Selamat menempuh hidup baru ! Semoga kalian berbahagia !
Teng..teng..teng
Bunyi lonceng tanda dimulainya acara berdentang. Siang ini sahabatku, Cecilia, menikah tepat saat musim panas berlangsung. Musim yang sangat indah untuk melangsungkan pernikahan dan mengucap janji suci. Pemimpin upacara pernikahan memberkati mempelai dengan kalimat berkat agar rumah tangga yang mereka bina langgeng sampai maut memisahkan.
“Dengan ini kalian, Andrew dan Cecilia, sudah sah menjadi pasangan suami istri. Saling setialah dalam suka maupun duka. Berkat Tuhan tercurah atas rumah tanggamu mulai hari ini sampai maut memisahkan. Amin!”
Amin ! Serempak semua tamu undangan yang hadir ikut mendoakan kedua mempelai.
Pepohonan dengan cabang-cabang yang menjulur membuat altar pernikahan ini menjadi sangat intim. Matahari yang hangat namun tetap sejuk menembus celah pada cabang pohon. Daun memancarkan warna hijau terbaiknya. Helaian bunga berwarna pink bertebaran mengiring langkah mempelai pria dan wanita. Alunan lagu pernikahan beriringan dengan kicau burung yang bersahut-sahutan. Seolah tidak cukup untuk para tamu yang hadir disini memberikan ucapan selamat. Kursi dan meja para tamu dihiasi dengan bunga segar berwarna warni. Wah sungguh berkah yang sangat luar biasa dari semesta untuk mereka berdua. Seandainya aku yang berdiri di altar saat ini.
Gurauan Robin dan Anya membuyarkan khayalanku.
“Ra, jangan cuma dilihatin mulu. Dipraktikkan, gih!” seloroh Robin.
“Iya nih. Itu Cecil sudah menyusul kita. Kamu kapan?” sahut Anya.
Mereka adalah sahabatku yang akhirnya berjodoh. Itupun karena aku mencomblangkan mereka berdua. Padahal kalau bukan aku yang mencomblangkan belum tentu mereka menjadi pasangan suami istri seperti hari ini. Ya, pasutri baru memang hangat sampai kehangatannya mampu me- roasting orang jomblo. Bikin orang kesal saja.
“Makanya carikan donk!” kataku. “Gini ini kalau sudah dibantu dijodohin, jadi kacang lupa kulit.”
“Jangan bete gitu. Itu wujud sayang kita ke kamu. Kalau kita gak sayang, mungkin kamu sudah kita biarin jadi perawan tua.”
“Iya, Ra. Yang diomongin sama Anya bener. Malah kandidat yang kita kasih ke kamu itu bukan kandidat biasa loh.”
“Memangnya kamu sudah ketemu sama dia, Ra?” tanya Anya.
Seketika aku melupakan janji penting untuk bertemu pria itu. Pria yang dikenalkan Anya dengan konsep kencan buta. Bagaimana ini, aku tidak sanggup menghadapi kemarahan Anya. Padahal aku tahu usaha Anya untuk mendapatkan kontak pria itu tidaklah mudah. Kebanyakan dari teman-temannya sudah berganti kontak. Tidak jarang menganggap sudah saling tidak mengenal. Ketika Anya mendapatkan nomor telepon pria itu, ia sangat senang sampai-sampai menghubungiku dini hari. Anya bahkan sampai rela membuatkan jadwal yang tepat agar aku bisa bertemu dengannya.
“Uhm.., maaf An. Aku belum sempat bertemu dengannya karena editor memintaku untuk merevisi bab akhir novelku di akhir pekan.” kilahku.
“Yah.. padahal susah loh Ra buat janji sama dia. Bisa deal ketemu dia sudah beruntung, ini malah kamu sia-siain.” gerutu Anya.
“Ini biar aku aja yang janjian langsung. Kamu sudah banyak bantu. Terima kasih ya.”
“Janji ya yang kali ini kalian harus ketemu. Semoga kalian bisa cocok.” pinta Anya.
Amin? Mungkin itu kata yang seharusnya aku ucapkan kepada Anya. Namun aku tidak menjawab apapun. Aku terlalu lelah untuk mengikuti ajang perjodohan. Apakah mencari pasangan itu sesusah melamar pekerjaan? Harusnya bisa lebih mudah karena mengandalkan tergeraknya hati. Namun, masalah pasangan inilah yang membuat aku kesulitan membuat novel romansa. Kesulitannya bukan saat memulai hubungan percintaan namun masa untuk mengakhirnya. Padahal orang normal tidak perlu memikirkan perpisahan jika memang sudah cocok.
“Rachel !” seru seorang wanita. Oh rupanya Cecilia sedang berjalan bersama suaminya ke arah meja tamuku. “Terima kasih sudah menyempatkan waktumu untuk datang ke pesta pernikahanku.” sapanya sambil memelukku.
“Selamat atas pernikahan kalian berdua. Aku turut bahagia akhirnya bisa menyaksikan pernikahan yang indah ini.” Ini adalah pernyataanku yang paling tulus untuk Cecilia dan suaminya. Bagaimana tidak, mereka menjalani hubungan jarak jauh selama lima tahun dengan berbagai konflik sebelumnya. Sekarang sudah menjadi hadiah dari ketulusan mereka berdua. Bahkan raut wajah yang bahagia itu terpancar sangat jelas di mata kami para tamu. Sampai para tamu yang bertatap muka dengan mereka menjadi ikut bersemu bahagia. Aku pun berharap bertemu cinta sejati yang benar-benar tulus suatu saat nanti.
Seolah membaca pikiranku, Cecilia menepuk bahuku dan berkata, “Suatu hari nanti kamu akan menemukan cintamu itu. Jadi jangan khawatir dan bersemangatlah !”.
“Terima kasih.” kataku.
“Oh ya nanti saat aku melempar buket bunga, kamu harus berdiri di paling belakang tepat di barisanku. Aku akan melemparnya sejauh mungkin. Ku harap kamu yang mendapatkannya.”
Aku pun mengangguk dan melepas pelukannya dengan memberi salam kepada mempelai pria. Pria khas bule ini sangat jangkung namun dia paham cara bersosialisasi dengan orang lokal. Mungkin Cecilia sudah mengajarinya budaya bertemu orang lokal. Bahkan keramahannya melebihi keramahan kami. Setelah menyalami Robin dan Anya, Cecilia dan suaminya menuju meja tamu lain untuk melakukan hal serupa.
“Para hadirin yang terhormat, tiba saatnya acara lempar buket mempelai yang kita tunggu-tunggu. Kami persilahkan khusus bagi yang ingin melangsungkan pernikahan atau yang sedang mencari tambatan hatinya untuk segera maju di barisan yang sudah disediakan. Yang sudah punya pasangan sah dihimbau jangan ikut-ikutan maju ya. Saya gak nanggung risiko dicuekin paksu atau buksu nya. Hahahaha…”
“Ra, ayo maju ke depan sama aku !” Anya tiba-tiba berdiri dari kursinya dan menarik tanganku.
“Loh kamu kan sudah married ngapain ikutan? Itu khusus yang belum berlabel, An.” Aku pun tertawa melihat Robin yang mengomel dengan kelakuan tengil istrinya. Anya membela diri dengan dalih hanya menemaniku saja.
“Tapi ada kemungkinan Anya bisa dapat bunga lagi. Wah nanti kamu punya saingan donk, Rob.” candaku. Robin yang mendengar candaanku berubah menjadi tambah cemas. Robin pun melarang Anya untuk maju dan menyuruhku maju sendirian. Sembari berjalan aku pun melambaikan tangan tertawa melihat interaksi konyol Robin dan Anya.
“Ayo kumpul di sini ya. Jangan saling dorong demi kenyamanan bersama. Oke, sudah siap semua. Mempelai silahkan lempar bunganya ! Saya hitung ya.. 1... 2… 3….!!” MC berteriak sekencang mungkin sehingga antusiasme hadirin semakin heboh. Semua orang sudah bersiap untuk memperebutkan buket yang akan dilempar. Ada yang melompat tinggi, ada yang berlari maju mundur, dan ada yang diam saja seperti aku. Antusias mereka berubah menjadi sorakan riuh rendah ‘huuuuhhhh’ karena mempelai tidak jadi melemparkan buketnya. “Oh sepertinya tadi masih pemanasan. Ayo keluarkan lagi semangat membaranya. Yang kali ini beneran?!” bujuk MC juga sedikit tidak yakin. Para hadirin sudah bersiap-siap dengan pose awal. “Satu.. Dua.. Tiga..!” Dan hasilnya….
Aku terdorong maju dari posisi awalku berdiri. Kurasa semangat mereka bertambah dua kali lipat setelah kejadian pertama yang sempat di-prank oleh mempelai. Karena dorongan yang tiba-tiba dan keras tersebut, aku merasa akan jatuh terjerembab. Aww itu pasti sakit dan aku sudah bersiap akan benturan keras sepersekian detik lagi. Tiba-tiba sebuah objek menahanku sehingga tubuhku bisa kembali tegap. Saat aku membuka mata, lemparan buket bunga itu mendarat manis di telapak tanganku.
“Anda baik-baik saja? Apa ada yang terluka?”
Suara seorang pria menyadarkan keterkejutanku. Pria ini berperawakan tinggi besar. Tangannya begitu kokoh. Rupanya objek inilah yang menahanku agar tidak terjatuh. “Maafkan saya.” Aku buru-buru melepaskan tanganku dari tangannya. Belum sempat aku berterima kasih, MC menghampiriku dan pria tersebut untuk mengajak foto bersama mempelai. Aku ingin berterima kasih dan menawarkan buket ini untuknya namun pria tersebut berpamitan untuk pulang terlebih dahulu setelah berfoto dengan kedua mempelai. Dia menyapaku singkat dan pergi meninggalkan acara sambil berbicara dengan seseorang di telepon.
Anya menungguku di bawah panggung. Ia bertanya karena penasaran kejadian yang baru saja terjadi. Kejadian tiba-tiba hampir terjatuh seringkali meninggalkan efek berkunang-kunang pada penderita anemia sepertiku. Karena itulah aku hanya berkata hampir jatuh dan ditolong seseorang seperti yang terlihat tadi. Aku menggandeng tangan Anya dan kembali duduk di kursi kami. “Dari belakang sosok pria itu terlihat tampan dan gagah. Siapa namanya, Ra?” tanya Anya penasaran padaku.
“Aku belum sempat berkenalan. Wajahnya saja tidak terlihat jelas.” jawabku sambil mengedikkan bahu.
Setelah pemberkatan, resepsi pernikahan diadakan langsung tanpa jeda. Mungkin, mempelai pria dan wanita suka hal yang ringkas dan praktis sehingga tidak ingin ada keribetan penyelenggaraan pesta di kemudian hari. Bahkan, menurut informasi Robin, Cecilia akan mengikuti suaminya pindah ke Paris untuk menetap di sana. Kami pun sudah berjanji akan berlibur bersama di Paris akhir tahun ini. Ya sekalian reuni siapa tahu aku sudah memilki pasangan sehingga bisa triple date.
Beberapa teman diundang ke atas panggung untuk mengisi acara hari itu. Ada yang maju berpasangan dan ada pula yang seorang diri. Masing-masing dari mereka unjuk kebolehan dengan bernyanyi dan berpuisi. “Jangan lupa akhir tahun ini di Paris, Ra!” seru Robin setelah ia puas bernyanyi mengisi acara di panggung.
“Iya kalau soal habisin duit gak akan lupa, tenang saja Rob !” seruku.
“Hahahaha.. aku sih tinggal nebeng Robin buat bayar.” Anya tiba-tiba menyela sambil menyodorkan sebuah souvenir di mejaku.
“Souvenirnya emas batangan asli?!” seruku.
“Asli lah, Ra. Lumayan kan cuan cuma-cuma. Hehehe..” kata Anya sambal memasukan souvenirnya ke dalam tas. “Masih pusing kah, Ra?”
“Sudah baikan. Mungkin efek menu abalone tadi sukses naikin tekanan darahku. Apa tadi namanya?”
“Braised – bailing - mushroom - and sea - cucumber - with garden - greens in abalone sauce.” Anya mengeja perlahan-lahan nama salah satu menu yang kami santap tadi.
“Wah kalau dieja gitu keburu laper duluan nih perut, An !”
Aku pun terhanyut menikmati acara resepsi hari itu tanpa sadar waktu demi waktu berlalu. Matahari terbenam dengan sangat indah seolah ikut menutup perayaan pernikahan di hari itu. Setelah kalimat penutup terakhir, para tamu dipersilahkan meninggalkan acara. Aku sengaja pulang terlambat karena malas menunggu antrean mobil tamu yang mengular. Kuperhatikan buket bunga yang sudah kuterima. Bunga mawar berwarna merah muda seperti bunga sakura yang tadi berjatuhan. Cantik. “Selamat ya, Ra. Tandanya jodohmu sudah dekat !” Cecil menghampiri mejaku. “Cowok tadi juga ikut nangkap bunganya kan ya? Ciiee…..”
“Mungkin iya. Mungkin juga gak. Orangnya cuek tapi baik sih mau nolongin aku yang hampir jatuh tadi. Kamu kenal sama dia?” tanyaku.
“Gak. Mungkin kenalan Andrew. Nanti coba aku tanyakan ya. Dan terima kasih sekali lagi ya buat hari ini. Semoga di tahun ini kamu juga segera nyusul.”
“Hehehe.. iya iya. Jangan lupa beli novelku kalau sudah terbit nanti.”
“Siap Nona !” Kami pun bercakap-cakap hingga venue pesta menjadi lengang. Aku pergi duluan meninggalkan Robin dan Anya yang masih bercakap-cakap dengan beberapa kenalan mereka disana. Untungnya lalu lintas malam ini tidak sepadat weekend biasanya sehingga aku bisa cepat untuk sampai di rumah. Membayangkan empuknya kasur pasti nyaman sekali.