Loading...
Logo TinLit
Read Story - Fidelia
MENU
About Us  

“Tak hanya mengambil ponsel seniornya di asrama, dia juga mengambil jatah ayam fillet lebih dari yang seharusnya selama enam kali hari Selasa. Frida sudah dihalau dari surga dan tak bisa lagi masuk ke sana.”

Bagaimana mungkin aku tak bergidik mendengarnya? Apalagi yang berbicara ini adalah si bocah Fidelia yang botak dan tak punya mata—ada dua soket cekung di mana seharusnya matanya berada dan aku berusaha untuk tak melihat ke arah situ, tapi wajahnya yang mengerikan terus terbayang dalam pikiranku. Bocah itu muncul dan bicara padaku tanpa peringatan, dan, kebetulan, aku sedang sendirian di kamar, memasukkan baju yang habis disetrika ke lemari.

“Memangnya kau ini apa, bisa bicara sebegitu ringannya soal surga? Apa salah satu dewa, atau malaikat?” desakku, merasa kasihan pada Frida sekaligus malu. Ternyata benar ada anak asrama yang seorang pencuri! Sungguh aib yang memalukan, dan mungkin karena itu Frida pindah diam-diam dan tak ada yang tahu mengapa. Tapi, apa salah Kak Ribka? Dia memang tampak galak tapi sesungguhnya dia baik; buktinya para senior memercayainya menjadi ketua asrama periode ini.

“Aku seorang Fidelia,” si bocah menjawabku. Aku tak bisa memahami mengapa suaranya terdengar merdu padahal dia tak sedang bernyanyi. “Kristin sudah bercerita padamu, bukan? Kami adalah penjaga kejujuran.”

Kesimpulan Kristin rupanya cukup akurat, dan keingintahuanku maju mendesak. “Apa ada banyak yang seperti kalian di luar sana?”

“Tidak. Kami bertiga adalah satu-satunya Triad Fidelia di dunia fana ini.”

Huh. Lagi-lagi dia bicara seolah dia itu makhluk surgawi. Dan, untuk ukuran balita, caranya bicara terlalu dewasa. Berapa sesungguhnya umurnya? Atau, mungkin perkara duniawi seperti umur dan waktu tak ada pengaruhnya bagi mereka?

“Apa jadinya kalau lebih dari satu pencurian terjadi di saat yang bersamaan?” Kutantang dia dengan pertanyaan logis.

“Kami dapat muncul dalam berbagai bentuk bersamaan.”

“Hah?” Jawabannya tidak memuaskanku. “Maaf saja, ya. Logikaku tidak sampai ke sana. Dan mengapa kau bicara padaku duluan, tanpa kuminta? Kau tak pernah bicara sebanyak ini pada Kristin, bukan? Padahal dia ingin sekali, dia juga ingin tahu, bahkan sejak dia masih kecil.”

“Masih kecil atau sudah besar, berapa pun umurnya, sama saja artinya kalau manusia tetap mencuri.”

Apa-apaan, sih, bocah ini, tiba-tiba bicara seperti seorang filsuf?

“Kau sendiri masih bocah, tahu,” balasku, mulai sengit.

“Kami tak menggunakan ukuran umur seperti manusia,” sahutnya tetap dengan suara lembut dan merdu, membenarkan perkiraanku soal perkara yang disebutnya fana. “Kau tadi bertanya mengapa aku bicara padamu duluan?”

Yeah. Kau masih ingat, ya.” Aku sudah akan melontarkan beberapa kalimat yang lebih pedas seperti, ‘Kukira kau terlalu banyak berfilosofi hingga lupa pada pertanyaanku tadi’. Tapi si bocah Fidelia sudah mendahuluiku,

“Jawabannya adalah karena kau istimewa, Ashira.”

Aku memandangi mulutnya yang mungil, sebisa mungkin menghindari daerah rongga matanya, sementara jantungku mulai berdegup lebih kencang. Harga diriku meroket tanpa bisa dicegah selagi aku menunggu penjelasan si Fidelia.

“Bagaimana bisa begitu?” kejarku, karena bocah itu diam saja.

“Aksimu hari itu, ketika kau dan Kristin mencuri bunga mawar.”

Aku sudah akan mengoreksinya, menegaskan bahwa kami tidak mencuri, tapi kali ini aku menahan argumenku.

“Melakukan pencurian dan langsung mengaku bahwa kau bersalah dan siap menerima konsekuensinya; itu persyaratannya, syarat tunggal yang sederhana tapi sangat jarang bisa kutemui di dunia zaman sekarang. Pengamatanku betul, bukan?”

Lagi-lagi aku menahan diri untuk tidak mencetus, ‘Bagaimana kau bisa melakukan pengamatan kalau kau tidak punya mata?’

Dia melanjutkan, karena yang barusan memang merupakan retorika—pertanyaan yang jawabannya sudah jelas, “Dan untukmu, yang mengaku bahkan di menit yang sama dengan pencuriannya sendiri, sungguh mengagumkan.”

*

Kristin benar ketika dia bilang aku bakalan terbiasa dengan keberadaan Triad Fidelia. Meskipun, butuh hampir sebulan bagiku untuk benar-benar mengabaikan setiap kebisingan yang mereka timbulkan. Soal fakta bahwa si bocah Fidelia berbicara padaku, kusimpan sendiri dan tidak kuceritakan pada Kristin. Welcoming party para mahasiswa dari luar negeri pun berlalu tanpa kuhadiri dan aku juga kehilangan minat untuk mengenal buddy-nya Kristin yang orang Jepang. Malahan beberapa teman di fakultasku mengira aku orang Jepang, dari namaku yang kedengarannya seperti bahasa Jepang, wajah dan kulitku yang menunjukkan kekhasan oriental, dan aku sendiri yang kadang suka pakai rok kotak-kotak merah-hitam ala pelajar putri di Negara Matahari Terbit itu. Bukannya aku pengin dikira orang Jepang, tapi itu satu-satunya rok semiformal yang kupunya untuk kuliah, dan biasanya kupakai ketika aku sedang haid sehingga tak nyaman untuk naik sepeda dan memilih angkot atau bus sebagai alternatif.

Hidupku berjalan terus, tapi tidak seperti cerita-cerita negeri dongeng, yang diakhiri dengan penutup, ‘Dan mereka hidup bahagia selamanya’. Hidupku masih terbuka untuk banyak cerita yang aku pun tak tahu apa. Mana ada ‘hidup bahagia selamanya’? Bahkan pasangan yang sudah menikah pun pasti pernah mengalami yang tidak bahagia. Justru dari yang tidak bahagia itulah, orang menemukan kekuatan baru.

Aku tidak merasa bahagia pernah mengenal Fidelia. Tahun pertama kuliahku diisi kesibukan organisasi dan kepanitiaan di fakultas, selain lembur laporan yang dijadwalkan ada lima macam praktikum dalam seminggu. Saat akhirnya aku bisa benar-benar menganggap mereka tak ada, aku sudah jadi mahasiswa tingkat dua.

Tapi semesta memang aneh. Ada peristiwa yang membuatku terpaksa mengingat mereka lagi, dan diyakinkan bahwa mereka memang nyata.

Waktu itu aku di sekretariat kampus, sedang meneliti berkas-berkas yang akan kukumpulkan untuk pengajuan beasiswa yang cukup bergengsi. Aku duduk di kursi, dua buah map kertas dengan isinya terhampar rapi di meja di depanku. Ya, aku akan mengajukan aplikasi ke dua pemberi beasiswa. Syarat-syaratnya mirip, begitu pula benefitnya. Kupikir tak masalah mengajukan dua-duanya di waktu yang sama, karena toh belum tentu lolos dan banyak orang melakukannya. Kalaupun ternyata keduanya lolos, aku bisa mengundurkan diri dari salah satunya—atau tunggu saja yang mana duluan yang memberi pengumuman.

Saat merapikan berkas di map yang kedua, aku mendengar bunyi keras seperti tiupan terompet tahun baru. Saat itu memang bulan Desember, menjelang akhir tahun, dan gedung sekretariat memang dekat dengan jalan raya. Nyaris terlonjak aku dibuatnya, karena begitu keras dan mendadak, dan bunyinya panjang sekali seolah yang meniupnya tak perlu mengambil napas. Aku melirik ke petugas sekretariat di balik meja. Pria itu tidak kelihatan terganggu.

Perasaanku tak enak. Terompet itu masih berbunyi, terus-menerus tanpa putus, seperti sebuah alarm kebakaran saat ada api.

“Jadi mau apply yang mana, Mbak Ashira?” si petugas bertanya padaku karena melihatku berdiri mendekat.

Kuacungkan map yang pertama. “Yang ini, Pak.”

“Sudah lengkap semua?”

Aku mengangguk.

“Nggak jadi apply dua?” tanyanya.

“Nggak, Pak. Satu dulu aja.”

“Oke. Sering-sering cek website-nya nanti. Katanya pengumumannya harus lihat sendiri di situ.”

“Ya, Pak. Terima kasih.”

Aku keluar dari sekretariat, langsung menuju parkiran sepeda kampus.

Bunyi terompet tahun baru tadi berhenti tepat ketika aku menyerahkan mapku. Tanganku meremas map satunya yang batal kukumpulkan.

*

Sudah lama sekali sejak bunyi-bunyi itu jadi sekeras ini; kalau begini, aku tak bakal lagi bisa mengabaikan bunyinya seperti sebelumnya. Setahun terakhir, bunyi itu kedengaran seperti dari kejauhan, hanya samar-samar.

Aku mengakui bahwa aku agak curang dengan mendaftar dua beasiswa, karena, selain di persyaratannya tercantum tidak sedang mengajukan atau menerima beasiswa lain, apabila aku memang berhasil lolos keduanya dan harus mengundurkan diri dari salah satunya, artinya aku mengambil hak orang lain yang mungkin saja bisa diterima beasiswa yang satu itu. Bisa dibilang aku merebut calon kursi seseorang dan dengan arogan membuangnya karena diterima di kursi yang menurutku lebih baik; dan, di mata Fidelia, itu termasuk sebuah ketidakjujuran.

Beberapa hari setelah pendaftaran beasiswa, aku berkenalan dengan dua Fidelia lainnya—keduanya sekaligus, selagi aku pulang berjalan kaki karena roda sepedaku bermasalah. Dipompa dan ditambal beberapa kali tidak cukup, barangkali harus ganti ban dalam—jadi kutinggal sepedaku di sebuah bengkel dekat kampus. Aku jadi bisa olahraga, ‘kan?

Di jalan pulang yang merupakan perumahan itu, saat melewati sebuah rumah dengan pohon mangga di halaman depannya, aku melihat seorang anak muda sedang mengendap-endap. Matanya yang rakus menatap penuh damba ke arah mangga-mangga ranum di atas situ.

Seorang pria bertubuh gempal tiba-tiba muncul di sampingku, meniup terompet bundarnya keras-keras. Aku kaget, melompat menjauh sambil menutupi telingaku.

“Anu, Pak ...?” Dahiku berkerut, masih berusaha mencerna dari mana dia datang karena aku sama sekali tak menyadarinya, dan muncul perasaan aneh bahwa aku pernah melihatnya sebelum ini.

Pria itu, yang berkulit putih pucat, berambut cokelat tua, dan mengenakan rok kilt, menoleh sekilas ke arahku, tapi dia tidak berhenti meniup terompetnya. Tiupannya panjang dan keras, tanpa perlu mengambil napas lagi—bahkan kulihat perutnya tak bergerak sama sekali saat mengeluarkan udara untuk alat musik tiup itu—dan tiba-tiba tubuhku terasa dingin.

Bunyi terompet itu harusnya sangat berisik, tapi si anak muda yang mendekati pohon mangga itu kelihatannya tak mendengar. Namun kemudian dia melihatku di dekat pagar dan langsung kabur, urung sudah niatnya mencuri buah mangga.

Pria dengan terompet dan kilt ini adalah seorang Fidelia. Aku menoleh ke arahnya saat terompetnya berhenti berbunyi.

“Halo,” dia berujar dengan ramah sembari menurunkan terompetnya. Dia punya kumis tebal yang rapi, tapi aku bisa melihat senyum hangatnya di balik rimbun kumis itu. Segera saja aku menyukainya karena dia mengingatkanku akan ayahku. “Aku seorang Fidelia. Apakah si Hakim sudah pernah memberitahumu?”

“Hah? Si Hakim?” Aku sedang bertanya-tanya apakah itulah nama si bocah botak tanpa mata. Masa iya, sih, hakim, seorang bocah kecil seperti dia?

“Jangan menilainya dari penampilannya,” pria dengan kilt itu terbahak. Aku juga suka caranya tertawa. Mirip sekali dengan ayahku, dan mendadak aku merasa kangen rumah. Hei, padahal baru dua minggu yang lalu aku pulang naik kereta, dan perjalanan ke kota tempat tinggalku hanya satu jam.

“Dialah yang memutuskan apakah seorang pencuri—atau calon pencuri—masih bisa diselamatkan atau tidak. Jika iya, dia akan membiarkanku meniup terompetku selama yang diperlukan. Ketika putusannya adalah tidak, maka aku akan berhenti meniup, dan dia akan menyanyikan lagu anak-anak.”

Persis seperti yang diceritakan Kristin. Mendadak, sosok si bocah Fidelia yang tak punya mata berkelebat kembali dalam ingatanku. Aku bergidik, tapi karena kasihan.

“Mengapa dia buta? Si bocah—si Hakim, maksudku.”

“Dia kehilangan matanya karena pencurian-pencurian masif,” pria itu menjawabku dengan nada pahit. “Aku ingat mata kanannya hilang sekaligus oleh kelakuan satu orang biadab, yang pada waktu itu bahkan baru memulai aksi pencurian besar-besarannya. Mata satunya hilang ketika orang itu bunuh diri. Dia sangat terkenal di buku-buku sejarah kalian.”

Mataku melebar. “Siapa?”

“Adolf Hitler dari Jerman.”

Sosok pria berkumis dengan sorot mata penuh kebencian tiba-tiba muncul dalam pikiranku, dilatarbelakangi bendera merah Nazi.

“Jadi, Hitler itu seorang pencuri besar-besaran,” gumamku.

“Benar sekali,” sahut pria itu, “karena tak hanya merenggut nyawa banyak sekali orang Yahudi—yang dia bahkan tak punya hak untuk itu—dia juga merampas kemerdekaan mereka, jauh sebelum membunuh mereka.”

Pikiran bahwa pencurian berskala sebesar kejahatan Hitler bisa melukai si Bocah Hakim sedemikian rupa sangat mengerikan untukku. “Bagaimana dengan peperangan? Waktu itu Perang Dunia Kedua, ‘kan?”

“Ya. Tak terhitung lagi jumlahnya orang yang mengambil nyawa orang lain dan banyak hal lainnya di masa itu. Harta benda, keluarga, tempat tinggal ... perang besar itu, dua-duanya, membuat si Hakim botak—secara perlahan-lahan tentunya.”

“Oh, tidak,” seruku, kini bersimpati begitu dalam terhadap si bocah sampai air mataku mulai menggenang. Bagaimana rasanya kehilangan mata dan rambut karena perbuatan orang lain? Apa jadinya kalau lebih banyak lagi orang yang menghancurkannya pelan-pelan? Berapa lama dia bisa bertahan—dan sudah berapa lama sesungguhnya mereka hidup? Pertanyaan terakhir rupanya betulan kulontarkan dalam kata-kata.

“Sudah berapa lama kalian bertiga hidup?”

“Kami ada selama dunia ini ada.”

Jawabannya sebetulnya sudah bisa kutebak, tapi rasa kasihanku terhadap si Bocah Hakim mengesampingkan sarkasme.

“Tapi kenapa ... kenapa kejahatan Hitler cuma berpengaruh pada si Hakim? Kamu kelihatannya sehat-sehat saja.”

“Itu sudah pembagian tugas di antara kami,” balas pria itu. “Dia yang mengadili si kriminal, dia juga yang menderita karena perbuatan kriminal itu. Sedangkan aku, pekerjaanku adalah yang paling awal. Aku adalah si Pengingat, aku akan meniup terompetku untuk memperingatkan si calon pencuri—sebelum kejahatannya betul-betul dilakukan—untuk mencegah pencurian itu terjadi. Dan Fidelia yang terakhir—”

“Tunggu, tunggu,” selaku. “Apa maksudmu dengan ‘mencegah’?”

Si Pengingat mengetuk-ngetukkan jarinya pada instrumen tiup yang dipegangnya. “Apabila di sekitar situ ada orang yang bisa melihat Fidelia—seperti dirimu, misalnya—orang itu punya tugas untuk mencegah terjadinya pencurian karena hanya mereka yang bisa mendengar terompet peringatanku.”

Dahiku berkerut. “Kalau nggak ada, bagaimana?”

“Yah, itu berarti aku hanya buang-buang napas,” gerutunya. “Tapi sesungguhnya tak persis begitu. Si calon pencuri sebetulnya bisa mendengar terompetku, hanya dengan volume suara yang lebih kecil. Kalian manusia fana menyebutnya nurani. Tapi di zaman sekarang, kebanyakan orang mengabaikannya.”

Aku merenung-renung, mencoba mengingat kapan-kapan saja Fidelia muncul dan apa yang kulakukan saat itu. Dari yang bisa kuingat, aku tak pernah melakukan apa-apa untuk mencegah, begitu pun pelakunya. Seandainya aku tahu aku harus berbuat sesuatu untuk mencegah ... demi Tuhan, aku tak pernah tahu-menahu soal ini! Tapi, bagaimana caranya mencegah? Lagi-lagi, aku menyuarakan pertanyaanku keras-keras,

“Gimana caranya—”

“Cukup lakukan apa yang menurutmu perlu,” sahut si pria dengan nada bijak. “Karena pekerjaan selanjutnya adalah tugas si Hakim. Dia akan menyanyikan lagu anak-anak yang dipilihnya secara acak.”

“Ya, aku tahu itu. Apa tujuannya?”

“Itu untuk mengejek si pencuri, karena dia tidak sadar dan tidak bisa membedakan apa yang baik dan apa yang buruk. Seperti anak kecil yang tak tahu bedanya kebaikan dan kejahatan.”

Filosofi yang unik tapi benar adanya. “Jadi, kalau sebuah pencurian akan terjadi, kau akan meniup terompetmu, lalu bocah itu akan menyanyikan lagu seperti, Bidadari?

“Hei, itu bukan lagu anak-anak,” bantah si Pengingat.

“Grup penyanyinya masih anak-anak, kok,” tangkisku, mencoba berkelakar tapi gagal. Oke, sepertinya aku harus mengoreksi pendapatku tadi. Orang ini sama sekali tak mirip ayahku, yang mestinya akan terbahak mendengar sarkasme dalam lelucon itu. “Ah, whatever. Dan setelah si Hakim selesai bernyanyi, apa yang terjadi?”

“Lalu tibalah giliranku untuk memberi,” seorang wanita menambahkan, muncul dari ketiadaan.

Kemunculannya membuatku mendadak cemas tanpa tahu alasannya. Dia wanita bersayap peri yang membawa buku hitam itu. Kulirik buku yang tampak mengancam itu dengan was-was. Apa yang ada di dalamnya? Tapi saat aku bertanya, suaraku keluar seperti cicitan lemah,

“Memberi? Memberi apa? Apa yang—”

“Di seluruh penjuru dunia ini ada banyak penjaga seperti kami, tak hanya penjaga kejujuran,” wanita itu memotong kalimatku, dan suaranya yang parau membuatku terdiam ketakutan. “Masing-masing dari kami punya berkat dan kutukan yang berbeda untuk tiap kasus. Setelah pengadilan oleh si Hakim berakhir, adalah tugasku sebagai si Pemberi untuk menganugerahkannya kepada si terdakwa: berkat, kalau dia menyesal dan bertobat, atau kutukan, jika sebaliknya. Aku tak terlalu menyenangi yang terakhir, tapi itulah yang lebih sering kuberikan.”

“Dan buku itu?” Aku menunjuk, suaraku lirih sekali, tapi aku yakin orang—makhluk—yang kutanyai bisa mendengarnya.

“Buku ini berisi nama si pelaku dan berkat atau kutukan yang akan menyertainya selama sisa hidupnya.”

Dari seluruh pembagian tugas ketiga Fidelia, yang terakhir inilah yang membuatku betul-betul bergetar karena ngeri. Kucoba mengalihkan pertanyaan, “Jadi di luar sana ada banyak yang sepertimu? Apakah aku bisa melihat mereka?”

Bukannya aku betulan pengin melihat penjaga yang lain-lain, aku hanya menantang wanita Fidelia ini.

Ternyata malah si Pengingat yang menjawabku, “Kau harus memenuhi persyaratannya. Jangan tanya aku, aku sendiri tak tahu bagaimana manusia fana bisa melihat penjaga kesucian atau penjaga kesabaran. Para Triad yang lain punya pengikut mereka masing-masing.”

“Pengikut?” Dahiku berkerut makin dalam. Aku mulai tak suka segala tetek-bengek tentang ini. Mereka ini bukan Tuhan ataupun malaikat ... oke, ini berdasarkan pandangan seseorang yang beragama. Bagaimana dengan orang-orang ateis? Atau pemegang kepercayaan animisme? Bagaimana bisa Triad Fidelia itu ada di dunia ini?

Si Pengingat seolah bisa membaca pikiranku. “Kau tahu, orang biasanya percaya pada apa yang mereka lihat,” sahutnya sambil angkat bahu. “Dan biasanya, hal-hal tentang kami tidak saling tumpang tindih. Maksudku, kau misalnya, bisa melihat Triad Fidelia, tapi tidak bisa melihat Triad yang lain. Bisa saja kubilang bahwa kau tak cukup suci atau tak cukup sabar untuk melihat mereka, tapi selalu ada maksud dan tujuannya kau dibuat bisa atau tak bisa melihat oleh penciptamu. Manusia fana memang terlalu mudah diprediksi.”

Seharusnya aku merasa tersinggung mendengarnya, tapi kutelan amarah akibat terlukanya harga diriku dan mencoba menantang mereka sekali lagi.

“Bagaimana dengan orang miskin yang mencuri makanan karena nggak punya uang? Kalau mereka nggak makan, mereka akan mati.”

“Sekali pencuri tetap pencuri,” si Pemberi menjawab dengan nada datar seolah itu hal yang sudah jelas.

“Kalian harus mempertimbangkan situasi dan kondisi, dong!” debatku. “Apa pilihan yang dipunyainya kalau dia nggak mencuri? Mati? Kalau dia mencuri? Dia mati juga?” Suaraku meninggi selagi aku teringat Jean Valjean, tokoh utama si miskin dalam Les Misérables, yang dihukum penjara karena mencuri roti untuk keluarga adiknya di awal cerita—yang berlatar krisis ekonomi di Prancis! Para Fidelia ini berpikir mereka cukup adil dan bijaksana untuk mengadili kejujuran orang. Kukira sia-sia saja mendengarkan argumen mereka lebih jauh. Karena mereka tak menjawabku, kusindir mereka berdua,

“Jadi kukira bukan masalah kalau aku pulang sekarang, pergi tidur, dan berpura-pura kalian semua hanya imajinasiku.”

Si wanita—si Pemberi—membentangkan sayapnya dengan mengancam, tampak agak marah.

“Kau bisa mengabaikan kami. Lakukan sesukamu. Tapi kau harus setia pada janjimu. Jangan pernah beri tahu siapa pun yang tak bisa melihat kami.”

Aku terkejut. “Aku ....”

“Setia pada janjimu, hidup bahagia selama-lamanya, dan tamat.” Wanita itu melebarkan bibirnya yang tipis, agaknya mencoba tersenyum keibuan, tapi di mataku tampak seperti senyum seorang munafik yang entah mengapa rasanya familier.

“Aku nggak pernah bikin janji!” bantahku.

“Kalau kau merasa begitu, kau bakal dihakimi sebagai orang yang tidak setia,” si Pengingat menjawab dengan lembut. Tampaknya kekasaranku tak berefek terhadapnya. “Itulah tugas kami sebagai penjaga kejujuran. Kau sudah membuktikan diri setia pada kejujuran dengan mengakui pencurian yang kaulakukan; tapi, kalau kau sampai bercerita pada orang lain ....”

“Oh, baiklah,” sambarku, mulai melangkah ke arah jalan pulang. “Aku cuma harus menjaga diri, agar nggak bilang pada siapa-siapa.”

“Tak hanya itu,” si wanita menambahkan. “Kau juga tak boleh mencuri lagi. Itu tak jujur.”

Aku mengertakkan gigiku, berjalan cepat sambil sedikit mengentakkan kaki saking kesalnya. Aku sudah cukup dewasa untuk tahu bahwa mencuri itu tidak jujur!

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Le Papillon
3263      1284     0     
Romance
Victoria Rawles atau biasa di panggil Tory tidak sabar untuk memulai kehidupan perkuliahannya di Franco University, London. Sejak kecil ia bermimpi untuk bisa belajar seni lukis disana. Menjalani hari-hari di kampus ternyata tidak mudah. Apalagi saat saingan Tory adalah putra-putri dari seorang seniman yang sangat terkenal dan kaya raya. Sampai akhirnya Tory bertemu dengan Juno, senior yang terli...
Kisah Kita
2094      741     0     
Romance
Kisah antara tiga sahabat yang berbagi kenangan, baik saat suka maupun duka. Dan kisah romantis sepasang kekasih satu SMA bahkan satu kelas.
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
166      136     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.
SURAT CINTA KASIH
595      429     6     
Short Story
Kisah ini menceritakan bahwa hak kita adalah mencintai, bukan memiliki
Persinggahan Hati
2112      849     1     
Romance
Pesan dibalik artikel Azkia, membuatnya bertanya - tanya. Pasalnya, pesan tersebut dibuat oleh pelaku yang telah merusak mading sekolahnya, sekaligus orang yang akan mengkhitbahnya kelak setelah ia lulus sekolah. Siapakah orang tersebut ? Dan mengakhiri CInta Diamnya pada Rifqi ?
Nobody is perfect
14003      2537     7     
Romance
Pada suatu hari Seekor kelinci berlari pergi ingin mencari Pangerannya. Ia tersesat, sampai akhirnya ditolong Si Rubah. Si Rubah menerima si kelinci tinggal di rumahnya dan penghuni lainnya. Si Monyet yang begitu ramah dan perhatiaan dengan si Kelinci. Lalu Si Singa yang perfeksionis, mengatur semua penghuni rumah termasuk penghuni baru, Si Kelinci. Si Rubah yang tidak bisa di tebak jalan pikira...
Redup.
738      433     0     
Romance
Lewat setiap canda yang kita tertawakan dan seulas senyum yang kerap dijadikan pahatan. Ada sebuah cerita yang saya pikir perlu kamu dengarkan. Karena barangkali saja, sebuah kehilangan cukup untuk membuat kita sadar untuk tidak menyia-nyiakan si kesayangan.
Kota Alkroma: Tempat Ternyaman
895      330     1     
Fantasy
Kina tidak pernah menyukai kota kecil tempat tinggalnya. Impiannya dari kecil adalah untuk meninggalkan kota itu dan bahagia di kota besar dengan pekerjaan yang bagus. Dia pun setuju untuk menjual rumah tempat tinggalnya. Rumah kecil dan jelek itu memang seharusnya sudah lama ditinggalkan tetapi seluruh keluarganya tidak setuju. Mereka menyembunyikan sesuatu. Kemudian semuanya berubah ketika Kina...
Putaran Roda
573      387     0     
Short Story
Dion tak bergeming saat kotak pintar itu mengajaknya terjun ke dunia maya. Sempurna tidak ada sedikit pun celah untuk kembali. Hal itu membuat orang-orang di sekitarnya sendu. Mereka semua menjauh, namun Dion tak menghiraukan. Ia tetap asik menikmati dunia game yang ditawarkan kotak pintarnya. Sampai akhirnya pun sang kekasih turut meninggalkannya. Baru ketika roda itu berputar mengantar Dion ke ...
Life
327      227     1     
Short Story
Kutemukan arti kehidupan melalui kalam-kalam cinta-Mu