Kehidupan anak kuliah semester akhir memang sedikit kacau. Tidak ada jadwal yang pasti kapan mereka akan pergi ke kuliah. Tidak ada yang menjamin pula kalau di tempat kediaman akan benar-benar waras. Tugas mereka memang hanya tersisa satu, tetapi satu tersebut berbobot berat dapat memberikan beberapa dampak pada mahasiswa.
Walaupun tidak sedang melakukan bimbingan, Gilbert sesekali pergi mengunjungi laboratorium dan perpustakaan. Ia pernah mendengar bahwa duduk di kampus lebih baik daripada hanya berdiam di rumah. Di kampus, ia bertemu dengan kawannya dan orang lain lalu saling bertukar pikiran untuk menyelesaikan tugas akhir perkuliahan. Berada di lingkungan yang suportif membuat mood-nya juga naik untuk mengerjakan tugas pekuliahan.
Ia belum mencari pekerjaan. Di kehidupan ketujuhnya yang baik, ia diberkati dengan keluarga yang baik. Orang tuanya mengatakan bahwa ia tak perlu risau karena masih mencukupi kebutuhannya. Gilbert fokus saja pada pendidikannya supaya tertanam dalam pikirannya dengan baik dan dapat langsung ia aplikasikan. Pernah dikatakan sebelumnya bahwa kakaknya juga sangat memanjakkannya seperti anak kecil.
Gilbert tidak terbiasa hidup dalam perhatian seperti ini karena masa lalunya yang lebih banyak kepahitan. Sehingga ia tidak terlihat dekat dan jarang meminta bantuan mereka. Meskipun begitu mereka tetap berusaha mengerti Gilbert.
Saat Gilbert menjadi sering melaksanakan agendanya di kampus, ia sering bertemu dengan Patricia pula. Gadis itu kadang terlihat menyendiri, terkadang juga terlihat bersama teman-temannya. Terkadang ia juga melihat gadis itu berada di workshop yang terletak di belakang gedung laboratorium mereka. Ketika ia bertemu tatap dengan gadis itu, ia langsung menghampiri Gilbert dengan girang.
“Gilbert, kamu akan pergi kemana? Mari kita pergi bersama lagi! Tidak perlu tempat yang mengeluarkan uang, cukup berbincang bersama denganku saja!”
“Gilbert, ayo kencan!”
Sebelumnya memang Patricia sudah sering mengajak Gilbert namun Gilbert hanya mengabaikannya. Beberapa waktu sebelumnya perhatian Patricia tampak mereda. Namun semenjak mereka jalan bersama, Patricia tampak semakin sering melakukan komunikasi dengannya dan mengajaknya pergi ‘kencan’. Gilbert terus mendiamkannya.
Beberapa kali mereka juga bertemu di lobby gedung akademik dan perpustakaan. Patricia akan duduk bersamanya, sesekali akan mencecarnya dan sesekali akan diam mengerjakan tugas bersama.
Sesekali Gilbert akan mengintip hasil kerja Patricia karena penasaran. Patricia rupanya masih mengerjakan proposalnya. Ia masih membaca referensi metode apa yang akan ia gunakan di bab 3.
“Ada apa, Gil?” Patricia bertanya karena menyadari lirikan Gilbert.
Gilbert mengalihkan tatapan dengan cepat, sungguh malu ia rasakan karena ketahuan melirik. Patrcia bertanya dengan santai lalu ia mengubah raut wajahnya menjadi raut wajah jenaka.
“Gilbert memperhatikanku, ya? Aduhh senangnya diperhatikann!”
“Kata siapa!” Gilbert menyablak dan membuat Patricia tertawa.
“Skripsimu tentang apa, Gil?” tanya Patricia.
“Oh, ini tentang perancangan pabrik xylitol.”
“Aku masih melihatmu mengerjakan skripsi sendirian. Bagaimana dengan temanmu itu, hm? Dia masih tidak sadar diri?”
Raut wajah Gilbert berubah menjadi muram ketika Patricia bertanya seperti itu. Ia menjawab tidak dengan singkat lalu melanjutkan lagi pekerjaannya. Patricia masih menatapnya lekat.
“Kamu tidak mau bertanya padaku, gitu? Aku, kan pengin ditanyai juga…”
“Hei, Gil…”
Gilbert menghela napas. Mungkin ada baiknya ia bertanya pada gadis ini. Daripada terus penasaran akan pekerjaannya, lebih baik ia bertanya langsung. Ia netralkan raut wajah terganggunya dan mulai mengajakan beberapa pertanyaan.
“Skripsimu tentang apa?”
“Oh, ini tentang potensi sampah pasar menjadi biogas.”
“Gimana itu? Kamu memakai reaktor di workshop ya makanya jadi sering kesana? Memangnya sudah dimulai?”
“Gilbert tahu?? Gilbert memperhatikanku juga ya ternyata aww” Patricia menutupi mulutnya yang berseru senang. Raut wajahnya tampak girang sekali walaupun Gilbert hanya membahas soal itu.
“Jawab saja,” namun sayangnya Gilbert berkata ketus.
“Hmm belum dimulai, sih kan aku belum seminar proposal. Tapi aku hanya mengecek saja bagaimana reaktornya. Aku harus menggambar reaktornya jadi aku mengambil fotonya. Terdapat alat yang kurang, yaitu pengaduk, jadi aku bisa lihat dimana aku bisa menambahkan alatnya.
“Nanti aku akan mengambil sampah organik pasar dan mengukur volume timbulannya. Sampahnya akan dimasukkan bersama dengan starter. Didiamkan saja secara anaerobik sambil dilakukan pengukuran suhu, pH dan volatile solid. Volume biogasnya kurang lebih terproduksi selama 30 hari.”
Gilbert hanya mengangguk saja mendengarkan penjelasan Patricia. Setengah dari penjelasannya dapat ia mengerti dan setengahnya lagi hanya bisa terpental keluar. Ia melanjutkan pertanyaannya dengan Patricia.
“Siapa dosenmu?”
“Pak Edhi dengan Bu Dwi.”
“Sudah berapa kali bimbingan?”
“Baru dua… Aku sempat ganti judul tau jadi lama…”
Bila dilihat memang interaksi Gilbert dengan Patricia biasa saja. Pertanyaannya hanya pertanyaan yang biasa dilontarkan oleh teman dan saat bertanya mengenai skripsi.
Perasaan Gilbert-lah yang tidak biasa saja. Ia sudah memberi jawaban pada Patricia sendiri dan pada Cupid bahwa ia tidak bisa menyukai gadis itu. Ia tidak memiliki perasaan pada Patricia.
Malahan, terdapat perasaan yang sejujurnya Gilbert tak pernah ceritakan pada orang lain. Ia merasa berat hati, terganggu saat eksistensi Patricia berada dalam radius dekat dengannya. Ia merasa kening dan alisnya akan selalu berkerut ketika melihat dan berinteraksi gadis itu.
Gilbert seringkali menganggap dirinya bermasalah karena membenci tanpa sebab. Pada kehidupan lampaunya pun rasanya Patricia tidak pernah menyakiti bagian dari dirinya, baik perasaan, raga ataupun rohnya. Gilbert mengasosiakan perasaan ini sebagai perasaan benci, dengki. Agar perasaannya tidak berlarut-larut, sebisa mungkin ia tidak melihat apalagi berbicara pada gadis itu.
Gilbert merasa ia tak perlu memberi tahu pada siapapun ganjalan perasaan ini. Ia sudah menjelaskan bahwa ia memang tidak bisa membalaskan perasaannya pada Patricia. Ia berpikir itu sudah baik, Memang sakit hati, tetapi hanya di awal saja. Ketika Gilbert sudah memperjelas dari awal ia tidak perlu memberi gadis itu harapan palsu.
Masalah yang terjadi sekarang adalah Patricia tidak pernah mendengarkannya. Ia seperti menganggap ucapan Gilbert adalah angin lalu dan akan terus mengganggu Gilbert. Perlakuan tersebut malah semakin membuat Gilbert tidak menyukai Patricia.