Read More >>"> Rumah (Sudah Terbit / Open PO) (Bab 3) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Rumah (Sudah Terbit / Open PO)
MENU 0
About Us  

Bintang meremas ujung seragamnya. Laki-laki berkulit putih itu menghela nafas rendah setiap suster memanggil nama antrian berikutnya. Ruangan bernuansa putih dengan bau obat-obatan itu menjadi saksi betapa takutnya Bintang sekarang. Matanya melirik ke arah pintu, sesekali memandang kartu nomor antrian yang ada di depannya jantung yang berdebar lebih cepat.


Disinilah Bintang sekarang. Setelah beberapa hari memerangi diri sendiri, Bintang akhirnya memberi keputusan sebelum segalanya akhirnya bertambah runyam. Mimisan yang di atas batas wajar, kepalanya yang sering sakit sampai terkadang membuatnya pingsan dan tubuhnya yang entah kenapa lebih sering memar walau hanya tergores ujung meja atau pintu. Bintang pikir, dia hanya kelelahan. Di antara Surya bersaudara, yang paling sering mimisan memang Bintang. Apalagi kalau sampai benar-benar kelelahan. Tapi mengingat akhir-akhir ini dia lebih sering mimisan dari biasanya, Bintang jadi khawatir. Takut jika seandainya ada sesuatu yang tidak beres dengannya. Dan sebelum itu terlambat, Bintang pikir akan lebih baik jika ia melakukan tes di rumah sakit.


Bukan sesuatu yang mudah sebenarnya. Setelah merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengannya, Bintang mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi padanya. Yang pada akhirnya membawa dirinya untuk diam-diam menyisihkan uang sakunya untuk biaya tes di rumah sakit. Masa bodoh dengan Optimus Prime yang terbatas dan harganya mehong abis. Bintang tidak perlu itu. Itu semua hanya alibi saja. Karena Mas Bumi tidak boleh tau apa yang terjadi padanya. Bintang tidak tega. Apalagi saat Bintang dengar permintaan Mas Bumi pada Mama waktu itu,


“ke rumah sakit ya Ma? Soal biaya nanti Bumi yang ngurusin, Bumi gapapa kok gak lulus kuliah.”


Bintang memejamkan matanya. Dia tau seberjuang apa Mas Bumi untuk mereka. Mas Bumi yang belum selesai kuliah, sudah mengambil 5 pekerjaan sekaligus dalam 1 hari.  Tak jarang Mas Bumi pulang tengah malam. Tak jarang juga Mas Bumi tak pulang. Itu semua menyakitkan. Walau pada akhirnya, ekonomi keluarga membaik karenanya. Bintang tidak mau melihat Mas Bumi bekerja lebih keras dari itu ketika tau apa yang terjadi padanya.


“Atas nama Mas Bintang?”


Dan disinilah Bintang. Di sebuah tempat bernuansa putih yang menentukan apa yang terjadi padanya di kemudian hari.


+++


Bara bersidekap di samping gerbang masuk sekolah Bintang. Di hari yang panas ini, Bara terpaksa harus memakai hoodie tebal Fajar setelah tragedi mie soto rasa Casablanca tadi pagi. Kaus putih dan jaket denim yang ia pakai tadi adalah pakaian terakhir yang ada di lemarinya. Sisanya hanya kaus oblong dan celana kolor yang sangat tidak keren untuk ia pakai di luar rumah. Mesin cuci mereka rusak, dan Gala –yang bertugas untuk mencuci baju– kemarin pulang terlambat karena bimbel sehingga baju-baju yang seharusnya sudah bertengger apik di teras rumah urung terlihat. Termasuk baju-baju Bara.


Dengan wajah memerah (karena menahan panas), netra Bara mengabsen satu persatu siswa yang keluar dari kelasnya. Sesekali mengecek ponselnya, barangkali ada pesan dari Bintang. Jangankan pesan, tanda online di bawah nama kontaknya saja tidak terlihat. Ini sudah dua jam dan Bintang bahkan belum menampakkan batang hidungnya bertanya pada Guntur-pun percuma. Karena alasan Bara bisa berada di sini adalah karena Guntur yang pulang tergopoh-gopoh dan menanyakan apakah Bintang sudah sampai di rumah lebih dulu.


Bara sudah menanyakan Bintang pada teman sekelasnya, guru-guru, ibu kantin, sampai cleaning service. Tapi jawabannya tetap tidak membuahkan hasil. Beberapa menjawab tidak tau, tidak lihat bahkan tidak kenal.
Bara mengacak rambutnya frustasi. Matahari semakin terik, namun Bintang tak juga datang.

“Gue baru tau lo jadi satpam disini.”


Dengan wajah songongnya, Gala menghampiri Bara yang hampir kering di samping gerbang. Bara menoleh sengit. Dilihatnya adiknya itu tanpa melewatkan satu inci-pun darinya. Seragam yang dikeluarkan, dua kancing dari atas yang dibiarkan terbuka –menampakkan kaus buluk warna hitam, dasi yang entah kemana, dan bahu yang menenteng sepasang sepatu dan tasnya. Daripada terlihat urak-urakan, Gala lebih mirip anak tetangga yang sukanya naik sepeda pakai kaus sangsang dan kancut warna-warni. Belagu.


“Gue juga baru tau selama ini lo gak sekolah, tapi nggembel,” sarkas Bara. Gala mencibir. Dengan menye-menye, Gala menurunkan tasnya, lalu melemparkannya ke arah Bara.

“Lo ngapain kesini?”


“Suka-suka gue lah, emang ini sekolah bapak lo?”


“Kalo gue sih amin.”


Gala menyeringai, ketika Bara justru menatapnya dengan tatapan bengis. “Kalo bukan adek gue, lo udah gue loakin pas masih jadi embrio,” ucap Bara sambil mencangklong tas Gala.


“Nyari Bintang pasti,” ucap Gala setelah terkekeh sebentar. Bara mengangguk, masih menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru sekolah. Sejujurnya Bara sendiri sedang khawatir. Bintang bukan tipe orang yang suka melanggar peraturan, bukan juga tipe anak bandel. Jika Bara adalah penganut sekte ‘begadang itu asyik’, maka Bintang adalah penganut sekte ‘hidup sehat, tidur cepat’. Semua orang juga tau, di antara anak-anak Bapak, Bintang adalah yang paling rajin dan rapi. Bintang tidak akan pulang terlambat kecuali dia akan mengabari salah satu di  antara saudaranya.


Lalu kemana Bintang sekarang? Ada apa dengannya?


“Tadi gue denger dia izin pulang duluan,” ucap Gala sambil mengorek hidungnya. Membuat Bara mengernyit jijik.


“Pulang kemana?”


“Ke rahmatullah kali?”


“HEH”


“Ya mana gue tau, gue kan daritadi sekolah, emangnya lo, pengangguran-ADOH!” Gala bersungut-sungut saat dengan sekonyong-konyong Bara menyentil bibirnya. Sedangkan Bara sendiri menatap kesal adiknya itu. 


“Terus?  Lo kesini Cuma mau jemput Bintang gitu?” Tanya Gala sambil mengelus bibirnya. “Ya iyalah, napa? Mau ikut lo?”


Gala mencebik, “mau dong,” rajuknya.


“Boleh, tapi masuk jok,” jawab Bara sambil tersenyum jumawa. Sepersekian menit kemudian melempar tas Gala ke arah  wajahnya lalu pergi begitu saja. Meninggalkan Gala yang menatapnya nelangsa.


Bara sendiri, setelah menistakan adik keduanya itu, ia lalu pergi menghampiri motornya. Entah berapa kali Bara mengecek ponselnya dan menelpon Bintang yang entah kemana itu. Dan hasilnya tetap sama. Tanpa banyak bicara, Bara mulai menyalakan motornya dan mulai melaju. Laki-laki itu jelas kebingungan. Tipe anak rumahan seperti Bintang itu jelas jarang sekali keluar rumah. Yang artinya, Bara kesulitan menemukan tempat yang paling sering di kunjungi anak itu.
Bara menyusuri jalanan padat kota Surabaya dengan gundah. Sudah mau sore. Dan baik Guntur maupun Bintang sendiri belum memberi kabar apa-apa.

Walau terlihat tenang, sebenarnya pikiran Bara sudah benar-benar kacau sekarang. Laki-laki itu kalang kabut mencari hilal batang hidung Bintang.
Sampai akhirnya motor vario Bara memasuki daerah Sukolilo. Sepasang nayanikanya menangkap seorang siswa SMA sedang berdiri di dekat pembatas jembatan baru Kenjeran yang sepi. Laki-laki itu hanya berdiri disana, menatap hamparan laut yang ada di depannya. Rambutnya berantakan, mungkin terlalu lama tertiup angina siang itu. Tasnya dibiarkan tergeletak di sampingnya.

Awalnya Bara tidak tau dan mungkin saja tidak peduli siapa dan ada apa dengan anak itu sampai netranya menangkap sepasang sepatu yang di pakai anak laki-laki itu. Sepatu yang Mas Bumi sampai lembur seminggu karenanya.


Sepertinya Bara tau siapa bocah itu.


+++


“Tumor otak.”


Suara itu terus terngiang di telinganya. Berkali-kali, menyesaki relungnya dan memenuhi kepalanya. Jantungnya mencelos, dunianya runtuh. Bintang hancur. Ingin rasanya dia berteriak sekeras mungkin. Meneriakkan semua isi kepalanya saat ini. Tentang ketidakadilan yang ia alami. Tentang betapa takutnya ia kehilangan Mama. Tentang semesta yang menyembunyikan Mas Langit. Tentang semesta yang belum memberikan bagian bahagia untuk Mas Bumi.


Tentang dirinya yang takut mati.


Bintang hanya diam menatap hamparan laut di depannya. Kosong. Seperti ada yang mengambil paksa beberapa bagian dirinya. Dirasakannya angina sore itu mengacaukan rambutnya. Menghapus air matanya. Membelai wajahnya. Dalam diam Bintang berharap semua baik-baik saja. Jembatan baru Kenjeran sore itu benar-benar sepi. Seakan sengaja membiarkan dirinya mendinginkan kepalanya. Membiarkannya merangkul sisa serpihan dari dirinya.


“Heh! Tengil!”


Bintang menutup matanya, mencoba menghalau air mata yang siap keluar kapan saja. Dadanya sesak. Sakit. Tapi Bintang tidak tau harus bagaimana.


“Kocak ya lo, dicariin kemana-mana malah I’tikaf di samping jembatan,” celetuk Bara sambil menoyor kepala Bintang. Laki-laki itu berkacak pinggang. Keringat membanjiri pelipisnya. Bahkan bagian belakang hoodie ikut basah karena keringat. Dari wajahnya saja sudah terlihat bahwa Bara kelelahan.


Bintang diam saja. Jangankan menjawab, Bintang bahkan sepertinya tidak berniat melirik Bara yang sudah hampir gosong di panggang teriknya sinar matahari hanya untuk mencarinya. Reaksi Bintang yang seperti itu jelas semakin membuat Bara ingin me-reog.


“Kalo diajak ngomong itu nyaut-“
Bara terdiam melihat wajah adiknya setelah memutar paksa Bintang agar mau menatapnya. Wajah putihnya itu memerah, matanya sembab, dan ada bekas air mata disana. Bara mengernyit, ‘tak biasanya’


“Dih, nangis lo?” ejek Bara sambil menyenggol bahu Bintang . laki-laki itu tertawa awalnya. Namun saat melihat Bintang yang tak merespon seperti biasanya dan malah semakin menunduk semakin dalam, Bara menjadi bingung. Dilihatnya bahu adiknya itu bergetar. Bintang semakin terisak saat Bara memegang kedua bahu adiknya itu.


Bara gugup. Bintang ini jarang sekali menangis. Berbeda dengannya yang hanya akan menangis ketika benar-benar marah atau benar-benar sedih, Bintang hanya akan menangsi ketika ia benar-benar putus asa. Bara ingat, terakhir kali Bintang menangis adalah saat Guntur menghilang saat bermain petak umpet sewaktu mereka masih kecil. Bintang bahkan minta di panggilkan polisi agar mencari Guntur krena ia sudah mencari si bontot sejak siang sampai menjelang isya’. Bapak dan Mama panic sekali waktu itu. Tapi untungnya, Bapak tidak sampai memanggil polisi karena secara ajaib Guntur tiba-tiba muncul dengan muka penuh iler. Ternyata Guntur ketiduran di bawah gerobak nasi goreng Pak Suadi.


“Bintang-“


“Mas.”


Bara terdiam. Bohong jika Bara bilang dia tidak panik. Apalagi saat tangis Bintang semakin keras. “Bintang kenapa?” Bara mengusap pelan bahu adiknya. Sedangkan adiknya masih terus terisak.


“Bintang sakit, Mas.”


“Ya kalo sakit pulang dek, jangan panas-panas disini,” ucap Bara yang di balas gelengan lemah dari Bintang. Bara menggaruk tengkuknya bingung. Sedangkan Bintang tak lagi mengatakan apapun. “Bintang sakit apa?”


Bintang masih menangis, bahkan bahunya bergetar hebat saat Bara menyibak anak rambut Bintang. Dengan tangan bergetar, Bintang mengulurkan gulungan kertas yang ia simpan di saku celananya. Bara terdiam sejenak sebelum akhirnya menyambut gulungan kertas di tangan Bintang. Entah kenapa jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya saat melihat gulungan kertas tersebut.

 Dibukanya perlahan gulungan kertas yang sudah lecek itu. Bara bersusah payah menelan salivanya ketika tau surat apa yang adiknya sodorkan padanya.


Itu surat hasil tes laboratorium.
Sementara Bintang masih menangis, Bara justru mematung melihat hasil lab dengan nama Bintang yang tertera disana. Bahkan laki-laki itu memeriksa berkali-kali nama yang tercantum disana, berharap Bintang salah menerima.


“Aku belum mau mati, Mas.”


Bara menatap nanar Bintang yang masih menangis. ‘Ya Allah ini gimana…’ pertanyaan yang terus di gaungkan di hatinya. Bara tak mampu menangis.  Bintang sedang mem-butuhkan sandaran saat ini.  Lalu jika dirinya-pun rapuh, pada siapa lagi Bintang akan bersandar?


Bara terdiam. Lidahnya kelu walau hanya untuk mengatakan ‘semua akan baik-baik saja’. Karena sejujurnya ia sendiri pun ragu. Bahkan untuk berpikir apakah beberapa menit kedepan, adiknya ini masih bernafas atau tidak saja ia tidak tau. Bara tidak tau, dan tidak sanggup walau hanya sekedar tau. Melihat Bintang yang sudah sekacau ini, dalam diam, Bara bertanya-tanya. Kenapa harus anak baik ini yang sakit? Kenapa bukan dirinya saja? Bintang tak pernah melukai siapapun, lalu mengapa semesta menghukumnya begitu kejam?


Setelah menghela nafas panjang, Bara mulai merengkuh tubuh adiknya itu, membawanya masuk ke dalam pelukannya. Membiarkan Bintang meluapkan segalanya disana. Lelahnya, kecewanya, rasa takutnya, semuanya. Karena hanya ini yang bisa Bara lakukan. Hanya ini yang Bara punya. Bahu yang semoga saja selalu tegak untuk dijadikan sandaran untuk adik-adiknya. 


Semoga saja.


+++


“Mas Bara, anjir!”


Gala bersungut-sungut saat mengangkat hoodie yang tadi Bara pakai, dan dengan gerakan cepat membanting hoodie itu ke lantai kamar mandi. Cucian di rumah sudah menumpuk, sedangkan Pak Dharma dengan kejamnya tidak memberi mereka libur bimbel, justru menambah waktu bimbelnya. Jadi mau tidak mau, Gala harus tetap melaksanakan tugasnya walau jam sudah menunjukkan angka 8 malam. Lagipula Gala juga tidak mau kehabisan baju di lemarinya.


“Lo kalo pilek beli tisu anjir! Jangan di lapin ke hoodie!” ucap Gala ngamuk. Si nomor lima itu meringis jijik saat melihat bekas-bekas ingus di hoodie abu-abu terang itu. Kontras dengan Bara yang menulikan telinganya, Fajar justru menoleh cepat ke arah Gala yang sedang mencak-mencak di kamar mandi, mengabaikan Guntur yang menunggu Fajar menjawab PR IPS-nya.


Bara sendiri tidak peduli. Toh, bukan hoodienya. Dengan tidak tau dirinya –mengabaikan Gala yang terus-terusan mengoceh di kamar mandi– Bara malah menikmati sinetron Tukang Haji Naik Bubur dengan setoples rempeyek kacang habis beli di warkop selepas menjemput Bintang tadi sore. Laki-laki itu bahkan tidak menyadari adanya bahaya yang mengintainya saat ini.


“Bara…”


Laki-laki itu terlonjak saat menemukan Fajar sudah berdiri di belakangnya dengan wajah super ga woles. Tangannya menggenggam erat raket nyamuk sambilmenatap nyalang wajah Bara. Seakan-akan laki-laki itu akan mencair hanya dengan tatapannya. Seakan ada petir yang menyambar di belakang Fajar sebagai background, Bara justru gelagapan sendiri.


“Lo ngelap ingus di hoodie gue?” Tanya Fajar pelan namun mampu menikam hati, jantung, ginjal hingga pankreas Bara. Fajar masih menatap nyalang Bara ketika Bumi baru saja pulang dari kerja. Hari ini sedang ramai, jadi Bumi bisa pulang lebih cepat. Niat hati beristirahat, tapi ketika melihat Fajar dengan background gunung meletus justru membuat Bumi bingung.
Laki-laki itu meletakkan tasnya di atas meja lalu duduk di samping si bontot yang sepertinya sangat menikmati live streaming baku hantam di depannya.


“Bara kenapa dah? Kayak mau di caplok gitu,” Bumi sedikit berbisik.

Sedangkan Guntur mengerjap sebentar lalu tersenyum lebar. “Mas Bara tadi pake hoodienya Mas Fajar, terus malah di lapin ingus” jawaban yang seketika membuat Bumi meringis.


Sedangkan Bara ditempatnya hanya tertawa sumbang. Lalu dengan kecepatan angin, laki-laki itu berlari diikuti Fajar yang mengejarnya sambil mengangkat tinggi-tinggi raket nyamuk di tangannya.


Kita lihat saja bagaimana nasib Bara selanjutnya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
A Freedom
117      101     1     
Inspirational
Kebebasan adalah hal yang diinginkan setiap orang. Bebas dalam menentukan pilihan pun dalam menjalani kehidupan. Namun sayang kebebasan itu begitu sulit bagi Bestari. Seolah mendapat karma dari dosa sang Ayah dia harus memikul beban yang tak semestinya dia pikul. Mampukah Bestari mendapatkan kebebasan hidup seperti yang diinginkannya?
Tumpuan Tanpa Tepi
8808      2861     0     
Romance
Ergantha bercita-cita menjadi wanita 'nakal'. Mencicipi segala bentuk jenis alkohol, menghabiskan malam bersama pria asing, serta akan mengobral kehormatannya untuk setiap laki-laki yang datang. Sialnya, seorang lelaki dewasa bermodal tampan, mengusik cita-cita Ergantha, memberikan harapan dan menarik ulur jiwa pubertas anak remaja yang sedang berapi-api. Ia diminta berperilaku layaknya s...
ALMOND
879      521     1     
Fan Fiction
"Kamu tahu kenapa aku suka almond?" Anara Azalea menikmati potongan kacang almond ditangannya. "Almond itu bagian penting dalam tubuh kita. Bukan kacang almondnya, tapi bagian di otak kita yang berbentuk mirip almond." lanjut Nara. "itu amygdala, Ra." Ucap Cio. "Aku lebih suka panggilnya Almond." Nara tersenyum. "Biar aku bisa inget kalau Almond adalah rasa yang paling aku suka di dunia." Nara ...
To the Bone
141      131     1     
Romance
Di tepi pantai resort Jawel palace Christian mengenakan kemeja putih yang tak di kancing dan celana pendek seperti yang iya kenakan setiap harinya “Aku minta maaf tak dapat lagi membawa mu ke tempat- tempat indah yang ka sukai Sekarang kamu kesepian, dan aku benci itu Sekarang kamu bisa berlari menuju tempat indah itu tanpa aku Atau kamu bisa mencari seseorang pengganti ku. Walaupun tida...
Teman Berakhir (Pacar) Musuhan
572      362     0     
Romance
Bencana! Ini benar-benar bencana sebagaimana invasi alien ke bumi. Selvi, ya Selvi, sepupu Meka yang centil dan sok imut itu akan tinggal di rumahnya? OH NO! Nyebelin banget sih! Mendengar berita itu Albi sobat kecil Meka malah senyum-senyum senang. Kacau nih! Pokoknya Selvi tidak boleh tinggal lama di rumahnya. Berbagai upaya buat mengusir Selvi pun dilakukan. Kira-kira sukses nggak ya, usa...
Tulus Paling Serius
2161      874     0     
Romance
Kisah ini tentang seorang pria bernama Arsya yang dengan tulus menunggu cintanya terbalaskan. Kisah tentang Arsya yang ingin menghabiskan waktu dengan hanya satu orang wanita, walau wanita itu terus berpaling dan membencinya. Lantas akankah lamanya penantian Arsya berbuah manis atau kah penantiannya hanya akan menjadi waktu yang banyak terbuang dan sia-sia?
The Sunset is Beautiful Isn't It?
998      605     11     
Romance
Anindya: Jangan menyukai bunga yang sudah layu. Dia tidak akan tumbuh saat kamu rawat dan bawa pulang. Angkasa: Sayangnya saya suka bunga layu, meski bunga itu kering saya akan menjaganya. —//— Tau google maps? Dia menunjukkan banyak jalan alternatif untuk sampai ke tujuan. Kadang kita diarahkan pada jalan kecil tak ramai penduduk karena itu lebih cepat...
Mendung (Eccedentesiast)
6286      1830     0     
Romance
Kecewa, terluka adalah hal yang tidak bisa terhindarkan dari kehidupan manusia. Jatuh, terpuruk sampai rasanya tak sanggup lagi untuk bangkit. Perihal kehilangan, kita telah belajar banyak hal. Tentang duka dan tentang takdir yang kuasa. Seiring berjalannya waktu, kita berjalan maju mengikuti arah sang waktu, belajar mencari celah kebahagiaan yang fana. Namun semesta tak pernah memihak k...
Cinta dalam Impian
101      80     1     
Romance
Setelah ditinggal oleh kedua orang tuanya, seorang gadis dan abangnya merantau untuk menjauh dari memori masa lalu. Sang gadis yang mempunyai keinginan kuat untuk meraih impian. Voska belajar dengan rajin, tetapi dengan berjalannya waktu, gadis itu berpisah dengan san abang. Apa yag terjadi dengan mereka? Mampukah mereka menyelesaikan masalahnya atau berakhir menjauh?
RIUH RENJANA
399      300     0     
Romance
Berisiknya Rindu membuat tidak tenang. Jarak ada hanya agar kita tau bahwa rindu itu nyata. Mari bertemu kembali untuk membayar hari-hari lalu yang penuh Renjana. "Riuhnya Renjana membuat Bumantara menyetujui" "Mari berjanji abadi" "Amerta?"eh