Satu per satu kelopak bunga merah muda jatuh memenuhi halaman rumah. Kelopak itu akhirnya memenuhi seluruh tempat hingga terasa sesak. Tiba-tiba seekor monyet datang. Awalnya ia hanya membawa karung kosong kecil. Tiba-tiba karungnya melahap habis tumpukan kelopak bunga. Setelah tidak ada kelopak tersisa monyet itu mencakar tangan seorang gadis dan pergi meninggalkannya. Darah gadis itu semakin banyak dan menenggelamkan seisi rumah.
“RACHEL !! RACHEL !! Bangun nak !” seru Ayah sambil mengguncang tubuhku.
“AYAH !!” dengan tubuh gemetaran aku langsung bangun dan memeluk Ayah.
“Syukurlah, nak. Ayah khawatir terjadi sesuatu denganmu. Tenanglah, Ayah disini.”
Untung saja Ayah membangunkanku paksa. Mimpi tadi begitu mengerikan. Aku tidak dapat bernapas dengan benar, seolah-olah aku ikut tenggelam di dalam darah gadis itu. Kenapa mimpinya sangat aneh dan mengerikan? Ayah bertanya apa yang terjadi. Namun aku tidak ingin membebani pikiran Ayah dengan mimpi yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Karena aku menolak menceritakannya, Ayah tidak memaksaku lebih lanjut.
Setelah minum segelas susu cokelat panas buatan Ayah, Silvia meneleponku.
“Hmm.. K-kak bolehkah kami bertiga datang ke rumah untuk bermain dengan Jasumin?” tanyanya ragu-ragu.
“Boleh saja. Jam berapa?”
“Uhmm.. ss-sepertinya 10 menit lagi kami sampai rumah kakak. Tunggu kami ya!” Tut!
HAH ! Mereka akan tiba 10 menit lagi dan semendadak ini? Sudah begitu mereka tidak membiarkanku untuk memprotes tindakan mereka dengan panggilan diputus sepihak. Mereka juga tidak memberiku kesempatan untuk bersiap-siap. Mana kondisiku masih kacau begini. “Ayah. Teman-teman penulisku akan tiba 10 menit lagi di rumah.”
“Mendadak sekali?” tanya Ayahku kebingungan.
“Aku tidak tahu. Mungkin ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Sekalian mereka ingin bermain dengan Jasumin. Ayah tidak perlu menyiapkan apa-apa. Nanti aku pesan delivery order saja.”
“Baiklah. Semoga teman-temanmu tidak sampai sore. Malam ini temani Ayah, ya.”
“Mau ditemani kemana, Yah?”
“Bertemu dengan orang yang mau membantu mendanai pekerjaan Ayah. Jam 7 malam nanti kita berangkat. Katanya kita akan diajak makan malam di restoran Blue Ocean.”
“Asyik makan seafood gratis. Akan kusiapkan pakaian terbaik sehingga orang itu akan luluh dan tidak berbelit-belit saat membantu Ayah nanti.”
“Iya Ayah percayakan pakaian Ayah kepadamu. Oh, sepertinya belum 10 menit teman-temanmu sudah datang.” ujar Ayah sambil melihat jendela.
Ketika membukakan pintu untuk teman-temanku aku sudah siap dengan kemungkinan terburuk jika penulisan naskah novel kami ditolak Bu Alisha. Mungkin mimpi mengerikan tadi hendak memberi gambaran seperti itu. Namun, prediksiku salah. Bu Alisha menyetujui naskah kami dan sedang memproses penerbitan karyanya. Setengah tidak percaya, aku menelepon Bu Alisha. Beliau tertawa terbahak-bahak dan mengatakan bahwa tim kami hanya sedang beruntung saja. Aku pun mengucapkan terima kasih kepadanya. Aku, Silvia, Agung, dan Doni saling berpelukan dan berterima kasih satu sama lain atas kerjasama yang solid ini. Ayah yang ikut senang mendengarnya, mengajukan diri untuk memasak makanan enak. Namun ternyata ketiga temanku sudah membawa berbagai macam daging.
“Kami mau merayakannya dengan pesta BBQ, om. Kalau om tidak keberatan om boleh ikut gabung juga kok. Jarang-jarang revisi naskah kami di approve secepat ini!” ujar Agung dengan bersemangat.
“Iya. Baca pesan dari Rachel semalam aja sudah buat hati gak tenang.” timpal Doni.
“Oh, makanya Rachel sampai mimpi buruk semalam. Ya sudah ayo kita rayakan bersama. Terima kasih ya sudah ngajak om party.” Ayah ikut bergabung bersama kami.
“I-iya om ayo kita rayakan bersama. K-kak semoga mimpi indah nanti malam!”
“Iya aku sudah ceria lagi kok. Kalian langsung ke halaman belakang aja. Aku sama Ayah akan menyiapkan peralatannya dulu. Lihatlah, Jasumin sedang menunggu kalian !”
Jasumin langsung menuju ke arah rekan-rekanku. Agung, Doni, dan Silvia bergantian menggendong dan berfoto dengan Jasumin. Masing-masing dari mereka bahkan memposting foto bersama Jasumin dan mendadak jumlah followers mereka tambah banyak. Kami merasa Jasumin mengeluarkan aura selebritas yang jauh lebih populer dibanding selebriti manusia.
Pesta BBQ ini meskipun sederhana namun kami sangat menikmatinya. Saling bersulang, memanggang, dan menggunting daging agar lebih mudah dimakan. Mungkin karena dinikmati sambil merayakan kemenangan, rasanya menjadi semakin nikmat. Sudah lama sejak aku dan Ayah mengadakan pesta BBQ setelah kepergian Ibu. Dulu kami sering memanggang daging bersama di halaman belakang, sampai akhirnya Ibu meninggal karena serangan jantung. Setelah membantu aku dan Ayah untuk mencuci peralatan makan dan membereskan sisa sampah makanan, teman-temanku berpamitan pulang. Syukurlah, masih jam 3 sore. Aku dan Ayah masih punya cukup waktu untuk bersiap-siap.
Aku memutuskan memakai baju terusan berwarna hitam dengan rambut cokelat tergerai. Begitu pun Ayah memakai kemeja lengan panjang berwarna hitam dan sepatu pantofel cokelat. Kami berangkat pukul 6 sore. Butuh waktu setidaknya 30-45 menit untuk menuju restoran tersebut. Kami sengaja datang lebih awal karena tidak sopan rasanya membiarkan tamu untuk menunggu lebih lama dibandingkan kami. Jam 6.45 kami sudah tiba di restoran tersebut. Karena datang lebih awal, Ayah menyarankan untuk memesankan aperitif* dingin untuk menyambut tamu kami. Pramusaji mengantarkan tiga gelas dan sebotol sampanye tepat ketika investor Ayah tiba. Investor itu terlihat masih sangat muda dengan model rambut ikonik spiky berwarna cokelat. Bola matanya cokelat seperti bola mataku. Memakai kemeja putih dan celana berwarna cokelat muda.
“Selamat datang dan selamat malam, Tuan Bastian.” sapa Ayah sambil berjabat tangan.
“Selamat malam, Tuan Hermawan. Oh, siapakah nona cantik disamping Anda?” Tuan Bastian mengulurkan tangan untuk berjabat tangan denganku.
“Saya putri Tuan Hermawan. Nama saya Rachel. Salam kenal, Tuan Bastian. Maaf atas kelancangan saya yang tiba-tiba ikut dalam acara penting malam ini.” ucapku sambil menjabat tangannya.
“Salam kenal Nona Rachel. Tidak apa-apa. The more the merrier. Apalagi kalau dua orang pria mengobrol lama biasanya terasa membosankan. Jika Anda bergabung tentu bisa mencairkan situasi pria-pria canggung ini.”
“Terima kasih atas sambutannya.” ujarku tersenyum.
“Silahkan diminum, Tuan. Katanya ini aperitif terbaik milik restoran.” Ayahku berdiri untuk menuangkan sampanye itu ke gelas Tuan Bastian.
“Seharusnya saya yang full menjamu hari ini tapi malah saya yang dijamu dengan minuman segar. Sebagai ucapan terima kasih, mari saya tuangkan juga untuk Anda. Silahkan pesan makanan apa saja yang Anda inginkan. Tidak perlu sungkan.” ucap pria itu.
Kami pun memesan makanan atas rekomendasi darinya. Pria ini bernama Bastian. Sembari menikmati makan malam, awalnya Ayah dan Tuan Bastian berbicara serius mengenai kontrak kerja yang akan dijalankan begitu dana usaha turun. Setelah beberapa bahasan dengan topik yang berat menurutku, Tuan Bastian secara perlahan mengubah menjadi bahasan yang mudah untuk aku ikuti. Mungkin ia melihat aku cukup kikuk mendengarkan pembicaraan tentang bisnis. Ternyata dia adalah pria yang ramah dan tidak bersikap arogan seperti layaknya pebisnis. Usianya 30 tahun dan belum menikah. Ketika Ayah bertanya mengapa Tuan Bastian belum memutuskan menikah, dia tersenyum dan mengatakan sesuatu yang membuat cangkang kepiting yang sedang berusaha kupatahkan terlempar ke piring Tuan Bastian.
“Astaga ! Maafkan saya, Tuan.” Refleks aku berdiri mengambil tisu untuk memastikan tidak ada noda bumbu yang terciprat di kemeja Tuan Bastian.
“Tidak perlu khawatir, Nona. Sepertinya Anda kaget mendengar ucapan saya. Namun memang benar saya sedang menantikan telepon dari seorang wanita bernama Rachel.”
“….”
Aku hanya bisa terdiam kebingungan. Untungnya, Ayah mampu mencairkan kembali suasana canggung ini.
“Tuan, sepertinya Rachel yang Anda maksud adalah orang lain. Kebetulan namanya saja yang sama dengan putri saya. Rachel yang Anda cari pasti jauh lebih manis daripada putri saya ini.” Refleks aku pun mencubit lengan Ayah. Tuan Bastian tertawa melihat kejadian itu.
“Seandainya Rachel yang dimaksudkan adalah putri Anda, saya malah sangat senang, Tuan Hermawan.” Tuan Bastian tersipu malu saat mengatakannya.
“Oh! Saya sampai bingung harus merespon seperti apa. Jadi mari kita lanjutkan makan malamnya.” ajak Ayah.
Makan malam hari itu berakhir dengan baik. “Saya senang bertemu dengan Tuan Hermawan dan Nona Rachel. Ke depannya, saya harap bisa menjadi lebih akrab daripada sekadar rekan bisnis.” Tuan Bastian menjabat tangan Ayah.
“Saya juga berharap demikian. Semoga Anda segera mendapat kabar dari Rachel yang Anda nantikan.” Ayahku membalasnya dengan jabatan tangan.
“Terima kasih, Tuan atas jamuan makan malamnya. Saya berharap hubungan bisnis Anda dengan Ayah berlangsung dengan baik dan lancar. Dan saya meminta maaf atas insiden cangkang kepiting tadi.” ucapku sambil membungkuk kepadanya.
“Bukan masalah, Nona. Kemeja ini bahkan tidak terkena setitik pun noda. Mari kita pulang. Hati-hati di jalan.”
Kami pun saling berpamitan. Tuan Bastian pulang dengan sopirnya dan Ayah menggantikanku menyetir. Selama perjalanan pulang kami terjebak macet. Aku menawarkan Ayah supaya pindah di kursi penumpang. Namun Ayah malah menyuruhku untuk istirahat saja karena sepertinya macet tersebut akan berlangsung lama.
“Ayah, apakah Tuan Bastian bisa dipercaya sebagai rekan bisnis Ayah?” tanyaku sambil melihat profil Tuan Bastian di IG namun tidak kutemukan.
“Tentu saja. Salah seorang teman baik Ayah yang mengenalkannya. Tidak mungkin teman Ayah mengenalkan seseorang yang tidak baik latar belakangnya. Ayah dan teman Ayah ini sudah berteman 15 tahun loh.” seloroh Ayah membanggakan kawan baiknya.
“Sepertinya dia tidak memiliki IG. Aku bahkan tidak bisa melihat kesehariannya, Yah.” Wajar jika aku bersikap was-was terhadap orang yang baru saja kutemui. Apalagi dia bersedia membantu mendanai bisnis Ayah. Aku hanya khawatir kalau suatu saat ia mengkhianati Ayah. Namun, Ayah menasihati supaya aku jangan cepat menilai orang lain dari sampulnya. Melihat kepribadiannya yang hangat dan rendah hati, bisa jadi itu hanya kekhawatiranku sepihak. Jika aku khawatir berlebihan, aku takut malah menghambat bisnis Ayah ke depannya.
“Para pebisnis umumnya menyembunyikan kehidupan pribadi mereka. Mereka lebih suka menikmati waktu untuk bekerja daripada memikirkan tren media sosial. Jika melihat prestasi kerjanya, kamu tidak perlu bukti dari media sosial. Tidak seperti kamu yang tergantung dengan tren.”
“Kudet nanti kalau novelis buta tren. Masa kayak Ayah yang SMS gak bisa. Ngertinya cuma telepon.” sindirku dengan bangga.
“Biarin yang penting putri Ayah bisa pintar dan sukses seperti hari ini.”
“Ih, Ayah jago banget gombal. Pasti Ibu dulu tertipu rayuan maut Ayah. Makanya mau diajak nikah.”
“Huusshh.. kok tau sih?!” ledek Ayah padaku.
“….”
Ya beginilah kalau orangtua meledek anaknya sampai anaknya tidak bisa berkata apa-apa. Ayah memutar CD lagu kesukaannya untuk memecah keheningan. Padahal ini weekdays tapi tingkat kepadatannya seperti kepadatan saat akhir pekan. Bahkan aku tidak ingat pukul berapa kami tiba di rumah setelah pulang jam 9 malam dari restoran. Jasumin yang biasanya rewel di tengah malam, kini malah tertidur pulas di ranjang mininya.
Akhir-akhir ini aku sering bermimpi buruk. Kali ini aku bermimpi rem mobil yang Ayah kendarai blong. Bahkan aku tidak bisa menjangkau mobil untuk menyelamatkan Ayah. Karena mimpi buruk tersebut, aku sampai takut untuk tidur malam. Namun, kegelisahan itu mereda ketika Jasumin menawarkan pelukan hangatnya ke wajahku. Seketika pelukan Jasumin dapat membuatku tidur lelap dan melupakan semua kenangan mimpi buruk yang kualami.
Puurr.. puurrr
Suara dengkuran Jasumin saat tidur membuatku menjadi lebih tenang. Ketika aku memeluknya, Jasumin akan menyeringai dan kembali mendengkur. Begitulah beberapa malam ini Jasumin selalu berusaha menghiburku. Kupikir mimpi buruk ini karena aku deg-degan menunggu jadwal rilis novel kompilasi jilid pertama ini. Ya, beberapa hari ini aku sibuk meeting dengan Bu Alisha dan ketiga rekanku untuk membahas desain sampul, percetakan dan promosi. Sungguh hari-hari yang melelahkan.
* minuman pembuka