Dokter Joshua menghubungi rekan Pak Inspektur, Pengacara Eza. Setelah menerima sejumlah instruksi, ia mengajakku untuk menemui Ayah. Aku berdebar menanti reaksi Ayah ketika kasus kematianku akan digali kembali. Namun aku percaya kepada Dokter Joshua. Ia pasti memperkirakan semua risiko yang terjadi. Ya, aku harus mempercayainya seperti ia telah menyelamatkanku.
“Jasumin, kamu tidak perlu takut. Aku akan berusaha menguak kebenaran di balik kematian Nona Rachel. Jadi kamu harus terus disampingku, ya?” ujar Dokter Joshua.
Meow! (Tentu saja ! Aku tidak akan meninggalkanmu !)
“Terima kasih.”
Kami tiba di rumahku saat Ayah sedang mencabuti rumput. Ah! Aku ingat masa-masa itu ketika Ayah mengejekku karena aku grogi bertemu pasangan kencan buta pertama kalinya. Hari itu, ternyata takdir mempertemukanku dengan Bastian. Karena itu sejujurnya, aku juga tidak sanggup menerima kenyataan kalau Bastian ternyata terlibat di balik kematianku.
“Selamat siang, Tuan Hermawan.” sapa Dokter Joshua ke Ayah.
“Ah! Selamat siang, Dokter Joshua. Anda kemari lagi setelah waktu itu.”
“Ya, ini karena Jasumin merindukan Anda.” Dokter Joshua menyerahkanku kepada Ayah namun Ayah hanya menatapku sambil tersenyum tanpa ingin menggendongku.
“Rupanya kucing ini sudah pulih. Namun ia tidak membawa Rachel kembali bersamanya.” Ayah mulai menangis tersedu-sedu.
“Tuan, setiap makhluk hidup memiliki takdirnya sendiri. Anda harus menguatkan diri dan merelakan kepergian Nona Rachel. Ia pasti sedih jika melihat Ayahnya menangis.”
“Mari masuk ke dalam. Maafkan kalau sedikit kotor.” Ayah mempersilahkan kami untuk masuk sementara ia mulai menenangkan dirinya.
“Sepertinya habis ada tamu?” Dokter Joshua menanyakan rasa penasaranku melihat ada beberapa cangkir kosong di meja tamu.
“Ya, beberapa teman penulis kemari dan membawakan novel yang telah dicetak untuk memberi penghargaan pada Rachel. Anda bisa melihatnya sementara saya akan membuatkan Anda teh. Silahkan duduk.” Ayah bergegas menuju dapur dan kami pun duduk di ruang tamu.
Karyaku mendapat apresiasi khusus karena penulisnya meninggal saat promosi sedang diadakan. Ini pasti merupakan pukulan berat bagi rekan-rekanku, Bu Alisha, dan pihak terkait lainnya. Maafkan aku semuanya. Kalian pasti kesulitan karena kematian mendadak ini. Namun di balik buku itu ada sepucuk surat kecil. Aku memohon agar Dokter Joshua membacakannya.
‘Teruntuk Rachel tersayang,
Kami percaya kamu sudah di tempat terbaik. Jadi jangan pikirkan kami. Kami akan berusaha supaya karya-karyamu tetap bersinar. Begitu pula royalti atas namamu akan tetap kami jaga. Kami juga akan sering-sering menengok Ayahmu dan berharap Jasumin bisa cepat sadar. Kami yang menyayangimu, A2DS!’
Tanpa sadar air mataku mengalir. Mereka begitu tulus memperhatikanku namun nyatanya semasa hidup aku hanya bisa mengeluh dan mengomel karena revisi yang tak kunjung berakhir. Dokter Joshua menenangkanku dengan sedikit tepukan hangat di punggung. “Haruskah kita menyimpannya di rumahku, Jasumin?” tanya Dokter Joshua ragu-ragu. Aku menganggukan kepala dan ia menyimpan sepucuk surat itu di dalam dompetnya.
“Rachel meninggalkan warisan yang sangat besar. Novelnya digemari banyak orang. Namun, Tuhan memanggilnya terlalu dini tanpa sempat ia mengecap kesuksesannya.” Ayah memberikan secangkir teh untuk Dokter Joshua dan duduk berhadapan dengannya.
“Saya mohon izin Tuan untuk melakukan pemeriksaan lanjutan atas kematian Nona Rachel.” Dokter Joshua menyodorkan surat persetujuan kepolisian kepada Ayah.
“Uhuk! Untuk apa? Saya sudah menutup kasus itu.” Ayah tampak kaget melihat formulir itu.
“Apakah Anda tidak ingin mengetahui kebenaran atas kematiannya, Tuan? Jika kematian Nona ternyata disebabkan oleh orang lain apa Anda akan diam saja?”
“Apa maksudmu Dokter Joshua? Siapa yang kamu curigai?” Ayah menatap tajam ke arahnya sambil meletakkan cangkir teh yang digenggamnya.
“Saya belum bisa memberi jawaban. Oleh karena itu, saya ingin Tuan bekerjasama dengan saya untuk mengungkap kebenarannya. Apa Tuan bersedia?”
“Jika seperti itu saya bersedia. Rachel harus mendapat keadilan! Bastian juga harus tahu hal ini.” Ayah mengambil bolpoin hendak menandatangani surat itu.
“Bisakah perjanjian ini hanya Tuan dan saya saja yang tahu? Ini kasus praduga, Tuan Bastian dan pihak lain tidak boleh sampai terlibat di dalamnya.”
“Bastian adalah calon tunangannya! Justru Anda yang pihak luar, Dokter!”
“Maaf atas kelancangan saya. Namun saya sudah berjanji kepada Nona Rachel jauh sebelum ia bertunangan dengan Tuan Bastian. Saya juga meminta kepada pihak kepolisian agar menyelidiki kasus ini. Apa Anda menyimpan kalung berinisial ‘R’ ?”
“Ya, kalung itu dipakai Rachel bahkan di saat terakhirnya. Sebentar saya ambilkan di kamarnya.” Ayah bergegas menuju ke kamarku. Terdengar pintu lemari dibuka.
Mee-o-uww? (Apa yang akan Anda lakukan dengan kalung itu?)
Sesaat kemudian Ayah menyerahkan kotak berisi kalung itu kepada Dokter Joshua. Tanpa disadari, Dokter Joshua menitikan air mata. Ayah hanya menyaksikan dalam diam. “Apa maksud kalung ini, Dokter? Apa ini bukan milik Rachel?” tanya Ayah penasaran.
“Kalung ini sebagai hadiah terakhir sebelum saya pergi ke Perancis. Bahkan saya berjanji untuk menjaga Nona Rachel di kala ia mengalami kesusahan. Namun saya tidak bisa menepati janji itu. Jadi saya mohon kepada Tuan Hermawan, izinkan saya menepatinya sebagai bentuk penghormatan terakhir saya untuk mendiang. Izinkan saya untuk membuka kasus ini.”
“Baiklah. Saya berjanji tidak akan menceritakan pada Bastian. Namun saya harap dengan dibukanya kasus ini, putri saya bisa mendapat keadilan yang layak.”
“Saya berjanji Tuan Hermawan. Saya akan menghubungi Anda saat ada kabar dari pihak kepolisian.” Ketika Dokter Joshua hendak mengembalikan kalung itu, Ayah menolaknya. Menurut Ayah kalung itu harus ada pada Dokter Joshua hingga kasus itu berakhir.
“Kepercayaan putri saya pada Anda sangat besar bahkan di saat terakhirnya. Kalung itu terkait di lehernya dan Rachel menggenggamnya seolah takut kalung itu hilang. Saya sempat mengira kalung itu miliknya. Namun mendengar apa yang Anda ceritakan dan saya lihat, membuat saya ingin memercayai Anda juga. Terima kasih Dokter.”
Dalam perjalanan pulang, Dokter Joshua tidak berhenti menitikan air mata. Aku ingin menghiburnya namun apa daya bagiku yang seekor kucing. Jadi aku hanya menjulurkan kepalaku ke lenganya seperti yang dilakukan Jasumin dulu. Dokter Joshua tersenyum dan menghapus air matanya. Sesampainya di rumah, ia mengaitkan kalung itu ke leherku.
“Nah Jasumin ini kalung milik nonamu. Aku harap kamu mau memakainya ya.”
Mee-o-uww! (Tentu saja! Kalung itu bagus! Aku suka!)
“Wah bahkan seleramu semakin tinggi! Ckck.. ya sudah aku akan bekerja dulu.”
Sekarang Dokter Joshua sudah tidak terlalu sedih. Ia menghabiskan sisa waktu sore hingga malam dengan bekerja. Aku yang tidak punya kesibukan berjalan-jalan di halaman sambil menghitung sisa waktuku yang tersisa di dunia. Apakah aku punya waktu yang cukup untuk menuntaskan misiku? Lama mondar-mandir membuat kakiku kaku. Padahal saat menjadi manusia, aku justru orang yang sangat energik. Tapi sekarang lihatlah lemak gemuk ini mengintai dimana-mana. Aku pun mudah mengantuk. Tiba-tiba suara Dokter Joshua memanggil dan menyuruhku untuk segera tidur. Haahh ! Sungguh hari yang melelahkan.
Piipiip..piiipppiipp…piippiippp
Astaga orang ini memiliki kebiasaan alarm yang buruk sepertiku! Karena sekarang kamu ‘babu’ku maka tugasku adalah membangunkan ‘babu’ tidak tahu diri ini. Aku sudah mengambil ancang-ancang tinggi untuk melompat tiba-tiba Dokter Joshua bangun terduduk.
“Ugh! Apa-apaan ini Jasumin? Kamu mau membuatku tidak bisa bernapas?” Aku pun digelindingkan ke arah samping. Aku pun jatuh berguling-guling sedangkan pria ini hanya tertawa terbahak-bahak.
Grr..MEEOOWW! (Kurang ajar! Aku akan membalasmu!)
Aku bersiap untuk menyerang wajahnya. Dengan sigap, Dokter Joshua mengambil bantal dan menjadikannya tameng sambil berlarian di kamar. Aku melancarkan serangan bertubi-tubi hingga isi bantal itu berhamburan. Meski begitu pertarungan kami terus berlanjut hingga bantal terakhir. Kali ini seranganku harus berhasil!
“Hhah-hentikan Jasumin! Kamu pemenangnya! Hah... Lihat semua bantalku habis tak bersisa.” Dengan megap-megap kehabisan napas, Dokter Joshua mengambil HP nya yang berdering. Pertarungan kami berakhir dengan adanya telepon dari Pengacara Eza. Hari ini beliau berhasil menemukan identitas dan tempat tinggal si pengirim pesan anonim. Beliau ingin Dokter Joshua dan Ayahku menemui Nona Tika di tempat yang sudah ia siapkan. Dokter Joshua pun bersiap-siap secepat kilat sedangkan aku hanya perlu menjulurkan lidah untuk membasahi bulu saja. Ternyata jadi kucing enak juga. Setelahnya, kami menjemput Ayah menuju lokasi yang ditunjukkan Pengacara Eza.
Lokasi pertemuan kami mirip penjara bawah tanah. Setiap sudut dijaga oleh sekelompok orang berbadan kekar dan bersenjata. Namun tempat ini didesain agar sirkulasi udara dan cahaya matahari tetap dapat masuk. Selain itu, yang bisa masuk tempat ini adalah orang-orang yang memiliki undangan khusus saja. Sejenak, aku teringat kamar eksklusif untukku yang sudah disediakan di surga. Ya aku termasuk salah satu yang beruntung karena pernah melihatnya.
Wanita bernama Tika sudah berada di dalam ruangan ketika kami tiba ditemani Pak Inspektur. Rambutnya berwarna hitam sebahu. Berwajah tirus dan matanya bengkak seperti banyak menangis. Ia sedikit lebih tua setahun dariku. Penampilannya kusut seperti orang kesusahan yang tidak tidur berhari-hari. Demi keamanan dan kenyamanan bersama, tempat antara Nona Tika dan kami diberi sekat berupa kaca tebal. Ada mikrofon yang menghubungkan pembicaraan kami sehingga kami tidak perlu takut adanya tindak kekerasan. Namun seperempat bagian bawahnya tidak tertutup sehingga memudahkan objek kecil sepertiku untuk berlalu lalang di bawahnya.