Loading...
Logo TinLit
Read Story - Fidelia
MENU
About Us  

“Ashira l’adonai, ki gaoh gaah.[1]”

“Papa, Mama, kenapa ada namaku di lagu itu?”

“Karena arti namamu ada di dalam lagunya.”

“Hm ... ‘aku mau bernyanyi’?”

“Boleh, Sayang. Ayo, nyanyi bareng.”

“Bukan. Maksudku, itu artinya, ‘kan?”

“Iya, betul. Makanya, ayo, nyanyi sama-sama.”

*

“Jangan takut, Ashira.”

Aku mendongak, mendapati si Hakim berjongkok di depanku yang entah sejak kapan bersimpuh di rerumputan. Air mataku mulai menitik, badanku gemetaran karena rasa takut yang amat sangat, yang seumur hidupku belum pernah kurasakan. Pemahaman akan sumber utama dari ketakutan itu malah membuatku makin takut.

“Kamu nggak sendirian.”

Aku merasa skeptis sambil menangis keras. Apa benar begitu?

Si Hakim maju dan memelukku yang meraung-raung. Dia tak bicara apa-apa, hanya melingkarkan lengannya di sekitarku dan menepuk-nepuk punggungku. Tubuhnya hangat dan seolah memancarkan radiasi ketenangan, tapi rasanya lama sekali sampai aku benar-benar tenang kembali. Efek kerja pelukan si Fidelia jauh lebih lambat daripada obat penenang, tapi akan lebih bertahan lama, karena selanjutnya dia bicara,

“Selama masih ada manusia di bumi ini, ketidakjujuran akan selalu ada.” Dia mengulang kalimat yang pernah diucapkannya padaku. “Yang belum kusampaikan adalah, selama masih ada keajaiban di bumi ini, kejujuran juga selalu ada.”

Keajaiban? Apakah kejujuran itu sebuah keajaiban?

“Tidak mesti berhubungan. Tapi, aku ingin menyanyikan lagu yang satu ini khusus untukmu, Ashira. Kau sudah tahu bedanya lagu yang kunyanyikan untuk Berta dengan lagu-lagu yang biasanya.”

Spekulasiku, lagu yang bukan lagu anak-anak adalah pujian untuk orang yang kejujurannya patut diacungi jempol?

“Benar sekali. Coba dengarkan lagu yang ini, dan kau akan bangun lagi.”

Bangun lagi? Kalau aku bangun lagi hanya untuk disuntik obat penenang berulang-ulang, mending aku terus tidur saja. Lagipula setelah apa yang terjadi barusan, aku merasa hutan ini sebenarnya tempat yang aman. Aku bisa saja berada di sini terus.

Si Hakim menggeleng sambil melepas pelukannya. “Di sini bukan tempat tinggal, Ashira. Kau akan benar-benar bangun. Kembali kuliah dan melanjutkan apa yang menjadi tugasmu.” Dia berjalan mundur, menarik napas dalam, dan membuka mulutnya untuk bernyanyi,

“Ashira l’adonai, ki gaoh gaah.

Ashira l’adonai, ki gaoh gaah.”[2]

Aku ternganga mendengar lagu dari masa lalu itu dinyanyikan kembali di hadapanku, seolah Papa yang sedang bernyanyi di depanku. Warna suara si Hakim tak lagi cempreng dan kekanakan, namun menjadi berat dan maskulin layaknya penyanyi tenor dewasa.

There can be miracle when you believe,

though hope is frail,

it’s hard to kill.”

Kali ini, air mataku menitik lagi; haru yang amat sangat menyesakkan dadaku.

“Who knows what miracle you can achieve?

When you believe, somehow you will.”

Mulutku sendiri terbuka dan turut menyanyikan akhir lagu itu,

“You will when you believe.”

Aku bisa kalau aku percaya. Bangsa Israel bisa berjalan lewat air yang terbelah karena mereka percaya, meski tantangan yang sesungguhnya terhampar di padang gurun di hadapan mereka. Bagaimana pun, melihat laut terbelah di depan mata mestinya membuatmu ingin bernyanyi untuk memuji Tuhan.

You will when you believe.

Saat aku berusaha membuka mata, kedua kelopaknya terasa berat sekali diangkat. Aneh, mengingat biasanya aku dengan mudahnya membuka mata kalau diserang mimpi buruk. Ada seseorang yang menangis di sampingku.

Mama?

Semua orang mendadak sibuk. Perawat bolak-balik masuk dan keluar. Tubuhku dilepas dari ikatan, membuat kelegaan luar biasa mengalir di dalamku. Sekujur badanku terasa kaku dan gamang seperti kesemutan, kepalaku terasa ringan dan melayang.

“Ashira ....”

Mama memelukku sambil menangis. Aku berusaha bicara dan kaget mendapati tenggorokanku kering sekali, sakitnya seperti akan retak kalau aku memaksa bicara. Kapan terakhir kali aku minum? Kapan terakhir kali aku berteriak?

Papa melihat mulutku yang membuka-menutup seperti ikan kekeringan dan menyodorkan segelas air dari meja di samping ranjang. Kuminum air itu sambil berkedip-kedip cepat karena mataku terasa pedas sekali saat air mata terharuku hendak keluar. Aku betulan bangun. Tidak ada lagi mimpi buruk dan tali pengikat.

Ada televisi yang menyala, menempel di langit-langit, sedang menayangkan berita yang mestinya ditonton orang tuaku tadi sebelum aku terbangun. Gambarnya tampak buram dan aku teringat akan minus empatku. Papa menyadari diriku yang memicingkan mata ke arah televisi dan mengambilkan kacamataku dari laci.

“Dia orang dari kantornya Jaeger,” Papa menerangkan. “Sekarang kita tahu.”

Sosok pria yang menjadi sorotan adalah seorang koruptor besar yang baru terungkap kejahatannya. Namun, alih-alih menjalani pengadilan, dia malah terkapar di rumah sakit—kabarnya dalam perjalanan, mobilnya menabrak tiang listrik. Bagiku itu lebih kedengaran seperti usaha kabur dari penghakiman daripada murni kecelakaan; tapi, siapa aku ini hingga bisa menghakimi orang yang tak kukenal? Perasaan takut yang sama muncul kembali dan aku teringat akan Hitler. Orang itu juga kabur dari penghakiman dunia ini, dengan cara bunuh diri yang bisa dibilang lebih nekat daripada menabrak tiang listrik, tapi tetap sama saja namanya kabur.

“Kak Jaeger gimana?” selorohku.

Papa menjawab, “Dia sudah boleh pulang. Penyelidikan di kantornya sudah selesai.”

“Tiap hari dia menanyakan kabarmu,” isak Mama yang masih menggenggam tanganku. Kenapa bertanya tiap hari? Apa Kak Jaeger tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi padaku? Mataku berkeliaran mencari kalender di dalam ruangan, tapi tak kutemukan.

“Ma, ini tanggal berapa?”

“Satu Desember.”

Mataku terbelalak. Ini masih bulan Desember, padahal rasanya sudah berbulan-bulan sejak aku dirawat? “Satu Desember? Kapan aku masuk rumah sakit?”

“Dua lima November.” Ya, itu hari terakhir aku kerja shift di IGD rumah sakit. “Seminggu yang lalu ... katanya kamu kejang-kejang di asrama ....” Mama tidak sanggup meneruskan, air matanya membayang.

“Kata dokter, ada pembengkakan di otakmu, Ra,” Papa melanjutkan. “Kamu dioperasi lama sekali, mereka bilang kamu juga sempat kejang di ruang operasi.”

Otomatis, aku menyentuh kepalaku—yang terbungkus sebuah topi rajut. Rambutku sudah tak ada lagi.

“Kami terus berdoa buatmu selama operasi,” tutur Papa. “Kalau memang—kalau Tuhan memang ingin memanggilmu saat itu, kami berusaha ikhlas. Tapi Jaeger belum bisa pulang dan dia bilang dia pasti nyesel kalau sampai nggak ketemu kamu. Mirip waktu Faber pernah kecelakaan dulu, Jaeger juga lagi pergi berkemah.”

“Aku ....” Tak bisa berkata-kata.

“Kamu berhasil menempuh operasi. Tapi kamu nggak segera sadar, meski dokter bilang obat bius yang diberikan memang kuat—biar kamu nggak kejang lagi, karena bisa fatal kalau kamu kejang saat sedang dioperasi. Dan beberapa kali di ruang pemulihan, tanganmu malah meraih selang oksigen, kayak mau nyabut. Makanya kamu diikat.”

Napasku jadi berat. Sebuah perasaan lega sekaligus beban yang sulit didefinisikan menghimpit dadaku. Rupanya aku tidak dirawat di RSJ dan semua itu hanya persepsiku saja—tubuhku yang tak bisa bergerak, mulutku yang tak bisa bicara—bayangan yang tidak-tidak dari seorang yang koma pascaoperasi. Tapi, mendengar adanya pembengkakan di otak membuatku merasa hampir pingsan.

“Menurut dokter, kamu sering kurang istirahat. Tapi itu hanya faktor yang memperparah. Apa kepalamu pernah terbentur keras?”

Seketika aku teringat Theo dan insiden saat lari pagi bersama Markus. Aku memang belum bercerita pada orang tuaku.

“Pernah. Waktu pertengahan semester enam.” Lalu kuceritakan kejadian waktu itu. Mama menangis lagi. “Maaf aku baru cerita,” ucapku lirih.

“Yang penting sekarang Ashira udah sembuh,” balas Mama di tengah derai air mata.

Papa berujar, “Ini Faber lagi jemput Jaeger di bandara. Dia mau langsung ke sini.”

Berita itu harusnya membuatku bersemangat, tapi jauh di dalam hatiku ada lagi perasaan itu: perasaan inferior dan tak berdaya, dan ini ada hubungannya dengan musuh besarnya Fidelia.

Tapi kedatangan Kak Jaeger-lah yang betul-betul menaikkan semangatku kembali.

“Kasus korupsi yang di TV itu? Wah, gila, sih. Banyak orang sampai bertahun-tahun kagak bisa punya KTP elektronik, eh tahunya duitnya dikorup sama doi.”

Gaya bahasa Kak Jaeger memang didominasi ala kaum muda Ibukota sejak dia kerja, padahal Kak Faber juga berdomisili di kota yang sama.

“Yaelah, nggak usah elu pikirin, Ra. Buat apa? Biarkan tim hukum yang bertindak. Gue juga nggak bisa mengatasi korupsi sendirian. Jangan ngerasa segala sesuatunya harus elu bisa, duh, adek gue si Miss Perfectionist!”

Aku tertawa mendengar julukan itu, sekaligus mendapat pencerahan. Pencurian besar-besaran seperti ini memang di luar kemampuanku untuk mencegahnya, seberapa pun inginnya aku mencegah, dan seberapa parah pun efeknya terhadap si Hakim yang baru kusadari sangat kusayangi. Mungkin ini yang dimaksud si Pemberi tentang ‘berdamai dengan dunia’. Mungkin ini yang coba diperingatkan si Hakim tentangku yang sakit; bahwa sakitku adalah karena aku tak bisa berbuat apa-apa dan aku jadi tertekan karenanya. Harga diriku dan sifat overthink-ku membuatku terjebak dalam keputusasaan. Mungkin beginilah cara kerja Fidelia.

Dan mungkin, aku teringat akan sosok yang sudah mengingatkanku dulu: si Pengingat yang sudah lama tak kulihat, inilah maksud perkataannya, bahwa ada tujuannya beberapa orang tertentu diberi Tuhan kesempatan untuk melihat Fidelia.

*

“Ashiraaaaaaaa!”

Kupingku nyaris pekak mendengar jeritan Elena di pintu asrama. Tahun sudah berganti dan aku baru kembali ke asrama di pertengahan Januari, setelah sebulan lebih mendekam di rumah untuk pemulihanku. Terutama, untuk menumbuhkan kembali rambutku, meski saat kembali ke asrama pun rambut itu belum mencapai tengkuk.

Aku pengin sekali berlari ke arahnya, tapi lebih baik aku tidak lari-lari. Elena yang menghambur untuk menyambutku, tumpukan lemaknya yang makin tambun berguncang-guncang selagi dia berlari. Detik berikutnya, aku seperti dihimpit ikan paus.

“Ashiraaa! Puji Tuhan, kamu udah balik! Aku kangen kamu!”

Hatiku tersentuh, nyaris menangis mendengar Elena terisak sambil tertawa. “Aku juga kangen kamu, Len. Kangen ngembatin Chitato-mu.”

Elena menyerocos, “Kamu boleeeeh banget makan Chitato-ku, Ra. Boleh banget! Kamu tahu nggak, sih, rasanya aku sebagai saksi mata yang pertama kali lihat kamu kejang di kamar waktu itu ....” Dia berhenti dan melepas pelukannya. “Waktu itu aku mikir, ya Tuhan, jangan ambil Ashira sekarang! Siapa yang nanti ngingetin aku tiap hari buat diet ketat?”

Aku terkekeh pelan karena mimiknya yang lucu.

“Serius, Ra, pikiran pertamaku kayak gitu. Lihat aja nih, dua bulan kamu tinggal, badanku tambah melar tujuh kilo.”

“Pantesan tambah empuk pas dipeluk,” ujarku sambil ngacir ke arah dapur.

“Heh? Ashiraaaa!”

“Mbak Betaaa, aku pulang!” seruku pada juru masak itu, dan terkejut melihat Suster Eva juga ada di dapur.

*

“Selamat ulang tahun dan selamat datang kembali, Ashira.”

Malam itu Suster Eva membawa namaku dalam doa akhir pekan, momen ketika semua anak asrama dari berbagai angkatan berkumpul. Tak seperti perayaan ulang tahun yang biasanya diadakan di hari terakhir dalam sebulan, ulang tahunku yang sudah berlalu di bulan Desember dirayakan terlambat dan tanpa nasi tumpeng. Tapi aku tidak keberatan, baik karena terlambatnya maupun tak ada tumpengannya.

Karena, masih seperti kebiasaan di akhir bulan, orang yang berulang tahun akan berdiri di depan ruangan dan seluruh warga asrama antre berkeliling untuk menyalami yang bersangkutan. Meskipun aku warga tahun keempat di asrama, baru sekali ini ulang tahunku dirayakan di asrama—mengapa? Di akhir bulan Desember tak pernah ada perayaan ulang tahun di asrama, karena sebagian besar warganya pulang kampung dalam rangka libur Natal, Tahun Baru, dan libur semester sekaligus. Hanya segelintir yang kuliah sekampus denganku yang jadwal ujiannya belakangan dan jadwal semester barunya juga belakangan. Jadi aku pun biasanya melewatkan perayaan ulang tahun warga bulan Desember yang dirapel di akhir Januari karena baru datang lagi di asrama awal Februari.

Kak Vira, seperti Elena, juga memelukku erat. “Kadang it’s okay not to feel okay, Ra. Kamu nggak sendirian.”

Kalimat Kak Vira memperkaya pundi-pundi semangatku. “Makasih, Kak. Dan, selamat buat wisudanya, ya.” Dari Elena aku tahu bahwa angkatan di atasku sudah banyak yang lulus sarjana, termasuk kakak satu ini. Juga Kak Prita, si mungil yang bersuara indah, yang mengingatkanku akan si Hakim Fidelia.

“Selamat juga, Kak Prita,” ujarku tulus sambil saling cium pipi dengan senior yang lebih pendek dariku itu. “Berarti Kakak bakal segera pulang kampung?”

“Belum, sih, masih ngurus banyak dokumen. Tapi, iya, aku pasti pulang,” sahutnya dengan senyum tegar.

“Dengar-dengar, Kak Prita dapat hadiah uang buat lulusan terbaik, ya?” tanyaku sambil cengar-cengir. Yang ditanya tampak malu-malu.

“Iya nih, syukur banget. Bisa buat bantuin orang tua.” Dia tampak agak salah tingkah. Mendadak dia ganti topik, “Oiya, Ra, nanti kalau kamu lulus dari sini, jangan berhenti dari paduan suara, ya! Awas, kalau suatu saat aku telepon kamu, dan kamu udah nggak nyanyi!”

Aku masih nyengir.

*

“Selamat pagi, Pak Teguh.”

Tukang kebun itu mengangkat kepalanya, berhenti dari kegiatannya mengaduk tanah, tersenyum begitu melihatku.

“Halo, Mbak Ashira! Wih, pagi banget sudah bangun?”

Senyumku ikut melebar. “Iya, Pak. Hari ini saya ada presentasi kerja praktik. Mau jogging sebentar sebelum ke kampus.”

“Wah, hebat. Semoga lancar jaya,” kekehnya. “Jangan lupa sarapan, lho.”

“Pasti Pak kalau itu. Nanti Elena bisa ribut, ‘kan, sarapan itu waktu makan terpenting dalam sehari.”

Kami berdua tertawa.

“Sudah dulu, Pak, saya malah gangguin kerjaannya Bapak,” ujarku sambil membungkuk pamit lalu hendak pergi ke pagar.

“Nggak kok. Saya nggak apa-apa. Yang penting, kamu jangan memaksakan diri, ya. Kalau nggak kuat, berhenti aja. Di sekitaran asrama aja, ‘kan?”

Aku berhenti dari gerakanku meraih pagar. “Saya baik-baik Pak. Terima kasih sudah mengingatkan saya.” Kupandangi wajah yang menua itu, yang merupakan salah satu pertolongan dari Tuhan untukku. “Dan terima kasih sudah menolong saya.”

“Menolong apa?” Pak Teguh tampak bingung. “Saya sama seperti yang lain, mendoakan Mbak Ashira biar cepat sembuh.”

Aku tak menjawab pertanyaannya. “Ya sudah, Pak. Saya pergi dulu. Titip salam buat Andika, ya.”

Pak Teguh makin bingung lagi, tapi dari sinar matanya yang bersahaja tampaknya dia bisa menduga bahwa aku dan anaknya memiliki kesamaan yang tak bisa dijelaskan.

“Ya, hati-hati ya, Mbak. Oh, iya! Satu hal lagi ... saya dengar dari Suster Eva, Mbak Kristin akan kembali ke asrama minggu ini.”

Aku nyaris melompat kegirangan tapi itu akan sangat out of character, jadi aku hanya menunjukkan mata yang berbinar dan suara yang meninggi. “Jadi dia sudah sehat kembali?!”

“Saya pikir begitu. Alhamdulillah.”

*

Sebulanku di rumah bukan untuk bersantai-santai. Beberapa saraf motorikku jadi kacau karena operasi yang sempat terhambat lantaran aku yang kejang meski sudah dibius. Kubayangkan akan sangat fatal jadinya kalau dokter bedah sedang memegang skalpel waktu pasien yang dibedah bergerak di luar kesadaran.

Aku menjalani fisioterapi untuk memulihkan kaki dan tanganku yang kaku. Sekalian menunggu rambutku tumbuh kembali, alasan yang justru utama kusampaikan pada orang-orang yang bertanya. Hanya pada Markus aku bilang yang sebenarnya, karena dia pasti tahu jejak operasiku dari rekam medis—aku dioperasi dan dirawat di rumah sakit tempatnya kerja praktik. Mungkin faktor itu yang membuatku sempat mengira dirawat di RSJ, karena kerja praktik Markus waktu awal semester enam adalah di sana.

Kerja praktikku sendiri di rumah sakit memang tidak tuntas, tapi karena periodenya sudah terlewat selama aku memulihkan diri, aku diberi tugas tambahan tertulis dan diminta untuk presentasi individu, sementara teman yang lain presentasi kelompok.

Aku berangkat ke kampus dengan blazer dan rok hitam selutut, dan, karena bawahannya seperti itu, aku terpaksa naik angkot dan bukannya sepeda. Rapinya penampilanku sudah seperti orang akan sidang skripsi, tapi aku masih satu setengah bulan tertinggal dalam hal proposal skripsi ketimbang teman-temanku. Tak apa. Aku sedang mengulang kembali susunan kata yang sudah kutulis dan kuingat untuk kuucapkan saat presentasi nanti, yang akan berlangsung satu jam lagi, ketika kudengar suara terompet yang telah lama tak terdengar.

Kutolehkan kepala dan kudapati si Pengingat sedang duduk di samping seorang pria kumal berambut panjang kusut—si Fidelia sedang mengerahkan segenap napasnya untuk meniup kencang instrumennya tanpa terputus. Sembari begitu pun, dia sempat melambai singkat ke arahku dengan riang seolah bertemu sahabat lama.

Aku tersenyum.

Pria kumal itu kelihatannya sedang mengintai ransel seorang wanita muda, dua baris di depannya. Wanita itu setengah berdiri, tampaknya akan segera sampai di tujuan, dan ransel itu tergantung di punggungnya.

Memeluk ranselku sendiri di bagian depan alih-alih di belakang, aku berpindah ke kursi di antara pria kumal itu dan si wanita yang hendak turun, lalu menyentuh ambang jendela yang terbuka. Aku mengangguk sopan pada si pria kumal.

“Anginnya kencang banget, Pak, saya lagi agak flu. Boleh saya tutup jendelanya, Pak?”

Pria itu tampak terkejut dan menggeleng dengan panik.

Suara terompet sudah berhenti.

---

[1] Bahasa Ibrani: Aku hendak bernyanyi bagi Tuhan sebab Ia tinggi luhur.

[2] Bahasa Ibrani. Kutipan dari lagu When You Believe dalam film The Prince of Egypt, yang mana bagian bridge ini dinyanyikan oleh anak-anak.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Fix You
1018      599     2     
Romance
Sejak hari itu, dunia mulai berbalik memunggungi Rena. Kerja kerasnya kandas, kepercayaan dirinya hilang. Yang Rena inginkan hanya menepi dan menjauh, memperbaiki diri jika memang masih bisa ia lakukan. Hingga akhirnya Rena bersua dengan suara itu. Suara asing yang sialnya mampu mengumpulkan keping demi keping harapannya. Namun akankah suara itu benar-benar bisa menyembuhkan Rena? Atau jus...
Ojek
859      594     1     
Short Story
Hanya cerita klise antara dua orang yang telah lama kenal. Terikat benang merah tak kasat mata, Gilang dihadapkan lagi pada dua pilihan sulit, tetap seperti dulu (terus mengikuti si gadis) atau memulai langkah baru (berdiri pada pilihannya).
Persinggahan Hati
2112      849     1     
Romance
Pesan dibalik artikel Azkia, membuatnya bertanya - tanya. Pasalnya, pesan tersebut dibuat oleh pelaku yang telah merusak mading sekolahnya, sekaligus orang yang akan mengkhitbahnya kelak setelah ia lulus sekolah. Siapakah orang tersebut ? Dan mengakhiri CInta Diamnya pada Rifqi ?
Veintiséis (Dua Puluh Enam)
838      460     0     
Romance
Sebuah angka dan guratan takdir mempertemukan Catur dan Allea. Meski dalam keadaan yang tidak terlalu baik, ternyata keduanya pernah memiliki ikrar janji yang sama sama dilupakan.
Seteduh Taman Surga
1423      597     3     
Romance
Tentang kisah cinta antara seorang santriwati yang barbar dan gemar membuat masalah, dengan putra Kyai pengasuh pesantren.
Detective And Thief
4277      1353     5     
Mystery
Bercerita tentang seorang detektif muda yang harus menghadapi penjahat terhebat saat itu. Namun, sebuah kenyataan besar bahwa si penjahat adalah teman akrabnya sendiri harus dia hadapi. Apa yang akan dia pilih? Persahabatan atau Kebenaran?
Keep Moving Forward or Nothing
533      357     0     
Short Story
Ketika pilihanmu menentukan segalanya. Persahabatanmu menguatkannya. Kau akan terus maju atau tidak mendapatkan apa-apa.
Merayakan Apa Adanya
612      430     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
Nobody is perfect
14003      2537     7     
Romance
Pada suatu hari Seekor kelinci berlari pergi ingin mencari Pangerannya. Ia tersesat, sampai akhirnya ditolong Si Rubah. Si Rubah menerima si kelinci tinggal di rumahnya dan penghuni lainnya. Si Monyet yang begitu ramah dan perhatiaan dengan si Kelinci. Lalu Si Singa yang perfeksionis, mengatur semua penghuni rumah termasuk penghuni baru, Si Kelinci. Si Rubah yang tidak bisa di tebak jalan pikira...
Delilah
9487      2045     4     
Romance
Delilah Sharma Zabine, gadis cantik berkerudung yang begitu menyukai bermain alat musik gitar dan memiliki suara yang indah nan merdu. Delilah memiliki teman sehidup tak semati Fabian Putra Geovan, laki-laki berkulit hitam manis yang humoris dan begitu menyayangi Delilah layaknya Kakak dan Adik kecilnya. Delilah mempunyai masa lalu yang menyakitkan dan pada akhirnya membuat Ia trauma akan ses...