Hari ini kacau. Aku bangun kesiangan sampai tidak menyiapkan segala sesuatunya dengan baik. Pagi hari sudah kelabakan. Sarapan terburu-buru. Lupa membawa tugas sehingga di tengah jalan harus kembali lagi dan akhirnya sampai di sekolah lima belas menit sebelum bel masuk. Jika ini adalah hari biasa mungkin tidak jadi masalah, dan masalahnya, hari Rabu pada kesempatan kali ini adalah hari yang tidak biasa karena bertepatan dengan tanggal 28 Oktober yang sudah pasti merupakan Hari Sumpah Pemuda. Jadwalnya kami, anggota Paskibra, tampil sebagai inti dari kegiatan upacara. Memang aku sudah kelas XII yang seharusnya tidak perlu tampil. Namun khusus untuk hari ini, aku masih diminta untuk menjadi salah satu dari banyaknya anggota pasukan yang tampil. Butuh waktu lebih lama untuk berganti seragam dan mengenakan atribut. Biasanya kalau sudah panik begini, bisa-bisa aku lupa bagianku sendiri.
Saat aku muncul, orang-orang di dalam ruangan bersorak. Merasa beruntung karena akhirnya aku datang. Aku pun bersyukur juga karena mereka sudah mempersiapkan semua barang-barang untukku, jadi aku tidak perlu menghabiskan waktu lama untuk mencari. Tinggal pakai dan beres.
“Tumben dateng telat," cetus salah seorang temanku saat sedang membantuku menggunakan syal juga peci.
“Alarm gue kayaknya ngga nyala atau gue yang ngga denger. Ngga tau,” jawabku masih kesal. Tidak mau kalau kejadian pagi ini terulang lagi di hari-hari berikutnya. Terutama jika sedang ada agenda seperti ini. Bahaya.
“Oke semuanya. Ke depan yuk.”
Aku mencoba mengatur napas. Ini bukan perlombaan. Seharusnya aku tidak perlu segugup ini. Tidak akan ada juri. Tidak akan ada orang-orang dari sekolah lain yang melihat bagaimana penampilan kami. Sudah seharusnya aku bisa lebih tenang. Hanya saja ketika melihat kerumunan anak-anak dari kelas X hingga XII di tengah lapangan, yang ada jantungku justru berdetak semakin cepat. Heran. Aku jadi seperti kembali lagi saat kelas X dimana pertama kalinya tampil di depan seluruh warga sekolah. Atau mungkin karena hari ini pertama kalinya aku kembali tampil setelah masuk kelas XII? Mendramatisasi sekali.
“Ana!” seru seseorang dari dalam barisan peserta upacara. “Semangat ya!”
Aku pun mengangguk tersenyum atas semangat yang diberikan Yogi, juga membalas lambaian tangan Eca yang ikut melambaikan tangan penuh semangat padaku, dan hanya diam menatap Randa yang hanya berdiri menatap dimana kedua tangannya disembunyikan di dalam saku celana. Saat upacara berlangsung, mereka bertiga memang akan langsung mengakuisisi posisi barisan bagian belakang. Tidak boleh diganggu gugat. Padahal nyatanya mereka tidak tinggi-tinggi amat. Seharusnya bisa saja baris di depan.
Sekitar lima belas menit setelah upacara dimulai, pasukan kami akhirnya terpanggil. Derap langkah yang berirama membawa kami masuk ke tengah lapangan. Sampai akhirnya masing-masing dari kami bergerak memecah barisan hingga membentuk sebuah formasi. Beruntung gerakan yang kulakukan lancar. Dan setelah gerakan ini, aku ingat betul apa yang harus kulakukan. Lebih tepatnya adalah aku beserta dengan beberapa orang yang kini berdiri sejajar denganku. Gerakan yang membuatku agak malas sebenarnya, karena harus berbalik, sehingga akan berhadapan dengan para peserta upacara. Sialnya lagi, peserta upacara di belakangku adalah anak kelasku sendiri. Begitu pas. Tanpa direkayasa.
Tidak masalah, karena Nina yang baris paling depan. Aku melihatnya tadi.
Dan aku pun berbalik.
Apa yang kulihat sekarang nyaris membuatku kehilangan senyum yang harus kutunjukkan. Pasukan lelaki harus angkuh dan pasukan perempuan harus tersenyum. Itulah yang selalu kami lakukan ketika sedang tampil. Namun sayangnya, seseorang di hadapanku kini justru hampir membuatku berteriak. Bahkan aku menyadari kalau kedua mataku langsung melebar dan napasku sampai tertahan saking kagetnya.
Randa benar-benar tidak bisa kuibaratkan dengan apa pun.
Kurang lebih hampir tiga menit sampai bendera siap dibentangkan. Selama itu pula aku tidak bisa berpaling ataupun berganti posisi. Mau tak mau aku harus mengunci tatapanku ke depan, ke arah Randa. Saat ini entah mengapa satu menit itu terasa lama. Aku akui bahwa ini adalah momen dimana aku bisa menatapnya begitu lama. Tidak berkata apa pun. Cuma menatap. Begitu pula dengan dirinya. Dia juga hanya membalas tatapanku dengan ekspresi datar miliknya. Aneh jika kurasa semakin lama rasa canggung ini semakin hilang. Aku justru merasa tenang dan nyaman. Bahkan senyumku makin mengembang.
Rasanya aku tidak ingin berbalik.
❤️❤️❤️
Dikarenakan di hari Rabu ini jam pelajaran terakhir kami adalah Seni Musik, Danu memberi ide untuk waktu latihan pertunjukan untuk perpisahan sekitar satu jam, sebelum kami benar-benar pulang. Beberapa orang di antara kami awalnya tidak setuju, tapi Danu memohon dengan sangat agar semua anak tetap di tempat karena waktunya semakin menyempit. Kami harus menampilkan yang semaksimal mungkin dan penampilan yang demikian harus disertai dengan latihan yang lebih dari cukup.
Kalau boleh jujur, sebenarnya kami bosan mendengar antusiasme Danu yang begitu berkobar-kobar di saat latihan-latihan kami yang tidak terlalu memberi hasil yang signifikan. Meskipun begitu, kami sangat menghargai Danu beserta kerja kerasnya sebagai ketua kelas, jadi sebisa mungkin kami tetap semangat dan ikut memaksimalkan waktu yang ada. Danu pun janji tidak akan lebih dari satu jam. Setelah itu, kami bisa benar-benar pulang.
“Kalian mau camilan apa? Biar gue yang traktir," kata Danu setelah latihan selama satu jam berlalu.
“Keripik-keripik aja, Dan. Biar simpel.”
“Eh jangan keripik. Berantakan nanti remah-remahnya," jelas Tito.
“Yailah Tito semua makanan pasti ada aja deh remah-remahnya.”
“Kan biar ruang musik ngga kotor,” belanya lagi. Masih berupaya menjauhkan daerah sekelilingnya dari kata kotor. Baik itu remah seukuran semut pun dia tetap terganggu.
“Kalau kotor ada Bella sama Tasya ini yang beresin,” tambah Dinda.
“Ih makasih. Lo aja,” protes Tasya.
Beruntung Bella tidak mendengar karena sedang mengobrol dengan Jonathan. Terkadang dua manusia itu terlihat akur, karena memang sebenarnya Bella dan Jonathan memiliki kesamaan yang mungkin tidak mereka sadari dan mereka selalu mengelaknya. Hanya saja ketika sekalinya tidak akur karena suatu hal, mereka akan langsung berubah seperti seekor anjing dan kucing.
“Oke. Kalau gitu gue pesan keripik sama minuman dingin ya,” ujar Danu.
“Danu emang terbaik dah,” puji Eca yang tengah merebahkan diri di balik alat musik bonang—semacam alat musik berupa gong kecil yang diletakkan di atas tali dalam bingkai kayu.
Danu pun pergi keluar ruang musik untuk membeli camilan. Spontan aku tersenyum saat mendapati Nina ikut menyusul ke luar. Sepertinya diam-diam mereka berdua sudah jadian. Anak-anak pasti kaget saat tahu. Tentunya kami akan mendukung juga, kecuali satu orang mungkin. Joy.
Usai satu jam berlalu, kupikir tidak sia-sia juga kami latihan. Vino dan Grace mengatakan kalau secara keseluruhan penampilan kami sudah membaik dibanding dengan yang sebelum-sebelumnya. Tinggal dipoles beberapa kali lagi, pasti penampilan kelas kami akan menjadi penampilan terbaik.
“Mau ke mana?” tanya Dinda saat aku meletakkan angklung yang kupegang. Tahu saja kalau aku mau pergi.
“Keluar sebentar. Pegel.”
Duduk lesehan di atas lantai berkarpet membuat badan cepat pegal. Kakiku saja sempat kesemutan dan sakit saat dibuat berdiri. Jadi aku memilih jalan keluar ruangan saja. Berdiri bersangga pada pinggiran pagar teras lantai dua sekolah. Lumayan mengistirahatkan kedua kaki agar tidak mudah kram.
“Jus mangga?”