"Huh...." Tisha mengusap peluh di dahi dengan ujung baju bagian lengan. Pandangannya lekat tertuju pada sekumpulan wadah yang menghiasi meja makan.
"Beres?" Riana muncul dan berdiri di seberang meja. Matanya ikut memindai berbagai olahan sayuran yang dia yakini rasanya pasti sangat lezat. Ada salad, gorengan bala-bala gehu, manisan terong ungu, dan berbagai jus buah.
Tisha mengangguk-angguk. "Segini cukup?"
"Di sana ada berapa orang, sih? Nyampe dua puluh nggak, ya?" Riana menggerak-gerakkan jemari tangan, coba memperkirakan jumlah penghuni bangunan panti.
"Bayi satu, anak-anak tujuh, remaja empat, dewasa tiga," sahut Tisha tanpa ragu.
"Hah?" Seketika Riana mendongak, keningnya mengerut dalam. "Apaan?"
"Orang di panti." Tisha menyahut sekenanya sambil bergerak menutup wadah-wadah berbahan plastik itu satu per satu. "Enggak nyampe dua puluh."
Riana cengo, lantas menatap sang adik penuh selidik. "Kenapa kayak yang yakin gitu?"
Tisha berdeham. "Bukan kayak lagi, tapi emang yakin."
Riana langsung memangkas jarak. "Kok bisa?"
Decakan lolos dari bibir Tisha karena Riana merentangkan tangan di depannya, menghalangi lajunya untuk menumpuk wadah. Seketika Tisha mengembuskan napas panjang dengan ekspresi malas. "Karena aku pernah ke sana. Udah lihat semuanya."
"Waktu kita ke sana kan gak lama. Itu pun hanya sampai ruang tamu, cuman ketemu satu ibu panti." Riana melipat tangan di dada dengan kepala kian condong ke muka Tisha. Beberapa waktu lalu mereka memang sempat datang ke tempat itu, tetapi tidak lama. Riana sendiri yang merasa cukup perhatian pada sekitar belum bisa mengetahui semuanya. "Gimana bisa orang apatis macam kamu tahu itu?"
Tisha memutar bola mata malas. Frontal sekali ucapan kakaknya itu, beruntung dia sudah kebal dengan keblak-blakannya. Jika yang lain mendengarnya, sangat besar kemungkinan untuk merasa tersinggung.
"Aku pernah ke sana lagi." Tisha meliukan tubuh, lihai memutari posisi Riana untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. "Sama Kak Sawala," lanjutnya lirih.
Pupil Riana melebar. "Kapan?"
"Beberapa hari lalu." Tisha membuka tote bag berukuran besar.
Riana bergegas mendekati sang adik untuk membantunya memasukkan wadah-wadah. "Kenapa gak cerita?"
Tisha menghentikan aktivitas sejenak. Mengingat kembali hari melelahkan itu. "Waktu itu Teteh pulang agak malam, mukanya kelihatan lelah. Aku gak enak mau cerita. Lagipula aku juga sama lelahnya karena Kak Sawala baru ngantar pulang beberapa saat sebelum Magrib."
"Wah petang juga, ya. Ngapain aja emang?"
Tisha terdiam. Pikirannya melayang pada dua hari lalu.
•••
"Kakak baik!"
Tisha mendongak, matanya menyipit ke arah bingkai pintu di belakang anak-anak yang sedang berlarian. Di sana ada Sawala yang berdiri dengan seorang anak perempuan di sebelahnya.
Itu kan ...
"Alhamdulillah, akhirnya kamu mau keluar, Nala." Itu bukan suara Tisha, melainkan Ibu Panti yang sedari tadi menemaninya.
Dengan dituntun Sawala anak yang dipanggil Nala itu memangkas jarak dengan orang-orang yang duduk di bangku dekat pintu. "Tadi Kak Sawala nyuapin aku makan dan ngasih hadiah, jadi aku udah sembuh," katanya riang sembari mengibaskan rambut yang dikuncir ekor kuda.
"Sudah bilang terima kasih?" Sang ibu bertanya.
"Sudah," sahut Nala cepat, mengalihkan atensi, fokus pada Tisha. "Sekarang aku juga mau bilang terima kasih ke Kakak baik ini."
Tisha menelan ludah susah. "A-aku?" ucapnya gagap.
Nala mengangguk-angguk lucu dengan binar mata yang indah. "Terima kasih, ya, Kakak sudah menolong aku saat jatuh dari sepeda."
"Itu ...." Lidah Tisha menjadi kelu, terlalu terkejut dengan fakta yang tersaji.
Akhirnya, tanpa dapat diprediksi sebelumnya, Tisha bisa bertemu kembali dengan anak yang ditolongnya dengan Riana. Ya, Nala adalah anak yang lengannya berdarah di depan sekolah satu minggu lalu. Setelah dari Puskesmas, mereka mengantarnya ke panti ini.
"Sekali lagi terima kasih, ya, Kak." Melihat Tisha bergeming, Nala mengulang kalimatnya.
"Sama-sama." Kaku, Tisha membalasnya.
"Masih hujan, ya?" Sawala akhirnya bersuara setelah sesaat hening menyelimuti.
"Iya, sering petir juga," balas Ibu panti. "Kalian jangan pulang sekarang, bahaya."
Tisha menatap Sawala lama, berharap suara hatinya yang ingin segera pergi dari sana bisa terdengar Sawala.
"Iya, Bu, nanti pulangnya nunggu agak reda dulu."
"Asik, Kakak masih lama di sini!" Nala berseru kesenangan mendengar jawaban Sawala.
Sementara itu, Tisha malah melebarkan bola mata. Dia tak terima itu. Dia sudah sangat ingin pulang.
"Ayo kita menggambar!" Nala sudah hampir membalikkan badan bersama Sawala, tetapi kemudian kembali dan meraih jemari Tisha. "Kakak baik juga ikut, ya?"
"Eh ...." Tak sempat membantah, Tisha sudah terseret menapaki ruangan demi ruangan, hingga berakhir di sebuah sudut dekat rak buku.
Nala melepas pegangannya kemudian sibuk mencari-cari sesuatu.
"Mari duduk," ajak Sawala sambil menunjuk karpet plastik yang membentang.
Setelahnya Tisha terpaksa membaur dengan mereka yang sibuk mencorat-coret kertas HVS dengan krayon.
•••
"Aku merhatiin semua yang ada di sana waktu itu, jadi tahu. Udah, itu aja," pungkas Tisha.
"Wah ... seru, ya, kayaknya di sana?"
Tisha mengedikkan bahu. Tidak terlalu baginya. Yang ada energinya terkuras banyak.
"Nanti Teteh ikut antar ke sana, deh."
Mata Tisha menyipit. "Terus Kak Sawala gimana?"
Omong-omong tentang Sawala, kemarin setelah mengucap salam dan memperkenalkan diri di chat pertamanya, Sawala pun mengulang ajakan untuk pergi ke panti. Dia bilang akan menjemput Tisha agar mereka bisa pergi bersama sambil Sawala ingin membahas sesuatu.
"Ikut naik mobil, nanti motor dia simpan aja di sini. Lagian bawaan kalian banyak gini, repot kalau naik motor."
"Terserah, deh." Tisha tak punya argumen lagi. Semaunya sang kakak saja. Yang penting dia tidak akan kerepotan.
"Ya udah, ayo angkut ke depan!" Riana menjinjing kantong besar yang kini sudah terisi penuh.
Tak banyak kata, Tisha mengekor dengan mendekap box penahan dingin berisi botol-botol jus.
Begitu pintu terbuka, ujaran salam terdengar. Ternyata Sawala telah tiba. Dengan gamis merah muda dan kerudung coklat gadis itu berdiri di ujung teras.
"Masukkan saja motornya ke garasi, Sawala," kata Riana setelah membalas salam dan melirik motor Sawala yang terparkir di luar gerbang.
"Maaf, bagaimana, Bu?" Sawala kebingungan.
"Kita pergi bersama naik mobil saja, Ibu yang antar."
"Oh, baik, sebentar, Bu." Sawala segera mengenakan lagi sandalnya dan mengikuti titah sang guru.
Tisha tertegun. Penurut sekali kakak kelasnya itu. Jika Tisha yang ada di posisi itu–dititah tiba-tiba–jelas dia akan mempertanyakan alasannya sampai puas logika.
"Mari berangkat!" sorak Riana penuh semangat..
Tisha memutar bola mata malas. Lebay! cibirnya dalam hati sembari membenahi posisi untuk semakin nyaman duduk di kursi belakang Riana yang sudah berada di balik kemudi dengan Sawala yang ada di sebelahnya. Saat perlahan mobil bergerak melintasi jalan, Tisha memilih menutup mata, berusaha menyimpan energi karena yakin di panti nanti akan banyak hal mengejutkan menghampiri.