Sudah beberapa hari aku menangis hingga air mataku kering dan suaraku habis. Kini aku tidak memiliki harapan apapun. Bagiku kematian ini adalah hukuman atas kesalahanku semasa hidup. Namun percuma untuk menyesalinya sekarang. Toh ini sudah terjadi dan aku harus menanggungnya. Aku memejamkan mata mencoba untuk mencari ketenangan.
Rachel, anakku ! Kemarilah !
Ah! Ada suara lembut seorang wanita yang memanggil namaku. Namun tidak ada sosok apapun yang kulihat. Hanya kabut pekat. “Jasumin kamu mendengarnya?” bisikku.
Jasumin hanya mengangkat telinga tanpa mengatakan apapun.
Ikutilah burung berwarna emas itu.
Suara wanita itu hilang seiring dengan pudarnya kabut. Seekor burung berwarna emas menghampiriku dan mengajakku mengikutinya. Kakiku yang seperti melayang tiba-tiba menemukan tempat berpijak. Pandanganku beralih ke sumber mata air yang menyembur deras tidak jauh dari tempatku berdiri. Burung emas mengepak-kepak sayapnya sambil mengitari sumber mata air itu. Jasumin melompat ke dalam sumber mata air dan aku berusaha menggapainya. Namun tubuhku tidak mencapai keseimbangan yang baik dan ikut tercebur di dalamnya. Awalnya kupikir akan tenggelam, ternyata aku hanya terapung-apung.
Anakku, bagaimana perasaanmu sekarang? Sudah jauh lebih baik?
Ah! Suara wanita itu kembali. Aku mengeluarkan diri dari sumber mata air itu. Wajah dan tubuhku terasa segar. Mataku juga tidak lagi bengkak. Beberapa tetesan embun menghiasi rambut dan gaunku tapi tidak sampai membuatnya basah kuyup. Sebaliknya Jasumin sudah bermain dengan burung emas sambil mengitari mata air. Beberapa kali Jasumin mengibaskan bulu-bulunya. Terhibur melihatnya, aku pun tersenyum sambil menghirup dalam-dalam udara yang sangat segar ini. Tiba-tiba sebuah tangan terulur padaku. Aku mendongak dan melihat sosok wanita tersenyum lembut. Aku menerima uluran tangannya dan berjalan mengikutinya hingga menuju sebuah balkon yang dikelilingi awan.
“Uhm.. Anda mengenal saya?” tanyaku ragu-ragu. Suara serakku sudah hilang.
Tentu saja. Selamat datang, Rachel. Aku sudah menunggu kedatanganmu. Seorang anak kecil berambut ikal panjang menyuguhkan teko teh dan dua cangkir kosong untuk kami berdua. Wanita itu mengelus rambut anak kecil itu yang kemudian ia meninggalkan kami dengan berlari kegirangan.
Aroma tehnya harum. Ada aroma rempah seperti kayu manis. Bahkan teh itu akan berubah warna menyesuaikan suasana hati orang yang akan meminumnya. Suasana hatiku sedang tidak baik-baik saja sehingga teh ku berwarna merah pekat. Aku menyesapnya sedikit namun rasanya tetap enak dan manis. Aku memberanikan diri bertanya hal yang mengganjal di benakku. “Apa tempat ini surga? Saya benar-benar sudah meninggal?” Aku menanti jawaban darinya. Namun wanita itu memulainya dengan helaan napas yang dalam.
Tidak ada kematian yang terjadi. Di tempat ini kamu justru mendapatkan hidupmu kembali. Kesakitan dan kesedihan hanya ada di dunia, yang ada disini hanya kebahagiaan. Bukankah selama di dunia kamu harus bekerja keras untuk mendapatkan kebahagiaan?
Benar yang dikatakannya. Disini aku merasakan damai dan tenang. Bahkan sakit kepala yang sudah lama kuderita, menjadi segar dan ringan saat ini. Burung saling bersahut-sahutan, berbagai macam buah mahal bisa dinikmati di tempat ini sesuka hati, dan tidak perlu bingung membayar sewa tempat tinggal. Pasalnya, setiap rumah sudah menjadi hak milik orang-orang yang ditentukan. Bebas untuk memilih lokasi strategis yang diinginkan. Rachel, pilihlah sebuah rumah dengan lokasi yang kamu inginkan.
“Tidak.. saya minta belas kasih Anda. Mohon izinkan saya kembali.” Ingatan akan kesedihan Ayah dan Bastian di lorong rumah sakit terus terngiang di pikiranku. Aku rindu mereka. Anehnya, air mataku tidak keluar. Mungkin benar yang dikatakannya, di tempat ini tidak ada kesedihan.
Apa yang sudah menjadi garis takdir, tidak bisa diubah. Jika kamu memaksa untuk mengubah takdir, maka kamu tidak akan luput dari hukuman.
“Saya bersedia menerima hukuman itu asalkan saya bisa berpamitan dengan layak pada orang – orang yang saya sayangi. Kepergian saya terlalu mendadak. Ayah dan Bastian pasti sangat menderita. Hanya berpamitan, saya ikhlas jika takdir saya harus kembali ke tempat ini.”
Mee-o-uww
Jasumin melompat ke arah wanita itu. Tampaknya Jasumin nyaman berada di dekatnya. Bahkan Jasumin menatap wanita itu lama sekali seolah memendam kerinduan yang mendalam. Wanita itu bahkan mengusap punggung Jasumin dengan sangat lembut. Bahkan ia tahu nama Jasumin sebelum aku memperkenalkannya.
“Anda mengenal Jasumin? Lalu mengapa Jasumin bisa berada di tempat ini bersamaku?” Aku baru menyadarinya ketika melihat tempatku berpijak sekarang adalah tempat di mana orang yang sudah meninggal berada. Jasumin bukankah ia ada di rumah saat aku berangkat untuk fitting gaun?
Jasumin adalah kucing kesayanganku dulu sekali. Mungkin ia menemukan sosok diriku melalui kamu Rachel. Makanya Jasumin sampai mengikutimu ke alam ini. Entah bagaimana caranya bisa menemukanmu.
Hah?! Teori apa lagi ini? “Sudah berapa lama Jasumin hidup?” tanyaku penasaran.
Hahaha… Tidak perlu memikirkan usia Jasumin. Yang jelas Jasumin sangat menyayangimu. Dia meminta supaya aku memberikanmu sebuah kesempatan. Apa kamu bersedia menerima dan menanggung segala risikonya? Aku terkejut melihat wanita itu tertawa untuk pertama kalinya.
“Bagaimana dengan Jasumin? Ia akan ikut kembali bersamaku?” tanyaku.
Hanya ada 1 kesempatan dan Jasumin memberikan kesempatannya untukmu, nak.
“Hiks.. Terima kasih Jasumin, terima kasih Nyonya.” Aku pun jatuh tersungkur namun wanita itu buru-buru menangkap lenganku lalu memelukku. Aku merasakan hangatnya pelukan seorang Ibu. Ibu mungkin ada di salah satu rumah yang kulihat. Namun aku belum siap untuk bertemu dengannya. Aku berharap bertemu dengan Ibuku suatu saat bersama dengan Ayah kelak. Aku ingin Ibu bahagia bertemu denganku bukan dengan keadaanku yang sekarang.
Apakah kamu tidak ingin menyapa Ibumu?
“Tidak saat ini. Aku belum siap bertemu Ibu dengan kondisiku yang sekarang. Lebih tepatnya, aku masih ingin melihat wajah Ayah saja.”
Jika sangat merindukan seseorang, mungkin saja ada kenangan yang belum bisa kamu lepaskan. Perpisahan adalah karya terbaik dari semesta. Bukankah kehidupan kali ini jauh lebih baik dari sebelumnya?
“Benar. Namun, saya merindukan Ayah. Apalagi bersama Bastian, sebentar lagi kami akan melangsungkan pertunangan. Saya tidak bisa membayangkan betapa sedihnya mereka kehilangan saya.
Apakah kerinduan yang kamu rasakan itu cinta atau kebencian?
“Apa maksud perkataan Anda?” Aku bingung dengan maksud wanita itu.
Hanya dirimu yang bisa menilainya, sayang. Bila kamu sudah selesai memilih maka aku akan mewujudkan 40 hari kerinduanmu itu. Hadapilah takdir ini dan pilihlah hidup terbaik dari hadiah yang aku sediakan.
“Saya telah memilihnya. Lalu apa maksudnya 40 hari yang Anda katakan?”
Waktumu untuk berpamitan di dunia adalah 40 hari. Setelah itu kamu harus kembali di tempat kamu berada seharusnya. Kamarmu disini sudah tersedia Rachel jadi kamu harus pulang. Aku mengizinkanmu berpamitan kembali ke dunia hanya karena cinta Jasumin kepadamu begitu dalam dan tulus. Kamu beruntung, nak!
“Lalu apa konsekuensi yang harus saya terima?” tanyaku.
Wanita itu hanya tersenyum. Ia memelukku dan mengucapkan selamat tinggal. Ia berpesan supaya di kesempatan terakhir ini, aku bisa menemukan apa yang kucari. Jaga dirimu baik-baik, anakku, Rachel. Ia pun melambaikan tangan padaku dengan tersenyum. Aku juga meminta kesempatan terakhir untuk memeluk dan mencium Jasumin.
“Sekali lagi terima kasih Jasumin. Aku sayang kamu.”
Meow !
Sejujurnya, aku belum mengerti maksud perkataan wanita itu. Apa maksudnya aku harus memilih antara cinta atau kebencian? Tidak ada kebencian yang kurasakan selama aku hidup. Malah setelah merasakan kematian, aku merindukan untuk bersama-sama dengan keluarga dan teman-temanku. Wanita itu juga tidak menjelaskan konsekuensi apa yang kuterima karena melawan takdir ini. Namun, aku sudah bertekad untuk menerima semua keputusan semesta. Dengan aku diberi kesempatan untuk berpamitan saja, aku sudah sangat bersyukur. Meskipun suatu hari nanti aku harus pergi dari mereka. Setidaknya, aku sudah memberikan kenangan manis untuk mereka.
Anak kecil yang mengantarkan teko tadi menggandeng tanganku. Ia memberikan sebuah tanda berbentuk hati di telapak tanganku. Anak kecil itu mengantarku sampai di halaman sumber mata air itu berada lalu ia melambaikan tangannya kepadaku, mengucapkan selamat jalan. Aku berjalan sendiri hingga menuju ujung tempat itu. Disitu sudah ada sebuah gerbang besar menanti. Gerbang inilah yang akan membawaku kembali ke dunia. Setelah menarik dan menghembuskan napas untuk beberapa kali, aku pun melangkah maju. Seketika kabut putih tebal menyelimuti diriku.