Dia memutar-mutar pena di genggaman tangan kanannya. Hampir enam puluh detik berlalu dan kolom satu itu masih saja kosong.
Kegiatan apa yang paling Anda senang lakukan?
Keningnya berkerut, menandakan otaknya sedang berpikir keras. Sesaat kemudian, ia tersenyum lebar seperti sudah mendapatkan jawaban.
Dengan cepat, ia menggoreskan tinta ke atas kertas; tepat di kolom kosong itu.
Menghancurkan kebahagiaan orang lain.
***
Namanya Erela. Dalam bahasa Ibrani, artinya adalah malaikat.
Nama itu mungkin adalah satu-satunya hal baik yang menempel di diri gadis itu. Parasnya cantik, tubuhnya molek, dan otaknya encer. Kombinasi yang dibenci sampai mati oleh kaum hawa dan tidak mungkin ditolak oleh kaum adam.
Tapi bukan itu yang membuat Erela terkenal di kalangan mahasiswa. Bukan itu yang membuat mahasiswa jurusan lain atau bahkan kampus lain mengetahui keberadaanya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Erela mempunyai nama panggilan lain.
Men snatcher.
Kabar beredar, gadis itu senang menjadi orang ketiga dalam suatu hubungan. Secara terang-terangan dan terbuka. Artinya ia tahu secara sadar dan waras bahwa lelaki yang ia dekati itu sudah menjadi milik sah wanita lain. Dan ia tidak malu menampilkan kemesraannya di depan khalayak umum yang sudah pasti menjadi pendukung wanita malang yang menjadi korban.
Para penonton – yang sudah kenyang disuguhkan drama seperti ini berulang kali hanya saja dengan pemeran utama prianya berbeda-beda – dan para korban sebelumnya hanya berpesan satu saja bagi wanita malang yang tertimpa musibah kali ini. Berdoa sekuat dan sebanyak mungkin kepada Tuhan Yang Maha Esa agar si lelaki diberikan iman yang kuat untuk melawan godaan Erela. Yang mana sebenarnya, secara statistik tidak terlalu menunjukkan hasil memuaskan.
Begitu sang dosen mengakhiri kuliah, Erela langsung bangkit dari tempat duduknya. Sembari berdiri, ia merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. Senyum kecil menghiasi bibirnya, mengingat sehabis ini ia ada kencan dengan Aditya. One of those rich boys.
Bruk!
Seseorang menabrak bahu Erela sembari lewat. Tak ayal membuat ponselnya mencium lantai. Perempuan itu hanya melenggang melewati Erela, tanpa menoleh apalagi mengucapkan maaf.
Dengan cepat, ia memungut kembali ponselnya dan menyambar botol minum di atas salah satu meja. Erela melangkah ke luar kelas dengan langkah lebar-lebar. Ia harus memberi pelajaran kepada perempuan sialan itu. Matanya dengan cepat menangkap keberadaan perempuan yang tadi menabrak dirinya dengan sengaja.
Setelah yakin berada dalam radius yang cukup dekat, Erela menyiramkan seluruh isi botol air mineralnya ke perempuan itu. Perempuan itu gelagapan lalu menjerit kaget. Begitu pula dengan beberapa orang di sekitarnya.
“Kalau lu punya masalah sama gue, ngomong langsung di depan muka gue. Enggak perlu main tabrak lari kayak tadi. Bitch!” desis Erela.
Lalu Erela menabrak sambil lalu bahu perempuan itu hingga ia terhuyung ke belakang dan melangkahkan kakinya menjauh dari kerumunan yang ia buat.
Erela itu anomali. Sekali waktu, tatapannya sinis, mulutnya setajam pisau tanpa pengaman, dan ia tidak segan-segan menambah musuh baru. Lain waktu, ia dapat menjadi seseorang yang sangat manja dan manis; dengan nada centil dan kenes yang membuat orang-orang, khususnya laki-laki, mudah mengabulkan keinginannya.
***
Namanya Gabriel. Dalam bahasa Ibrani, artinya Tuhan adalah kekuatanku. Atau juga dikenal dalam kitab suci sebagai malaikat pembawa kabar.
Laki-laki itu adalah mahasiswa arsitektur yang akhir-akhir ini lebih sering terlihat beredar di Fakultas Ekonomi daripada di fakultasnya sendiri. Wajahnya memang tidak tampan sekali, tapi senyumnya manis lengkap dengan lesung pipi. Selalu menduduki peringkat teratas di angkatannya, aktif di berbagai kegiatan organisasi, dan merupakan calon kuat ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Universitas tahun ini.
Dan yang paling penting, nama yang disandangnya tersebut terwujud sempurna dalam setiap tingkah lakunya. Laki-laki itu selalu baik dan ramah kepada siapa pun.
Tapi bukan itu yang membuat Gabriel (semakin) terkenal di kalangan mahasiswa. Bukan itu yang membuat para mahasiswa selalu bisik-bisik setiap ia lewat dan memandanginya dari atas hingga ke bawah berulang kali.
Sudah dua bulan berlalu dan Gabriel masih saja rajin mendatangi Erela di Fakultas Ekonomi. Ia masih rajin meminta Erela untuk menjadi kekasihnya, atau paling tidak menjadi temannya. Dan Erela menolak Gabriel dengan konsisten.
Mungkin hanya Tuhan yang tahu kenapa laki-laki itu begitu ngotot mendekati Erela. Kalau dipikir-pikir dengan akal sehat dan waras, tidak mungkin laki-laki seperti Gabriel jatuh cinta dengan perempuan seperti Erela. Dengan dasar pemikiran seperti itu maka para penonton pun mencapai satu kesimpulan bersama yang paling memungkinkan; Erela pasti main dukun!
“Rel, hari ini udah mau jadi pacar aku?”
Kalimat yang sama dilontarkan kembali dari mulut Gabriel ketika laki-laki itu menghampiri Erela yang sedang berdiri di pelataran fakultas. Erela tidak bereaksi. Ia bahkan tidak bersusah payah menoleh.
“Jadi teman aja deh, Rel,” ujar Gabriel lagi.
“Apaan sih!” Erela mengibaskan tangannya. Ia menatap Gabriel tajam. “Lu tuh ganggu banget! Gue enggak suka sama lu dan enggak bakal suka sama lu, ngerti? So, get lost!”
Tepat saat itu, sebuah mobil sedan sport berwarna biru tua memasuki area drop-off fakultas. Erela segera menuruni anak tangga dan masuk ke dalam mobil itu. Meninggalkan Gabriel yang masih berdiri terdiam di pelataran fakultas.
“Gab.” Bram, sahabatnya, tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya dan menepuk bahu kiri Gabriel. “Sumpah, gue enggak ngerti.”
Gabriel sudah dapat menebak kelanjutan kalimat tersebut.
“Elu tuh ya harusnya bisa dapat cewek yang lebih cantik, lebih pintar, dan lebih baik daripada Erela. For God’s sake! Kenapa harus Erela sih? Lu tahu sendiri kan reputasi cewek itu enggak ada bener-benernya.”
“Ya, ya, ya. Elu tahu sendiri alasannya,” sahut Gabriel singkat. Ia beranjak meninggalkan Bram sambil menepuk singkat bahu sahabatnya itu.
Kening Bram mengernyit sambil memandangi kepergian Gabriel. Ia masih tidak percaya kalau sahabatnya itu naksir Erela hanya karena perempuan itu mengembalikan ponsel Gabriel yang tertinggal di tempat fotokopi. Yang benar saja.
Jangan-jangan Erela benar main santet!
***
Erela meringis saat ia merasakan rambutnya dijambak. Wajahnya terpaksa menengadah mengarah pada sesosok perempuan di hadapannya. Sepatu hak tinggi model terbaru dari Louboutin itu mengetuk lantai semen dengan tempo lambat. Erela berusaha menarik kedua tangannya lepas dari genggaman. Sia-sia. Kedua laki-laki yang memegangi tangannya ini memiliki postur tubuh seperti tukang pukul.
Perempuan itu kemudian melangkah dengan anggun, mendekati Erela. Jemarinya yang lentik, lengkap dengan kuku-kuku hasil manikur rutin, menelusuri wajah Erela perlahan. Senyum kecil asimetris tersungging di bibir bergincu merah itu.
“Jadi elu wanita jalang yang udah merebut pacar gue?”
Otak Erela langsung berputar cepat. (Mantan) Pacar siapakah yang ada di hadapannya ini. Mantan pacarnya Rio? Thomas? Kevin? Evan? Riz-
“Gue enggak habis pikir apa yang bikin Aditya tergila-gila sama lu sampai dia meninggalkan gue demi lu.”
Oh. Mantan pacarnya Aditya. Seniornya di kampus, mahasiswa Fakultas Teknik Perminyakan. Laki-laki yang belum lama ini Erela tendang dari kehidupannya karena sudah membosankan. Sudah tidak menantang. Tidak mempunyai apa-apa selain harta yang sebenarnya milik kedua orangtua Aditya, bukan milik laki-laki itu sendiri.
Kalau tidak salah, nama mantan pacarnya Aditya adalah…
“Jane. You’re still asking why?” Erela tertawa kecil, menikmati pemandangan di hadapannya.
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Erela.
“DASAR PELACUR!”
Dasar. Pelacur.
Sudah lama Erela tidak mendengar kedua kata tersebut. Tidak ia sangka kata-kata tersebut tidak lagi ditujukkan untuk wanita serigala berbulu domba itu, melainkan untuk dirinya. Erela masih ingat jelas ketika ia berusia tujuh tahun dan berdiri di ambang pintu rumahnya sambil memeluk boneka. Ibunya meneriakkan kata-kata tersebut sambil berurai air mata.
Di hadapan ia dan ibunya, ada ayahnya dan Tante Karin, sahabat baik ibunya yang selalu membelikan Erela berbagai boneka lucu. Ayahnya hanya mengenakan celana pendek tanpa atasan, sementara Tante Karin hanya berbalut handuk. Ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia bahkan tidak tahu apa arti dari pelacur.
Kemudian semuanya berlangsung cepat. Ibunya berbalik lalu menggendong Erela keluar dari rumah. Dari balik tengkuk ibunya, Erela dapat melihat ayahnya hanya berdiri mematung di sana. Mati-matian Erela berusaha menjulurkan tangannya untuk menggapai ayah kesayangannya. Ayah yang selalu mengantarnya pergi ke sekolah. Ayah yang membelikannya es krim cokelat. Ayah yang mengajarkannya naik sepeda dan berenang. Tetapi ayahnya hanya diam tak begeming menatap kepergian Erela.
Bertahun-tahun kemudian Erela akhirnya mengerti apa yang terjadi. Bertahun-tahun kemudian Erela akhirnya menyadari bahwa ayah kesayangannya itu telah menjadi patah hati Erela yang pertama. Dan terakhir kali.
Bau amis darah menusuk indera penciuman Erela. Telinganya berdenging hebat. Ia merasakan kulit pipinya terbuka dan lidahnya menguarkan rasa nyeri yang dahsyat. Mati-matian ia mendongakkan kepalanya, berusaha menatap Jane.
“Puas?” Erela terkekeh dengan napas tersengal. “Mau berapa kali pun lu nampar gue, Aditya enggak bakal mau balik sama lu! You are not even worth it a bit!”
Mata Jane terbelalak. “Ap – BRENGSEK!”
Sebuah tamparan keras kembali mendarat di pipi Erela hingga membuat gadis itu agak terhuyung ke belakang.
Sialan. Perempuan-perempuan seperti Jane ini seharusnya berterima kasih kepada Erela. Karena Erela, mereka tidak perlu terjebak menghabiskan sisa hidup mereka bersama dengan laki-laki tak bermoral yang dengan mudahnya mengganti wanita seperti mengganti pakaian dalam! Karena Erela, tidak perlu lagi ada wanita malang seperti ibunya.
“Brengsek! Brengsek! Brengseeeeeek!” jerit Jane tidak beraturan. Tangannya masih sibuk menjambak dan memukul bagian tubuh Erela mana saja yang dapat ia jangkau. “Seharusnya cewek seperti lu itu mati aja! Lu udah menghancurkan hidup gue! Kenapa sih lu ganggu hubungan gue dengan Adit? KENAPAAAAA!”
Bersamaan dengan lengkingan Jane, terdengar suara pintu didobrak dengan keras.
“ERELA!”
Di tengah sisa-sisa kesadarannya yang terakhir, Erela dapat melihat Gabriel mengampirinya dengan sorot mata cemas.
***
Bel pintu apartemen Erela berdering lagi. Dering yang sama dalam tiga bulan terakhir setiap pagi, siang, dan malam. Setelah bel itu berhenti berdering, Erela akan menemukan sebuah plastik berisi makanan hangat yang tergantung di gagang pintu. Selalu.
Siapa lagi yang rajin mendatangi kediaman Erela selain laki-laki itu? Bahkan setelah Erela memutuskan untuk cuti kuliah sementara karena lelah dengan semua drama, gunjingan, dan tuduhan.
Tapi hari ini Erela akan menghentikan semua deringan bel tersebut. Maka ketika bel itu berdering, Erela cepat-cepat berjalan menuju pintu dan membukanya.
“Lu tuh stalker ya?” sindir Erela.
“Hai, Rel,” sahut Gabriel sambil tersenyum dan mengacungkan kantong plastik yang dijinjingnya.. Ia bahkan mengabaikan sindiran Erela. “Akhinyaaa… Boleh masuk?”
Erela menggeser badannya sedikit, memberi ruang pada Gabriel untuk lewat. Laki-laki itu masuk dan duduk di sofa. Ia meletakkan kantong plastik yang dibawanya di atas meja berkaki pendek di hadapan sofa.
“Oke, spill it. Sebenarnya mau lu itu apa sih? Gue udah bilang kalau gue-”
“Maaf, Rel,” sela Gabriel sambil menarik Erela duduk di sampingnya. Kedua matanya mengunci mata Erela.
Maaf?
“Maaf karena aku datang terlambat di dalam hidup kamu. Maaf karena kamu harus melewati masa-masa menyakitkan itu sendirian.”
Napas Erela tertahan. Matanya mengedip perlahan. Ia tidak pernah menyangka kata maaf yang selama ini ditunggunya keluar dari mulut laki-laki di hadapannya ini.
“Maaf karena kamu harus berubah menjadi seperti ini. Maaf karena hatimu harus patah sebelumnya. Maaf karena aku tidak dapat melindungimu di saat semua orang menudingmu. Maaf karena aku tak sempat menawarkan uluran tangan ketika kamu berada di titik terendahmu. Maaf, Rel. Maaf.”
Kelopak mata Erela mengedip cepat. Matanya terasa panas dan basah. Satu dua bulir air mata jatuh menuruni pipinya. Tidak butuh waktu lama hingga aliran air mata itu membasahi wajahnya dan membuatnya sesenggukan.
Gabriel merengkuh Erela ke dalam pelukannya. Ia mengusap perlahan rambut gadis itu.
“But, please, let me in, Erela. Ijinkan aku untuk menolongmu. Let me be your guardian angel. Sekarang dan selamanya.”
Erela terisak di bahu Gabriel. Ia mempererat pelukannya.
***
Sorakan dan seruan ucapan selamat menggema ketika Gabriel menghampiri salah satu meja di bar empat jam yang lalu. Mayoritas penghuni meja itu laki-laki. Ada beberapa wanita seksi di sana, tapi yang jelas wanita-wanita itu bukan kekasih salah satu dari mereka.
“Gilaaa! Selamat, Bro! Gue enggak nyangka kalau yang berhasil memenangkan taruhan ini adalah Gabrieeeeel!” Laki-laki itu menyodorkan sekotak iPhone seri terbaru sebagai hadiah taruhan yang dimenangkan oleh Gabriel.
Semua orang di meja itu ikut bersorak. Salah seorang dari mereka mengangkat gelas minumannya.
“Untuk Gabriel dan kemenangannya menaklukkan Erela! Cheers!”
Gabriel tersenyum singkat lalu menegak minumannya. Di hadapannya adalah para lelaki korban sakit hati Erela. Gabriel dengan senang hati ikut ke dalam taruhan mereka. Bukan karena simpati, apalagi empati. Ia mempunyai masalah dengan wanita jalang yang menjadi orang ketiga seperti Erela. Seperti wanita yang telah merebut Papa darinya dan Mama.
Dengan sukarela dan sepenuh hati, Gabriel akan menghancurkan wanita-wanita seperti itu. Karena Gabriel, tidak perlu lagi ada wanita malang seperti mamanya.
“We stopped checking for monsters under our bed when we realized they were inside us.”
- Joker
***