Di pagi yang gerimis itu Tisha dan Riana turun di pekarangan sebuah rumah minimalis yang dikelilingi perkebunan. Tak seperti Sabtu lalu, kali ini Tisha tak lagi bermalasan dan sudah mau beraktivitas seperti biasa. Bahkan dia bangun pagi sekali demi mempersiapkan keberangkatan mereka ke rumah Paman yang mengurus tanah peninggalan orang tuanya.
Bibi menyambut dengan hangat. Tisha segera mencium tangannya dan menyerahkan rantang yang dibawa, berisi masakannya. Saat Bibi mengajak masuk, Tisha dan Riana beradu pendapat. Riana setuju untuk masuk, sementara Tisha menolak karena ingin langsung melihat tanamannya.
“Ya udah, enggak apa-apa.” Bibi menengahi sambil mengusap kepala Tisha dengan lembut. “Tisha duluan aja ke kebun. Ada Radi sama temannya, kok, di sana.”
Radi adalah anak Bibi yang seusia dengan Tisha. Meski tidak terlalu akrab, tetapi Tisha cukup nyaman bersamanya karena pemuda itu sangat pendiam dan tak banyak mengusik. Terlebih mereka adalah saudara sepersusuan, jadi tak ada yang mempermasalahkan kedekatan mereka.
Setelah melihat anggukan Riana, Tisha pun pamit dan menyusuri pematang sampai ke bagian kebun yang didekasikan khusus sayuran yang ditanam sendiri oleh dirinya. Sesaat dia terdiam kala mencium aroma tanah yang khas. Sekelabat ingatan muncul menggambarkan kebersamaan dengan orang tuanya di sana. Dulu mereka sering berlarian bersama.
Tisha menggeleng, kembali fokus pada masa sekarang. Akhirnya, dia memutuskan untuk berjongkok mencabuti rumput. Cukup lama dia fokus dengan kegiatan tersebut, sampai suara serak Radi yang jarang terdengar mengusiknya. Tisha menoleh dan melihat sepupunya itu sedang mengobrol dengan seorang laki-laki bertubuh tambun.
“Tisha.”
Tisha tertegun. Bukan Radi yang memanggilnya, melainkan ... Fathan. Lekas saja segala overthinking berkelabat di kepala Tisha. Kenapa pemuda itu ada di sini? Sejak kapan dia mengenal Radi? Radi kan sekolah di SMK, kenapa bisa mereka berteman?
“Kamu kenal kakakku?” Radi memandang sang teman dan Tisha bergantian.
“Kakak?” Fathan tampak mengernyit.
Radi meralat, “Maksudku kakak sepupu. Jadi, gimana kalian kenal?”
“Kami sahabat dari SD.”
“Mantan!” Tisha menyela sambil berdiri. “Mantan sahabat.”
Saat Tisha akan beranjak, Fathan menghadang sambil merentangkan tangan. “Maaf.”
Tisha memalingkan muka.
Fathan melanjutkan, “Aku minta maaf karena enggak bisa jadi sahabat yang baik untuk kamu. Maaf juga atas kesalahanku dulu yang memaksa kamu pergi ke rumahku. Setelah musibah yang menyebabkan orang tua kamu pergi itu, aku sangat ingin mengatakan ini pada kamu, tapi kamu memilih pindah. Aku enggak berani lagi mencari kamu karena terlalu malu, tapi sekarang secara enggak terduga takdir mempertemukan kita lagi. Jadi, aku ingin menyampaikan permohonan maafku.”
Melihat Tisha bergeming, Fathan menurunkan tangan dan bergeser. “Aku enggak memaksa kamu, karena keputusan memaafkan itu sepenuhnya hak kamu, dan kamu bebas untuk enggak memaafkanku. Aku hanya berharap kita bisa lebih lega.” Pandangan Fathan beralih pada Radi. “Aku pamit, ya ....”
“Ya!” Tisha kembali menyela. “Aku memaafkan kamu.”
“Hah?” Bukan hanya Fathan yang terkejut, Radi pun sama herannya. Tak ada yang mengira Tisha akan memaafkan semudah itu. Mereka tahu sesedih apa Tisha dulu meratapi kepergian orang tuanya.
Tisha mengembuskan napas panjang sebelum menghadapkan wajah pada Fathan. “Aku memaafkan kamu, Fathan.”
Sesaat hening. Dalam keheningan itu Tisha mengingat kajian Rohis kemarin. Syaibah memberikan jawaban atas pertanyaan Tisha dengan cukup panjang. Ada penjelasan mengenai kemungkinan saling menyakiti dalam setiap hubungan, apa pun itu, baik disengaja maupun tidak. Namun, yang membedakan adalah adanya penyesalan atau tidak.
Suatu hal yang baru bagi Tisha. Selama ini dia hanya sering mendengar orang-orang mengatakan bahwa tak boleh menyesali masa lalu. Namun, Syaibah malah menerangkan sisi lain, bahwa penyesalan itu tanda seseorang masih hidup hatinya sehingga menyadari telah melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai kebaikan. Penyesalan dapat menjadi pendorong seseorang untuk meminta maaf dan memperbaiki dirinya.
Lalu, tentang maaf, inilah bagian yang paling terasa bagai air sejuk yang menyirami kegersangan hati Tisha. Kata Syaibah, maaf itu bukan hanya akan melegakan yang memintanya, tetapi juga yang memberikannya. Dengan memaafkan, seseorang bisa melepaskan hati dari amarah, dendam, dan perasaan lainnya yang mengotori dan menyesakkan diri. Dengan memaafkan, seseorang bisa kembali membuka jalan hidupnya.
Barusan, saat Fathan mengatakan harapan tentang ‘lega’, Tisha jadi terusik, dan dengan pertimbangan cepat dia pun memutuskan untuk memaafkan. Dia pikir mungkin ini memang waktu yang tepat untuk melegakan hatinya. Sebab, dia sadar, sejauh apa pun dia pergi, ternyata Allah selalu punya cara untuk mempertemukan mereka. Mungkin itu juga pertanda untuk Tisha berdamai dengan masa lalunya. Tisha hanya berharap ke depan hatinya tak akan sesak lagi.
“Terima kasih.” Suara Fathan bergetar sarat keharuan.
Tisha mengangguk. “Aku juga minta maaf atas kesalahanku, apa pun itu.”
“Iya.” Fathan menyahut cepat. “Jadi, kita baikan? Sahabatan lagi, kan?”
Tisha menggeleng. “Maaf, aku baru belajar memaafkan. Belum sepenuhnya melupakan dan menyembuhkan lukaku. Lagipula enggak ada persahabatan antara perempuan dan laki-laki.”
Masih berdasarkan ingatan kajian kemarin. Selesai membahas pertanyaan Tisha, Syaibah kembali meneruskan pembahasan tentang saling mengenal dan berhubungan dengan semuanya. Katanya, lawan jenis hanya boleh berteman atau saling membantu dalam ranah profesional yang memang memiliki urgensi untuk berinteraksi. Namun, tidak boleh lebih dari itu.
Perempuan dan laki-laki tak boleh bersahabat, bukan hanya karena alasan kemungkinan saling menyukai, tetapi juga karena memang ada aturan jelas dalam Islam untuk menjaga pandangan dan batasan. Tentang syariat itu bukan hanya berdasarkan hati merasa, tetapi berdasarkan Allah berkata. Menjadi kewajiban untuk tunduk pada semua peraturan secara utuh tanpa pilih-pilih semaunya.
Fathan berdeham. “Baiklah. Yang penting kita enggak musuhan.”
“Iya. Eh ....” Tisha mengingat sesuatu. “Mari jadi musuh dalam produktivitas. Mari berlawanan dalam lomba kaligrafi sekolah. Masih suka bikin kaligrafi, kan?”
Seketika suasana pun mencair.
***
“Udah semua?” Riana bertanya pada Tisha yang duduk di kursi sebelahnya.
Tisha mengangguk sambil memasang sabuk pengaman. “Satu karung dan dua kardus udah masuk.”
“Good.” Riana menginjak pedal gas dan membawa mobil mereka meninggalkan Rumah Paman.
Tisha menyandarkan kepala ke jendela. Hari ini cukup menguras fisik dan psikisnya.
“Tentang Fathan ....” Riana menggantung perkataannya sambil membelokkan stir.
“Radi cerita sama Teteh?” tanya Tisha masih setia terpejam.
“Bukan. Tadi Fathan datang sendiri ke Teteh. Dia minta maaf. Teteh baru ngeh kalau dia salah satu siswa yang aktif pinjam buku perpus. Penampilannya beda banget sama dulu, ya. Seingat Teteh dulu dia kayak ceking gitu.”
Tak tertahan, Tisha terkekeh dan membuka mata. “Emang, dulu dia kayak lidi. Makanya aku sempat kaget pas kemarin lalu ketemu dia di sekolah, kok pipinya jadi bulat gitu.”
“Astaghfirullah, maaf ya Allah, kami jadi enggak sengaja ngomongin orang, nih.”
Keduanya tertawa, lalu senyap.
Riana berdeham. “Jadi, gimana perasaan kamu?”
Tisha memandang Riana beberapa saat, lalu tersenyum. “Not bad. Cukup lebih ringan buat napas. Aku juga lagi belajar untuk memaafkan diriku sendiri.”
“Iyakah?” Netra Riana berbinar. Itu sesuatu yang menggembirakannya.
“Heem. Aku ingin berdamai secara utuh. Enggak mau menyalahkan siapa pun lagi, termasuk diri aku sendiri.”
“Alhamdulillah.” Riana mengusap kepala Tisha. “Dapat ilham dari mana, sih? Sawala?”
“Uhm ... kajian Rohis.” Tisha tercenung, tak lagi mendengarkan pertaanyaan Riana. Dia sibuk memikirkan sesuatu, tentang Rohis. Dari dua pertemuan saja dia bisa mendapatkan banyak hal yang mengubah pandangannya menjadi lebih baik. Bagaimana jika lebih dari itu? Mungkin ....
Namun, Tisha menggeleng. Minggu depan dia sudah tak akan lagi bersama Sawala. Berarti dia tak akan bisa lagi mendengarkan kajian. Ah, kenapa Tisha jadi gelisah?