Loading...
Logo TinLit
Read Story - Seharap
MENU
About Us  

Mengernyit.

Itulah yang Tisha lakukan begitu tubuhnya berhasil melewati bingkai pintu dan tiba di luar kelas. Kening gadis itu berlipat dengan mata yang menyipit, memperhatikan lamat-lamat Sawala yang memamerkan senyuman tidak jauh dari posisinya berada.

“Halo, Dek!” sapa Sawala dengan riang. Sebelah tangannya terangkat, bergerak melambai.

Tisha mengedarkan pandangan, melihat satu per satu teman sekelasnya yang juga baru meninggalkan ruangan. Dia berpikir mungkin Sawala sedang menyapa salah satu dari mereka.

Namun ....

“Sudah beres kan belajarnya, Dek Tisha?”

“Hah?” Tisha melongo. Telunjuk tangan kirinya terarah kaku ke dada sendiri. “Aku?”

“Iya.” Sawala mengangguk mantap dengan kekehan kecil, seperti merasa lucu melihat kekikukkan Tisha. Sembari tersenyum sopan pada beberapa siswa yang sedang memusatkan atensi padanya, Sawala bergerak cepat memangkas jarak. “Sudah bisa pergi dari kelas sekarang, kan?”

“I-iya ....” Ah, Tisha kesal. Selalu saja saat berhadapan dengan Sawala dia diserang kegagapan. Tenggorokannya senantiasa serak.

“Ya udah, ayo pergi!” Sawala menggandeng Tisha dan membawanya berjalan beriringan menyusuri teras-teras kelas yang ramai.

Tisha yang tertegun dengan gerakan Sawala yang terlalu tiba-tiba, hanya bisa turut beranjak dengan penuh kekakuan. Gadis itu berjalan bagai robot yang terseret-seret. Badannya sangat tegang, sendinya bergerak patah-patah, dan wajahnya sarat ketakutan. Ini sungguh tidak nyaman! Dia menahan jeritan dalam hati sembari menggigit bibir bawah.

Tisha menyesal telah terlalu lambat berpikir. Seharusnya setelah tadi kabur dari perpustakaan, dia segera menyusun rencana sebaik mungkin untuk menghindari kebersamaan dengan Sawala. Terlebih dia sadar betul masih sangat-sangat tidak siap untuk melanjutkan interaksi lagi.

Namun, kini Tisha hanya bisa bergulat dengan penyesalan. Sebab, baru juga saat bel pulang otaknya bercabang memikirkan jalan terbaik untuk menjauhi Sawala, tahu-tahu saja gadis berbaju longgar itu sudah menjemputnya di luar kelas dan kini tanpa jarak di sisinya.

Sementara itu, langkah Sawala begitu ringan. Sepanjang perjalanan dia tak henti-hentinya bertukar sapa dengan orang yang ditemui. Dari yang seangkatan sampai kakak dan adik kelas, tidak sedikit yang menyeru namanya.

“Sawala!” Adalah panggilan ke-13 yang Tisha dengar sepanjang melewati deretan kelas IPA.

“Eh, hai!” sambut Sawala.

Karena Sawala menghentikan langkah, Tisha juga ikut terdiam dan membenarkan posisi helm yang tersampir di tangan kanannya. Kini mereka berdiri berhadapan dengan tiga gadis yang berjejer tepat di dekat persimpangan ruang kelas 12.

“Pulang sekarang, Sa?” tanya siswi yang berada di tengah.

“Sebentar lagi.” Sawala menunjukkan deretan giginya yang bergingsul. “Kakak-kakak gimana? Mau langsung?”

Gadis yang tadi bertanya hampir saja mengangguk, tetapi kemudian menggeleng kecil dan merangkul dua orang di sisinya. “Aku mau antar mereka dulu ke TU, terus ke musala, baru pulang.”

“Em, baiklah.” Sawala manggut-manggut.

“Ya sudah, kalau gitu kami duluan, ya.”

“Iya, Kak, fii amanillah.” 

Lambaian Sawala berikan mengiringi kepergian tiga orang itu. Setelahnya Sawala mengeratkan pegangan pada Tisha. “Yuk, lanjut jalan, Dek! Eh, kamu sedang halangan enggak?”

Tisha mengernyit. Merasa agak risi ditanya tentang hal yang menurutnya privasi seperti itu. Namun, dia tak mau berdebat. “Enggak.”

Sawala mengangguk-angguk tanpa kata, kemudian menuntun untuk berbelok ke kiri, arah yang berlawanan dengan posisi parkiran berada.

Berbagai tanya segera memenuhi kepala Tisha. Dia sibuk menerka ke tempat apa Sawala akan membawanya, hingga kaki mereka melewati lorong-lorong ruangan ekstrakurikuler. Mungkinkah Sawala akan mengajaknya bergabung ke salah satu organisasi?

Oh, tidak! Tisha menggeleng. Jangan sampai! Dia sudah teramat puas menjadi murid biasa-biasa saja yang eksistensinya cukup di kelas! Sama sekali tidak merasa perlu bergabung ke perkumpulan di luar kegiatan belajar apa pun. Toh pihak sekolah juga tak mewajibkan.

“Kenapa, Dek?” Sawala memandang Tisha penuh selidik. Sedikit heran pada teman jalannya itu yang sedari tadi hanya diam, lalu tiba-tiba malah menggerak-gerakkan kepala gelisah.

“Ah?” Tisha mengerjap. Aish! Lagi-lagi dia melamun. Sebenarnya aura apa yang dimiliki Sawala hingga membuat Tisha seringkali tidak fokus?

“Pusing?” Nada bicara Sawala sarat kekhawatiran. Tatapannya hangat, lalu sebelah tangannya terulur ke atas hampir menyentuh dahi Tisha.

Refleks Tisha segera menghindar. “Aku enggak apa-apa,” katanya secepat mungkin sambil berusaha mengurai pegangan.

Namun, Sawala tak semudah itu percaya. Dia masih memandang lekat wajah Tisha. “Kalau sakit jangan ditutupi, Dek. Ayo kita ke UKS buat periksa.” Tangannya kembali meraih jemari Tisha.

Tisha menggigit bibir. Kukuh sekali ternyata Sawala. “Aku enggak apa-apa, Kak!” Sembari menahan intonasi agar tidak meninggi, Tisha memberikan tekanan pada setiap katanya. Berharap Sawala akan mengerti dan memberi jarak di antara mereka.

Saat Sawala hendak membuka mulut, Tisha buru-buru mendahului, berusaha mengalihkan perhatian. “Kenapa berhenti di sini? Kakak ada yang perlu dilakukan di sini?”

Sawala mengedarkan pandangan mendapati banyak rumpun bunga kertas mengelilingi bangunan berkubah. Seketika dia menepuk kening. “Astaghfirullah!”

“Kenapa, Kak?” Sedikit banyak Tisha diselimuti cemas jika sesuatu tidak baik menimpa Sawala. Bagaimanapun kini mereka sedang bersama–tanpa jarak–otomatis dia juga akan terkena imbasnya.

“Aku tuh mau ngajak kamu salat Ashar berjamaah. Ayo-ayo! Keburu azan!” Terburu-buru Sawala membawa Tisha ke pelataran musala untuk membuka sepatu.

Tisha melongo. Tak menyangka akan menyaksikan orang kelimpungan hanya karena takut telat salat. Sungguh sangat luar biasa baginya. Mengingat dia sendiri teramat sering melaksanakannya di akhir waktu.

“Buruan, Dek!” Setelah Tisha menyimpan helmnya di teras, dengan tak sabaran Sawala menyeret adik kelasnya itu ke bagian pinggir, tempat mengambil wudu.

Tisha seperti kerbau dicocok hidung, mengekor ke mana pun Sawala bergerak, tanpa bersuara. Sebab, kini dia sadar, sudah tidak mungkin untuk mundur, kepalang tanggung telah melibatkan diri, maka dia akan melanjutkan perjuangan menaklukan tantangan dari Riana apa pun yang terjadi.

***

Dengan wajah basah dibingkai kerudung segiempat yang tak dipeniti, Tisha melangkah menuju lemari tak berpintu yang berada di sudut musala, meninggalkan Sawala yang terlebih dahulu mengambil barang dari tasnya yang tersimpan di dekat tempat masuk.

Jika biasanya Tisha hanya akan asal ambil yang paling gampang dijangkau karena terburu-buru banyak orang, kali ini gadis itu menelisik seluruh isi tempat penyimpanan itu dengan saksama karena kebetulan suasana musala belum terlalu ramai. Semua mukena dilipat dan disusun dengan rapi. Tisha jadi penasaran siapa yang menatanya. Apakah itu pekerjaan penjaga sekolah?

“Udah, Dek?” 

Tisha menoleh. Keasyikan mengamati, membuatnya tak menyadari Sawala sudah berada di belakangnya dengan menenteng kantong mukena bermotif bunga. “Uhm ....” Tisha kembali menghadap lemari, kemudian dengan tergesa dia mengambil mukena berwarna merah tua yang berada di tengah-tengah tumpukan, sehingga membuat mukena yang terletak di atasnya berantakan. Namun, Tisha tak mengambil pusing hal tersebut, dengan lempeng dia membalik badan. “Udah, Kak.”

“Sebentar.” Sawala menahan pergerakan Tisha di langkah kedua. Gadis itu maju, menggantikan posisi Tisha, kemudian membawa beberapa mukena yang posisinya telah acak-acakan.

“Ayo cari tempat!” Meski bawaannya tak sedikit, Sawala mengupayakan semua terpegang dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya dia naikan ke pundak Tisha. Membanya menuju shaf pertama yang masih menyisakan banyak bagian kosong.

Dalam gandengan itu, kening Tisha berkerut tipis. Heran. Kok Sawala seperti berlebihan sekali, ya? Dia kan cuman sendiri, tetapi kenapa perlengkapan salatnya sebanyak itu? Juga ... Tisha masih tak habis pikir, kenapa Sawala tidak mau jauh-jauh darinya?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Unlosing You
479      333     4     
Romance
... Naas nya, Kiran harus menerima keputusan guru untuk duduk sebangku dengan Aldo--cowok dingin itu. Lambat laun menjalin persahabatan, membuat Kiran sadar bahwa dia terus penasaran dengan cerita tentang Aldo dan tercebur ke dalam lubang perasaan di antara mereka. Bisakah Kiran melepaskannya?
Asmaraloka Jawadwipa (Sudah Terbit / Open PO)
12303      2894     1     
Romance
Antara anugerah dan kutukan yang menyelimuti Renjana sejak ia memimpikan lelaki bangsawan dari zaman dahulu yang katanya merupakan sang bapa di lain masa. Ia takkan melupakan pengalaman dan pengetahuan yang didapatnya dari Wilwatikta sebagai rakyat biasa yang menyandang nama panggilan Viva. Tak lupa pula ia akan indahnya asmara di Tanah Blambangan sebelum mendapat perihnya jatuh cinta pada seseor...
Teman Berakhir (Pacar) Musuhan
775      472     0     
Romance
Bencana! Ini benar-benar bencana sebagaimana invasi alien ke bumi. Selvi, ya Selvi, sepupu Meka yang centil dan sok imut itu akan tinggal di rumahnya? OH NO! Nyebelin banget sih! Mendengar berita itu Albi sobat kecil Meka malah senyum-senyum senang. Kacau nih! Pokoknya Selvi tidak boleh tinggal lama di rumahnya. Berbagai upaya buat mengusir Selvi pun dilakukan. Kira-kira sukses nggak ya, usa...
Violet, Gadis yang Ingin Mati
6416      1861     1     
Romance
Violet cuma remaja biasa yang ingin menikmati hidupnya dengan normal. Namun, dunianya mulai runtuh saat orang tuanya bercerai dan orang-orang di sekolah mulai menindasnya. Violet merasa sendirian dan kesepian. Rasanya, dia ingin mati saja.
Asoy Geboy
6183      1715     2     
Inspirational
Namanya Geboy, motonya Asoy, tapi hidupnya? Mlehoy! Nggak lengkap rasanya kalau Boy belum dibandingkan dengan Randu, sepupu sekaligus musuh bebuyutannya dari kecil. Setiap hari, ada saja kelebihan cowok itu yang dibicarakan papanya di meja makan. Satu-satunya hal yang bisa Boy banggakan adalah kedudukannya sebagai Ketua Geng Senter. Tapi, siapa sangka? Lomba Kompetensi Siswa yang menjadi p...
Depaysement (Sudah Terbit / Open PO)
4080      1653     2     
Mystery
Aniara Indramayu adalah pemuda biasa; baru lulus kuliah dan sibuk dengan pekerjaan sebagai ilustrator 'freelance' yang pendapatannya tidak stabil. Jalan hidupnya terjungkir balik ketika sahabatnya mengajaknya pergi ke sebuah pameran lukisan. Entah kenapa, setelah melihat salah satu lukisan yang dipamerkan, pikiran Aniara dirundung adegan-adegan misterius yang tidak berasal dari memorinya. Tid...
Through This Letter (Sudah Terbit / Open PO)
5765      1625     0     
Romance
Dia—pacarku—memang seperti itu. Terkadang menyebalkan, jail, sampai-sampai buatku marah. Dan, coba tebak apa yang selalu dia lakukan untuk mengembalikan suasana hatiku? Dia, akan mengirimkanku sebuah surat. Benar-benar berbentuk surat. Di tengah-tengah zaman yang sudah secanggih ini, dia justru lebih memilih menulis sendiri di atas secarik kertas putih, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah a...
My World
778      525     1     
Fantasy
Yang Luna ketahui adalah dirinya merupakan manusia biasa, tidak memiliki keistimewaan yang sangat woah. Hidup normal menyelimutinya hingga dirinya berusia 20 tahun. Sepucuk surat tergeletak di meja belajarnya, ia menemukannya setelah menyadari bahwa langit menampilkan matahari dan bulan berdiri berdampingan, pula langit yang setengah siang dan setengah malam. Tentu saja hal ini aneh baginya. I...
Si Neng: Cahaya Gema
186      159     0     
Romance
Neng ialah seorang perempuan sederhana dengan semua hal yang tidak bisa dibanggakan harus bertemu dengan sosok Gema, teman satu kelasnya yang memiliki kehidupan yang sempurna. Mereka bersama walau dengan segala arah yang berbeda, mampu kah Gema menerima Neng dengan segala kemalangannya ? dan mampu kah Neng membuka hatinya untuk dapat percaya bahwa ia pantas bagi sosok Gema ? ini bukan hanya sede...
Niscala
357      240     14     
Short Story
Namanya Hasita. Bayi yang mirna lahirkan Bulan Mei lalu. Hasita artinya tertawa, Mirna ingin ia tumbuh menjadi anak yang bahagia meskipun tidak memiliki orang tua yang lengkap. Terima kasih, bu! Sudah memberi kekuatan mirna untuk menjadi seorang ibu. Dan maaf, karena belum bisa menjadi siswa dan anak kebanggaan ibu.