“Mau hadiah, enggak?” Adalah kalimat pertama yang Riana ucapkan setelah hampir dua hari tak bertegur sapa dengan sang adik usai dialog penuh emosi mereka.
Tisha yang sedang duduk di pondok belakang rumah sembari memakan camilan berhenti sejenak. Dia mengangkat wajah dan memandang Riana dengan alis terangkat sebelah. Heran. Tak biasa sekali sang kakak memulai berbaikan dengan pertanyaan menggiurkan seperti itu.
Riana duduk di sebelah Tisha dan mengayun-ayunkan kaki. “Teteh bakal turuti satu keinginan kamu, bebas.”
Seketika netra Tisha berbinar. “Termasuk berhenti menceramahi tentang bersosialisasi?” usulnya teramat menggebu.
Riana melipat tangan di dada. Semangat sekali sang adik jika menyuarakan masalah yang sering Riana usik. Sebenarnya Riana ingin sekali mengomel. Namun, mengingat sedang memiliki misi yang sudah dirancang beberapa hari ini, dia pun memilih meredam emosi. “Ya ... termasuk itu,” balasnya ogah-ogahan.
Tisha memindahkan toples yang semula berada dalam pangkuan ke bangku yang diduduki, hendak melakukan selebrasi. Namun, belum juga sorakan dia keluarkan, Riana kembali bersuara, membuat pergerakan Tisha yang akan melompat terhenti.
“Tapi ada syaratnya.”
“Yah ....” Bahu Tisha terkulai.
Riana tersenyum geli melihat mimik sang adik yang lesu. Sembari memperbaiki posisi untuk menyandar pada tiang, dia mengambil alih wadah camilan ke dekapan. “Kamu harus bisa menyelesaikan tantangan yang akan Teteh kasih,” ucapnya di tengah-tengah kunyahan.
Tisha menghela napas dan kembali bersila di hadapan sang kakak. Memang benar ternyata, di dunia ini tidak ada yang gratis. Sangat tidak mungkin ada yang mau memberikan sesuatu secara cuma-cuma, termasuk kakaknya. “Jadi apa tantangannya?"
Riana tersenyum, pandangannya menerawang. “Perpustakaan sekolah tuh punya satu pengunjung setia.”
Tisha mengernyit. Bingung karena bukannya membahas perintah untuknya, Riana malah memberi kabar yang membuat Tisha merotasikan bola mata. Dia sudah sangat bosan dengan cerita-cerita sang kakak terkait pekerjaannya sebagai guru bahasa Indonesia sekaligus pengurus perpustakaan di sekolahnya.
“Terus? Kaitannya sama aku?” Tisha menyerbu tak sabaran. Jengkel dengan ucapan Riana yang terkesan sangat bertele-tele.
“Itu dia!” Riana menjentikkan jari. Sembari mencomot kembali isi toples, dia melanjutkan. “Teteh mau ngasih kamu tantangan untuk mendekati dia. Kamu harus membersamai dia selama dua minggu. Bukan hanya di perpustakaan, tapi juga di luaran, termasuk setelah pulang sekolah. Kamu harus ngikut dia ke mana-mana.”
Bola mata Tisha melebar. “Yang benar saja, masa tantangannya begitu?” keluhnya setengah menjerit.
“Kenapa?” Riana mengangkat dagu.
Tisha mendadak bisu. Lidahnya seketika kelu.
Setelah hening beberapa saat, Riana menajamkan tatapannya. “Sanggup, enggak?”
“Uhm ... gimana kalau cukup di sekolah aja?” Tisha berusaha menawar. Dia sadar tantangan itu cukup sulit. Namun, mengingat hadiah yang dijanjikan sangat menggiurkan, maka dia tidak mau menolak mentah-mentah.
Mata Riana menyipit. “Oh, kamu enggak berani nerima kesepakatannya?” Nadanya datar.
“Enggak gitu.” Tisha menggeleng-geleng, meralat cepat. “Aku bakal tetap bareng-bareng dia, tapi cukup di sekolah aja. Lagian kan aku pulangnya sama Teteh, ribet nantinya kalau harus ngikutin dia.”
Riana ikut bergeleng-geleng. “Beberapa waktu ke depan Teteh ada urusan di pusat kabupaten.”
“Bawa mobil?” Tisha harap-harap cemas. Batinnya merapal doa, semoga balasan tanyanya adalah ‘iya’.
“Enggak, malas macet. Teteh mau naik motor.”
“Hah?” Mulut Tisha sedikit menganga. “Terus aku gimana?”
Kendaraan yang mereka miliki hanya satu motor dan satu mobil. Sedangkan Tisha hanya bisa mengendarai motor. Jika itu dibawa Riana maka Tisha naik apa? Rumah mereka di pelosok desa, cukup jauh dari pangkalan ojek konvensional, juga belum tersentuh ojek online, sedangkan angkot biasanya lama sekali.
“Ya itu, kamu berangkatnya sama Teteh, tapi pulangnya sama si pengunjung setia. Nanti dia yang bonceng kamu sampai rumah.”
“Emang dia bakal mau?” gumam Tisha gamang. Tidak percaya akan ada orang yang mau melakukan hal seperti itu, direpotkan oleh sembarang orang. Ya, menurut Tisha dia adalah sembarang orang bagi si pengunjung setia, secara mereka tak saling kenal apalagi akrab.
Riana mengangguk mantap. “Teteh udah bicara sama Bu Santi selaku bibi dia terkait rencana kebersamaan kalian, terus katanya anak itu oke-oke aja.”
“Tapi ....” Tisha menggigit bibir. Argumennya lesap di tenggorokan.
“Aturannya enggak bisa diganggu gugat. Kalau memang sanggup, maka ikuti semua yang sudah Teteh tentukan.” Riana mengalihkan pandangan, pura-pura enggan melihat Tisha. “Dengan melakukan negosiasi, menunjukkan kamu enggak sepenuhnya berani. Jadi, ya udah, kesepakatannya dibatalkan saja.”
Melihat kekesalan sang kakak, Tisha merendahkan bahu. Harapannya untuk diberikan keringanan ternyata berakhir sia-sia.
Keberadaan hal yang sangat Tisha sadari bukan perkara mudah untuk dilakukan adalah terus bersama dengan orang lain dalam waktu cukup lama, terlebih di ruang tidak tentu seperti luar sekolah. Tidak pernah terbayang olehnya harus melakukan hal semacam itu lagi, semenjak keputusannya untuk menjadi penyendiri beberapa tahun lalu.
Tisha benar-benar tidak siap. Rasanya terlalu berat. Namun, dia juga tidak mungkin membatalkan penerimaan tantangan, karena hal itu dapat menghilangkan kesempatannya untuk mendapat hadiah yang sangat diharapkan.
Sesaat Tisha menghirup udara dalam-dalam, lalu memejam. Setelah merasa lebih tenang, dia membuka mata dan menyahut cukup lantang. “Oke, enggak jadi nawar. Aku sanggupi semua tantangan Teteh!” Secara impulsif Tisha berniat melakukan apa pun demi mendapat kenyamanan hakiki dalam ruang sepi tanpa Riana recoki.
Riana kembali melihat Tisha. Jempol tangannya terangkat. Sudut-sudut bibirnya tertarik lebar. “Nah, gitu, dong, itu baru adik Teteh yang pemberani.”
“Uhm, pengunjung setia itu ....” Tisha menggantung kalimatnya. Ingin menanyakan tentang orang yang harus dia hadapi, tetapi segan.
Bosan mengunggu kelanjutan ucapan sang adik yang entah kapan adanya, akhirnya Riana berkata, “Siswa kelas sebelas.”
Tisha membulatkan mulut. Oh, kakak kelas ternyata. “Namanya?”
Riana tersenyum misterius. “Rahasia, dong.”
Sontak manik mata Tisha melebar. “Lha, kok gitu? Terus gimana caranya aku mendekati kalau namanya aja enggak dikasih tahu?” seru Tisha histeris, tak habis pikir dengan isi kepala Riana yang penuh teka-teki.
“Kamu bakal bisa langsung tahu dia, kok. Sebab, jarang ada yang lama di perpus. Biasanya setelah dapat buku yang dibutuhkan, mereka akan langsung pergi. Maklum, murid-murid sekolah kita kan pada kurang suka berdiam lama di sana.”
Perempuan berusia 28 tahun itu menjeda sebentar sambil melirik ekspresi Tisha yang tampak kebosanan. Namun, Riana tetap melanjutkan, “Waktu istirahat mereka lebih diutamakan untuk berburu makanan atau ... menyendiri di bawah pohon.” Ada penekanan di kalimat terakhirnya.
Tisha mendengkus tertahan. Secara tidak langsung Riana tengah menyindirnya. Sebab, dia memang termasuk anak yang tidak terlalu menyukai bangunan penuh buku itu. Spot favorit Tisha di sekolah hanya rerumputan di bawah pohon belakang kelasnya. Tempat sepi yang bisa membuatnya cukup tenang.
Tisha kurang minat bergaul. Dibandingkan harus pergi ke kantin atau makan bersama teman-teman di kelas, dia lebih memilih menyendiri di sana, menikmati santapan yang dibawanya dari rumah.
“Ish, tetap saja aku takut salah orang,” kata Tisha gusar. “Tolong kasih kisi-kisi sedikit lagi. Misalnya ... gambaran fisik dia.”
Setelah terdiam menikmati rasa yang baru ditelannya, akhirnya Riana mengangguk. “Oke, deh. Tubuh dia ... tinggi, kulitnya sawo matang, sama punya bekas luka gitu di pergelangan tangan kanannya.”
“Terus-terus?” Netra Tisha berbinar. Kesenangan menyerap informasi yang diharapkan dapat memperlancar aksinya. Dia bahkan berharap Riana keceplosan menyebut nama orang yang harus didekatinya.
“Ya, cari tahu sendiri, dong! Enggak guna banget Teteh ngasih kamu tantangan kalau akhirnya Teteh juga yang ngasih jawaban tentang dia.”
Tisha mendesis. Ternyata sang kakak telah menyadari triknya. Ah, dia jadi pusing. Bagaimana jika dia salah orang?