Piippip..piippip..piippip
Urgghh suara alarm sialan! Baru saja aku menenggelamkan tubuhku ke kasur yang nyaman ini dan sekarang aku harus memaksakan kakiku untuk segera meninggalkannya. Semalam aku harus begadang demi penulisan novel yang dramatis. Kudengar tangga berderap dengan lambat. Itu langkah kaki Ayah. Pasti beliau akan masuk dan mengomel kalau aku tidak segera bangun.
Krieettt…
Suara pintu kamarku perlahan terbuka. Memaksaku mengambil langkah cepat menuju kamar mandi. “Rachel ! Sudah Ayah bilang hari Senin kamu harus berangkat lebih awal supaya tidak terlambat ! Kenapa belum mandi?!” Suara ayah yang serak memaksa untuk terdengar keras di telingaku. Ayahku seorang pensiunan pegawai swasta yang kini terpaksa menjaga anak perempuan satu-satunya di rumah setelah Ibu tiada. Sebenarnya Ayah adalah workaholic namun keinginan itu terpaksa beliau pendam supaya bisa menjagaku.
“Ayah, aku bukan anak kecil lagi. Sekarang aku sudah 27 tahun. Jadi beri waktu 15 menit dan aku akan turun ke bawah untuk sarapan. Ok?” Aku menuntun Ayah untuk keluar dari kamarku sedang beliau selalu mengomel karena menurutnya aku belum bisa bersikap dewasa. Meski demikian, aku suka melihat wajahnya yang tersenyum bahagia ketika aku membacakan karangan novel sebelum kuberikan kepada editorku. Menurutnya, karanganku seperti memiliki nyawa dan membuat ceritanya seolah-olah terjadi tepat di depan mata. Ya itulah hal dasar mengapa aku memilih karir sebagai penulis novel dibandingkan menjadi wanita pekerja kantoran. Aku ingin Ayah tidak kesepian setelah kepergian Ibu, karena itu aku membuatkannya cerita agar beliau selalu tersenyum.
“Kamu mau makan apa? Ayah sudah buatkan roti panggang selai nanas dan ada juga bubur ayam.” Nada bicara Ayah sudah melembut dan dengan telaten menyajikan piring dan peralatan makan. “Aku akan sarapan bubur. Tapi roti panggangnya akan kubawa sebagai bekal, boleh, Yah?”
“Boleh. Bagikan juga ke teman-temanmu. Mungkin mereka belum sarapan.”
Semangkok bubur ayam lezat tersaji di depanku. Bukannya sombong, namun bubur ayam buatan Ayah lebih menggugah selera makan daripada mang bubur keliling. Isiannya tidak kalah lengkap dari bubur restoran terkenal. Ada potongan ayam, cakue udang, jamur cincang, bawang prey, abon, dan kacang. Penyerta seperti sambal dan kecap asin juga tidak luput dari racikan Ayah. Dari mata turun ke hati sih sudah biasa namun tagline yang cocok untuk bubur ini adalah dari hidung turun ke perut. Aromanya sedap sekali. HAP! Sesendok besar bubur mendarat manis di mulutku.
“ENAAKK BANGET ! Sering-sering buat bubur donk, Yah.”
“Boleh aja sering-sering tapi kamu yang aduk. Pinggang sudah gak muda lagi ini.”
“Iya deh. Hehehe… Loh, Ayah hari ini mau kemana?” tanyaku ketika melihat beberapa berkas proposal bisnis tergeletak di meja makan.
“Ayah ingin menemui seseorang yang mau mendanai restoran yang pernah Ayah bicarakan beberapa waktu lalu ke kamu.”
“Ayah kan sudah tua biar Rachel saja yang bekerja cari uang. Ayah hanya perlu menikmati masa tua dengan tenang. Lagian royalty yang Rachel hasilkan sudah lebih dari cukup.”
“Ayah tidak mau menjadi bebanmu, nak. Ayah bangga kamu bisa sukses di usia muda namun Ayah juga ingin merasakan dunia pekerjaan yang sudah lama Ayah tinggalkan. Ayah tetap akan menjaga kesehatan. Jangan khawatir. Ayo, cepat habiskan sarapanmu dan cepatlah berangkat.” Ayah segera menyiapkan wadah bekal untukku dan bersiap-siap untuk mengantar kepergianku. Aku menghabiskan bubur panas ini cepat-cepat karena Ayah terus mengomel.
“Baiklah, Ayah hati-hati di jalan. Telepon Rachel kalau ada apa-apa.” Aku melambaikan tangan dan menginjak pedal gas menuju kantor.
“Iya, nak. Hati-hati.” sahut Ayah.
Benar kata Ayah. Hari ini aku masuk paling terakhir dari ketiga rekan-rekanku. Agung, Doni, dan Silvia sudah sampai duluan. Senyum kemenangan ada di wajah mereka. Itu menandakan aku harus mentraktir mereka makan siang hari ini. Setiap hari Senin, kami membuat kesepakatan bahwa siapa yang datang paling akhir dialah yang harus mentraktir makan siang di hari itu. Inilah yang membuat aku selalu membenci hari Senin. Todongan makan siang berantai.
“Jangan manyun donk, Ra. Cantiknya hilang loh.” goda Agung.
“Menu makan siang hari ini nasi rendang sama gulai daun singkong ya, Ra. Ngidam nih. Aku sama Agung masing-masing dua porsi. Nanti si Silvi mau minta Burger K*ng paket lengkap yang ada whoopernya itu loh.”
Agung dan Doni berusia sebaya denganku. Sama-sama jomblo dan bercita-cita menjadi novelis terkenal. Tidak tertarik berpacaran namun suka julid kalau melihat orang berpacaran. Mengunjungi tempat-tempat romantis dan mencicipi makanan ala anak muda selalu mereka lakukan bersama. Terkadang aku curiga mereka menjalin hubungan terlarang namun mereka berdalih itu semua dilakukan bersama untuk memudahkan visualisasi penulisan novel. Silvia baru lulus kuliah ilmu komunikasi. Anaknya pemalu namun menjadi berani dan lancar berbicara ketika diminta mempresentasikan karyanya. Mampu menjadi penetral di antara team kami yang tidak normal.
“G-gak kak jangan dengerin omongan mereka. Saya gak minta apa-apa. Nanti kita patungan aja ya kak toh selisih waktu datangnya hampir bersamaan kok.” Silvia selalu sedikit tergagap ketika akan memulai pembicaraan. Itulah yang membuatnya menjadi imut menurutku. Yang menarik meskipun masih muda, namun, novel roman picisannya mampu menjadi best seller di kalangan anak remaja tanggung. Manis banget padahal gak pake gula! Makanya, dia direkrut oleh editor di tempatku bekerja.
“Biarin Sil, nanti kamu sama aku makan Burger K*ng, buat mereka nasi kucing sudah cukup. Kamu gak perlu traktir apa-apa, santai aja.” kataku sambil memberikan kode jempol. “Nih, ada roti panggang. Makan selagi hangat !”
“Wah, Ra kamu kok baiknya cuma sama junior sih. Gini-gini kita kan bestie, Ra” Agung dan Doni memprotes secara bersamaan.
Sesaat kemudian masuklah ibu editor kami tercinta. Ya, dia adalah seorang wanita berkepala lima, lajang, tegas, dan berdedikasi tinggi terhadap kinerja para penulis binaannya. Menggunakan sepatu boots lancip dan berkacamata hitam adalah ciri khasnya. Sudah 8 tahun ini aku bekerja bersamanya. “Selamat pagi, Bu Alisha-ah.” sapa kami serempak.
“Pagi semuanya-ah. Ah ! Mari kita bahas soal revisi yang sudah saya kirimkan di email kalian. Saya yakin kalian tidak akan melupakannya-ah” Begitulah imbuhan ‘-ah’ selalu diucapkan ketika membuka salam kepada beliau. Itu terjadi karena di hari Senin kami selalu mengeluh dengan banyaknya tugas baru yang diberikan ibu editor tercinta. Keluhan seperti ‘Ah sebal’, ‘ah ya ampun’, ‘ah astaga’, dan kalimat imbuhan ah lainnya selalu terucap dan kedengaran oleh Ibu Alisha. Namun, beliau tidak marah dan mewajibkan kami untuk menyapa beliau di hari Senin di pagi hari dan di kantornya dengan imbuhan –ah. “Masuk satu per satu ke ruangan saya dimulai dari Rachel!”
“Sesuai prediksi BMKG, hari ini aku kena hujan badai. Revisi naskahku sampai jadi basah. Lihat tintanya blobor.” oceh Agung yang masuk di urutan kedua setelahku. Doni menggaruk-garuk kepalanya mendengar ocehan hiperbola Agung. Masalahnya, email dari Bu Alisha baru ia buka pagi ini dan otomatis belum ada progress terbaru yang ia kerjakan. Tatapan matanya mendadak kosong. Sepertinya, ia sudah tahu takdir buruk yang menanti.
Sesaat kemudian Silvia keluar dari ruangan Bu Alisha. “N-naskah saya baik-baik saja sih, kak. Katanya saya hanya perlu melanjutkan. K-kak Doni silahkan masuk.” kata Silvia sambil memberi semangat kepada Doni yang dipanggil paling akhir ke ruangan Bu Alisha. “Punya kak Rachel sudah di approve?”
“Disuruh tulis ulang alias ganti total. Kurang gereget katanya.” jawabku suram.
“Huh.. Habis ini kan makan siang, makan pedes-pedes aja mau gak, Ra? Biar kepala jadi adem, kayak mau pecah rasanya. Silvi bisa makan pedes kan ya?” tanya Agung
“B-bisa kak. Bakso di taman kota enak, sambalnya juga jos.”
“Iya deh kita tunggu Doni keluar dulu. Penasaran wujud dia keluar nanti kayak apa.” ucapku seraya mengintip-intip ruangan Bu Alisha. Kami tertawa cekikikan karena melihat Doni hanya duduk mematung tanpa berekspresi.
Doni menjadi anggota paling sial hari ini. Ketika keluar dari ruangan, wujudnya sudah seperti ubur-ubur kering. Kering tanpa kehidupan. Di ajak berjalan ke taman kota saja harus dipapah oleh Agung. Dasarnya, kami ini anggota tidak normal jadi ketika ada seorang anggota sial karena Bu Alisha bukannya memberi semangat namun kami malah saling menertawakan dan mengolok-olok sampai perut kami sakit. Entah sakit perut karena jumlah cabai yang tidak masuk akal atau sakit perut membayangkan wajah Bu Alisha yang pasti marah luar biasa karena ketidakbecusan para penulisnya. Ya, senja hari ini indah meskipun mendung namun semburat cahaya tetap muncul di balik awan gelap.
“Oh ya, sharing hasil revisinya mau hari ini atau besok?” Doni bertanya sambil mengecek layar HP nya. Sepertinya semangatnya kembali membara.
“Besok aja. Hari ini lelah banget.” celetuk Agung.
“Lewat online aja ya ?” kataku.
“Setuju !” jawab mereka serempak.
Di perjalanan kembali ke kantor untuk mengambil kendaraan, aku melihat sesuatu bergerak-gerak di balik semak-semak. Agung dan Doni berinisiatif mendekati objek tersebut sedangkan aku dan Silvia menunggu di balik mereka. Awalnya Agung dan Doni mengira itu sebuah boneka yang sengaja dibuang namun sesaat tubuh boneka itu menggeliat. Agung dan Doni terkejut lalu refleks berlari di belakangku. Silvia hanya tertawa melihat tingkah para seniornya.
“W-wah, cantik sekali. Lihat itu, dia tidak berbahaya.” Silvia takjub dengan apa yang dilihatnya. Itu adalah seekor kucing persia. Warna bulunya putih keperakan, matanya cokelat muda, pendek, serta memiliki tangan dan kaki yang imut. Meskipun kucing persia mahal, namun kucing yang kulihat saat ini tidak ada bedanya dengan kucing ras biasa. Bulunya banyak yang rontok, dekil, matanya sayu, dan kurus. “S-sepertinya, dia sudah lama ditelantarkan, kak.” imbuh Silvia.
“Siapa yang ingin merawatnya?” tanya mereka saling menatap satu sama lain.
Tanpa pikir panjang, aku mengajukan diri untuk merawat kucing persia malang itu. Bukan tanpa alasan, karena aku sangat menyukai kucing. Selain itu, ketiga rekanku tinggal di apartemen yang tidak memperbolehkan mereka untuk membawa hewan peliharaan. Ayah juga sudah pasti akan menerima kucing ini.
“Beneran, Ra? Kalau kamu kesusahan, bisa kita titipkan di penitipan hewan. Soal biayanya gampang bisa full aku bayar atau kita patungan.” ucap Agung.
“I-iya kak. Seandainya apartemenku kasi izin, aku mau merawat kucing itu.”
“Silvi benar, Ra. Aku juga gak tega tapi di tempatku juga gak dibolehin. Atau kita pakai saran Agung. Jadi nanti kita bisa gantian jenguk di penitipan hewan. Gimana ?”
“Wah serius Ra ?! Thank you so much.” seru Doni diikuti Silvia dan Agung.
“K-kalau gitu besok kucingnya ikut meeting aja kak. Jadi biar ada hiburannya hehehe..”
“Boleh, Sil. Besok jangan lupa join jam 10.00 ya. See you !” Aku melambaikan tangan mungil kucing ini pada mereka.
Meow !
“Hai cantik! Mulai hari ini kamu tinggal bersamaku ya? Tapi sebelum itu ayo kita beli vitamin dulu supaya kamu jadi sehat lagi.”
Seolah mengerti ucapanku, kucing itu pun bergelayut manja di gendonganku. Badannya sangat kurus sehingga aku bisa merasakan tulang-tulang yang menonjol. Tidak mungkin kucing sebagus ini dibuang begitu saja. Kucing ini pasti tersesat saat berkeliaran di luar dan tidak bisa menemukan pemiliknya. Akibatnya, dia kesulitan untuk beradaptasi di jalanan dan berakhir seperti ini.