Malam minggu merupakan malam yang lebih ramai dibandingkan hari-hari lainnya. Hal ini juga dimanfaatkan oleh para muda-mudi untuk berjalan bersama. Menikmati berbagai tempat relaksasi, menikmati kuliner malam bersama atau bersenang-senang.
Patricia pun tidak luput dari hal-hal tersebut. Ia mengajak Gilbert untuk bepergian sekedar makan malam atau mengerjakan skripsi di café apabila Gilbert tidak ingin waktunya terbuang begitu saja. Namun Gilbert tidak mau, ia lebih suka berada di kos-kosannya. Ia dapat berjalan di hari apa saja namun hari Sabtu Minggu adalah hari dimana ia akan ngebut untuk mengerjakan apa yang perlu dikerjakan sehingga weekdays tidak terlalu repot.
Beberapa minggu selanjutnya, terutama di minggu ini Gilbert melihat Patricia sangat sibuk. Ia bolak-balik pergi ke labnya dan ke ruangan program studi mereka. Ia mendengar desas desus dari teman sejurusannya bahwa gadis itu akan melaksanakan seminar proposal.
Seminarnya ia laksanakan hari Senin dari pagi hari. Setelah selesai, gadis itu terlihat melakukan foto bersama dengan teman-teman seangkatannya yang hadir. Gilbert juga berada di kampus saat melihat semuanya sedang berfoto di depan gedung dekanat fakultas.
Hari dimana bisa melalui satu tahap lebih lanjut merupakan hal yang membahagiakan. Ia dapat melihat Patricia yang terus tersenyum dan tertawa. Ia bertemu tatap dengan gadis itu, tetapi dengan cepat ia mengalihkan pandangan.
“Hei, apasih?!” Gilbert berseru kesal ketika tersadar dari lamunan kosongnya ia sudah ditarik Patricia di halaman depan gedung.
“Fotokan kami, dong!” Patricia meminta pada teman-temannya dan dibalas seruan menggodanya.
Patricia menggandeng tangannya dan melakukan beberapa pose dengannya. Teman-teman lainnya berseru seolah tahu bahwa gadis itu memiliki perasaan padanya.
Mungkin karena ini hari baiknya, Patricia mengungkapkan segalanya. Ia berpamitan pergi terlebih dahulu sambil menarik lengan Gilbert lagi. Gilbert risih dan berusaha melepaskannya, tetapi Patricia masih terus menariknya dan membujuknya bahwa ia akan melakukannya hanya sekali ini saja.
Tangan yang saling menggenggam dan tatapan yang tidak fokus, Patricia sedang gugup sekarang. Ia menarik napas panjang lalu menghembuskannya, berusaha menetralkan degupan jantungnya yang buat ia berkeringat gelisah.
“Gilbert, aku ingin mengatakan sesuatu. Aku tahu kamu mungkin sangat sering dan bosan dengannya. Namun aku serius, sebelumnya ketika aku mengatakan hal yang sama juga serius. Aku sangat menyukaimu, Gilbert. Aku mencintaimu.
“Melihatmu rasanya jantungku terus berdebar dengan menyenangkan, aku ingin terus berada di dekatmu dan membahagiakanmu. Kamu yang tersenyum sangat indah dan aku ingin terus membuatmu seperti itu. Cupid mentakdirkan kita namun aku sudah tertarik padamu sebelum ia menembakkan panahnya. Maaf aku kurang ajar karena mengganggumu, tapi aku ingin berusaha agar dekat denganmu.”
Gilbert mengehela napas. “Maaf, ya tapi bukankah sudah kukatakan beberapa kali bahwa aku tidak memiliki perasaan yang sama. Bukankah yang kau lakukan ini sama saja dengan pemaksaan?”
“Tapi kita dipilih langsung oleh dewa. Bukankah itu berarti baik?”
Gilbert menatap Patricia dengan tajam. Ia sudah berusaha menahan amarah dan rasa kesalnya selama ini. Sudah sekian kali juga mengatakan pada gadis ini bahwa ia tidak tertarik dengannya, tidak mencintainya.
Namun ia tidak mau mendengarkan. Ia terus saja mendekati Gilbert dan membahas mengenai ikatan takdir mereka.
Sekarang, ia ingin mencurahkan semua isi hatinya dengan lantang. Cupid dan gadis ini harus mendengarnya dengan baik. Tidak ada lagi pemaksaan tidak berguna. Biarkan ia hidup sendiri tanpa cinta. Lagipula bukankah segala sesuatunya tidak baik dipaksakan!
“Dengar, ya Patricia. Aku tahu kalau kamu pernah merenggangkan jarak denganku, kan. Namun mengapa kamu berubah pikiran lagi? Aku bersikap baik padamu, bukan berarti aku berusaha menerima cintamu. Bukankah aku juga sudah sering berkata padamu, aku tidak pernah tertarik padamu! Berhenti menyukaiku, berhenti berharap dan memaksaku menyukaimu!
Cupid tampaknya sangat menyayangimu, kenapa tidak minta saja langsung pada dia! Harusnya dia bisa membuatku jatuh cinta padamu dengan instan seperti yang ia lakukan padamu, bukan? Bukankah ini membuktikan tidak berkuasanya ia karena tidak dapat membuatku jatuh cinta?”
Gilbert mengatakan semuanya dalam satu tarikan napas dan membuat ia tersengal. Semua rasa amarah yang keluar dari dirinya meluap keluar. Terjadi keheningan selama beberapa saat setelah Gilbert mengatakannya.
Di hadapanya, ada Patricia yang berdiri dengan wajah tegang. Masih terdapat kalimat mengganjal yang ingin dikeluarkannya, melihat tatapan Patricia seperti itu membuat Gilbert menjadi sedikit ragu. Namun ia kembali menekankan dirinya. Kalau bukan sekarang, kapan lagi ia bisa lepas dari takdir Cupid yang menyebalkan.
“Aku benci kau dan Cupid bodoh itu. Aku tidak menyukaimu. Aku harap aku tidak pernah bertemu denganmu lagi.”
Gilbert sudah lelah dengan permainan rasa. Ia sudah mengatakan berkali-kali kalau ia tidak memiliki perasaan, tetapi ia terus dituntut untuk mencintai orang tersebut. Seorang ‘dewa’ cinta memang berkata bahwa ia telah menarik panah dan memberinya seorang takdir. Jikalau memang benar seperti itu, mengapa sampai sekarang ia tidak merasakan apapun?
Gilbert merasa ia sudah cukup jelas mengatakannya. Tampak dari wajah Patricia yang tercekat. Ia dapat melihat orbs gadis itu yang mulai berkaca lalu mengalirlah air mata kepedihan.
Ia masih menatap Patricia dengan datar beberapa saat. Ia ingin mengatakan lewat raut wajahnya bahwa ia benar-benar serius kali ini. Patricia merasa sangat sedih dan ia berlari meninggalkan Gilbert.