Setelah olah raga pagi itu, Gilbert sarapan bersama teman-teman satu asramanya. Gilbert yang menjadi pembina olah raga pagi memimpin acara sarapan mereka. Setelah makan, mereka akan mandi dan bersiap untuk pergi sekolah. Jarak asrama dengan bangunan kelas cukup dekat sehingga Gilbert bersama kawan-kawannya berjalan bersama.
Sebelum pelajaran pertama dimulai, ada jeda untuk bersiap bagi guru dan murid. Beberapa murid mengobrol di kelas, beberapa lagi duduk di teras depan kelas dan beberapa lagi sudah menyerbu ke kantin.
Kelas Gilbert berada di lantai atas. Ia bisa dengan leluasa memandang lingkungan sekolahnya. Sekolahnya memiliki empat gedung dan masing-masing memiliki dua lantai. Gedung kelas yang ia tempati sekarang adalah gedung untuk kelas dua, dihadapannya adalah gedung untuk anak kelas satu. Di arah kanan gedung kelas dua terdapat gedung kelas tiga.
“Hahh.. kelas panas… Aku mau keluar saja…”
Mendengar suara itu, Gilbert menoleh ke arah Patricia yang keluar dari kelas. Tatapan mereka bertemu dan sejurus kemudian lengkungan manis terbit di wajah Patricia.
“Hai, Gil!” sapa Patricia. Ia duduk bersandar di bangku di sebelah Gilbert.
“Hai,” Gilbert menyapa dengan pelan.
Dalam benaknya tiba-tiba terlintas sesuatu. Eros benar-benar tak menyerah mengubungkannya dengan Patricia. Eros mengatakan bahwa ia dan Patrica harus bersama, tetapi sekarang ia tidak merasakan apapun. Patricia juga pasti tahu bagaimana Eros menghubungkan takdir mereka dan ia adalah orang yang giat.
Ia dan Patricia pertama kali bertemu di kehidupan ini sewaktu sudah menjadi murid di sekolah ini. Semenjak menduduki bangku kelas satu, ia sudah sekelas dengan gadis ini. Tindakan Patricia saat masih kelas satu masih biasa saja. Namun, saat kelas dua ini, ia mulai merasakan gadis itu mendekatinya.
Takdir seperti mendukung gadis itu untuk mendekatinya. Sudah sekelas selama dua tahun, ia dan gadis itu juga menempati asrama. Probabilitas pertemuannya dengan Patricia akan semakin meningkat.
“Kamu berulang tahun ya, Gil. Tujuh belasan tahun ya?”
Patricia membuka suara dan mengajaknya berbicara. Gilbert menganggukan kepala mendengar pertanyaan Patricia.
“Hahh..”Patricia menghela napas. “Aku masih lama tujuh belas tahun… Kayaknya pas kelulusan nanti deh. Hmm momen yang bagus sih tujuh belasan dan perpisahan hehe”
Gilbert melirik Patricia yang sedang berceloteh itu. Tatapannya menerawang ke langit, entah memikirkan apa.
“Katanya tujuh belas tahun itu momen yang spesial kan ya. Karena itu artinya kita menjadi dewasa, kita yang akan bertanggung jawab pada diri kita sendiri. Jangan manja dan bergantung pada orang tua lagi,”
“Ya,” sahut Gilbert.
“Biasanya orang akan mengadakan pesta ulang tahun, kan? Kalau anak asrama seperti kita sih jadi pengen pulang dan ngerayain bareng keluarga. Kamu ada rencana pulang dalam minggu ini?” Patricia menatapnya.
Dari dekat seperti ini Gilbert dapat melihat iris mata Patricia yang hitam kecokelatan. Matanya melengkung cantik dan dibingkai dengan bulu mata yang tidak terlalu panjang. Ia tenggelam dalam pandangan Patricia beberapa saat. Panggilan Patricia tidak dihiraukannya sampai bahunya diguncangkan.
“Mengapa kamu melamun? Sudah memikirkan pulang ke rumah yaa?”
Gilbert mengerjapkan kedua matanya pelan, ia lalu menyingkirkan pelan tangan Patricia yang berada di lengannya.
“Aku tidak akan pulang,” Gilbert hanya menjawab singkat.
Ia tidak mau bercerita lebih banyak. Merasa ceritanya bakal memalukan dan ia juga tidak berniat cerita. Orang tua dan kakak perempuannya masih menganggapnya seperti anak kecil. Bila ia pulang ia pasti akan berada dalam pelukannya dan akan mencoba berbagai makanan yang diberikan untuknya. Gilbert senang saja karena ia memiliki keluarga yang harmoni. Namun, pulang ke rumah hanya untuk merayakan ulang tahun… gak dulu.
“Oh, ya Gil!”
Gilbert menatap Patricia. Gadis itu tampak menggenggam erat roknya dan tengah bergelut dengan pikirannya. Sepertinya ia ingin mengutarakan sesuatu tetapi ragu.
“Nanti setelah pulangan tunggu sebentar ya! Ada yang ingin kubicarakan denganmu!”
“Hei, ada Pat dan Gilbert nihhh!”
“Mau bicara tentang apa tuchh!”
Tiba-tiba orang teman kelas mereka menyerbu keluar dari kelas. Keduanya tengah memasang raut wajah jahil kepada Patricia dan Gilbert. Patrcia merasakan wajahnya memanas dan berusaha mengelak.
“Ah, ada kalian, aku mau masuk aja, deh. Aku mau mencari Diana,” katanya dengan bibir mengerucut.
“Oh, enggak berduaan lagi, Pat?”
“Ini kan suatu momen emas yang berharga. Kami jadi saksi deh.”
Ucapan dua cowok itu dianggap angin lalu. Patricia segera masuk kedalam kelas. Ketiganya memandang Patricia yang berlalu. Setelah itu, dua teman sekelasnya yang bernama Ken dan Ari merangkul Gilbert dengan erat.
“Bro Gil, tadi kalian ngomongin apa? Kok kayaknya ada rahasia-rahasiaan gitu, sih,” tanya Ken.
Gilbert menghela napasnya. Ia menggeleng pelan seraya berusaha melepaskan rangkulan erat dari keduanya.
“Halah bohong. Pasti mau berduaan kan. Atau kayaknya mau confess, deh. Hmm tujuh belasan dapat pacar, ” sahut Ari.
“Confess?” Gilbert membeo.
Ken dan Ari langsung saling berpandangan. Mereka kembali menyerbu Gilbert dengan rangkulan erat. Dilihat dari tingkahnya, mereka seperti akan bergosip pada Gilbert.
“Bro Gil, kamu gak tau kalau Pat suka sama kamu?” bisik Ken padanya.
“Iya, lho. Ketahuan sekali. Gilbert, kamu ini ga peka atau gak peduli?” Ari juga ikut menimbrung dengan suara berbisik.
Gilbert merasa ingin menghela napas panjang. Namun ia mengingat nasihat ibunya yang mengatakan menghela napas panjang itu tidak sopan. Seperti selalu mengeluh dan tidak pernah bersyukur. ‘Hahh… Apa ia memberi tahu perasaannya pada semua orang…’
Tidak tepat bila dikatakan Gilbert adalah manusia yang kurang peka. Ia sudah bereinkarnasi tujuh kali. Dalam tujuh kehidupan itu pula ia bertemu dengan Patrica dalam berbagai penampilan. Plus, ada dewa cinta dan nafsu seksual yang ia hadir untuk mengganggunya sejak lama. Dilihat dari pembicaraan mereka, sepertinya Ken dan Ari mungkin tidak termasuk orang yang menerima berkat komunikasi dengan dewa.
“Lalu kalau ia menyukaiku, aku harus apa? Masa aku harus memaksakan untuk bersama dengannya? Itu kan hanya akan menjadi sebuah kebohongan baginya.” Ia menambahkan dalam hati—‘lagipula itu salahnya si Cupid, katanya dewa cinta tapi aku tidak merasakan perasaan yang sama tuh pada Patricia.’
Ken dan Ari mengangguk, merasa perkataan Gilbert ada benarnya. “Tapi beneran gak ada rasa sama sekali ya? Dia itu cantik dan pintar loh. Baik juga. Gak mau mencoba membalas perbuatannya? Kamu pasti mendengar orang pernah berkata cinta datang karena terbiasa, bukan?"
Ari mengangguk lagi, mendukung opini Ken lalu ia mulai bersabda. “Soalnya terdapat beberapa orang seperti kamu. Mereka didekati oleh orang tapi hanya bersikap cuek. Setelah cintanya sudah pudar, eh malah dicari. Jangan sampai menyesal Gil.” Penyesalan dan cinta. Memangnya apa yang akan terjadi hanya karena ia benar-benar tidak mencinta. Mengapa orang-orang disekitarnya sangat peduli tentang itu. Apa untung baginya menjalin hubungan yang telah ditakdirkan oleh cupid? Ia tidak mengerti.