Nada dering HP ku di akhir pekan berbunyi hingga beberapa kali. Kulihat Anya berada di list panggilan masuk. Sebelum memutuskan untuk menelepon, aku mencoba mengingat-ingat keperluan Anya mencariku. Karena tidak menemukan alasannya, aku pun meneleponnya balik. Saat nada tunggu pertama, Anya langsung menjawab teleponku.
[Ra, bukannya kamu sudah janji mau hubungi pria di kencan buta itu? Aku takut dia mengira aku hanya main-main dan tidak menepati janji.] Omelan Anya langsung terdengar sangat nyaring.
Lagi-lagi aku melupakannya. Jika aku mengatakan aku sudah lelah mengikuti kencan buta dan lebih suka pertemuan secara alami, Anya pasti akan kecewa padaku. Sebagai bentuk terima kasihku, aku pun meminta bantuan Anya untuk membuatkan janji temu dengan pria tersebut. Tidak butuh waktu lama, Anya memberikan jawaban balasan bahwa aku bisa bertemu dengan pria itu malam ini.
“SECEPAT ITU?!” seruku.
[Ya. Aku sudah mereservasikan meja dengan pemandangan malam perkotaan yang indah. Jangan terlambat, pukul 7 malam di Steak House. Good luck, Ra!] Panggilan pun terputus tepat sebelum aku bertanya siapa nama pria itu. Kalau tidak salah, Anya pernah memberitahu namanya namun sayangnya aku malah melupakannya. Keinginan untuk bertanya kembali kepada Anya tidak jadi kulakukan. Mendengar omelannya malah membuatku menjadi lebih enggan.
“Ayah, nanti malam aku akan bertemu dengan seseorang yang dikenalkan Anya kepadaku. Mungkin aku akan pulang terlambat, tidurlah lebih dulu.” kataku sambil membantu Ayah mencabuti rerumputan di halaman.
“Jangan khawatirkan Ayah. Kamu tidak boleh terlambat supaya dia tidak kecewa. Nah, setelah ini bantu Ayah untuk memasak sarapan. Kamu mau sarapan apa?”
“Nasi goreng telur mata sapi. Yang paling pedas. Grogi nih, Yah.”
“Hahaha.. kayak anak SD mau ujian sekolah aja grogi. Siap tuan putri!”
“Ihh.. aku bukan anak kecil lagi.” gerutuku sambil menyingkirkan tangan Ayah yang mengacak-acak rambutku.
Menjelang keberangkatan, kepalaku mendadak terasa pusing. Mungkin karena anemia yang akhir-akhir ini kambuh. Apalagi diperburuk oleh mimpi buruk yang tidak jelas. Aku pergi untuk membeli obat sakit kepala di apotek di ujung jalan. Saat membuka pintu apotek, aku berpapasan dengan seorang pria berperawakan tinggi besar. Sepertinya dia membawa beberapa vitamin. Untung saja kami tidak bertubrukan.
“Maafkan saya, Nona. Ah, Anda Nona Rachel?!” seru pria itu mengenaliku.
“Ah! Anda yang berada di salon kucing waktu itu, kan?” tanyaku setengah ragu-ragu.
“Benar, Nona. Apa Anda sedang sakit?” tanyanya dengan penuh perhatian.
“Ya, kepala saya pusing. Saya ingin membeli obat pereda sakit kepala.”
“Biar saya membantu memilihkan obat yang mujarab untuk Nona Rachel.”
“Terima kasih.” Aku mengikutinya. Rupanya, pria ini sangat mengerti berbagai jenis obat. Karena aku tidak terbiasa mengonsumsi obat-obatan, maka dia merekomendasikan dosis obat dengan milligram yang rendah seperti ibuprofen. Setelah itu, ia menemaniku duduk di depan gerai apotek untuk minum obat.
“Saya bahkan tidak tahu dosis obat untuk saya minum. Kenapa Anda bisa tahu?” tanyaku penasaran dengan pengetahuan di apotek tadi.
“Saya seorang dokter hewan. Namun pelajaran dasar seorang dokter adalah memahami cara kerja berbagai obat dan dampaknya untuk tubuh. Hanya saja aplikasinya yang berbeda. Penggunaan obat untuk hewan diperlukan jenis dan dosis khusus.” Pria ini menjelaskan sambil membantuku untuk meminum obat yang baru saja kubeli. “Perkenalkan nama saya Joshua.” sapanya sambil menyodorkan tangan untuk berjabat tangan.
“Terima kasih atas bantuannya, Dokter Joshua.” balasku. “Jika tidak ada Anda mungkin saya sudah salah membeli obat.”
“Pujian Anda berlebihan, Nona. Nah, ini obatnya silahkan diminum.”
Awalnya, aku merasa kesulitan menelan pil bulat berwarna putih tersebut. Namun setelah menghabiskan hampir satu botol air kemasan, obat itu berhasil masuk kerongkongan. Dokter Joshua pun tampak menahan tawa melihat wanita dewasa sepertiku yang belum bisa meminum pil bahkan berukuran kecil. Aku yang malu tidak berani menatap ke arahnya.
“Sebaiknya, Anda harus beristirahat setelah ini. Itu akan membuat obatnya bekerja.”
“Saya harus menghadiri acara malam ini. Oh, sudah jam setengah 7 malam. Maafkan saya. Saya pamit terlebih dahulu. Hati-hati di jalan, Dok.” Aku segera beranjak dari kursi.
“Tunggu, Nona.” Refleks Dokter Joshua menarik tanganku. “Ah, maaf!” ucapnya seraya melepaskan tanganku. “Anda tidak boleh mengemudi dalam keadaan setelah minum obat sejenis ibuprofen. Ini akan menyebabkan kantuk dan sangat berbahaya untuk Anda. Bila boleh, saya akan mengantarkan Nona.”
“Hmm.. Kalau begitu saya akan memanggil taksi.” ujarku sedikit ragu. Jujur aku takut naik kendaraan umum saat sendirian di malam hari.
“Jika Anda mengantuk, akan sangat berbahaya Anda berpergian sendirian. Begini saja, saya hanya akan mengantarkan Anda sampai di tujuan. Simpan nomor saya jika Anda memerlukan bantuan untuk menjemput Anda. Hanya untuk berjaga-jaga.” Kami pun saling bertukar nomor telepon. Setelah itu, aku menyetujuinya untuk mengantarkanku. Aku hampir saja terlambat, kalau Dokter Joshua tidak mengebut. Meski demikian, ia mengetahui jalan pintas tercepat menuju restoran sehingga dapat mempersingkat waktu. Awalnya, Dokter Joshua berniat menunggu hingga acaraku berakhir. Aku menolaknya dengan halus karena tidak enak sudah merepotkannya berulang kali. Dengan berat hati, ia pergi meninggalkan restoran. Sebelum pergi, ia mengingatkanku untuk meneleponnya jika aku butuh bantuan. Aku pun melambaikan tangan kepadanya.
Aku tiba jam 7 pas dan langsung menuju meja yang sudah direservasi oleh Anya. Seorang pria berambut cokelat duduk menghadap pemandangan kota di meja yang hendak kutuju. “Maaf Tuan, namun ini meja yang sudah saya reserve-..” Belum sempat aku menyelesaikan satu kalimat, aku terkejut pria itu menoleh ke arahku.
“TUAN BASTIAN ! Oh, maafkan saya.” Hancur sudah reputasiku menuduh sembarang orang sudah menempati mejaku. Apalagi ia adalah rekan bisnis Ayah.
“Nona Rachel?! Ternyata Rachel yang Anya maksud adalah Anda. Benar-benar seperti takdir.” Tuan Bastian tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya.
“Ya?? Anda mengenal ‘Anya’ teman saya?” Aku bingung karena ternyata ia mengenal Anya teman masa SMA ku. Bahkan aku sampai menekankan kata Anya padanya.
“Anda pasti terkejut. Anya adalah junior tahun pertama di Jurusan Manajemen Bisnis tempatku berkuliah. Kami saling kenal waktu kegiatan OSPEK. Kebetulan saya adalah ketua HIMA jurusan yang mendata seluruh junior masa itu. Anya berusaha menghubungiku kembali dan mencari kontakku diantara para kenalan. Ia bilang seorang temannya sedang mencari pasangan. Awalnya, saya menolak ide Anya untuk mengenalkan seseorang di kencan buta ini. Ternyata yang hadir benar Anda, saya jadi tidak menyesal. Mari, Nona, silahkan duduk.” Tuan Bastian menarik kursi agar aku bisa duduk.
“Terima kasih. Sepertinya, Anda memang mengharapkan saya yang hadir.”
“Benar. Ketika diberitahu nama Rachel dan kita bertemu malam itu, saya berharap Rachel yang dimaksud adalah Anda. Suatu keajaiban!”
“Saya juga mengira ini mimpi. Entah apa yang akan dikatakan Ayah nanti.” kataku. Tuan Bastian tertawa mendengarnya. Aku tidak percaya melihat dua orang tampan di waktu bersamaan. Sepertinya efek kantuk dari obat itu mulai bekerja. Aku mulai berhalusinasi.
Hidangan steak yang menggugah selera pun datang tidak lama kemudian. Rasa kantuk yang sebelumnya sempat menguasai perlahan-lahan sirna di setiap potongan daging yang masuk ke mulut. Dagingnya juicy! Sadar akan Tuan Bastian melihatku makan dengan lahap, membuatku cepat-cepat memulai percakapan. Aku meminta maaf karena tidak segera menghubunginya karena kesibukanku. Tidak mungkin aku mengaku terang-terangan kalau aku lupa. Bisa-bisa reputasiku semakin hancur. Tapi sepertinya ia tidak mempermasalahkan.
“Mungkin Anda tidak melihat saya, namun saya juga hadir saat pernikahan Andrew dan Cecilia beberapa waktu lalu.” ucap Tuan Bastian seraya menuangkan minuman di gelasku.
“Benarkah?” tanyaku.
“Ya, bahkan kita ikut berfoto bersama saat itu. Anda duduk bersama Anya.”
“Apa kita berfoto saat penerimaan buket bunga?” Aku penasaran. Berusaha menebak apakah Tuan Bastian adalah pria yang menolongku hari itu.
“Hmm.. saya tidak ingat. Saat itu saya sibuk mengangkat sebuah panggilan yang masuk. Mungkin saja saat itu saya langsung pulang. Waktu itu saya sempat melihat Anda yang menerima buketnya. Apakah arti buket yang Anda terima adalah bertemu saya malam ini?” Tuan Bastian tersenyum manis saat mengatakan itu.
Mungkin saja Tuan Bastian adalah pria yang menolongku saat itu. Namun, sayangnya ia tidak ingat detil pertemuan di malam itu. Yang ia ingat hanya aku yang duduk bersama Anya dan membawa buket bunga. Sialnya, aku selalu menjadi baper merasakan saat-saat yang seperti magic ini. Pertemuan secara alami tanpa disengaja adalah pengalaman romantis bagi novelis sepertiku. Apalagi ia adalah partner bisnis Ayah. Suatu kebetulan yang sangat luar biasa.
Makan malam bersama telah kami akhiri dengan baik. Ketika hendak pulang, Tuan Bastian menawarkan untuk mengantarku.
“Sepertinya Anda tidak membawa kendaraan. Bolehkah saya mengantarkan Anda, Nona?”
“Tidak perlu. Saya tidak ingin merepotkan Anda. Terima kasih sudah mentraktir saya lagi. Lain kali saya yang akan mentraktir Anda.” balasku.
“Saya senang Anda ingin bertemu saya lagi. Namun ini sudah malam, Nona. Mari saya antarkan Anda pulang.”
“Anda tidak keberatan?” tanyaku merasa tak enak jika menolaknya.
“Saya sangat senang. Saya juga berharap bisa mengenal Anda lebih dekat. Bolehkah?”
“Baiklah. Terima kasih.” Aku pun menunggunya di depan pintu restoran sedangkan Tuan Bastian mengambil mobil di tempat parkir.
Di dalam perjalanan kami juga saling bercerita tentang kehidupan sehari-hari dan pekerjaan. Tanpa terasa, aku sudah tiba di depan rumah. Saat tiba di depan rumah, Tuan Bastian meminta ijin untuk menyapa Ayah. Awalnya Ayah kaget melihat kedatangan Tuan Bastian bersamaku. Ayah dan Tuan Bastian beramah tamah singkat sebelum ia berpamitan untuk pulang karena malam semakin larut. Sebelum pulang, Tuan Bastian meminta kami untuk memanggilnya nama saja tanpa perlu embel-embel tuan. Kami pun melambaikan tangan sambil berterima kasih atas bantuannya hari ini.
“Jadi, Rachel yang ingin ditemui Bastian adalah kamu, nak?” tanya Ayah bingung.
“Ini kebetulan, Yah. Ia kakak tingkat jurusan Anya yang dijodohkan denganku.”
“Mungkin ini takdir semesta, nak. Bastian membantu bisnis Ayah dan sekarang ia menjadi pasangan kencan butamu. Semoga hubungan kalian bisa menuju jenjang lebih serius.”
“Restu otomatis, nih?” godaku pada Ayah.
“Ayah ini sudah tua. Ayah ingin melihatmu hidup bahagia. Jika memang Bastian menyukaimu, Ayah sangat bersyukur karena kamu bertemu pria baik.”
“Ayah membuatku terharu, deh.” Aku pun memeluk Ayah. Setelah itu, aku membersihkan diri dan bersiap-siap untuk tidur. Jasumin belum tidur. Ia melompat ke arahku ketika pintu kamarku terbuka.
Mee-o-uuww
“Halo, Jasumin. Kamu menungguku ya?” Aku menggendong Jasumin ke tempat tidurku. “Hari ini aku bertemu dengan dua pria tampan untuk kedua kalinya. Yang satu seorang dokter hewan yang memberimu nama dan yang satu pebisnis yang menjadi pasangan kencan buta yang dibuat Anya. Mereka sama-sama baik dan perhatian. Jika kamu disuruh memilih, kamu akan memilih siapa Jasumin?” tanyaku sambil mengangkat tubuh Jasumin.
Mee-o-uuww.. Mee-o-uuww.. auuww
“Siapa yang kamu maksud? Aku tidak mengerti artinya, Jasumin. Yang kudengar kamu hanya mengeong. Hehe.. Tapi semoga ia pria terbaik yang ditunjukkan kepadaku. Baiklah waktu semakin larut. Ayo kita tidur, sayang!” Aku meletakkan Jasumin di ranjang mininya.
Keesokan paginya, ketika mengecek HP aku melihat satu nomer asing yang mengirimkan beberapa pesan. Ternyata itu adalah pesan dari Dokter Joshua. Ia mengkhawatirkan kondisiku semalam. Ya, Tuhan aku lupa memberikan kabar dan akan sangat canggung jika baru membalasnya pagi ini.
“Mumpung hari ini tidak ada tugas apapun, aku akan berjalan-jalan di taman bersama Jasumin. Sekalian mampir ke salon untuk membawakan Dokter Joshua beberapa makanan manis. Ayo, Jasumin kita bersiap-siap.” Aku pun segera mandi dan mengenakan outfit nyaman dan memakaikan Jasumin outfit yang senada denganku. Lengkap dengan kacamata hitam. Di perjalanan, aku melihat toko donat yang sangat ramai, aku pun ikut mengantre disana dan membungkus satu box donat cokelat. “Semoga Dokter Joshua menyukainya.”
Kami sampai di depan salon Neko-nyaw. “Irasshaimase !” sapa seorang pelayan wanita. Salonnya sangat ramai. Hari ini para ‘babu’ sepertinya sedang bersemangat untuk mempercantik kucing-kucing mereka. Momen pertama kali Jasumin bertemu dengan rekan-rekannya. Ada kucing persia, anggora, sphynx, dan ras lainnya yang tidak kuketahui.
Meow ! Meow !
Tampaknya, para kucing saling menyukai dan menikmati obrolan dalam bahasa mereka. “Kucing Anda akan mengambil treatment apa, Nona?” tanya pelayan.
“Saya hanya ingin bertemu dengan Dokter Joshua. Apa beliau ada?” tanyaku.
“Akan saya sampaikan dulu. Silahkan tunggu disini.” Dua menit kemudian, Dokter Joshua keluar dari ruangannya dan tersenyum padaku. Aku meminta maaf karena semalam lupa memberi kabar. Aku merasa sangat bersalah.
“Sudah tugas seorang dokter jika khawatir terhadap orang yang sakit. Bagaimana kondisi Nona sekarang?” tanyanya sambil mengelus Jasumin.
“Berkat Dokter, saya sudah membaik. Saya dan Jasumin ingin mengajak Anda berjalan-jalan di taman. Namun, salon Anda sangat ramai hari ini. Kalau begitu, tolong terima sedikit bingkisan untuk ucapan terima kasih dan permintaan maaf dari saya.” Aku pun menyodorkan box donat cokelat yang kubawa.
“Tidak masalah. Mari kita makan bersama di taman. Kebetulan ada asisten saya jadi saya bisa beristirahat sejenak.” Dokter Joshua melambaikan tangan ke arah asistennya. Rumi-san, watashi ni kawatte shori shite kudasai.*
“Hai !”** balas asisten itu sambil tersenyum padaku. Setelah itu kami bertiga berjalan menyusuri taman. Pagi itu, taman kota dipadati pengunjung yang sedang berolahraga. Ternyata, musim panas datang lebih cepat. Belum 15 menit berjalan-jalan di taman, kami sudah merasa gerah. “Duduklah disini, Nona. Saya akan membelikan Anda minuman dingin.” Aku berusaha mencari tempat teduh supaya Jasumin tidak rewel karena kepanasan. Untung saja aku membawa selimut kecil. Setidaknya Jasumin tidak akan tersengat matahari. Selang 10 menit kemudian, Dokter Joshua membawakan dua frappucino dan sebotol air mineral.”
“Saya tidak tahu kesukaan Anda. Jadi saya membeli atas rekomendasi barista. Semoga Anda menyukainya. Dan air mineral ini untuk Jasumin.”
“Terima kasih, Dok.” kataku sambil mendudukan Jasumin agar bisa minum airnya.
Mee-o-uuww
“Sama-sama !” ucapnya. Kami pun mengobrol sambil menikmati frappucino dengan sekotak donat cokelat lezat dan mengamati lalu lalang pengunjung. Jasumin juga sepertinya menyukai rasa krim cokelat itu. Bahkan meninggalkan separuh gigitan di salah satu donat.
“Warui-neko!” ucap Dokter Joshua sambil mencolek pipi Jasumin yang belepotan.
“Apa artinya? Bahasa Jepang Anda sangat fasih. Selain itu, saat Jasumin mengeong, Anda sudah tahu artinya. Apa Anda punya kekuatan super?” tanyaku penasaran.
“Artinya kucing nakal. Itu karena Ayah saya orang Jepang dan Ibu saya orang Indonesia. Ketika bercakap-cakap dengan Ayah, saya menggunakan bahasa Jepang. Jadi saya lumayan fasih.” ucapnya merendah. “Di rumah, ada banyak hewan peliharaan. Sering bersama mereka, membuat saya sedikit memahami maksud mereka. Kedua orangtua saya menetap di Jepang ketika saya SMA, jadi saya harus mengurus peliharaan kami seorang diri. Karena itu, saya mengambil pendidikan dokter hewan. Anda juga boleh datang ke rumah saya kapan pun.”
“Jasumin pasti sangat senang bermain di rumah Anda. Ternyata Anda orang yang kuat dan berani. Tidak seperti saya. Saya hanya tinggal berdua dengan Ayah sehingga saya merasa takut jika saya ditinggal sendiri.”
“Itu hal yang wajar. Dulu saya juga begitu. Jika Anda merasa sendiri, jangan ragu untuk memberi tahu saya. Saya yakin akan selalu ada orang-orang baik yang menyayangi Anda.”
“Terima kasih. Baiklah sepertinya kita sudah menghabiskan lebih banyak waktu di luar. Salon Anda mungkin sedang kesulitan sekarang.” Aku mengajak Dokter Joshua kembali.
“Baiklah. Terima kasih untuk jalan-jalan hari ini. Saya senang bertemu dengan Anda dan Jasumin. Mari saya antar Anda sampai ke rumah.”
“Tidak apa-apa. Anda bisa langsung ke salon saja. Rumah saya sangat dekat dari situ.”
“Baiklah. Lain kali ayo kita berjalan bersama-sama lagi. Hati-hati di jalan, Nona.”
“Selamat bekerja, Dokter Joshua.”
Kami pun berpisah ketika Dokter Joshua kembali ke salon. Jasumin juga ikut melambaikan tangan ke arahnya. Mee-oo—uuww
“Kamu senang ya, Jasumin? Dokter Joshua itu.. tampan kan? Sepertinya kamu mirip denganku, suka dengan pria tampan dan berkarisma. Hahaha.. Baiklah ayo kita pulang dan lihat menu makan malam hari ini !”
Mee-o-uuww
* Rumi-san, tolong aku titipkan urusan disini padamu.
** Baiklah.