Tisha menghela napas melihat motor siswa terakhir yang bergerak menjauhi sekolah. Sudah satu jam lebih berlalu dari bel pulang, tetapi Tisha masih tertahan di dekat gerbang karena menunggu sang kakak, salah satu guru di sekolahnya, yang entah sedang mengurus apa sampai suasana sudah sepi pun masih belum selesai.
Tak tahan, Tisha siap beranjak untuk mencari Riana–kakaknya. Namun, gerakan Tisha terhenti saat mendengar jeritan seorang anak bersepeda yang lewat di depannya.
“Aaa!”
Bola mata Tisha melebar menyaksikan anak itu terlempar dari sepedanya. Namun, gadis berseragam putih abu itu hanya bisa mematung, tak sanggup melakukan apa-apa untuk membantu anak itu,
“Sha, ayo!”
Tisha mendengar suara kakaknya. Namun, dia bergeming, kepalanya kaku untuk sekadar menoleh.
Riana yang bingung dengan tingkah sang adik, segera memangkas jarak. “Ada ap–” Ucapannya terhenti karena terkejut melihat pemandangan tragis di sana.
Seorang anak perempuan terbaring di tengah jalan dengan posisi miring. Dia meringis sambil berurai air mata. Tak jauh darinya, sebuah sepeda tergeletak tak beraturan.
Riana buru-buru berlari, menghampiri anak itu kemudian membantunya bangun dan bergeser ke pinggir jalan yang lebih aman. “Mana yang sakit, Dek?” tanyanya khawatir.
Bukannya menjawab, anak berkuncir dua itu malah makin terisak. Tangan kanannya yang semula memegangi sikut kiri dijauhkan, lalu terlihatlah darah segar membasahi kulitnya.
Riana refleks memelototi sang adik yang hanya diam menonton dari kejauhan. “Tisha ambil motor! Kita bawa anak ini ke klinik!” serunya sambil melempar kunci motor.
Tisha gelagapan berlari ke parkiran guru.
***
Beberapa puluh menit berlalu, akhirnya urusan dengan anak kuncir dua itu selesai. Beruntung lukanya tidak terlalu parah, sehingga pengobatan berlangsung cukup singkat, dan kini dia telah diantar pulang oleh Riana dan Tisha.
Tepat pukul lima sore dua saudari itu tiba di rumah. Keduanya menuju ruang keluarga, kemudian berbaring di sofa yang posisinya berseberangan terhalang sebuah meja. Untuk beberapa saat keheningan menyelimuti, keduanya asik memandang langit-langit rumah. Sampai akhirnya Riana bangkit, bersila memandang Tisha.
“Sha!” Riana memanggil pelan sambil membuka kerudung dan menyimpannya di lengan sofa.
“Hem?” Tisha menyahut lemah, tanpa menoleh, masih nyaman dengan posisi rebahan. Dia sedang berusaha memulihkan energi yang sudah terkuras banyak akibat mengendarai motor dengan kecepatan tinggi diiringi teriakan Riana yang duduk di belakangnya sambil memeluk si anak perempuan.
“Sha, Teteh mau bicara!” Ada sedikit penekanan pada suara Riana. Dia semakin menegakkan punggung dan mendatarkan ekspresi.
Namun, Tisha tak acuh saja. Dengan santai dia membalas, “Iya, silakan. Teteh bicara, aku dengarkan.”
“Tisha Andira!” Nada Riana meninggi. Wajahnya memerah. Kini dia sedang ingin berbicara serius, dan tanggapan Tisha yang ogah-ogahan agak menyulut emosinya, membuatnya merasa kurang dihargai.
Tisha mendesah tertahan. Sadar akan kekesalan sang kakak, dia pun segera mengubah posisi menjadi duduk dengan kaki terurai lemah ke lantai dan punggung yang tetap bersandar. “Apa?”
Riana berdeham, berusaha menetralkan ekspresi. “Kamu tahu gimana anak tadi bisa terbaring di jalan?”
Tisha mengangguk sekenanya. “Tadi dia naik sepedanya ngebut, enggak merhatiin lobang di jalan, terus sepedanya oleng dan dia kelempar.”
“Terus kenapa kamu cuma memandang dia dari kejauhan?"
Tisha diam.
“Kenapa enggak menghampiri? Kenapa hanya jadi penonton? Kenapa kamu enggak menolong?!” Beruntun, dengan intonasi menggebu Riana menyerbu sang adik penuh tanya bercampur kesal.
Bibir Tisha setia tertutup rapat. Pandangannya begitu nyalang. Entah apa yang sedang gadis itu pikirkan. Yang jelas hal itu membuat Riana geram.
“Kenapa diam aja, Tisha? Jawab Teteh!” Riana bertitah lantang, menggebrak meja pelan.
Akan tetapi, Tisha tetap bungkam.
“Kenapa kamu tega membiarkan orang yang sedang kesakitan dengan jelas di depan mata kamu? Di mana kepedulian kamu? Apa kamu enggak terenyuh sedikit pun menyaksikan keadaan dia yang mengenaskan?”
“Aku kasihan kok lihat dia!” bantah Tisha dengan tatapan menajam. Sedikit tidak terima dengan ucapan-ucapan Riana yang seolah melabelinya bagai mahkluk tak berperasaan, tak punya hati. Padahal tidak begitu. Meski seringkali terlihat seperti tak acuh, tetapi sebenarnya Tisha tetap punya sedikit simpati. Sayangnya dia tidak pernah lagi sampai ke tahap melakukan aksi sebagai bukti peduli.
“Terus kenapa tadi hanya diam? Harusnya tadi itu kamu bantu dia. Kalau enggak sanggup langsung sendiri, minimal kamu bantu teriak, biar orang lain tahu ada yang sedang butuh bantuan.”
Lagi-lagi Tisha hanya membisu. Tangannya bertautan di pangkuan. Keresahan mulai dia rasakan. Dia selalu tidak nyaman membahas topik ini. Baginya perkara berhubungan dengan orang lain adalah hal yang memberatkan.
“Hubungan dengan sesama manusia itu harus dijalin dengan baik, Tisha. Kita ini mahkluk sosial, dan tolong menolong merupakan sebuah kewajaran bahkan menjadi keharusan kalau situasinya genting kayak tadi.” Riana mengurut pelipis. Sikap Tisha yang begitu apatis senantiasa menjadi beban pikirannya. Dia merasa gagal mendidik sang adik jika terus begini keadaannya.
Ini bukan pertama kalinya Tisha mengabaikan orang yang membutuhkan bantuan. Sejak satu windu lalu, lebih tepatnya setelah kedua orang tua mereka meninggal, Tisha menjadi sosok yang terlalu menutup diri dari lingkungan. Fokus gadis itu hanya pada diri sendiri. Dia lebih suka berteman sepi daripada harus membaur dan melakukan kegiatan sosial yang lebih manusiawi.
“Bunda dan Ayah enggak akan suka ini, Sha.” Riana menghela napas, menjatuhkan punggung ke sandaran dengan mata terpejam.
“Aku memang enggak pantas mereka suka.” Wajah Tisha berubah sendu. “Mereka bahkan harus pergi karena tingkah sok peduli aku.”
“Astaghfirullah, Tisha!” Riana memelotot. Dia menurunkan kaki lalu mengusap muka, frustrasi. “Jangan bicara gitu!”
“Tapi memang begitu kenyataannya, kan. Dulu aku terlalu sok. Keinginan peduliku berlebihan, tapi kemampuan dan kemandirianku nol besar. Sampai akhirnya salah satu keinginanku malah membuat Bunda dan Ayah pergi selamanya.”
Suara Tisha parau. Wajahnya mendongak untuk menahan air mata agar tak jatuh. Dia menyesali kejadian naas satu windu lalu yang menurutnya adalah salahnya. Jika saja dari dulu Tisha bisa menjadi pemberani yang mandiri dan tidak terlalu sok peduli, mungkin semua kemalangan itu tidak akan terjadi.
Sejak saat itu Tisha tidak mau terlibat kehidupan orang lain lagi karena takut nantinya apa pun kepeduliannya malah hanya akan menimbulkan hal yang tak diharapkan. Tisha takut kembali kehilangan, terlebih satu-satunya sosok berharga yang dimiliki hanyalah Riana. Tisha tak mau Riana pergi jika dia kembali sok peduli.
Sekarang di usianya yang 16 tahun pegangan hidup Tisha hanya satu, dia ingin menjadi pemberani. Dia bertekad untuk mandiri, dalam teritori yang dibuat sendiri. Tak peduli bagaimana pandangan orang lain terhadapnya. Yang penting dia dapat hidup tenang bersama Riana.
Riana menggeleng lemah. Ternyata ... sang adik masih berkutat dengan luka lama. Berarti benar, dia harus menjalankan rencananya untuk menyembuhkan Tisha.
***
Catatan:
Teteh adalah panggilan untuk kakak perempuan dalam bahasa Sunda.