Lagi-lagi Nora merasakan rasanya terbangun dari ketidaksadaran yang terasa begitu panjang, namun juga teramat pendek. Ketidaksadaran yang ia dapatkan dari pengalaman-nyaris-mati kesekian kali dalam hidup singkatnya.
Nora familiar dengan langit-langit yang mengungkungnya. Ia kembali terbangun di ruangan Kieran, di apartemen laki-laki itu, dengan perasaan luar biasa hampa. Ia sempat lupa siapa dirinya dan sedang apa ia di sini—Nora perlu waktu lima detik untuk kembali mengingatnya. Lautan emosi yang dirasakannya seperti disapu bersih dalam waktu sekejap. Benar-benar kosong.
"Aku bisa—"
"Kau tidak bisa, oke? Jangan banyak tingkah."
"Oh, ayolah, aku hanya akan melihat sejenak. Lalu aku akan kembali ke ruanganku sendiri seperti katamu, memulihkan diri."
"Tidak boleh."
"Ms. Murphy, kumohon. Kau tampak cantik sekali hari ini."
"Penjilat sekali, ya?"
Nora mengakhiri perdebatan dua wanita berbeda tinggi dan warna rambut itu dengan muncul di ambang pintu. Ia menatap keduanya dengan tatapan kosong, tangan memegang satu tongkat, rambut luar biasa kusut, dan suasana hati buruk. Nora benar-benar tak merasa hidup. Tapi saat mata almond seorang gadis menangkap presensinya, cahaya yang terpancar dari mata menawannya langsung meningkat berkali-kali lipat. Ia merengek pelan, melewati tubuh tinggi yang menghalanginya dan langsung memeluk erat tubuh Nora.
Sesuatu yang hangat seperti ini tak disangka-sangka amat ia butuhkan. Ia membalas pelukan itu dengan sama hangatnya, sama eratnya.
"Patrice."
"Aku ketakutan sekali lima hari terakhir."
Nora mengambil waktu untuk menarik diri. Ia menatap Patrice yang masih tampak sangat pucat, sedikit lebih kurus, dan mata yang lebih kuyu. Tanda kehitaman di tubuhnya menghilang. Daphne yang menyilangkan tangan di tengah ruangan, siap mengomelinya dengan berapi-api setelah ramah tamahnya dengan Patrice selesai.
"Aku pingsan selama... berapa hari?"
"Lima hari."
Nora menggeleng. "Tidak mungkin."
"Satu hari setelah kejadian utama dan setelah kau bepergian, dua hari sejak kau masuk dalam perangkap Alhok, dan tiga hari sejak kau tiba dalam keadaan tangan berdarah-darah, pucat pasi persis seperti mayat hidup."
Kata mayat hidup dari Daphne sukses membuat kepalanya terasa nyeri. Ia memejamkan mata dan menahan dahinya dengan tangan ketika keinginan untuk ambruk muncul. Daphne dan Patrice langsung membawanya kembali ke kamar dan memaksanya berbaring. Brbagai emosi tak mengenakkan langsung datang pada Nora seperti tsunami raksasa yang tak bisa ia kendalikan. Ia merasa dadanya sakit sekali, dan matanya memanas. Jadi ia langsung menangis keras di atas ranjang.
Patrice langsung memeluk Nora dan ikut berbaring bersamanya, mencoba membuatnya tenang.
"Dia sudah melewati banyak hal." Patrice amat menyetujuinya.
"Maafkan aku. Aku hanya—" Nora terisak, lalu mencoba meraih Patrice untuk ia peluk.
"Tidak apa-apa." Patrice mengelus-elus punggung Nora seperti anak kecil. "Tidak apa-apa. Semuanya sudah berakhir. Semuanya sudah baik-baik saja. Kau dan Kieran melakukan sesuatu yang luar biasa, Aku bangga padamu, sungguh."
Nora menangis semakin keras di bahu Patrice. Daphne benar. Terlalu banyak yang terjadi, terlalu banyak yang dialaminya hingga ia tak tahu harus menunjukkan respon seperti apa. Pada akhirnya, semua itu bermuara pada kesedihan yang merepresentasikan betapa terlukanya ia akibat ilusi gila Alhok dan bentuk rapuh dirinya sendiri yang sempat terancam juga di dalam sana.
Nora berhenti menangis setelah beberapa menit. Ia menyeka air matanya sendiri, lalu menatap Patrice dan Daphne bergantian. Ia mencoba untuk tetap tenang dan tekendali seperti biasa dan seperti yang sudah seharusnya.
"Dimana Logan dan Kieran?"
Patrice dan Daphne bertatapan dengan satu sama lain.
"Aku meminta Logan beristirahat di ruangan sebelah. Dia butuh tidur dan makan, beberapa saat lagi dia pasti akan bangun dan mengeluh lapar—seperti saat pertama kali dia sadar. Sementara KIeran... dia menghadap ke Kementerian untuk mengurus kasus Timothy Hathaway."
Patrice mengulum bibirnya sendiri hingga lesung pipi mini terbentuk tanpa sengaja. "Sama seperti ibumu, ayahmu juga terkenal, setidaknya oleh Istana dan sepenjuru Dunchaster ini."
Nora mengumpat pelan. Ia menyugar rambutnya ke belakang, menghina Kieran dalam hati berulang-ulang kali. "Bukankah dia... dia seharusnya melewati masa pemulihan lebih lama dariku. Setidaknya, dengan diam saja di sini sebelum menemukan psikiater yang tepat. Kenapa dia malah—aku tak habis pikir."
Daphne menghela nafas. "Kejadian traumatis membuat manusia bertingkah aneh dan kadang membahayakn. Kieran marah-marah ketika kularang, Nora. Jadi aku tak punya pilihan lain selain membiarkannya."
Nora menghela nafas lelah. "Bolehkah aku bertemu Logan sekarang?"
***
Logan benar-benar sedang tidur, awalnya Nora tak ingin mengusiknya. Namun rupanya anak itu bangun dan langsung memanggil Nora.
Nora buru-buru mendekat ketika Logan bangkit berdiri untuk mencapainya juga. Nora langsung memeluk pria itu seerat yang ia bisa, lalu menangis kencang di bahunya. Logan sama seperti Patrice, memeluknya dan mengatakan semuanya telah baik-baik saja.
"Aku sungguh takut kau akan pergi." Nora berucap parau di tengah-tengah isakannya. "Aku takut aku tidak akan bisa menyusulmu ke dalam sana dan membawamu pulang kembali."
"Tapi aku di sini, Nora."
Nora membutuhkan banyak waktu untuk meyakinkan dirinya akan kehadiran Logan. Sahabat pirangnya di sini, baik-baik saja, tanpa luka atau Makhluk Kegelapan yang merasukinya. Bahkan figur Logan yang sedang ia rengkuh saat ini terasa seperti ilusi. Nora menemukan dirinya sendiri membisu ketika melihat ke sekelilingnya. Atensinya sedikit terpecah dari Logan, dan Logan harus memegang tangannya erat-erat dan menepuk pipinya dua kali untuk menyadarkannya.
"Hei."
Nora lalu memejamkan mata, lalu mengistirahatkan. "Aku masih terbayang labirin-labirin itu. Alhok melakukan apa padamu?"
Logan menggeleng. Matanya memerah tanpa Nora sadari. Ia mencoba mencari kata-kata yang tepat dengan membuka-tutup bibirnya berkali-kali. Lalu ia menggeleng lagi, dan Nora mengerti. Nora memeluk laki-laki itu kembali dan Logan seperti tak bosan melakukannya dengan Nora.
"Kita semua perlu istirahat." Nora berucap setelah sekian lama. "Dan berbicara pada psikiater."
Logan mengangguk di bahu Nora. "Yang khusus Penyihir, meskipun aku bukan salah satunya."
Nora terkekeh pelan. "Tentu."
***
Kieran belum kembali hingga Nora mendapat makan malamnya dari Daphne. Gadis itu benar-benar membantunya dari hari pertama semua bencana ini terjadi. Nora sempat menanyakan pekerjaannya di Kementerian namun ia justru senang karena ia akhirnya mendapat hari libur.
"Semua pekerjaanku dilimpahkan pada Atlas. Aman."
Pria bernama Atlas itu datang sewaktu makan siang, mengantarkan Daphne beberapa dokumen untuk ia kerjakan dari sini. Dari hal itu Nora tahu betapa tak terduganya sistem pekerjaan yang Daphne tekuni. Karena kesibukannya, Nora belum sempat bertanya mengenai kasus sang Ayah. Ayahnya dikenal hampir seluruh Dunchaster, dan Kerajaan juga mengetahuinya. Kematiannya yang misterius dan tiga orang yang menghilang dari rumahnya tentu mendatangkan kegegeran di sepenjuru Kontinen. Nora bersyukur ketika Daphne mengatakan Kementerian membantu pihak kepolisian setempat untuk mengurus kasus ini, apa yang mereka kerjakan pasti akan berakhir baik.
Waktu sehabis makan malam Nora habiskan untuk membaca buku merah milik kakeknya. Dylan Rhodes adalah seorang siswa Sadbury juga, rupanya. Berarti kemungkinan besar ia pernah mengenal Oberon Priam.
Nora menghela nafas. Ingatan tentang Oberon Priam samar di kepalanya. Kebanyakan ingatan itu kini tak membekas lagi di kepalanya seperti jejak tinta yang susah hilang. Isi kepalanya belakangan ini begitu penuh, namun kosong di saat bersamaan. Ia hanya butuh Kieran dan penjelasan kalau ia baik-baik saja.
Pintu ruangannya diketuk ketika Nora meletakkan buku merahnya di atas nakas. Nora menahan nafas saat Kieran, dengan pakaian formal dan mantel yang tergantung bisu di tangannya.
Nora merasakan dadanya memberat tanpa alasan jelas. Banjir emosi kembali datang seperti tsunami yang tak bisa dibendung dengan benar. Ia berusaha meneguhkan hati dan berucap dengan nada ketus, "Kau idiot."
Tapi Kieran tetap melempar mantelnya sembarang, lalu berderap cepat dan mencapai Nora untuk menariknya dalam rengkuhan. Nora berusaha untuk tak larut dalam rasa hangat yang diciptakan pria itu dari tautan mereka. Namun Kieran mengelus rambutnya dengan sayang, menahannya dengan begitu lembut.
"Maafkan aku." Kieran berujar penuh kelegaan, "aku senang kau akhirnya bangun. Kau selamat, sehat, baik-baik saja. Kau tidak pergi kemanapun."
Nora memejamkan matanya, mencoba menahan air mata yang hendak menetes.
"Maafkan aku."
Namun pada akhirnya Nora menenggelamkan wajahnya pada bahu Kieran, membiarkan isakannya keluar. Ia mencoba meninju abdomen Kieran karena kekesalan, namun ia tak bisa melakukannya dengan benar. Ia begitu takut melukai Kieran.
Ketika Kieran pada akhirnya menarik diri, Nora menyeka air mata sebelum Kieran yang melakukannya. Ia meremat erat-erat tangan Kieran yang masih bertahan untuk memegangnya.
"Kenapa kau pergi ke Kemeterian dalam keadaan seperti ini?"
Kieran menghela nafas. "Aku harus meluruskan banyak hal, Nora. Kasus ayahmu sekarang menjadi penanda besar bagi Kementerian dan pihak Kerajaan untuk mempedulikan bahaya dunia sihir yang semakin meluas. Tentang Alhok, apa yang ia lakukan, apa yang aku lakukan."
"Kau mengatakan apa pada mereka?" Nora memotong perkataan Kieran sebelum ia sempat melanjutkan.
Kieran membutuhkan banyak waktu untuk berucap, "semuanya, yang perlu mereka tahu."
"Kau memberitahu mereka tentang dirimu?"
"Tidak. Aku—aku belum siap."
"Maka jangan." Nora meyakinkan. "Sebelum mereka bisa mengerti dan menerima fakta-fakta tentang Alhok, jangan. Aku mohon."
Kieran menggeleng. "Tidak akan, kalau begitu. Maafkan aku."
"Jangan meminta maaf terus!"
Nora menepuk paha Kieran dengan cukup keras, membuat Kieran terperanjat, juga mendatangkan reaksi terkejut dari Nora. Nora buru-buru meminta maaf, tapi Kieran menahan tangannya, sontak menghentikan racauannya juga.
"Aku tidak bermaksud—" Lalu Nora berdecak dan mengusak rambutnya.
Kieran mengelus punggung tangan Nora dengan ibu jarinya. "Kita benar-benar butuh psikiater. Kita akan pergi bersama-sama kesana."
"Lalu kita akan tahu siapa yang butuh penampingan psikiater lebih sebentar, dan dia akan jadi pemenangnya."
Kieran menjitak pelan dahi gadis itu. "Kau masih memikirkan taruhan itu?"
Nora tanpa kuasa melepas tawa kecil. "Taruhan itu membuatku bertahan sepanjang melewati ilusi. Kau sendiri bagaimana? Bagaimana bisa taruhan itu tak terpikirkan sama sekali oleh otak besarmu?"
Melihat tawa kecil dan usaha gadis itu untuk menaikkan suasana, Kieran ikut tersenyum. "Aku memikirkannya, kok. Cuma ada hal lain yang lebih sering kupikirkan."
"Kau memang menyebalkan."
"Dan perhatian. Setelah ini, kita tak akan hidup dalam situasi yang mudah."
Nora menaikkan alisnya. "Memang ada apa lagi?"
"Kau Penyihir, Nora. Sejak kau lahir, tapi baru kita sadari sekarang, dan baru masuk radar Kementerian beberapa jam lalu. Dalam beberapa hari akan ada surat masuk ditujukan kepadamu, berisi permintaan dari Kementerian untuk beberapa hal."
Lihatlah Nora sekarang. Tidak menyangka sesuatu seperti ini akan terjadi dalam garis hidupnya.
"Mereka meminta apa?"
"Aku tidak tahu. Mungkin timbal balik karena mereka telah membantumu? Atau hal-hal lain yang lebih masuk akal seperti kesaksianmu sebagai putri Timothy Hathaway. Semacam itu."
Nora mengelus lengannya sendiri dengan sedikit gelisah. Ia memandangi jari-jari tangan Kieran yang masih menempel di kulit tangannya. "Apa yang bisa terjadi kalau aku berurusan dengan Kementerian?"
"Kau akan bekerja dengan mereka, kemungkinan besar. Mereka membutuhkan banyak tenaga kerja sebenarnya, karena Penyihir di Kontinen ini masih bisa dihitung jari dan masalah yang dihadapi tidak hanya berada di level amatiran. Selalu ada kasus seperti yang kita alami di setiap tempat, Nora. Kementerian pasti butuh banyak kompetensi untuk menyelesaikannya."
Melihat diamnya Nora, Kieran melanjutkan, "atau kau bisa menolak mereka. Melakukan penelitian dan bekerja sendiri seperti ibumu. Atau tidak terikat dengan Dunia Sihir sama sekali. Kau selalu punya pilihan."
Nora perlu waktu untuk menjawab. Kieran mulai khawatir lagi. Ia berucap lagi dengan suara terbata, "maafkan aku karena—"
"Kau tidak perlu meminta maaf. Kau tidak melakukan kesalahan apapun. Kieran, Demi Tuhan." Nora rasanya ingin menangis. "Jika aku yang menang nanti aku akan memintamu untuk tak mengucapkan maaf sama sekali. Kau mengerti?"
Kieran memandang Nora dengan tatapan yang tak bisa Nora jelaskan. Ia pada akhirnya mengangguk. "Terimakasih."
"Sekarang kau ganti mengatakan itu?"
"Tidak, serius, terimakasih banyak. Terimakasih karena sudah tinggal."
Mendengarnya, Nora memutuskan untuk mengulas senyum. "Sama-sama."
Kieran tak bisa memandang Nora terlalu lama. Entah kenapa, ia tak bisa. Gadis itu menawarkan suatu kehangatan yang asing karena aura yang membekukan selalu terpancar dari gadis itu sebelum ini. Tapi perasaan itu seperti paradoks. Sesuatu yang asing justru membuat Kieran merasa nyaman.
Dan Nora terlihat begitu nyaman saat ini, begitu hangat, begitu menenangkan.
"Kau harus istirahat lagi."
Nora mengangguk-angguk. "Kau juga."
Perasaan paradoks yang Kieran rasakan semakin menggebu-gebu. Ia melepaskan tangan Nora dan mengulas senyum tipis, lalu beranjak untuk pergi. Sebelum Kieran benar-benar keluar dari ruangan, ia berbalik lagi untuk melihat Nora yang sedang merebahkan diri di kasurnya, mendesah penuh kelegaan. Matanya terpejam dan senyum tipis terulas ketika akhirnya ia diam.
Kieran menghela nafas, ikut tersenyum, lalu menutup pintu kamar itu dengan sepelan mungkin. Sosok Nora membuat Kieran akhirnya melepas semua niatnya untuk bekerja penuh malam itu, lalu terlelap dengan cepat di sofa ruang tamu.