Twinkle twinkle little stars
How I wonder what you are…
Malam ini bintang-bintang bersinar sangat terang. Aku terus mengulang lirik lagu itu seharian. Orang-orang pasti tidak menyadari keberadaanku karena sejak kepulangan kami dari Bukit Perkemahan, Ayah dan lainnya sibuk mempersiapkan ibadah syukur di rumah Ayah. Tidak pernah aku merasakan malam yang begitu indah. Mungkin karena waktu 40 hari ku akan habis beberapa jam lagi. Ini malam terakhirku. Dan aku ingin menikmatinya seorang diri di tempat peristirahatanku. Dari atas bukit, bintang-bintang akan terlihat sangat dekat dan jelas.
Rasanya sangat lega dan bahagia ketika misi yang diberikan sudah berhasil aku selesaikan. Meskipun aku tidak berhasil pergi ke Paris namun aku tidak menyesal. Aku berhasil menyelamatkan Ayah dari kejahatan Bastian, memberikan keadilan bagi Nona Tika, novelku meraih penghargaan bergengsi, menghabiskan waktu bersama dengan teman-temanku, dan naik paralayang! Bahkan akhirnya aku menemukan pria penolongku itu!
Kilas balik kejadian semalam di Bukit Perkemahan, saat aku tidak bisa tidur dan memutuskan mencari udara segar di luar. Dokter Joshua memandangi sebuah foto dengan tatapan kosong. Ia menyadari keberadaanku dan menyuruhku duduk di pangkuannya.
“Jasumin, lihatlah nonamu sangat cantik di foto ini.” ujarnya sambil tersenyum.
Betapa kagetnya aku melihat pria yang berfoto denganku saat penerimaan buket di pernikahan Cecilia adalah Dokter Joshua! Ia adalah pria yang menolongku saat hendak terjerembab ke lantai dan menerima buket bunga bersama. Selama ini, aku salah mengira pria itu sebagai Bastian. Pantas saja pertemuan pertamaku dengannya di salon terasa familier.
Mee-o-uww? (Anda pria yang menerima buket itu?)
“Sungguh ironi, ya. Aku yang mendapatkan buket itu bersamanya namun ia malah bertunangan dengan pria lain. Selain itu, belum sempat ia merasakan kebahagiaan, sekarang ia sudah berada di tempat jauh yang tidak mungkin kita datangi saat ini.” Pria ini mengusap matanya, menyembunyikan rasa sedih yang sudah lama ia pendam.
Saat itu aku tidak bisa mengatakan apapun karena terlalu kaget. Aku hanya sedikit menyesalinya kenapa kami tidak bertemu lebih cepat. Andai waktu bisa diputar kembali aku tidak perlu menerima undangan kencan buta dari Anya. Karenanya, aku berharap hari ini ia tidak menemukanku disini. Sudah cukup aku membebaninya dengan berbagai masalah yang kuhadapi. Aku tidak ingin kepergianku yang kedua ini meninggalkan kesedihan lagi baginya.
“RACHEL!”
Sepertinya aku mendengar suara seseorang memanggil namaku. Ini pasti doa-doa yang dipanjatkan oleh Ayah dan orang-orang terdekat untuk ibadah syukur malam ini. Pantas saja aku merasa bergidik merasakan kekuatan spiritual yang begitu luar biasa. Walaupun roh Rachel yang sesungguhnya masih terjebak di tubuh Jasumin namun sebentar lagi aku akan kembali pulang. Jadi, terima kasih semua sudah mengantar kepergianku dengan indah. Aku memejamkan mataku kembali. Merasakan desir angin lembut.
“RACHEL!”
Aku mendongak untuk melihat sekeliling. Aku ada di tubuh Jasumin, kenapa ada orang yang meneriakkan namaku? Aku melongok ke sekeliling. Sosok seorang pria berlari-lari dari bawah bukit. Ia berjalan menuju ke atas. Siapa peziarah yang malam-malam datang ke makam? Jangan-jangan pencuri mayat? Hiii… aku bersembunnyi di dekat batu nisan berharap orang itu tidak menemukanku.
“Jasumin?! Aku mencarimu dan ternyata kamu bersembunyi disini?” Sebuah senter HP menerangi sosokku yang tidak cukup baik untuk bersembunyi.
Suara ini… suara Dokter Joshua! Lalu siapa yang meneriakan nama Rachel tadi? Apa aku salah dengar? Aku menatap ke arahnya di tengah kegelapan. Cahaya bulan yang terang menjadi satu-satunya cahaya di malam itu. Wajah Dokter Joshua terlihat pucat. Mungkinkah ia mencariku seharian ini?
Mee-o-uww? meow (Anda tidak ikut acara ibadah? Aku hanya kangen nonaku.)
Tanpa berkata-kata, Dokter Joshua mengangkat dan memelukku dengan erat. Mungkin saat ini tubuhku mengeluarkan bau tidak sedap. Buluku juga kusut. Apa tidak masalah baginya?
“Kenapa kamu pergi meninggalkanku lagi? Bukankah kamu sudah berjanji akan menemaniku?” Dokter Joshua menangis.
Mee-o-uww (Anda jangan bersedih. Ada banyak kucing ras persia yang bisa Anda beri nama Jasumin sepertiku jika Anda merindukannya.)
“Apa maksudmu? Kamu tetap tidak akan memberitahu yang sesungguhnya, Nona Rachel? Bahkan di saat-saat terakhir ini?”
HAH?! Pria ini tahu identitas asliku? Bagaimana caranya?
“Pertama kali saya melihat Jasumin sadar dari koma, saya langsung menyadari Anda-lah yang kembali. Awalnya hanya dugaan, namun lambat laun kebiasaan, selera makan, hingga emosi yang Anda tunjukkan semuanya berbeda dengan Jasumin yang asli. Hingga suatu waktu, saya memiliki kemampuan untuk memahami ucapan Anda. Anda ingat kalimat saya agar Anda tidak coba-coba mengatai saya, kan?”
Meow? (Lalu kenapa Anda tidak mengakuinya kepada saya?)
“Karena saya tidak ingin Anda menjadi canggung dan pergi meninggalkan saya lagi. Sejak kepergian Anda, saya selalu berdoa kepada Tuhan agar diberi kesempatan bertemu Anda kembali meskipun hanya satu kali. Dan doa saya terkabul.”
Dalam waktu 40 hari, hari-hariku seperti roller coaster. Tiada hari untuk berpikir santai, semua saling berkejaran dengan waktu untuk menyelesaikan kasus yang melibatkanku dan Ayah. Pria ini adalah salah satunya yang sudah berjuang untuk mendapatkan keadilan bagi kematianku dan menyelamatkan Ayah. Ia juga mau mengurusku selama aku menjadikannya ‘babu’ dalam rutinitasku sebagai kucing yang tidak normal. Jadi ketika ia mengakui kalau ia tahu identitasku adalah Rachel, kepalaku seperti disambar petir. Duh, malunya!
“Maafkan saya, Nona. Seharusnya, saya mengatakan yang sejujurnya pada Anda.”
Meow.. meow (Saya senang Anda mengenali saya. Saya kira di sisa waktu ini saya akan terus menjadi Jasumin. Tahu begitu, harusnya saya lebih sering menyiksa Anda.)
“Sekarang pun, Anda sudah menyiksa saya, Nona. Anda pergi tiba-tiba tanpa pamit.”
Mee-oo-uuww (Terima kasih, Dokter Joshua atas dukunganmu selama aku hidup sebagai Rachel dan Jasumin. Anda telah menepati janji untuk selalu menjaga saya hingga akhir waktu. Meski pertemuan kita singkat, kenangan tentang Anda akan selalu saya ingat.”
“Saya merindukan Anda, Nona Rachel.” ucap Dokter Joshua lirih.
Aku menyelipkan ekor diantara kedua kakiku. Dokter Joshua memasangkan syalnya mengelilingi tubuhku yang menggigil dan mendekapku dengan mantelnya yang hangat. Seharusnya Dokter Joshua tidak disini. Aku takut ia malah semakin sedih. Namun ia tetap bersikeras menemaniku.
“Bukankah saya pernah berpesan agar Anda memberi tahu saya saat Anda merasa sendiri? Sekarang saya akan menemani Anda sampai tiba saatnya. Tidurlah dengan nyenyak Nona Rachel. Jangan pikirkan apapun. Fokuslah pada kebahagiaan di depan mata Anda.”
Aku mengangguk. Tubuhku menjadi semakin lemah. Dokter Joshua menemaniku dalam diam. Aku tidak tahu berapa lama waktu berlalu. Ia hanya fokus untuk memastikan aku tidak kedinginan. Sesekali ia menceritakan kisah lucu beberapa hewan peliharaannya untuk menghiburku namun mendadak kembali lagi dalam diam. Samar-samar aku mendengarnya menangis dan beberapa air matanya jatuh ke pipiku. Air matanya hangat. Sejujurnya, aku juga senang bisa menghabiskan sisa waktu terakhirku bersamanya. Ya, harapanku saat kepergiannya ke Perancis waktu itu, agar kami bisa bertemu kembali. Dengan sisa tenagaku yang terakhir, aku mengucapkan salam perpisahan kepadanya bertepatan dengan menyingsingnya fajar di hari yang baru dan menyerahkan liontin ‘R’ ku kepadanya.
Meeoouuww (Selamat tinggal, Dokter Joshua. Sehatlah selalu. Aku akan menunggumu.) Dan sebelum kepalaku terkulai, aku masih sempat mendengar suaranya untuk terakhir kalinya.
“Terima kasih karena sudah bertemu dengan saya. Tunggulah, saya yang akan mencari dan menemukan Anda. Selamat jalan, Nona Rachel!”