“Wah, Anda cantik sekali, Nona. Mari kita perlihatkan kepada calon tunangan Anda.” Pelayan butik segera membuka tirai dan Bastian tersenyum sangat puas dengan gaun pilihannya. Gaun yang kupakai berwarna merah dan memiliki siluet seperti mermaid sehingga membentuk tubuhku secara sempurna. Di bagian roknya terdapat sulaman tangan sepasang burung merak.
“Gaun itu sempurna sekali. Kamu seperti bidadari, cantik.” ujar Bastian. “Apa ukurannya sudah sesuai?”
“Kurasa gaunnya terlalu panjang untuk pesta pertunangan. Apa kita tidak perlu memendekkannya?” tanyaku sambil memperhatikan ekor gaun yang menyapu lantai.
“Tidak. Justru itu membuatmu seperti putri bangsawan. Baiklah persiapkan dengan baik untuk gaunnya. Asesorisnya tolong persiapkan dengan warna senada.”
“Baik, Tuan. Nona rambut Anda akan dibentuk seperti apa?” Pelayan bertanya padaku.
“Digerai saja secara alami. Saya ingin menampilkan rambut panjang yang indah ini.”
“Pilihan yang tepat sekali, Nona. Baik saya akan mempersiapkannya.” ucap pelayan.
Ketika aku berganti baju, Bastian tiba-tiba meminta izin untuk pergi ke kantor lebih dulu karena ada meeting mendadak dengan client. Sebenarnya aku tidak menaruh kecurigaan apapun padanya. Karena ia calon suamiku, maka aku tidak boleh terpengaruh rumor buruk yang dibuat oleh orang tidak dikenal. Namun sejak kepulanganku, aku selalu mendapatkan pesan anonim yang menyatakan aku harus berhati-hati dengan Bastian. Awalnya aku tidak menggubrisnya. Namun mendekati hari pertunanganku, pesan anonim ini menjadi semakin intens. Aku membalas pesan itu dengan ancaman untuk tidak bermain-main denganku. Namun pesan itu mengatakan akan menunjukkan buktinya padaku hari ini. Aku tidak ingin hubunganku dengan Bastian menjadi semakin buruk jadi aku memutuskan untuk menemui pengirim pesan anonim itu tanpa sepengetahuan Bastian. Nanti akan kutunjukkan kalau dia bermain-main dengan orang yang salah, kataku dalam hati.
Untungnya, aku membawa mobil sendiri. Setelah menuntaskan fitting gaun, aku memberi kabar kepada Ayah kalau akan pulang terlambat.
“Halo, Ayah sepertinya hari ini aku akan pulang terlambat. Bagaimana kondisi Jasumin? Tidak biasanya Jasumin rewel saat aku meninggalkannya.”
[Jangan khawatir. Ayah sudah memberinya makan. Mungkin hanya kelelahan. Kamu juga cepatlah pulang dan istirahat. Acara pertunanganmu tinggal beberapa hari lagi.]
“Baiklah. Bye, Ayah !” Tut.
Setelah teleponku dengan Ayah berakhir, pengirim pesan anonim mengirimkan lokasi pertemuannya. Jadi, kuputuskan menuju lokasi yang ditunjukkan pesan anonim itu. Tempat pertemuan yang dituju juga bukan tempat sepi melainkan restoran terkenal di pusat kota sehingga aku tidak merasa takut atau khawatir akan tindak kejahatan.
Sebenarnya siapa pengirim pesan anonim ini? Darimana ia mendapat nomorku? Setahuku hanya orang-orang terdekat yang tahu nomor teleponku. Apa jangan-jangan ia salah satu dari teman-teman yang kukenal? Aku sibuk berpikir sampai tidak menyadari lampu lalu lintas sudah kembali menjadi warna hijau dan beberapa mobil di belakang membunyikan klaksonnya secara brutal.
Jalanan sangat lancar sehingga aku mengebut untuk mempersingkat waktu. Bahkan aku juga menyalip beberapa mobil yang menghalangi jalanku. Baiklah, tinggal 1,5 kilometer lagi aku sampai. Akan kutuntaskan semuanya hari ini dan bersiap untuk acara pertunanganku yang akan datang.
BRAK !
Aku merasakan langit berputar-putar. Aku hanya bisa menggenggam setir dengan erat. Benturan terjadi beberapa kali sebelum akhirnya mobilku berhenti berguling setelah menabrak sesuatu. Sudah tidak terhitung berapa kali kepalaku terbentur atap mobil dan setir. Airbag ternyata tidak seempuk yang kukira. Nyatanya dadaku masih merasakan nyeri. Beberapa pecahan kaca juga menancap di tanganku. Telingaku berdengung dan melihat kepulan asap hitam mulai memenuhi pandanganku. Aku merasakan cairan hangat membasahi telinga dan wajah. Kenapa orang-orang berlari padaku? Apa yang mereka teriakkan? Samar-samar semua pandanganku tertutup kabut berwarna putih. Dan aku tidak tahu apa yang terjadi.
Hening sekali. Tidak ada orang dan tidak ada satupun suara. Ketika aku mencoba membuka mulut, tidak ada satupun suara yang keluar meski aku memaksanya. Aku tidak dapat melihat apapun. Semuanya berwarna putih. Awalnya, aku mengira kehilangan indera pengelihatan dan pendengaranku. Namun aku bisa melihat tangan dan kakiku. Aku memakai baju terusan putih. Hampir sama dengan baju terusan yang kupakai ke Red Beach bersama Bastian. Anehnya, pecahan kaca di tanganku tidak ada, begitupun rasa sakit maupun darah yang sempat kurasakan. Tubuhku utuh seperti tidak terjadi apa-apa. Apakah tadi hanya mimpi? Lalu dimana aku sekarang? Beberapa waktu berlalu. Suasana hening masih kurasakan. Aku mulai gelisah dan hampir menangis karenanya.
Aku mencoba mencari jalan keluar namun tidak menemukan apapun. Semua sisi berwarna putih dan tidak berujung. Aku mencoba berteriak namun tidak ada kata yang terucap. Hanya air mata yang terus membasahi pipiku sejak kedatanganku di tempat ini. Pikiranku menjadi kosong. Aku merasa putus asa. Kumohon siapun itu, tolong selamatkan aku. Kakiku lemas. Aku hanya berbaring tanpa tahu sudah berapa lama waktu berlalu.
meow.
Sepertinya aku berhalusinasi. Aku memejamkan mataku kembali.
Meow
Suara kucing! Ya suaranya bisa aku dengar. Dengan sisa kekuatan yang ada aku mencoba berdiri dan mencari sumber suara itu.
Mee-oo-uuww… Mee-o-uww
Suara kucing itu semakin keras namun sosoknya tidak terlihat. Hanya kabut putih yang menyelimuti sekitarku. Aku mencoba mengucek mata beberapa kali. Perlahan sosok kucing itu muncul. Itu Jasumin! “Huhuhu.. Kemarilah, Jasumin.” Ah ! Suaraku keluar. Ini keajaiban. Aku pun membuka tanganku untuk menyambut Jasumin yang berlari ke arahku. Rasa lega menyebar di dadaku secara perlahan seperti sebuah harapan. Aku mencubit pipiku dan pipi Jasumin berharap ini bukan ilusi. Jasumin menampik tanganku namun aku tidak peduli dan memeluknya lebih erat. “Rasanya aku sudah lama tidak memelukmu Jasumin. Maafkan aku. Huhuhu” Suaraku bergetar. Ini tangisan syukur karena kehampaan menyiksa itu perlahan sirna sejak kehadiran Jasumin.
Mee-o-uww
“Jika kita bisa keluar dari tempat ini, aku ingin mengajakmu jalan-jalan, makan bersama, hingga menonton film bersama. Kita ajak Ayah juga. Ayah pasti sedih kalau ditinggal sendirian. Maafkan aku Jasumin jika aku sering meninggalkanmu saat aku bersama Bastian. Ini salahku. Sampai aku memutuskan akan bertunangan dengannya, aku masih tidak tahu harus bagaimana agar tidak perlu terpisah darimu.”
Mee-o-uww. Jasumin menepuk wajahku dengan tangannya yang mungil.
“Kamu tidak marah padaku? Terima kasih sayang. Aku tidak akan meninggalkanmu. Apapun yang terjadi Jasumin akan selalu berada didekatku. Aku tidak ingin kehilangan seseorang lagi.” Tiba-tiba ingatan akan Dokter Joshua muncul di pikiranku. Ah ! Aku kangen bersantai di salonnya, aku juga kangen saat kami bermain bersama Jasumin tanpa perlu memikirkan beban pekerjaan ataupun penyakit yang akan menyerang kami karena berkotor-kotoran di taman. Bagaimana kabarnya sekarang?
Tes !
Air mata mengalir pipiku. Lalu bayangan akan Ayah yang menangis bahagia karena putrinya akan segera bertunangan dan menikah. Bahkan sampai rela begadang demi mempelajari resep istimewa yang akan diberikan saat hari H pertunanganku. Apa yang akan Ayah pikirkan jika aku hanya bermain-main dengan Jasumin padahal waktu pertunanganku semakin dekat? Ayah pasti akan mengomel seperti biasanya. Jasumin menarik bajuku untuk mengajak bermain kejar-kejaran. Aku pun mengusap air mataku dan bermain bersama.
Hap !
“Akhirnya tertangkap juga kamu!” Aku mengangkat Jasumin tinggi lalu memeluknya.
Jasumin melompat dari pelukanku dan mulai berlari-lari kecil. Aku mencoba mengikutinya. Tiba-tiba kabut pekat menjadi pudar dan menampilkan suatu adegan yang tidak asing. Penasaran, aku pun mengikuti arah kabut yang semakin pudar. Kali ini bukan khayalan di dalam kepalaku. Namun kejadian nyata yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Ah! Bukankah aku melihat Bastian? Kenapa ia berlari - lari di jalan. Ada ambulans mengangkat tandu dengan seorang wanita diatasnya. Bastian kenapa menangisi wanita itu? Siapakah ia sampai Bastian ikut masuk ke dalam ambulans?
Mee-o-uww
“Ayo kita ikuti mereka, Jasumin!” ajakku kepada Jasumin.
Aku menggendong Jasumin lalu memutuskan untuk mengikuti ambulans itu. Ambulans itu tiba di sebuah Rumah Sakit Swasta tempat Ibu menghembuskan napas terakhir. Kenangan kehilangan Ibu sangat berat bagi Ayah dan aku yang baru berumur 15 tahun saat itu. Ibu mengalami serangan jantung setelah mengonsumsi obat-obatan yang ternyata memicu detak jantung. Sejak itu, Ayah melarangku minum obat apabila penyakitnya tidak parah.
Ternyata di lorong UGD sudah ada Ayah. Ayah menangisi wanita itu dengan histeris. Ayah terus menahan dokter agar tidak membawa wanita itu ke dalam. Bastian memeluk Ayah dan mengizinkan dokter untuk melakukan tindakan medis. Tidak lama kemudian, Robin dan Anya datang. Mereka tampak berbincang-bincang secara serius dan tidak lama setelah itu Anya menangis histeris. Robin memeluk istrinya itu dan menenangkannya. Aku tidak bisa mendengar yang mereka bicarakan. Apa yang terjadi dengan orang-orang terdekatku hari ini sehingga mereka menangisi wanita tidak dikenal? Aku masih bingung namun tidak bisa menggapai mereka. Seolah-olah mereka hanya ada di layar TV yang hanya bisa kulihat saja.
Mee-o-uww
“Ada apa dengan mereka Jasumin? Kenapa aku tidak bisa mencapai mereka padahal mereka ada di depanku. Aku ingin bertanya siapa yang mereka tangisi. Hah! Seperti hantu saja!” Aku menjadi gusar.
Mee-o-uww
“……”
Mee-o-uww
“Jasumin jangan bercanda. Jika wanita di dalam itu aku, berarti aku sudah mati? Dan yang mereka tangisi adalah aku? TIDAK KAN?! JAWAB DENGAN BENAR JASUMIN?!” Tanpa sadar aku marah dengan Jasumin. “Oh! Maafkan aku sayang. Aku tidak bermaksud membentakmu. Aku hanya… hanya… aku hanya….”
Mee-o-uww
Hiks.. hiks… huhuhu
Aku mati secepat itu. Tanpa sempat aku memberikan kenangan indah pada Ayah? Bahkan pertunanganku tinggal menghitung hari. Perasaan Bastian pasti hancur. Segala persiapan bahkan sudah tahap akhir. Tanpa sempat aku keliling dunia mempromosikan novel kompilasi kami? Tanpa sempat berlibur ke Paris bersama teman-teman? Tanpa sempat berpamitan kepada Dokter Joshua? Lebih tepatnya aku mati dengan belum mencapai apapun?
Huhuhu..Huuaaa…
TIDAK ! Jika boleh memilih hanya satu keinginan, aku tidak ingin Ayah sendirian. Satu-satunya harapan dan kekuatan Ayah untuk hidup adalah aku. Jika aku tiada, apa yang akan terjadi dengannya? Siapa yang akan memperhatikannya, membuatkannya cerita untuk dibaca setiap malam, dan membuatnya mengomel di pagi hari.. HAH!
“JIKA SEMESTA ADIL, TOLONG JANGAN HUKUM AYAHKU SEPERTI INI! Hiks..hiks.. tolong berikan aku kesempatan untuk bertemu Ayahku. Aku ingin hidup hanya untuk menemani Ayah. Apa harapanku ini terlalu mewah? TIDAK !”
“Jasumin, ayo kita pulang sayang. Kasian Ayah pasti sendirian nanti malam. Nanti tidak ada yang diajaknya bicara lagi. Ayo, kita kembali…” Hiks.. hiks.. Huhuhu…
Kematian adalah sesuatu yang aku takutkan sejak Ibu meninggal. Bukan takut akan pergi kemana setelah kematian namun ketakutan jika tidak bisa bertemu kembali dengan orang tersayang dan memeluk mereka satu per satu. Sejak kecil aku sulit melupakan kenangan tentang Ibu yang pergi tiba-tiba. Rasanya dunia akan berakhir. Namun Ayah adalah sosok yang tegar dan mampu memberi kekuatan di kala itu. Sekarang siapa yang akan memberi kekuatan pada Ayah? Sejak kematian Ibu, satu-satunya harapan hidup Ayah adalah aku. Huhuhu…
Tidak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya bisa menangis dan Jasumin hanya memperhatikanku dalam diam. Tidak terjadi apa-apa kecuali suaraku yang menajdi serak memenuhi ruangan yang tertutup kembali dengan kabut pekat. Aku berusaha mengibaskan tangan kesana kemari untuk melihat gambaran TV itu lagi. Namun tidak ada yang tampak. Aku berlari kesana kemari namun tidak menemukan ujung. Semuanya sama saja. Yang menghiburku disini adalah suara tangisanku yang hampir menyerupai raungan.