Hari sedang terik sehingga Gilbert dan Patricia cepat merasa lapar. Patricia mengajaknya untuk makan di warung makan terdekat saja. Patricia yang memanglah seorang puan, serupa seperti puan lainnya.
“Mau makan apa?” tanya Gilbert padanya.
“Hemm terserah,” jawab Patricia.
Gilbert melengos. Sejujurnya, ia juga bingung mengajak makan dimana bila bersama dengan orang lain. Ia biasanya akan makan nasi campur saja di warung dekat kos-kosannya atau yang dekat kampus bila ia ada kegiatan di kampus.
Ketika ia sedang bersama dengan orang lain seperti ini, Gilbert menyerahkan saja pilihannya. Bukannya dapat jawaban yang pasti ia malah mendapat jawaban terserah.
Gilbert bertanya lagi pada Patricia. “Ingin makan apa, bilang saja. Mungkin kamu ada keinginan terpendam mencoba sesuatu.”
Setelah berpikir beberapa lama, Patricia mengusulkan untuk makan ayam geprek saja. Makanan umum dan murah di kalangan anak kos. Gilbert juga menjadi tahu bahwa Patricia juga menyukai makanan dengan rasa pedas.
Pada saat makan, Patricia berusaha mengajak Gilbert berbincang sedikit. Patrcia menanyakan hal-hal dasar mengenai apa yang telah ia alami dalam sebulan dan sepekan ini.
“Apakah pengerjaan skripsimu lancar, Gil?” tanya Patricia. “Kudengar skripsi kalian berbeda dengan skripsi kebanyakan, ya. Tidak hanya sampai pada bab lima saja.”
“Hm, ya begitulah. Banyak bab karena kami merancang pabrik. Judulnya adalah pra-rancangan pabrik. Kami sudah dibagi menjadi dua orang untuk menyusun satu judul. Namun rasanya hanya aku yang mengerjakan. Sudah dicari dan diteror tapi tetap tidak sadar juga.”
“Ah…” Patricia menganggung mengerti. Ia turut prihatin pada Gilbert. Memang pada dasarnya orang yang tidak tahu diri itu menguras emosi saja. Bila masih dalam tugas biasa mungkin dapat diberikan keringanan, tapi disertai dengan beberapa nasihat-nasihat pada ruang chat.
Dalam kasus seperti Gilbert itu sangat keterlaluan, menurut Patricia. Ini sudah tugas akhir, tugas terakhir sebagai penentu mereka lulus atau malah mendapat title mahasiswa abadi. Mentang-mentang memiliki partner ia jadi melimpahkan semuanya untuk dikerjakan partnernya. Patricia ikut merasakan kesal mendengar cerita Gilbert.
Maka dari itu, Patricia menepuk pundak Gilbert pelan sambil tersenyum menyemangati. “Semangat sampai akhir. Kamu bisa, kan melaporkannya pada dosen. Aku memang tidak mengerti materimu, tetapi aku bisa membantu dalam hal lain. Kalau kamu butuh sesuatu, kamu bisa menghubungi aku. Oke?”
“Makasih,” ucapnya terdengar tulus. Perlahan ia memindahkan tangan Patricia yang masih bertengger dari bahunya.
Oleh karena saat bepergian Gilbert dan Patricia menggunakan motor Gilbert, Gilbert harus mengantar Patricia ke kampus lagi untuk mengambil motor. Suasana kampus masih ramai pada pukul dua siang ini. Sebelum menaiki motornya Patricia mengucapkan terimakasih pada Gilbert.
“Gilbert, terima kasih karena sudah mau menghabiskan waktu denganku kali ini. Terimakasih juga karena sudah mendapatkan snack itu, ya” ucap Patricia sambil sedikit menunduk.
“Ya, sama-sama,” balas Gilbert singkat.
Patricia memberikan lambaian tangan sebelum akhirnya ia pamit berangkat terlebih dahulu. Gilbert memperhatikan sampai motor dan pengendaranya hilang dari pandangan terlebih dahulu sebelum pergi.
-
Cupid memang benar menginginkan dirinya pergi melakukan sesuatu dengan Patricia. Asumsi Patricia mengenai tingkah laku Cupid terbukti benar. Dengan latar khas kediaman dewa itu, ia mendapati Cupid yang terbang seperti berguling-guling di udara. Gilbert hanya menatapnya datar.
“Halo, anak muda yang barusaja berkencan,” sapanya dengan nada jahil.
“Rupanya memang benar ya, tujuanmu memang membuat kami bersama,” tutur Gilbert. “Kalau begitu mungkin besok aku akan terus berpura-pura saja.”
“Eitss, jangan begitu, dong. Bukankah menyenangkan memiliki orang terkasih yang dapat diajak jalan seperti itu? Bukankah kalian terlihat seperti pasangan seperti di novel-novel. Maria juga senang, tuh dengan kencan kemarin.” Lagi-lagi Cupid berusaha menggodanya.
“Itu bukan kencan, ya. Itu hanya refreshing saat skripsi. Lagipula, bukannya kau marah padaku?”
Cupid terdiam sebentar lalu menggeleng. “Tidak juga, sih. Memang benar aku menuruti semua keinginan Ibundaku. Bahkan dewa sekalipun dapat memiliki iri hati. Tapi aku benar-benar menikmatinya, kok. Lagipula dengan semua kejadian itu aku mendapatkan Putri Psyche yang sempurna. Kami berhasil melalui beberapa rintangan dan akhirnya dapat hidup bersama dengan bahagia!”
Baru kali ini Gilbert melihat ekspresi Cupid yang seperti itu. Gilbert sedikit sangsi apakah Cupid yang benar-benar jahil ini memiliki pasangan. Namun, bila Gilbert benar dapat membaca raut muka, tampaknya Cupid memang memiliki perasaan pada Putri Psyche.
“Nah, dibandingkan dengan menjahiliku, bukankah harusnya kau fokus pada keluargamu, ya? Hidup nyaman bersama pasanganmu lalu memiliki banyak anak seperti Zeus, mungkin?”
Dalam hati Gilbert berharap Zeus tidak mendengar pembicaraan mengenai dirinya ini. Bisa bahaya bila dewa yang memiliki banyak keturunan itu sampai mendengar dirinya dibicarakan.
“Menyenangkan melihat anak manusia menemukan takdirnya dan akhirnya memadu cinta. Menyenangkan melihat anak manusia dapat bermesraan seperti diriku uwu”
Gilbert mengernyit seperti jijik dengan tingkah Cupid. Ia tak membalas lagi perkataan Cupid yang aneh itu dan hanya berbaring menunggu mimpinya yang lain mengambil alih.
Cupid menatap dalam diam selama beberapa saat. Ia terbang mendekati Gilbert lalu bejongkok di samping kepala pemuda itu. Gilbert mendecak kesal melihat sosok anak kecil bersayap itu terlalu dekat dengannya. Cupid menatapnya dengan amat serius.
“Hei, tapi aku serius. Kau pernah mengatakan bagaimana kalau aku memberimu takdir yang lain, kan? Apa kau benar-benar ingin aku memberikannya?”
“Ya…?”
Sekarang apa lagi yang akan diberikan Cupid padanya. Bukankah dewa ini begitu gigih untuk menyatukannya dengan Patricia, mengapa sekarang malah membahas hal itu?
“Apa maksudnya?”
“Tampaknya kau sudah lelah dengan takdir yang sekarang, bagaimana kalau kujodohkan dengan orang lain saja? Aku merasa bersalah karena terus memaksamu,” jawab Cupid sambil membuat wajah memelas.
Gilbert memang pernah berkata agar Cupid menjodohkannya dengan orang lain saja. Namun ia juga tidak sungguh-sungguh mengatakannya. Mengapa pada akhirnya ia harus hidup bersama orang lain?
“Terserah kau saja.”
“Oke!” Cupid tiba-tiba menjadi ceria. “It’s decided then! Aku akan menghubungkan takdir yang baru padamu! Aku memang akan menembakkan benang takdir baru kali ini, tetapi kehendakmu sendirilah yang akan menentukan akan memilih siapa.”
Cupid sepertinya pergi dan akan mencarikan takdir untuknya. Gilbert juga kembali terlelap sebelum akhirnya membuka mata di hari selanjutnya.
-
Beberapa hari Gilbert tidak sedang ingin ke kampus. Karena kemarin ia hanya sudah sempat melihat referensi dan menjernihkan pikirannya, hari ini ia akan berdiam di kos. Ia akan memusatkan hari ini untuk mengerjakan skripsinya. Saat ia merasa jenuh, ia bermain media sosial sebentar. Ia juga memeriksa media sosial berwarna hijau itu, barangkali terdapat chat penting yang harus ia baca segera.
+628xxxxxxx
Kalau kamu mau
jalan lagi hubungi
aku saja ya
Kita bisa kencan lagi nanti
Gilbert mengernyit melihat chat yang masuk pada media sosialnya. Terdapat chat dari nomor yang tidak dikenal. Begitu mencoba melihat profil fotonya. Foto seorang perempuan dengan berlatar sebuah kafe. Gilbert mengenali siapa sosok tersebut dan melilhat nama di profilnya. Memang benar bahwa itu adalah Patricia. Gilbert hanya mengacuhkan chat itu.
Sebenarnya ia sudah sering mendapat chat dari Patricia. Namun semuanya tidak penting menurutnya. Hanya menanyakan rutinitas dan kabarnya. Sesekali gadis itu akan membagikan postingan kalimat romantis dari buku yang ia baca. Gilbert sesekali akan membalasnya bila ada bahasan yang menarik baginya. Selebihnya ia lebih banyak mendiamkan gadis itu.
Gilbert memang tipe orang yang tidak menyimpan nomor kalau tidak dekat. Teman yang dekat dengannya pun terkadang ia bisa lupakan. Patricia yang terhubung oleh ikatan takdir dengannya tidak dihitung sebagai sosok yang dekat.