Read More >>"> The Maze Of Madness (7. The Unavailing Years ) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Maze Of Madness
MENU
About Us  

Nora menembak tepat di tengah-tengah target buatan—Kieran membuatnya dari papan kayu bekas di belakang kabinnya dan melingkari bagian tengahnya dengan spidol—selama hampir sepuluh kali. Kieran tidak masalah dengan Nora membuang-buang pelurunya. Tapi Kieran tidak terbiasa menggunakan dan melihat orang menggunakan senjata api. Ia berdiri jauh dari Nora, tak lebih dari sepuluh meter untuk berjaga-jaga. Nora masih bisa ambruk sewaktu-waktu.

Setelah Nora berhenti menarik pelatuk, Kieran berdehem sejenak sebelum mengajukan pertanyaan. “Kau sudah selesai?”

Nora menjawabnya dengan mengambil magasin lain dan kembali mengisi revolvernya. Untuk kemudian ia membidik batang pohon dan melakukan rekor gila yang sama. Kieran menghela nafas dengan was-was. Tidak menutup kemungkinan dirinya akan menjadi target menembak Nora yang ketiga.

“Aku ingin pergi berburu.” Tukas Nora setelah keheningan kedua mengudara.

“Pertama, tidak ada hewan yang bisa kau buru di hutan gersang ini.” Kieran berucap hati-hati. “Dan aku tidak akan membiarkanmu berlarian mengejar mereka seperti latihan biasa yang kau lakukan.”

Karenanya, Kieran mendapat tatapan maut dari gadis itu. Namun ia hanya mengangkat tangan santai, tetap yakin pada keputusannya. Sebetulnya Nora juga tak yakin kakinya mampu diajak berlari—setelah banyak situasi aneh melemahkannya, membuatnya sekuyu puding susu.

Ia memainkan sepatu bot miliknya ke permukaan tanah yang ditutupi ranting-ranting lapuk—satu-satunya pakaian yang tidak Kieran buang. Kieran saja mengganti gaun tidurnya yang semula lebar dan tanpa lengan, menjadi piyama katun setinggi betis dan berlengan panjang. Dia bilang baju ini milik ibunya. Nora juga memakai mantel kulit milik Kieran, kaus kaki laki-laki itu, dan pita yang entah Kieran dapat dari mana untuk menguncir rambut gelapnya. Nora diam dan mendengus untuk beberapa lama, sebelum ia menerawang jauh ke hamparan pohon-pohon pinus.

“Aku ingin keluar dari situasi ini.”

Kieran mengangguk pelan. “Kita semua menginginkannya.”

“Kita harus melakukan sesuatu.”

Kieran mengangguk lebih yakin. “Ya, benar.”

Lalu, Nora memandangi Kieran seolah pria itu sedang memakai seragam pemandu sorak, memegang pom-pom dan bendera, menghias pipi dengan cat wajah, menyorakinya yang sedang sekarat dan kehilangan harapan. Langkahnya berderap mendekati Kieran, mengacungkan moncong revolver-nya dan membenarkan prediksi pria itu.

“Oke, baiklah, aku minta maaf.” Kieran tersenyum kecil, mengangkat tangan melihat wajah serius Nora. Usaha menghiburnya tidak berjalan dengan benar. “Mau kutunjukkan sesuatu? Kita harus masuk dulu dan kau harus mengistirahatkan telunjukmu itu. Dan juga, jangan buang-buang peluru.”

Nora menghela nafas, berbalik sejenak untuk memunggungi Kieran. Ia benar-benar butuh diam selama beberapa detik, tidak memikirkan apa-apa, tidak mendengar apa-apa, dan tidak melihat apa-apa. Tapi ia tidak bisa tidak memikirkan apa-apa. Memori mengenai kejadian malam itu terus berputar di kepalanya, seperti mimpi buruk berulang yang tak berhenti meski kesadarannya sedang penuh sekarang. Saat ia menoleh kembali pada Kieran, menatap senyum kecilnya terbit, Nora tiba-tiba merasa bersalah.

Apakah sikapnya pada Kieran terlalu kasar? Pria itu juga menderita, dan meninggalkannya yang bukan siapa-siapa tidak akan menjadi penyesalan yang serius. Bisa jadi Kieran bahkan tidak memikirkannya ketika ia akan pergi. Buat apa dirinya susah-susah marah saat ini?

“Jangan banyak-banyak berpikir.”

Nora menyentakkan tangannya, refleks. Kieran sedikit terkjut saat tangannya yang semula ingin memperbaiki helai rambut gadis itu, tertimpuk dengan sadis. Sementara Nora bernapas dengan susah payah. Sensasi itu lagi. Ia berjalan mendahului Kieran masuk kembali ke dalam rumah.

Kieran menunjuk pada ruang kerjanya yang berada tepat di sudut baca, ruangan tanpa pintu yang otomatis menyatu dengan perpustakaan mungilnya. Meja kayu dengan dua laci yang rapi dan tertata—Nora sudah menduga hal ini sebelumnya. Mesin ketik, telepon kabel dan lampu meja tersusun rapi di suatu sudut, tumpukan berkas dan kertas-kertas tergeletak di sudut lain. Ada tumpukan kardus bermacam ukuran di samping meja, dua piagam dan empat medali dipasang setinggi mata, papan tulis besar dengan foto-foto, potongan koran, kertas tulisan tangan, dan benang merah terpasang di seberang. Tatanan ini membuat Kieran terlihat seperti seorang detektif kepolisian, atau mahasiswa kebosanan yang menghabiskan hari-harinya di dalam sini, bermimpi memecahkan sebuah kasus misterius.

Dan Kieran sepertinya memang sedang melakukan itu sekarang. Ia menempelkan satu foto lagi, tepat di tengah-tengah papan. Ia menuliskan tanggal kejadian dan nama keluarga Nora di ujung foto itu dengan spidol merah, lalu mundur ke samping Nora.

“Kau sempat-sempatnya memotret Logan malam itu?” Nora berucap heran.

Kieran meringis. “Aku harus melakukannya. Ini semua untuk bukti perkembangan amukan Alhok, supaya aku bisa melakukan semacam analisa dan mengasumsi akan jadi apa dia nantinya. Sejauh ini, Logan adalah korban terbaru dan terparahnya. Dia tak main-main menggunakan energinya malam itu.”

Hidung Nora mengerut saat ia menatap Kieran. “Apa katamu?”

“Biar kujelaskan.”

“Aku perlu Pengantar Sihir Volume Satu atau hal semacam itu darimu, oke? Aku butuh penjelasan runtut supaya aku bisa benar-benar paham.”

Kieran mendengus pelan. “Tentu saja.”

Lalu ia megambil sebuah buku dari salah satu rak kayunya. Buku yang tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis, hanya seperti novel tua biasa yang bersampul tebal dan berwarna kemerahan, sudah ternoda tinta dan coretan dimana-mana. Halaman pertama bahkan bagai tersiram satu muk cairan tulis itu. Bercak hitam besar menutupi judul dan nama penulis, “Sihir 101: Penerangan Dasar untuk Pemula” oleh Lionel Kirbin. Selintas noda itu mengingatkan Nora akan Patrice, dan luka sihir di lehernya. Ia menggeleng cepat untuk mengusir pikiran itu.

Namun Kieran menyadari perilaku Nora. Ia memungut kembali buku itu dari tangannya, mendatangkan tatapan maut dari gadis itu lagi. “Kurasa akan lebih cepat jika aku menjelaskan saja. Hanya yang perlu kau ketahui.”

Laki-laki itu memandu Nora untuk duduk di kursi yang sudah ia seret supaya bisa menghadap papan. Nora mematuhinya tanpa banyak bicara. Ia melipat tangan di dada, menunggu.

“Singkatnya,” Kieran mengawali kalimatnya langsung ditempat, tangan tersilang di depan perut, menatap Nora seperti menatap murid taman kanak-kanak. “Sihir adalah suatu kekuatan yang dimiliki oleh beberapa orang tertentu, ilmu yang diturunkan dari generasi ke generasi. Aku lupa bagaimana sejarah sihir bisa sampai di negeri ini, mari kita lewati saja hal itu.”

Nora mengangguk-angguk.

“Seorang penyihir biasanya akan menggunakan sihir mereka untuk hal-hal heroik, pada awalnya, sebelum penjahat-penjahat penyihir bermunculan dan harus ada kementerian dibangun dan dibentuk untuk mengurus segala tetek-bengek sihir yang mulai merebak di sepenjuru kontinen. Mereka memiliki organisasi sendiri yang tak banyak orang awam tahu.” Kieran berhenti sejenak, menatap papan kriminalnya, lalu menoleh pada Nora lagi. “Sihir ada bermacam-macam jenisnya, setiap generasi atau Keluarga Petinggi memiliki kekuatan sihir unik mereka sendiri yang tak bisa dipelajari secara terbuka oleh non-penerus mereka—ini yang kubilang tadi soal kekuatan sihir yang diturunkan dari generasi ke generasi. Namun ada juga sihir yang bisa manusia awam pelajari melalui latihan selama bertahun-tahun, sistem sihirnya berupa mantra, ritual, persembahan, dan sebagainya.”

Kieran menunjuk pada foto Logan yang tengah kerasukan. “Alhok, aku menyebutnya, adalah Penyihir non Keluarga Petinggi yang sukses. Tipe sihirnya amat kukenali—Alhok sering menggunakan ritual-ritual untuk meningkatkan kekuatannya dan banyak orang menduga dia menyembah iblis untuk mendapatkan ilmu sihir.”

Nora mengerjap. “Tunggu, jadi, Penyihir perlu belajar dari benda atau apapun yang disembahnya untuk mendapatkan ilmu sihir?”

“Tidak semua Penyihir menyembah sesuatu untuk mendapat ilmu sihir.”

“Lalu?”

Kieran diam sejenak, lalu mengacungkan tiga jarinya. “Ada tiga cara, intinya. Satu, diturunkan dari pendahulu, kakek moyang mereka. Dua, mereka belajar, dari buku-buku lama, buku-buku sihir. Biasanya ditulis oleh Penyihir-Penyihir kuno baik hati yang bersedia memberikan sedikit kekuatan mereka pada buku-buku itu, membuatnya bisa disalurkan ke non-penerus. Mereka yang tidak memiliki riwayat keluarga seorang Penyihir, mampu menjadi Penyihir dengan belajar dari buku-buku itu. Yang ketiga, ini amat sangat ekstrim, mereka mencari sesuatu untuk disembah supaya mereka mendapat kekuatan sihir dari apa yang mereka sembah. Contoh, iblis, kuburan keramat, lukisan antik, buku diari.”

“Buku diari?”

Kieran mengangguk. “Seorang Penyihir Bernama Thessaly Denvir menyembah buku diari yang dia temukan di rumah barunya, di loteng berisi barang-barang pemilik sebelumnya. Setelah diselidiki, buku diari itu milik Yennefer Shalador, anggota Keluarga Petinggi yang memiliki sihir anatomi mematikan, dan sekarang Denvir ditahan karena menjadi kanibal. Itu baru kemarin kasusnya selesai."

Nora mengernyit jijik, dan Kieran menjentikkan tangan di depan wajah Nora.

“Tidak penting darimana Alhok mendapatkan sihirnya, yang pasti sihirnya berbahaya.”

“Kenapa ia dipanggil Alhok?”

Kieran mengangkat bahu. “Itu saran dari Daphne. Katanya, bagi bangsa Albarian, Alhok adalah nama entitas jahat paling ditakuti dalam dongeng-dongeng mereka.”

Nora sekarang sedikit mengerti. “Lalu, bagaimana cara mengalahkan Alhok ini?”

“Mengalahkan? Sesungguhnya, Nora, cara menarik dia keluar dari tubuh Logan saja sudah sangat susah.”

Kepalan Nora menguat selaras dengan alisnya yang mengerut ke pangkal hidung. “Apa maksudmu?”

“Alhok bukanlah Penyihir Gelap biasa—mari kita sebut mereka demikian. Sesungguhnya, ia tidak pernah memiliki bentuk tetap. Aku belajar dari kasus ibumu dan kasus-kasus lain yang tidak diliput pemerintah. Alhok tidak pernah berwujud manusia.”

“Jadi, kita berhadapan dengan arwah?”

Kieran menghela nafas, menyerahkan segelas air pada Nora. Nora menerimanya dan menghabiskan semuanya dengan buru-buru. Kieran tahu bagian ini tidak akan mudah dijelaskan.

“Ya. Mungkin, bisa jadi. Alhok selalu membunuh inangnya sendiri setelah merasukinya. Atau, inangnya akan menjadi Penyihir Gelap. Dia akan menjadi orang yang sepenuhnya berbeda dari yang kita kenali. Kau akan berpikir lebih baik orang itu mati.”

Nora bergumam, “Inang.”

“Ya."

“Siapa korban pertamanya?”

“Aku tidak tahu pasti. Informasi yang kudapat hanya terbatas tujuh puluh-an orang, semuanya terjadi sebelum kasus ibumu menyeruak ramai di media. Namun banyak mitos yang beredar di atara para Penyihir—seperti legenda urban, bahwa Alhok merasuki lebih banyak orang selain yang dicatat Kementerian.” Kieran menyerahkan buku catatannya yang menampilkan profil seorang remaja. "Namanya Oberon Priam. Yang terparah, dari semua catatanku. Dan yang paling misterius."

Tulisan Kieran rapi—itu yang pertama kali disadari Nora ketika pertama kali menerima buku diarinya.

Ada foto hitam putih seorang anak. Umurnya kira-kira empat belas atau lima belas tahun, dengan rambut pendek keperakan yang disisir teramat klimis hingga membentuk garis-garis yang tercetak jelas di foto. Hidung mancung, mata yang menatap kosong kamera, bibirnya juga tak membentuk seinchi senyum pun. Kieran menulis identitas anak ini selengkap yang ia bisa—tempat tinggal, tanggal lahir, anggota keluarga yang ia miliki, tempat ia bersekolah, dan kasus yang membuatnya dicap sebagai yang pertama dan terparah.

Kieran berhenti mencatat ketika Priam dinyatakan menghilang setelah kejadian di sekolahnya sewaktu ia menginjak tingkat akhir. Ada daftar tempat, tanggal, dan waktu, juga foto yang menunjukkan eksistensi seorang pria berambut perak. Apa yang ia lakukan tak Kieran sertakan di sini. Sebuah tanda strip kecil ditulis Kieran di bagian paling bawah catatan. Mungkin ia masih berharap ia akan menerima informasi lain.

"Bagaimana kau tahu semua ini?" Nora memandang Kieran.

Kieran mencoba memilih kata-kata yang tepat untuk diutarakan. Bibirnya tampak bergetar. "Aku melakukan banyal hal selama lima tahun ini, Nora."

"Terlalu banyak hingga kau tak pernah menganggap keluargaku ada?"

Kieran tak menjawab. Nora, dengan kepalanya yang sekeruh rawa-rawa, menunduk sembari memegang kepalanya dengan kedua tangan. Kepalanya benar-benar penuh dan ssakit dan seperti akan meledak.

"Apa yang bisa kita lakukan?" 

Kieran kebingungan menjawabnya, "aku dan Daphne sudah mencoba banyak hal—"

Nafas Nora memburu mendengarnya. “Yang lainnya. Yang bisa kita lakukan. Yang bisa kulakukan. Pasti ada cara, Kieran. Apa yang harus kita lakukan?”

Kieran menggeleng. Ia mencoba meraih Nora. Tangannya terangkat, hendak meraih jemari gadis itu. Namun ia menariknya kembali dan membiarkannya tetap terbuka pada Nora.

"Kita—" Kieran susah payah mempertahankan tatapannya pada Nora. Rasa bersalah tiba-tiba memupuk di dalam benaknya. Sebab ia tak bisa cukup membantu, sebab ia masih ragu-ragu.

Lima tahun menghilang hanya untuk ini?

Sementara Nora masih menunduk dalam, mengepalkan tangannya, dan memejamkan mata. Pikirannya beradu dengan emosi, bergejolak dengan cepat dan kacau, saling bertubrukan, saling berbenturan. Nora berusaha menemukan dirinya sendiri saat ini. Dimana ia berada, dengan siapa ia berdiri di ruangan ini, apa yang sedang dilakukannya dan apa yang harus dilakukannya.

“Kita harus menyelamatkan mereka.”

Kieran mengangguk mengerti. Teringat bagaimana ia ditemukan dulu, seberantakan dan seputus asa Nora saat ini. Bagaimana Timothy menenangkannya hampir setiap malam, bagaimana ia bertemu dengan Daphne yang memukul kepalanya setiap ia hanyut dalam pikiran, hampir membunuh dirinya sendiri dengan mengisi kepalanya dengan racun dari masa lalu.

“Maafkan aku.”

Kieran ingin memeluk tubuh itu, sungguh. Tapi ingatannya mengenai sikap Nora selama ini menghentikannya. Nora membencinya. Jika bukan karena ayahnya yang terbunuh malam itu, hidup teman-temannya yang ada di tangannya, dan hidupnya sendiri juga terancam tumbang sebentar lagi, Nora akan mengenyahkannya. Nora tidak akan mempedulikannya, Nora bisa melakukan semua ini sendiri. Nora tidak akan membutuhkannya.

Gadis itu menggeleng. “Kau tidak melakukan kesalahan apapun.” 

Mungkin aku yang salah di sini. Kieran berusaha menelan kuat-kuat pikiran selintas itu. “Kurasa kau butuh sarapan.”

 

***

 

Nora mengira nafsu makannya sudah menguap meninggalkan tubuhnya. Tapi Kieran memasak kentang, telur, dan sosis menjadi satu, ia tambahkan bahan-bahan yang tidak Nora tahu, lalu ada keju parmesan. Nora cinta mati dengan parmesan. Bahkan jika dunia nyaris kiamat dan langit runtuh di atasnya, Nora akan tetap memakan makanan yang disuguhkan kepadanya jika ada keju parmesan di dalamnya.

Ia mendongak sejenak pada Kieran yang mengeluarkan loyang dari dalam oven. Casserole hangat menguarkan asap dari atasnya. Tapi Kieran menghela nafas, menipiskan bibirnya sebelum berbicara.

“Aku hanya bisa memasak ini.”

Nora menggeleng. Justru ini yang ia butuhkan saat ini.

Ia tak mengerti bagaimana semesta bisa mendatangkan hal seaneh ini dalam hidupnya. Beberapa jam lalu keluarga dan rumahnya hampir dihancurkan oleh arwah penyihir gelap. Tapi sekarang Nora berada di dapur orang asing yang sebenarnya bisa menjalin hubungan lain dengannya jika orang asing ini tak melakukan keputusan bodoh dengan mengacuhkannya, memakan casserole buatannya bersama. Nora hampir menangis. Entah karena panas dari makanannya, masalah yang menimpanya, atau kelezatan janggal yang ia rasakan saat ini.

“Kau menyukainya?”

Nora terbatuk. Kieran sigap memberikan segelas air yang segera Nora habiskan separuhnya. “Ini enak.”

Kieran mengangguk, menunduk sejenak karena ingin tersenyum lebar-lebar, tapi Nora ada di depannya. Ia berdehem setelah berhasil menahannya.

Nora kembali membaca buku catatan Kieran ketika pria itu masih bekerja dengan piring-piring dan loyang kotor. Hampir tujuh puluh korban tercatat lengkap, identitas dan kronologi Alhok merasuki mereka ditulis dengan runtut oleh Kieran. Nora berhenti membaca ketika ia menemukan korban seorang anak kecil, usianya baru enam tahun ketika Alhok keluar dari tubuh anak itu dan membuatnya terbunuh. Kieran dan Daphne tidak bisa menyelamatkannya.

“Siapa Aiden?” Nora melihat nama itu di beberapa catatan Kieran, namun Nora tak menemukannya lagi setelah korban ke 52.

Kieran terbata menjawabnya. “Hanya seseorang.”

Nora mengubah arah pandangnya dengan cepat. Namun Kieran lebih cepat mengambil buku catatannya, membolak-balik beberapa halaman hingga ia menyerahkan buku itu kembali. Kieran duduk di depan Nora dengan kemejanya yang tergulung hingga siku.

“Ada apa dengan wanita ini?”

“Itu pertama dan terakhir kalinya aku dan Daphne menemui korban Alhok yang tak terbunuh atau menjadi Penyihir Gelap. Ward hidup dengan normal sampai sekarang. Mungkin ia sedikit mengalami trauma, tapi ia baik-baik saja. Aku ingin menemuinya.”

"Kapan?” Nora memandangnya tepat di mata, dan Kieran mencoba tetap tegar dengan menegakkan tubuh. Mungkin memang begitulah cara Nora memandang orang lain—seperti menuntut sesuatu dari lawan bicaranya, atau berniat untuk membuat lawan bicaranya kalah.

Kieran merubah posisi duduknya supaya lebih tegak, dan lebih dekat dengan gadis itu. "Secepatnya. Mungkin nanti sore, atau besok pagi. Aku masih harus menunggu Daphne mengantar alamatnya—"

"Aku ikut."

"Apa?"

"Kubilang aku ikut."

Tatapan Kieran kini menajam. "Tidak."

"Mengapa tidak?"

"Aku akan bepergian, Nora. Jauh. Menggunakan Moralki—kau tak akan suka. Dan lama. Dan mungkin berbahaya, aku tidak tahu. Dan kau juga masih butuh banyak tidur dan makan dan istirahat."

Nora makin bersikeras. "Hanya bepergian, kan? Kau pasti hanya akan menanyai wanita itu, mencari informasi seperti jurnalis mencari bahan untuk tulisan mereka. Hal berbahaya apa yang bisa terjadi."

Kieran menghela nafas. "Banyak, Nora."

Nora mengangkat sekilas dagunya. "Katakan."

"Kau pingsan."

"Aku sudah baik-baik saja."

"Kau muntah-muntah karena Moralki."

"Aku tidak mabuk perjalanan—tidak pernah seumur hidupku." Meskipun dalam hati Nora was-was, bentuk perjalanan apa dan bagaimana yang bisa menjadikan Moralki sebagai 'kendaraan'nya.

"Kau dimakan beruang."

"Hah?"

"Kau tiba-tiba diserang oleh Penyihir Gelap atau bandit-bandit."

"Kan ada dirimu."

Kieran membuka kedua tangannya dengan alis bergelombang, senyum kecil yang sedikit miring. "Benarkah? Apa yang bisa kulakukan untukmu, My Lady?"

Nora memutar matanya dengan malas. "Ayolah, aku juga bisa jaga diri. Aku punya pistol."

Kieran memijat pangkal hidungnya dan mendesah keras. "Serius, Nora?"

"Kumohon." Nora memejamkan mata dan menunduk hingga dahinya menyentuh meja. Buku catatan yang dipegangnya hampir jatuh dan Kieran menangkapnya. "Aku tidak bisa diam saja."

Kieran diam, memandangi jarak jemari Nora dan lengannya hanya berjarak selembar tisu. Jika ia menyenggol lengannya sedikit saja, apakah Nora akan lagsung menembaknya? Ia betul-betul tertarik untuk mengambil resiko.

Tapi Nora menarik tangannya dan mendongak. “Kita tidak bisa menunggu. Alhok bisa saja melakukan hal buruk pada Logan selama kita menunggu.”

Kieran kembali ke dunia nyata setelah sekian saat fokus dengan otak kompleksnya sendiri.

Situasi ternyata tidak semudah yang Kieran pikirkan. Ia tahu menunggu adalah keputusan berisiko. Daphne bukan satu-satunya syarat dia harus maju mengurus kasus ini, namun ia tak bisa melakukan banyak hal tanpa gadis itu.

Tapi apalah yang bisa Kieran lakukan? Rasa bersalah itu mengapung lagi ke permukaan dan membuat tenggorokannya terganjal. Ia tak bisa melakukan apapun selain mengangguk, menyetujui gadis itu. 

Kieran merasa ia tak bisa lagi meninggalkan Nora—tidak dalam kondisi apapun.

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Rekal Rara
7781      3073     0     
Romance
"Kita dipertemukan lewat kejadian saat kau jatuh dari motor, dan di pisahkan lewat kejadian itu juga?" -Rara Gleriska. "Kita di pertemukan oleh semesta, Tapi apakah pertemuan itu hanya untuk sementara?" -Rekal Dirmagja. ▪▪▪ Awalnya jatuh dari motor, ehh sekarang malah jatuh cinta. Itulah yang di alami oleh Rekal Dirmagja, seorang lelaki yang jatuh cinta kepada wanita bernama Rar...
Bee And Friends
1970      859     1     
Fantasy
Bee, seorang cewek pendiam, cupu, dan kuper. Di kehidupannya, ia kerap diejek oleh saudara-saudaranya. Walau kerap diejek, tetapi ia memiliki dunianya sendiri. Di dunianya, ia suka sekali menulis. Nyatanya, dikala ia sendiri, ia mempunyai seseorang yang dianggap sebagai "Teman Khayalan". Sesosok karakter ciptaannya yang ditulisnya. Teman Khayalannya itulah ia kerap curhat dan mereka kerap meneman...
DI ANTARA DOEA HATI
751      375     1     
Romance
Setelah peristiwa penembakan yang menewaskan Sang mantan kekasih, membuat Kanaya Larasati diliputi kecemasan. Bayang-bayang masa lalu terus menghantuinya. "Siapapun yang akan menjadi pasanganmu akan berakgir tragis," ucap seorang cenayang. Hal tersebut membuat sahabat kecilnya Reyhan, seorang perwira tinggi Angkatan Darat begitu mengkhawatirkannya. Dia berencana untuk menikahi gadis itu. Disaa...
The pythonissam
329      250     5     
Fantasy
Annie yang harus menerima fakta bahwa dirinya adalah seorang penyihir dan juga harus dengan terpaksa meninggalkan kehidupanannya sebagai seorang manusia.
I love you & I lost you
4139      1868     4     
Romance
Kehidupan Arina berubah 180 derajat bukan hanya karena bisnis ayahnya yang hancur, keluarganya pun ikut hancur. orang tuanya bercerai dan Arina hanya tinggal bersama adiknya di rumah, ayahnya yang harus dirawat karena mengalami depresi berat. Di tengah hancurnya keluarganya, Arina bertemu kembali dengan teman kecilnya, Arkan. Bertemunya kembali mereka membuka sebuah lembaran asmara, namun apa...
The Flower And The Bees
2451      1225     9     
Romance
Cerita ini hanya berkisah soal seorang gadis muda keturunan Wagner yang bersekolah di sekolah milik keluarganya. Lilian Wagner, seorang gadis yang beruntung dapat lahir dan tumbuh besar dilingkungan keluarga yang menduduki puncak hierarki perekonomian negara ini. Lika-liku kehidupannya mulai dari berteman, dipasangkan dengan putra tunggal keluarga Xavian hingga berujung jatuh cinta pada Chiv,...
The Maiden from Doomsday
9712      2058     600     
Fantasy
Hal yang seorang buruh kasar mendapati pesawat kertas yang terus mengikutinya. Setiap kali ia mengambil pesawat kertas itu isinya selalu sama. Sebuah tulisan entah dari siapa yang berisi kata-kata rindu padanya. Ia yakin itu hanya keisengan orang. Sampai ia menemukan tulisan tetangganya yang persis dengan yang ada di surat. Tetangganya, Milly, malah menyalahkan dirinya yang mengirimi surat cin...
L for Libra [ON GOING]
6258      1444     8     
Fantasy
Jika kamu diberi pilihan untuk mengetahui sebuah kenyataan atau tidak. Mana yang kamu pilih? Sayangnya hal ini tidak berlaku pada Claire. Dirinya menghadapi sebuah kenyataan yang mengubah hidupnya. Dan setelahnya, dia menyesal telah mendengar hal itu.
KSATRIA DAN PERI BIRU
118      101     0     
Fantasy
Aku masih berlari. Dan masih akan terus berlari untuk meninggalkan tempat ini. Tempat ini bukan duniaku. Mereka menyebutnya Whiteland. Aku berbeda dengan para siswa. Mereka tak mengenal lelah menghadapi rintangan, selalu patuh pada perintah alam semesta. Tapi tidak denganku. Lalu bagaimana bisa aku menghadapi Rick? Seorang ksatria tangguh yang tidak terkalahkan. Seorang pria yang tiba-tiba ...
Aria's Faraway Neverland
3012      930     4     
Fantasy
"Manusia adalah Tuhan bagi dunia mereka sendiri." Aria adalah gadis penyendiri berumur 7 tahun. Dia selalu percaya bahwa dia telah dikutuk dengan kutukan ketidakbahagiaan, karena dia merasa tidak bahagia sama sekali selama 7 tahun ini. Dia tinggal bersama kedua orangtua tirinya dan kakak kandungnya. Namun, dia hanya menyayangi kakak kandungnya saja. Aria selalu menjaga kakaknya karen...