mandi, Guntur melihat Mas Bumi baru saja pulang dari kerja. Waktu itu, Guntur ingat sekali bagaimana keadaan Mas Bumi. Ada beberapa goresan di wajah dan lengannya yang seharusnya tertutup jaket. Guntur tidak yakin apakah ada luka di lututnya atau tidak. Guntur tidak berani mendekat, tidak pula berani bertanya. Sampai akhirnya Mas Bumi sendiri yang menyadari keberadaan Guntur yang berdiri di depan kamar mandi.


“Kok bangun malem-malem Tur?” tanya Mas Bumi sambil tersenyum kecil. Melihat keadaan Mas Bumi yang penuh luka, melihat senyumannya yang seperti itu justru membuat Guntur sakit. 


“Mas Bumi kenapa?”


Mas Bumi terdiam. Entah apa yang ada pikirannya. Entah ia sedang memikirkan apakah harus mengatakan yang sebenarnya atau justru mencari alibi Guntur tidak tau. Yang jelas saat itu Guntur masih menatap Mas Buminya yang masih terdiam di depan pintu.


“Guntur, Mas minta tolong boleh?”


Tolong jangan cerita kalo Mas Bumi habis kecelakaan,”


Bagaimana bisa Guntur setega itu?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
To the Bone
141      131     1     
Romance
Di tepi pantai resort Jawel palace Christian mengenakan kemeja putih yang tak di kancing dan celana pendek seperti yang iya kenakan setiap harinya “Aku minta maaf tak dapat lagi membawa mu ke tempat- tempat indah yang ka sukai Sekarang kamu kesepian, dan aku benci itu Sekarang kamu bisa berlari menuju tempat indah itu tanpa aku Atau kamu bisa mencari seseorang pengganti ku. Walaupun tida...
Violet, Gadis yang Ingin Mati
4349      1499     0     
Romance
Violet cuma remaja biasa yang ingin menikmati hidupnya dengan normal. Namun, dunianya mulai runtuh saat orang tuanya bercerai dan orang-orang di sekolah mulai menindasnya. Violet merasa sendirian dan kesepian. Rasanya, dia ingin mati saja.
My Soulmate Coco & Koko
4993      1739     0     
Romance
Menceritakan Isma seorang cewek SMA yang suka dengan hewan lucu yaitu kucing, Di hidupnya, dia benci jika bertemu dengan orang yang bermasalah dengan kucing, hingga suatu saat dia bertemu dengan anak baru di kelasnya yg bernama Koko, seorang cowok yang anti banget sama hewan yang namanya kucing. Akan tetapi mereka diharuskan menjadi satu kelompok saat wali kelas menunjuk mereka untuk menjadi satu...
Cinta di Sepertiga Malam Terakhir
5600      1423     1     
Romance
Seorang wanita berdarah Sunda memiliki wajah yang memikat siapapun yang melihatnya. Ia harus menerima banyak kenyataan yang mau tak mau harus diterimanya. Mulai dari pesantren, pengorbanan, dan lain hal tak terduga lainnya. Banyak pria yang datang melamarnya, namun semuanya ditolak. Bukan karena ia penyuka sesama jenis! Tetapi karena ia sedang menunggu orang yang namanya sudah terlukis indah diha...
A Freedom
117      101     1     
Inspirational
Kebebasan adalah hal yang diinginkan setiap orang. Bebas dalam menentukan pilihan pun dalam menjalani kehidupan. Namun sayang kebebasan itu begitu sulit bagi Bestari. Seolah mendapat karma dari dosa sang Ayah dia harus memikul beban yang tak semestinya dia pikul. Mampukah Bestari mendapatkan kebebasan hidup seperti yang diinginkannya?
Tulus Paling Serius
2161      874     0     
Romance
Kisah ini tentang seorang pria bernama Arsya yang dengan tulus menunggu cintanya terbalaskan. Kisah tentang Arsya yang ingin menghabiskan waktu dengan hanya satu orang wanita, walau wanita itu terus berpaling dan membencinya. Lantas akankah lamanya penantian Arsya berbuah manis atau kah penantiannya hanya akan menjadi waktu yang banyak terbuang dan sia-sia?
Premium
Take My Heart, Mr. Doctor!
5402      1722     2     
Romance
Devana Putri Aryan, seorang gadis remaja pelajar kelas 3 SMA. Ia suka sekali membaca novel. Terkadang ia berharap kisah cintanya bisa seindah kisah di novel-novel yang ia baca. Takdir hidupnya mempertemukan Deva dengan seorang lelaki yang senantiasa menjaganya dan selalu jadi obat untuk kesakitannya. Seorang dokter muda tampan bernama Aditya Iqbal Maulana. Dokter Iqbal berusaha keras agar s...
Heliofili
2005      997     2     
Romance
Hidup yang sedang kami jalani ini hanyalah kumpulan berkas yang pernah kami tandatangani di kehidupan sebelumnya— dari Sastra Purnama
DI ANTARA DOEA HATI
1018      540     1     
Romance
Setelah peristiwa penembakan yang menewaskan Sang mantan kekasih, membuat Kanaya Larasati diliputi kecemasan. Bayang-bayang masa lalu terus menghantuinya. "Siapapun yang akan menjadi pasanganmu akan berakgir tragis," ucap seorang cenayang. Hal tersebut membuat sahabat kecilnya Reyhan, seorang perwira tinggi Angkatan Darat begitu mengkhawatirkannya. Dia berencana untuk menikahi gadis itu. Disaa...
Bimbang (Segera Terbit / Open PO)
4779      1722     1     
Romance
Namanya Elisa saat ini ia sedang menempuh pendidikan S1 Ekonomi di salah satu perguruan tinggi di Bandung Dia merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara dalam keluarganya Tetapi walaupun dia anak terakhir dia bukan tipe anak yang manja trust me Dia cukup mandiri dalam mengurus dirinya dan kehidupannya sendiri mungkin karena sudah terbiasa jauh dari orang tua dan keluarganya sejak kecil juga ja...