"Oke. Udah ketebak, 'kan? Kalau gitu gue ngga perlu bacain." Randa melipat lagi kertas di tangannya dan hendak memasukkannya lagi ke dalam amplop kalau saja Danu tidak menginterupsi.
"Eh, belum," katanya dengan satu tangan terangkat, menggantung di udara. Seketika mata Danu mengerling, membalas tatapan kami yang sebenarnya langsung terdiam karena menunggu kelanjutan kalimatnya. "Maksud gue—"
"Udah, Danu. Ngga usah ditutup-tutupin." Sonya menimpali. Membuat kami yang pada dasarnya sudah diam menjadi semakin diam. Mungkin hanya aku yang sedikit tersenyum, sebab tahu kalau Sonya lebih memilih untuk tidak berusaha menyembunyikan keputusannya. "Orang yang ambil balik ceritanya adalah gue, jadi yang mau dibacain Randa itu bukan cerita gue. Silakan lo, Randa, lanjutin aja bacain cerita penutupnya dan fyi, gue ngga akan buka pembahasan kenapa ceritanya gue tarik."
"Yah, kok gitu?" Jonathan berkomentar di saat kami semua serentak menuruti apa kata Sonya.
Aku tahu jika ada sekian banyak orang di sini yang merasa kecewa, sebab cerita Sonyalah yang sebetulnya paling dinanti-nanti. Cerita yang mungkin akan dengan rinci menjelaskan alasan kenapa bisa Sonya menampar Gerry di koridor sekolah lantai dasar, tepat di depan ruang guru. Menjadikan keduanya dipanggil oleh Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan dan tak lama setelah keluar dari ruangan, mereka pun putus. Benar-benar putus tanpa ada niat kembali berhubungan lagi. Sonya pun juga memutuskan untuk tidak bercerita ke siapa pun, termasuk Tere yang notabene adalah sahabatnya. Dia lebih memilih menyimpan aib Gerry rapat-rapat—setidaknya siapa lagi kalau bukan Gerry yang membuat masalah lebih dulu? Karena dia yang ditampar—bahkan hingga sekarang. Di acara yang sebenarnya adalah idenya, tapi entah kenapa Sonya justru berpikir ulang untuk tidak memanfaatkan itu.
Lain halnya dengan Gerry yang kini air mukanya terlihat lebih santai dibanding dengan sebelum-sebelumnya, Sonya justru memelotot menanggapi Jonathan. "Ngga ada deh lo pancing-pancing gue buat kasih tau alasannya."
"Baru gue mau nyeletuk," gerutu Dinda pelan. Entah dia bermaksud bicara dengan dirinya sendiri atau bermaksud bicara denganku, aku tidak tahu. Toh aku juga tidak menanggapinya.
"Sebenarnya aku penasaran seperti apa ceritanya, tapi kalau Sonya sudah mengambil keputusan seperti itu, aku bisa apa?" ujar Jeff mengangkat bahu. Berganti posisi duduk, kini kedua lengannya diposisikan melingkari kedua kaki yang tertekuk ke atas.
"Tapi kupikir itu keputusan yang tepat," kataku lebih memilih merespons perkataan Jeff daripada Dinda. Lagi pula, dia juga sedang sibuk dengan Aldi yang tengah menunjukkan sesuatu di ponselnya.
"Kamu berpikir begitu?"
Aku mengangguk, tapi mata terus menatap ke depan. Memperhatikan Randa yang akhirnya memutuskan untuk membuka kembali lipatan kertas surat.
"Biar ngga ada lagi cerita-cerita sedih," jawabku. "Biar benar-benar berakhir dengan cerita bahagia."
"Jika benar yang terakhir ini adalah cerita yang bahagia."
“Ah, iya betul. Aku berharap begitu,” kataku sependapat. Kudapati Jeff tersenyum, tapi wajahnya tidak mengarah padaku seperti biasanya. Entah kenapa malahan aku yang seperti menunggu-nunggu Jeff menoleh.
"Jadi, bener-bener cerita terakhir nih?"
"Iya, Dino, Sayang. Ngga denger apa yang Danu bilang?" sahut Bella nyaring. Malam hari tidak membuat suaranya itu memelan sedikit saja.
"Serius lo panggil gue 'sayang'? Akhirnya setelah tiga tahun lamanya."
"Bodo." Bella sontak melengos.
"Pada setuju ngga nih, gue lanjut bacain?" tanya Randa yang mungkin mood membacanya sudah hilang sekian persen akibat kejailan Jonathan.
"Setujuu," seru Jonathan tak sedikit pun merasa bersalah.
Alis Randa terangkat. "Oke."
Tes, tes, satu, dua, tiga.
“Suara lo udah kedengeran, Randa. Ngga perlu tes, tes segala,” sahut Oni.
“Eh, emang kayak gitu tulisan di suratnya, ih si Oni,” timpal Eca sebal.
“Oh, hehe. Sorry, Randa. Peace.”
“Aduh pasangan ini berantem aja deh,” celetuk Tasya tak kalah kesal.
Aku berani bertaruh jika setelah ini masih saja ada yang berisik di tengah-tengah Randa yang sedang membaca, lelaki itu pasti akan mengamuk.
Mata Randa bergulir kesal. Kentara sekali. Mengenalnya selama beberapa bulan belakangan ini, setidaknya aku jadi tahu beberapa hal tentangnya: dia tidak suka orang yang menurutnya ribet dan yang terpenting adalah dia tidak suka orang yang membuang-buang waktu. Dan baginya, celetukan-celetukan tidak penting seperti ini sungguh membuang waktu. Mungkin sekarang dia menyesal karena sudah menjadi volunter untuk membacakan cerita. Lagi pula, ada-ada saja. Untuk apa juga dia mau repot-repot jadi pembaca?
Gue berharap cerita gue ini bisa jadi penutup acara kita malam ini. Meskipun gue sadar diri kalau mungkin tulisan gue ngga sebagus tulisan yang lain, tapi gue yakin kalau cerita ini akan jadi penutup yang sempurna.
“Dih, pede amat,” celetuk Dinda. Beruntung hanya aku yang mendengar.
Jujur dari awal gue masuk sekolah, gue sama sekali ngga tau dia siapa. Dia ngga pernah muncul di depan mata gue dan namanya pun juga ngga pernah masuk ke telinga gue.
Bagi gue, perempuan ini benar-benar asing.
“Asik deh, penulisnya cowok lagi nih.” Adis berkomentar. “Anak cowok ternyata pada suka nulis cerita juga ya?”
“Ya, coba tanya aja sama cowok lo. Jangan-jangan diem-diem dia punya diari,” balas Jonathan dimana Adis langsung menoleh kilat pada Eric untuk mencari jawaban. Eric pun membalas tatapan Adis dengan dahi mengerut dan kepala menggeleng kencang.
Kenapa sih mereka semua tidak bisa diam saja? Aku hanya ingin mendengar suara Randa. Jarang sekali aku mendengar dia bicara begitu panjang, karena biasanya dia selalu pelit kata-kata, bahkan denganku. Terlebih kali ini dia sedang dalam rangka membicarakan cerita cinta seseorang yang lebih terdengar seperti pernyataan dari dirinya sendiri—walau aku tahu itu merupakan suatu hal yang mustahil. Yah, apa salahnya berandai-andai.
Sampai akhirnya datang momen dimana mata gue benar-benar cuma lihat wajah dia dan telinga gue cuma dengar nama dia. Di situ gue berpikir … selama ini dia ke mana aja? Kenapa gue ngga pernah tau dia ada?
“Tidur mulu kali lo, kayak Zaki. Sampai-sampai ngga pernah tau ada tuh cewek,” celetuk Eca lagi dan lagi. Membuatku menggeram dalam hati. Hanya saya, yang lainnya ikut tertawa. Tidak mempedulikan Randa yang sudah melirik sinis. “Ampun, Randa. Lanjut!”
Mungkin orang lain menganggap gue berlebihan, tapi faktanya memang itu yang gue rasain. Dan dia adalah satu-satunya orang yang buat gue jadi se-berlebihan itu.
Dia adalah satu-satunya orang yang selalu tersenyum ke gue meskipun gue terlalu kaku buat lakuin hal yang serupa. Dia adalah satu-satunya orang yang akhirnya buat gue tau gimana ngga enaknya rasa cemburu itu. Dan dia adalah satu-satunya orang yang buat gue merasa sangat menyesal karena udah buat dia marah sampai dia mutusin untuk break sementara waktu.
Aku seketika tertegun.
Dia, tidak serius, ‘kan?