Loading...
Logo TinLit
Read Story - Romance is the Hook
MENU
About Us  

Almira

Salah satu perkataan Abuela, nenekku yang membekas dalam ingatanku adalah saat aku berjalan bersama menyusuri komplek ruko di sepanjang jalan Plaza de Telmo, Buenos Aires. Abuela menggenggam tanganku mengitari area sekitar rumahnya dan ia memberitahu aku rahasia keturunan Garcia. 

Mija!” Abuela mulai menceritakan rahasianya. “Anakku, keturunan Garcia memiliki emosi seperti api yang terus membara di dalam diri kita. Kamu tahu kakekmu, Abuelo, menjulukiku apa? Little Fireworks. Karena meski pun postur badanku yang kecil ini tapi setiap kali aku marah api di dalam diriku meledak-ledak seperti kembang api.” 

Dengan mata berbinar polos anak umur sepuluh tahun, aku yang tidak mau kalah dengan Abuela langsung berlari ke arah Abuelo saat kami pulang dan memintanya untuk membuatkan julukan untukku juga. 

Permintaanku membuatnya tertawa menyebarkan aroma pedas peppermint dari permen kesukaannya. “Ah, ritual Keluarga Garcia! Rupanya Abuela sudah memberitahumu, ya.” 

Mi Amor, sayangku. Sepertinya kamu akan menjadi gunung berapi di masa depan,” ucapnya dengan suara parau dengan senyum favoritku yang membuat kerutan di sekitar alisnya. Di atas kursi goyangnya, ia membelai rambutku lalu melanjutkan, “Kamu selalu mengekang api dalam dirimu untuk bebas, sayang. Seperti gunung berapi yang diam-diam mengumpulkan lahar itu, lalu meletus saat kamu menemukan waktu yang tepat. Lihat saja saat kamu membalas kenakalan sepupumu, Agustin. Kamu membuatnya menangis setiap melihatmu seharian.”

Suara tawa Abuela terdengar dari dapur. “Seperti yang aku harapkan dari perempuan dengan darah keluarga Garcia.”

Seperti gunung berapi yang menunggu waktu erupsi, aku pun dengan sabar menanti waktu yang tepat untuk membalas perilaku menyebalkan Reynaldo. Sebelum itu aku harus memikirkan cara membuatnya menyesal sudah menantang amarah Almira Garcia Pradnyani. 

Satu lagi tambahan upaya balas dendam yang harus aku lakukan.

Rencana kekanakan berputar-putar dalam benakku tiga hari terakhir ini. Membuatkannya kopi super asin, menyandung kakinya saat masuk ke kantor, atau menyembunyikan barang-barangnya. Namun kupikir rencana itu bisa membuatnya berpikir kalau aku ingin mendapatkan perhatiannya. Ditambah lagi aku harus menjaga image di hadapan karyawan lain. Aku harus mencari cara lain yang juga berarti aku harus mengetahui kebiasaannya. 

And here’s the problem! Pria itu sudah tidak terlihat di mana pun setelah rapat di Hari Senin. Sempat terdengar dari Tim PR tentang tur dengan penulis yang ia sedang urus. Artinya ia sedang mengawasi press conference, book signing, dan acara temu buku yang dihadiri penulis. Jadi selama tiga hari ini juga, amarahku terlupakan sejenak dan aku menyibukkan diriku dengan beradaptasi dengan pekerjaan editor. 

“Oke, kalian bisa mulai rapat akuisisi hari ini. Agenda rapat adalah pitching naskah pilihan kalian. Dimulai dari Andin.”

Rapat akuisisi pertama dan suara Bu Eri sudah menggetarkan mental semua anak baru di Ruang Conan Doyle. Kulihat Andin berjalan seperti robot ke depan ruang rapat, bola matanya bergetar bahkan bibirnya sampai menggigil padahal suhu ruangan tidak terasa dingin. Ketegangannya saat menyampaikan salam pembuka seakan menular membuat jantungku ikut berdebar kencang dan begitu juga dengan enam orang lainnya yang duduk sebaris denganku. 

“Tidak usah banyak basa basi di awal. Langsung saja ke intinya.” Begitulah satu kalimat yang dilontarkan Bu Eri kepada Andin memberikan efek menyeluruh yang membuat semua anak baru duduk tegang dengan keringat dingin bercucuran.

Rasanya singkat namun membuat seluruh tubuh lemas. Andin seperti meleleh duduk di sampingku setelah selesai melewati ‘sepuluh menit percobaan neraka’, simpulnya, dengan pandangan horor ke arahku dan anak baru lainnya. 

Bibirku bergetar–atau seluruh badanku yang bergetar–saat namaku dipanggil selanjutnya. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum berdiri dan membuka file presentasiku. 

Warna merah dengan aksen emas terpampang jelas saat slide pertama kutampilkan. Bu Eri terlihat memajukan posisi duduknya dengan dua tangan tercakup di depan wajahnya. Ia terlihat menunjukkan rasa tertariknya membuatku mendapatkan kembali kepercayaan diriku. Aku memandang ke seluruh penjuru ruangan melemparkan senyum. It’s showtime!

“Saya melihat tren pergerakan wanita di bidang literasi. Observasi saya menunjukkan munculnya klub buku khusus membahas perempuan dan juga dari data tim sales mengenai pembelian buku terutama dengan topik membahas tentang hak perempuan menjadi pillihan konsumen terbanyak. Hal ini yang membuat saya memilih naskah “Perempuan Berambut Api” karangan Dewi Lilia.”

Jantungku berpacu kencang dan seakan tersengat listrik instingku langsung memutuskan untuk memilih naskah ini. Aku ingin para pembaca juga merasakan adrenalin yang berpacu mengikuti jalan cerita misteri thriller terbunuhnya seorang tuan tanah dengan latar Indonesia tempo dulu. Tidak hanya itu, menurutku pesan mengenai kesetaraan perempuan terutama dalam hubungan pernikahan memiliki banyak peminat dari data penjualan buku tahun ini. Tapi yang paling membuatku frustasi karena hanya bisa membaca dua bab awal cerita adalah enam istri tuan tanah yang menjadi pelaku utama kasus. Poin yang mengingatkanku dengan enam istri Henry VIII dalam sejarah Dinasti Tudor dan kuputuskan sebagai selling point naskah ini.

Jari Bu Eri mengetuk meja selama aku menyampaikan alasanku untuk memilih naskah karya Dewi Lilia ini. Aku mencoba untuk tidak menggubris dan menyelesaikan presentasiku dengan menekankan keunikan naskah dan juga peminat buku karya penulis ini yang sampai memiliki fanclub besar di media sosial. 

Beberapa masukan untuk naskah yang kupilih diberikan tim editor senior, seperti penekanan pada karakter utama agar tidak tertutup karakter istri lain, lalu untuk memastikan plot penyelesaian misteri tidak tertebak di awal dan ada juga yang menyarankan untuk membuat plot twist agar lebih menarik. Aku mencatat semuanya dalam notebook putihku untuk referensi saat berkoordinasi dengan penulis nantinya.

Di akhir presentasiku, aku melihat ragu wajah ketua tim Editor di depanku dan terlihat sembulan senyum simpul di wajahnya. Saat itu juga, aku baru bisa bernapas lega.

“Saya sangat terkesan dengan rapat akuisisi hari ini,” umum Bu Eri dari tempat duduknya di kursi tengah baris belakang. 

“Setelah ini, saya akan berunding dengan tim pemasaran dan sales untuk memutuskan naskah yang akan diterbitkan dua bulan lagi. Salah satu naskah kalian bisa jadi terpilih…” Saat itu aku merasa ia mengedarkan pandangannya ke arahku sebelum melanjutkan berbicara. “Dan kalian akan langsung bergabung dalam tim proyek penerbitan naskah itu, tentunya dengan mentor kalian juga. Sisanya akan menunggu waktu penerbitan diputuskan. Jadi selama itu, kalian bisa fokus untuk penyortiran naskah lagi dan mengikuti arahan mentor kalian untuk tugas selanjutnya.”

Kami mengangguk mengerti. 

“Oke, that’s all! Kalian sudah bekerja keras beradaptasi di minggu pertama. Sebagai apresiasi, saya sudah menyiapkan kue dan minuman dingin untuk kalian di meja saya. Saya harap semangat kalian terjaga seterusnya.”

Atmosfer kaku dalam ruangan seakan menguap hilang entah kemana bergantikan dengan binar bahagia mata kami. Termasuk aku yang sudah menggerakkan kakiku naik turun. Tidak sabar untuk melihat kue pemberian Bu Eri. I hope there’s a cinnamon rolls!

Andin yang tadinya masih terduduk lesu langsung menegakkan posisi duduknya sesaat setelah mendengar kata kue. Seperti menyadari semangatku untuk melesat ke meja Bu Eri, ia langsung menggenggam tanganku. “Mi, kita langsung berdiri setelah Bu Eri keluar ruangan, ya!”

Aku mengangguk semangat. Luna dan Nisa melihat kami berdua dengan tatapan heran namun tidak aku gubris. Di depan kue, apalagi pastry bulat kesukaanku itu, tidak ada yang bisa menghentikanku. 

Segera setelah rapat ditutup, kami berlari beriringan menuju meja Bu Eri dengan jajaran kotak coklat yang sudah terbuka. Bu Eri menyilahkan kami untuk mengambil salah satu isi kotak itu yang langsung saja kami ikuti. 

Aku segera mengambil cinnamon rolls dengan tisu yang sudah disediakan Bu Eri, sementara Andin memilih almond croissant. Langsung saja kami menggigit kue di tangan kami dan menutup mata untuk menikmati perpaduan gurih, lembut dan manis di dalam mulut. 

“Kalau di depan makanan saja ya kalian bisa bergerak cepat.” Luna menggelengkan kepala lalu duduk bersandar di mejaku. Croissant tanpa topping sudah ia kunyah dalam mulutnya pelan. Nisa dan pie apel pilihannya mendekat ke samping Luna sambil berdecak heran melihat kelakukan kami berdua.

“Ini bukan hanya makanan, Lun! This is a dessert, a piece of heaven!” sahut Andin bersemangat.

“Lo Gila.”

Ding-dong! Lo benar. I am crazy… of dessert and food!” 

Aku tertawa kecil menonton adu mulut Luna dan Andin. Nisa menghempaskan badannya di kursi sampingku. “Kekanakan banget lo semua.”

Andin menjulurkan lidahnya ke arah Nisa. “Gue kan emang paling muda di sini. Emang lo anak 90-an.” 

Aku memutar kursiku menghadap Nisa. “Kamu lahir tahun 90-an juga?”

“Juga? Lo juga, Mi?”

“Eh…” Aku terdiam kikuk melihat reaksi berlebihan Andin. “Memangnya kalian belum tahu umurku?”

Mereka semua menggeleng. 

“Aku lahir tahun 98. Just turned 25 last month.”

“Hah!” Luna terperanjat turun dari mejaku. Andin menganga di sampingnya dan Nisa mengerjapkan mata kaget. Memangnya informasi tadi mengejutkan?

“G…gue, gue kira umur lo nggak beda jauh dari kita.”

Aku memiringkan kepala mendengar Luna, “Bukannya cuma beda dua tahun?”

“Tetap saja. Nisa lahirnya akhir tahun 99, jadi ya bisa dibilang kita bertiga seumuran karena satu angkatan juga. Tapi  lo, eh gue sekarang harus manggil lo ‘Kakak’ atau ‘Mbak’?”

Aku tertawa mendengar pertanyaan Luna. “No need! Santai aja.”

Seakan tersadar dari kagetnya, Andin memekik. “Lo seumuran mentor gue!”  

Sang mentor yang sedang dibicarakan langsung memutar kepalanya menatap Andin. Otomatis kami berempat tersenyum kaku ke arah pria berkacamata bulat itu dan segera memelankan suara.

“Volume suara lo nggak kira-kira, Ndin!”

“Gue kaget, Lun!” protes Andin lalu segera mengalihkan wajahnya ke arahku. Matanya berbinar penuh pertanyaan. “By the way, kak …”

“Panggil nama saja.”

“Eh…Oh, ok. Lo dari beberapa hari lalu suka banget buat gue kaget, deh.” Andin merengut kesal. “Apalagi yang lo sembunyiin dari kita. Jangan bilang lo menyembunyikan pacar bule dari Argentina?”

“Aku belum punya pacar. Malah belum pernah tertarik untuk mencari selama ini.” Berganti aku yang harus menggaruk kepala canggung mendengar pertanyaan Andin. 

Belum pernah terpikir dalam benakku untuk menjalin hubungan romantis dengan seseorang. Memang banyak pria yang kukenal selama berkuliah di Melbourne atau bahkan kenalan sepupuku di Buenos Aires sana dengan level ketampanan di atas rata-rata. Tapi aku masih belum tertarik untuk mendekati mereka atas dasar cinta. 

Dalam hidupku, sejak aku sudah bisa menentukan keputusan sendiri, yang menjadi prioritas untukku hanyalah pembuktian diri. Semua untuk membungkam cemooh keluarga Prandnyani–alias keluarga Mama–dengan membuktikan kesuksesanku di dunia literasi yang mereka remehkan. Dua tahun perjuanganku tidak akan berhenti sia-sia hanya karena kehilangan fokus karena memikirkan hal remeh seperti romansa cinta.

Andin sepertinya menyadari perubahan raut wajahku menjadi kaku saat menjawab pertanyaannya. “Have you ever fall in love?”

No.” Ujung bibirku terangkat singkat. 

But, would you like to fall in love someday?

Aku terdiam lama. Apakah aku membutuhkan cinta dari orang lain selain keluargaku? Apakah dengan cinta aku bisa membuktikan diriku di depan mata mereka yang meremehkanku? 

Aku bahkan tidak mengetahui tanda-tanda jatuh cinta, pun cara berpacaran. Tapi yang kulihat dari teman-temanku, jatuh cinta adalah kesenangan yang  akan berakhir dengan obsesi berlebihan pada pasangan atau banjir air mata. 

Ada saatnya aku memimpikan hubungan seperti Papa dan Mama. Papa yang penuh ambisi menyelesaikan lukisannya, namun tetap memberikan dukungannya selama Mama memasak pesanan katering. Lalu Mama yang menyediakan camilan Papa selama menyelesaikan lukisan untuk pameran. Hubungan cinta yang saling mendukung, tapi itu pun harus melewati pengorbanan besar dari masing-masing pihak. I don't need it now.

Aku mengedarkan pandangan pada tiga teman baruku yang menunggu jawabanku.

Maybe.” Aku tersenyum kecil lalu kembali menggigit cinnamon rolls di tanganku.

Benar. Ini bukan saatnya untuk jatuh cinta. Selama masih ada karir yang harus aku bangun dan rencana balas dendam yang menunggu untuk aku lakukan. 

Karena seorang Garcia tidak akan melupakan penghinaan sekecil apa pun. Kami akan membalasnya seribu kali lebih buruk. Kalau aku mengutip perkataan Abuela 15 tahun lalu, “That’s a Garcia rage.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Alpha
1817      824     0     
Romance
Winda hanya anak baru kelas dua belas biasa yang tidak menarik perhatian. Satu-satunya alasan mengapa semua orang bisa mengenalinya karena Reza--teman masa kecil dan juga tetangganya yang ternyata jadi cowok populer di sekolah. Meski begitu, Winda tidak pernah ambil pusing dengan status Reza di sekolah. Tapi pada akhirnya masalah demi masalah menghampiri Winda. Ia tidak menyangka harus terjebak d...
Highschool Romance
2336      1052     8     
Romance
“Bagaikan ISO kamera, hari-hariku yang terasa biasa sekarang mulai dipenuhi cahaya sejak aku menaruh hati padamu.”
Daybreak
3788      1657     1     
Romance
Najwa adalah gadis yang menyukai game, khususnya game MOBA 5vs5 yang sedang ramai dimainkan oleh remaja pada umumnya. Melalui game itu, Najwa menemukan kehidupannya, suka dan duka. Dan Najwa mengetahui sebuah kebenaran bahwa selalu ada kebohongan di balik kalimat "Tidak apa-apa" - 2023 VenatorNox
Violet, Gadis yang Ingin Mati
5236      1642     1     
Romance
Violet cuma remaja biasa yang ingin menikmati hidupnya dengan normal. Namun, dunianya mulai runtuh saat orang tuanya bercerai dan orang-orang di sekolah mulai menindasnya. Violet merasa sendirian dan kesepian. Rasanya, dia ingin mati saja.
DAMAGE
3242      1155     2     
Fan Fiction
Kisah mereka berawal dari rasa penasaran Selgi akan tatapan sendu Sean. Ketidakpuasan takdir terhadap pertemuan singkat itu membuat keduanya terlibat dalam rangkaian cerita selanjutnya. Segalanya pun berjalan secara natural seiring kedekatan yang kian erat. Sean, sang aktor terkenal berperan sangat baik untuk bisa menunjukkan kehidupannya yang tanpa celah. Namun, siapa sangka, di balik ...
FIREWORKS
459      324     1     
Fan Fiction
Semua orang pasti memiliki kisah sedih dan bahagia tersendiri yang membentuk sejarah kehidupan setiap orang. Sama halnya seperti Suhyon. Suhyon adalah seorang remaja berusia 12 tahun yang terlahir dari keluarga yang kurang bahagia. Orang tuanya selalu saja bertengkar. Mamanya hanya menyayangi kedua adiknya semata-mata karena Suhyon merupakan anak adopsi. Berbeda dengan papanya, ...
Heliofili
2208      1038     2     
Romance
Hidup yang sedang kami jalani ini hanyalah kumpulan berkas yang pernah kami tandatangani di kehidupan sebelumnya— dari Sastra Purnama
Percayalah , rencana Allah itu selalu indah !
140      101     2     
True Story
Hay dear, kali ini aku akan sedikit cerita tentang indahnya proses berhijrah yang aku alami. Awal mula aku memutuskan untuk berhijrah adalah karena orang tua aku yang sangat berambisi memasukkan aku ke sebuah pondok pesantren. Sangat berat hati pasti nya, tapi karena aku adalah anak yang selalu menuruti kemauan orang tua aku selama itu dalam kebaikan yaa, akhirnya dengan sedikit berat hati aku me...
Acropolis Athens
4792      1877     5     
Romance
Adelar Devano Harchie Kepribadian berubah setelah Ia mengetahui alasan mendiang Ibunya meninggal. Menjadi Prefeksionis untuk mengendalikan traumanya. Disisi lain, Aram Mahasiswi pindahan dari Melbourne yang lamban laun terkoneksi dengan Adelar. Banyak alasan untuk tidak bersama Aram, namun Adelar terus mencoba hingga keduanya dihadapkan dengan kenyataan yang ada.
1'
3696      1269     5     
Romance
Apa yang kamu tahu tentang jatuh cinta? Setiap kali ada kesempatan, kau akan diam-diam melihatnya. Tertawa cekikikan melihat tingkah konyolnya. Atau bahkan, kau diam-diam mempersiapkan kata-kata indah untuk diungkapkan. Walau, aku yakin kalian pasti malu untuk mengakui. Iya, itu jarak yang dekat. Bisa kau bayangkan, jarak jauh berpuluh-puluh mil dan kau hanya satu kali bertemu. Satu kese...