“Aku tidak melihat Logan di manapun.” Patrice berbisik sewaktu tangan Nora sudah menyentuh kenop pintu. “Apa dia masih tidur?”
Nora sempat melupakan Logan. Ia bermalam di lantai satu bersama Patrice—tidak sekamar tentunya—karena ia tidak bisa langsung kembali ke Gresnin sore ini juga. Lantai sempat bergetar karena alasan yang tidak Nora ketahui, dan gebrakan besar di tembok perpustakaan seolah City Phantom melempar satu lukisan besar seharga belasan mobil St. Harold. Seingat Nora, Logan tidak mungkin masih bisa terlelap karena itu. Kecuali sesuatu dialaminya dan dia menjadi amat tidak peka terhadap suara.
“Apa di kamar Logan ada telegraf? Atau telepon rumah yang lebih baik?”
Nora mencoba mengigat-ingat, lalu ia mengangguk pelan. “Sejauh yang bisa kuingat.”
“Bagus. Maka lebih baik kita ke kamar Logan sekarang.”
Nora mengangguk. Langkahnya berat ketika ia melangkah keluar dari perpustakaan. Lorong di depan mereka berantakan—City Phantom-lah yang menyebabkannya. Pot-pot tanaman berguling jatuh, lukisan entah miring atau jatuh telungkup di lantai. Bahkan salah satu sisi tembok retak, nyaris terbelah.
“Bagaimana dia melakukan ini?” Nora menggeleng. Ia mempertanyakan hal yang sama dengan yang Patrice sampaikan.
Langkah Patrice terseok-seok mengikuti Nora yang senantiasa menahan pinggangnya. Suara gebrakan lain tiba-tiba muncul di belakang mereka, membuat Nora bergegas meringkuk di balik tiang. Patrice di sebelahnya mengumpat pelan. Sesuatu menghantam tiang itu beberapa kali. Beton yang menahannya mulai hancur dan berserakan di sekitar keduanya. Nora dan Patrice harus meringkuk dan menutupi wajah mereka demi melindungi diri dari serpihan-serpihan itu.
"Demi Tuhan--itu apa?!" Patrice mengumpat setelahnya.
“Tiang ini akan runtuh.” Nora berbisik, lalu mengeluarkan tangannya untuk menembak.
Ia lalu meringis pelan. Lengannya baru saja tersayat sesuatu. Cardigan hitamnya tak menunjukkan darah yang mulai mengucur, tapi Nora bisa merasakan panas dan perih yang membakar lengannya. Patrice sempat membalas serangan dengan beberapa muntahan peluru, mengenai bagian paruh topeng City Phantom. Ia bersorak kecil saat tubuh itu limbung. Patrice segera bangkit, mati-matian menahan perih yang luar biasa di perut bawahnya demi menarik Nora menuju belokan koridor yang membawa mereka kembali ke lorong kamar Nora.
“Ada tangga di ujung Lorong.” Nora berucap dengan susah payah. Ia baru selesai membalut luka di lengannya dengan sobekan gaun. Patrice terkesiap melihatnya, hendak mengutarakan sesuatu tapi Nora justru berseru memotong. “Abaikan aku. Ayo lari!”
Mereka berlarian di lorong, mencoba berlindung dari serangan lagi di balik guci. Keduanya lantas menembak, berusaha keras membidik jantung atau wajah si pembunuh. Separuh topeng itu telah retak, hampir menampakkan rahang bagian bawahnya. Satu peluru balasan dari Patrice mengenai pangkal hidung topeng itu dan membuatnya terbelah menjadi dua. City Phantom tumbang, dan tak bergerak lagi.
Nora bisa melihat tentakel-tentakel yang semula muncul dari punggungya mundur secara perlahan, masuk kembali ke tempat dimana ia muncul. Patrice memandang hal itu dengan jeri.
Ia bertatapan dengan Nora. "Benda apa itu?"
Nora menggeleng. “Aku tidak tahu. bagaimana kalau ia terbunuh, Pat?”
Patrice mengangkat bahu dengan pandagan tak percaya. "Dia baru saja mencoba untuk membunuh kita. Dan dia sudah melakukannya pada ayahmu."
Nora tmemilih untuk menghiraukan Patrice. Ia segera berlari mendekat, tapi langkahnya terhenti ketika pria di depannya bangkit dan berdiri dengan cara yang aneh. Ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya barang seinci ketika ia melihat surai pirang yang familiar. Patrice memucat di tempatnya. Nora mundur perlahan. Ia menolak mempercayai apa yang dilihatnya saat ini dan apa yang dikatakan Patrice kemudian.
“Kurasa Logan sudah bangun jauh lebih awal dari kita.”
Saat ini barangkali tengah malam, atau tengah malam lewat sedikit, antara pukul dua atau tiga. Logan bukan tipe manusia yang suka terbangun dini hari. Nora mengingat kebiasaannya saat kecil dan mencoba menghibur diri dengan hal itu. Tapi yang dilihatnya saat ini nyata—City Phantom yang topengnya telah terlepas sekian detik lalu adalah Logan. Orang yang membunuh ayahnya adalah Logan. Orang yang melakukan pembantaian di malam tahun baru adalah Logan. Orang yang membunuh ibunya juga adalah—
Bukan. Nora mencoba mengatur nafasnya. Orang itu bukan Logan. Logan masih sangat kecil, setinggi dirinya, dan City Phantom tetap memiliki tinggi dan postur tubuh yang sama meski lima tahun telah terlewat. City Phantom yang dulu bukanlah Logan.
Kepala Nora pusing bukan main. Tubuhnya hampir kehilangan keseimbangan, namun kakinya mampu mengumpulkan kekuatannya kembali. Ia perhatikan lamat-lamat binar hijau-kuning yang kini tak ada di matanya. Hanya kehampaan kelabu yang suram, tanpa cahaya, serupa kilat dingin tanpa makna. Nora yakin benar Logan yang ini bukanlah Logan. Ia kembali mengingat perkataan Patrice mengenai kemunculannya dan pengalamannya sendiri mengenai sosok ini. Tidak ada dari semua itu yang mampu diterima akal sehatnya. Mungkinkah hal demikian terjadi? Bagaimana ia bisa tidak menyadarinya?
Pertanyaannya semakin tidak terjawab ketika mata Logan yang tak menyiratkan apapun, membelalak. Ia mengerang keras, suaranya seakan membelah langit malam. Sedetik kemudian, tanpa bisa Nora prediksi sebelumnya, sulur kehitaman yang aneh menjalar cepat ke arahnya. Tentakel itu muncul kembali. Lebih besar, lebih panjang, lebih sepat. Ia mencoba menghindar, namun Patrice maju ke hadapannya terlebih dahulu. Suara pekikan terjadi serentak dengan jatuhnya tubuh gadis itu. Nora buru-buru menangkapnya.
“Patrice!”
Leher serta sebelah wajah Patrice menghitam, seolah tinta pekat dituangkan ke kulitnya dan menyebar cepat membentuk noda yang luas. Lengan atas kanannya juga menghitam, Nora menebak tinta itu bagaikan dijatuhkan ke jantungnya. Nadi gadis itu masih terasa di telunjuk dan jari tengah Nora. Itu adalah satu-satunya hal yang mampu ia syukuri saat ini.
Namun Nora berada di situasi sulit sekarang. Situasi sulit yang tidak ia pahami, situasi yang bisa membuatnya terbunuh, menyusul ayahnya. Situasi yang kini sedang membahayakan dua orang yang disayanginya. Otak Nora terasa tumpul. Tatapannya terpaku pada Logan yang mengamuk, di sekitarnya berdesir sulur-sulur bayangan yang tidak masuk akal, berpusing mengelilinginya seperti tangan-tangan gurita. Surainya berkibar, matanya bersinar jahat. Logan menatapnya, namun tidak seperti Logan menatapnya.
Nora mengumpat, memeluk tubuh Patrice, lalu mengumpat lagi. Matanya panas saat ia memikirkan berbagai kemungkinan terburuk yang bisa terjadi sekitar sepuluh hingga lima belas menit ke depan. Revolver ada di tangannya. Satu-satunya kesempatannya. Antara dia yang bunuh diri di sini atau ia akan membunuh Logan dengan tangannya sendiri. Pilihan pertama akan menjadi pilihan terbaiknya, tapi Patrice masih di sini—dia masih hidup. Dan entah apa yang terjadi jika ia membiarkan Logan hidup.
Air mata tanpa sadar meleleh dari kedua kelopaknya. Ia bangkit berdiri setelah perlahan meletakkan tubuh kaku Patrice di lantai. Nora berusaha berdiri dengan segenap kekuatan yang tersisa sembari mengacungkan revolver ke depan. Punggung tangannya bergetar, jari telunjuknya bergetar, pupil kelabunya juga bergetar. Logan di depan tidak melakukan apapun selain berdiri diam, perlahan meresapi gejolak sulur-sulur bayangan yang semakin membesar dan terus membesar, mengembangkan diri menjadi sesuatu yang begitu jahat dan gelap.
Nora menahan napasnya, menunggu tangannya siap untuk menarik pelatuk. Tapi ia tahu ia tak akan pernah siap. Nora menunggu sesuatu yang akan menyelamatkannya. Mengeluarkannya dari situasi dan pilihan sulit ini—dari pilihan akan siapa yang akan ia selamatkan, Logan, atau dirinya dan Patrice. Salah satu dari pilihan itu bahkan tidak ia tahu konsekuensi dan dampak setelahnya.
Ia memejamkan mata, sudah mempersiapkan jarinya. Moncongnya sudah tepat mengenai jantung Logan. Dan saat itulah, bantuan benar-benar datang.
“Moralki!” Nora mengerjap. Meski tak bisa menangkap apa yang dikatakan oleh seseorang, ia bisa mendengar ada seseorang berbicara.
Untuk kemudian sesuatu yang besar, bagai layang-layang raksasa yang terbawa angin, terbang di atas kepala Nora. Aroma bunga-bunga kering yang membusuk, akar pohon yang baru saja tercabut dari tanah, dan bau tanah setelah hujan, seolah berhembus dari belakangnya. Nora membeku melihat tirai raksasa berwarna kehitaman, berdesir membawa udara dingin, melayang memenuhi langit-langit lorong, lalu melingkupi Logan dengan sulur-sulurnya yang masih meliar.
Cahaya yang luar biasa menyilaukan—dan membawa kantuk yang teramat sangat—muncul dari pemandangan asing di depannya. Saat cahaya itu meredup dan perlahan mati, kesadaran Nora juga ikut menghilang.