Almira
Halaman pertama cerita hidupku hari ini diawali dengan kesialan beruntun.
Suara lengkingan kucing diikuti suara jatuh menggema di pinggiran jalan Kota Jakarta yang sibuk. Pejalan kaki yang kelihatannya sedang buru-buru untuk masuk ke kantor otomatis mengalihkan pandangan mereka ke arah asal suara itu. Pandangan kasihan dan gelengan kepala mereka terlihat lalu lalang di hadapanku yang sudah tersungkur mencium lantai etalase cafe bermandikan ice coffee latte yang belum lima menit aku beli.
“Sial! Padahal aku mau merayakan hari pertamaku dengan kopi buatan cafe. Harusnya uang jajan minggu ini aku gunakan untuk beli bahan makanan saja!”
Menggerutu pelan, aku buru-buru bangun sambil menahan malu. Kesialan kedua pada hari Senin yang cerah ini adalah tidak menyadari kucing yang menjagal jalan keluarku tadi ternyata masih berada di bawah kakiku. Sehingga saat aku mencoba berdiri kucing itu terkejut dan melesat lari melalui sela-sela kakiku seperti gumpalan hitam rambut tertiup angin, membuatku lagi-lagi harus merasakan ciuman dengan lantai.
Apakah orang kota selalu bersikap dingin dan acuh?
Sebenarnya aku sudah mengekspektasikan dinginnya orang kota metropolitan seperti Jakarta ini, seratus delapan puluh derajat berbeda dari tetangga di kota asalku yang terlewat ramah. Harusnya aku maklum, tapi beda rasanya kalau sudah mengalami langsung.
Setelah dua kali aku jatuh dengan teriakan aduh yang cukup keras tetapi tidak ada yang inisiatif menolongku. Apalagi saat aku berusaha berdiri lagi, seorang pengunjung kafe yang baru saja hendak keluar kafe menghela napas lalu memutari badanku yang tersungkur di depan pintu lalu berjalan cepat menjauh dariku.
¡Ay, Dios Mio! My God! I'm going to hate seeing red sneakers today!
Aku mengutuk pria pemilik sepatu merah yang semakin menjauh dari pandanganku. Mungkin dia sedang terburu-buru hari ini, tapi setidaknya dia bisa membantuku sebentar atau mengucapkan kata penyemangat, kan? Bukannya menghela napas seakan aku sudah menghancurkan rutinitas paginya.
Memang saat sedang dirundung kesusahan, melampiaskan kekesalan ke orang lain bisa membuat keadaan lebih baik untukmu. Bukannya aku ingin memelihara kebiasaan buruk ini dan menyakiti orang tak bersalah, tapi apalah dayaku yang tumbuh dalam lingkungan yang seperti itu. Setelah puas mengutuk pemilik sepatu merah tadi, aku mencoba berdiri lagi. Meringis melihat bekas merah di kedua tanganku dan yang kubayangkan juga ada di dahiku.
Perasaanku sudah sedikit membaik saat kakiku sudah berdiri dengan benar. Segera kurapikan blus abu dan menepuk celana khaki hitamku, bersyukur karena aku memilih warna gelap hari ini sehingga bisa menyamarkan bekas tumpahan kopi yang merembes di ujung celanaku. Setelah mengutuk semesta sekali lagi karena telah membuat asupan kopi pagiku menggenang di lantai tanpa sempat aku cicipi, langkahku akhirnya mengarah ke kumpulan gedung pencakar langit. Dengan lanyard kosong yang melambai di dadaku, menunggu nama Almira G. Pradnyani terpampang di kartu pegawai kantor baruku.
Mataku bergerak naik turun dari ponsel lalu ke depan lagi, memastikan aku sudah berada di jalan yang sesuai dengan Google Maps. Baru berhenti saat peta di ponselku menampilkan notifikasi perjalanan selesai di depan gedung abu dengan papan nama bertuliskan Gautama Group.
I’m arrived, baby! Ingin aku berteriak sekuat tenaga, untungnya aku masih ingat diri. Dengan langkah riang aku masuk ke dalam gedung yang akan mengantarkan aku mencapai mimpiku. Rasanya jantungku hampir meledak karena terlalu bersemangat untuk akhirnya membuktikan pada orang-orang yang meremehkan perjuanganku untuk melamar posisi editor Gautama Books.
Gautama Books adalah salah satu lini bisnis Gautama Group yang tentunya bergerak di bidang penerbitan buku plus penjualannya lewat toko buku Gautama dengan banyak cabangnya di seluruh Indonesia. Popularitas perusahaan yang tinggi di mata para pencari kerja membuatku harus merasakan kegagalan bertubi-tubi sejak kelulusanku dua tahun lalu. Yah, dari kabar burung yang kudapat di beberapa platform pencari kerja, Gautama Books dan Gautama Group secara keseluruhan katanya menawarkan jenjang karir yang jelas dan cepat. Ditambah lagi gajinya yang menurutku ada di atas rata-rata gaji editor di perusahaan lain.
Aku ingat lamaran yang langsung aku kirim setelah melihat komentar dari karyawan dan mantan karyawan tentang pengalaman mereka bekerja di Gautama Books. Dalam benakku, dengan bekerja di perusahaan ini aku tidak hanya dapat memenuhi mimpiku untuk bekerja dekat dengan buku tapi juga dapat dengan cepat membuktikan kesuksesan karirku di depan keluarga besarku. Setelah mencoba mendaftar ke berbagai posisi, mulai dari pemasaran, desain grafis, dan editor, akhirnya aku bisa lolos di lamaran ke sepuluh. Tepat di hari perayaan kelulusan kuliahku di Bulan Agustus.
And the best part is, aku diterima di posisi editor yang akan banyak berurusan dengan naskah baru. It’s worth the wait!
Langkahku berhenti di meja resepsionis marble hitam layaknya hotel bintang lima yang pernah aku lihat di internet. Terlihat sosok wanita dengan dandanan rambut rapi tersanggul mengenakan blus putih lengkap dengan celana kain senada. Ia tersenyum ramah berdiri dengan kedua tangannya tergenggam di depan tubuhnya.
“Selamat Pagi. Ada yang bisa saya bantu?”
“Eh…” Akhirnya bisa aku rasakan keramahan di tempat ini. Aku berdeham lalu membalas senyumannya. “Pagi, Mbak. Saya Almira, karyawan baru di Gautama Books.”
Wanita itu masih tersenyum seakan memintaku untuk melanjutkan kalimatku.
“Apa ada kartu akses yang bisa saya gunakan untuk tap in di gate masuk atau saya bisa langsung masuk saja?”
Mendengar pertanyaanku, wanita itu mengangguk lalu menjelaskan cara naik ke lantai 27 dengan kartu aksesku, jadwal hari onboarding untuk karyawan baru, memintaku untuk menitip KTP sementara selama masih belum mendapatkan kartu pegawai, dan memberikan senyuman terbaiknya lagi setelah selesai.
Well, that was helpful, gumamku langsung mempraktikkan arahan dari resepsionis tadi dan menunggu sampai lift terbuka di lantai kantorku dengan jantung yang masih berdebar kegirangan.
Aku sudah tidak sabar lagi bisa membaca semua naskah penulis dari seluruh penjuru negeri ini. Kira-kira cerita genre apa dan alur seperti apa yang akan menungguku di proyek pertamaku ya? Ah, mungkin aku harus buat daftar buku yang bisa aku baca di perpustakaan kantor saat istirahat nanti? Apa aku akhirnya akan menemukan teman dengan passion membaca juga?
Perasaan gugup dan girang bercampur saat aroma kertas buku yang baru dicetak menyambutku setelah keluar dari lift. Riuh suara sekumpulan orang bercengkrama terdengar dari sisi kanan membuatku menolehkan kepala dan menemukan aula besar dikelilingi dengan jendela yang menampilkan pemandangan keramaian jalan Kota Jakarta dari atas.
Mendengar sepenggal obrolan perkenalan diri mereka, kelihatannya di tempat inilah aku harus berkumpul untuk onboarding hari ini. Terlihat juga barisan meja putih kecil dengan tumpukan kotak. Sepertinya ada onboarding kit buat anak baru. Asumsi yang meyakinkanku untuk bergerak mendekati mereka dengan memasang senyum paling lebar hingga tulang pipiku terangkat.
“Hai!” sapaku dalam satu tarikan napas kepada seorang wanita yang sedang bersender di tembok. Karyawan lain yang ada di sana sudah asyik mengobrol dalam grup kecil dan hanya wanita berbalut gaun hitam selutut dan blazer merah ini yang masih seorang diri.
Mata wanita itu memicing melihatku naik turun. Otomatis aku melihat ulang penampilanku, memastikan apakah ada noda kopi yang ternyata luput dari mataku tadi.
Belum selesai aku berpikir keanehan pada penampilanku, ia mengagetkanku dengan suara serak dan perkenalan dirinya yang singkat. “Luna.”
Aku memiringkan kepala, dia barusan memperkenalkan diri?
Ia mengerjapkan mata lalu mengangkat dagunya ke arahku, “Lo?”
“Eh… Oh! Almira. Panggil saja Ami. Salam kenal ya!”
Ia memandangku lama dan mengangguk pelan. Aku menyenderkan badanku seperti Luna di tembok sembari memilin ujung kepangan rambutku. Menahan kecanggungan awal perkenalan.
“Lo anak baru?”
Suaranya kembali membuatku terkejut, seperti sedang mendengar penyanyi rock berbicara setelah ia menyanyi sepuluh lagu berturut-turut.
“Iya, aku di tim editor. Kamu?”
Lagi-lagi ia melakukan hal yang sama. Memandangku lalu mengangguk.
Ada apa dengan komunikasi singkat terputus-putus ini? Tren di Jakarta, kah? Aku hanya bisa menggaruk-garuk kepala dan mencoba mencari aktivitas lain. Aku berjinjit melongok ke arah dalam kantor untuk melihat situasi di dalamnya.
Desain open space membuatku dapat melihat dengan jelas isi kantor ini. Terlihat jajaran meja putih dengan empat kursi di tiap barisnya dan warna warni perintilan menghiasi meja. Beberapa ruangan kaca juga terlihat di ujung kantor menampilkan sejumlah karyawan yang terlihat masih dalam alam mimpi, meringkuk di atas meja kayu coklat berbentuk oval dengan tangan terlipat sebagai bantal. Mataku menyapu pojok kantor dan berteriak riang dalam hati ketika melihat rak melintang dengan jajaran buku-buku teratur rapi.
“Lun, kira-kira onboarding mulai berapa lama lagi?” tanyaku setelah menurunkan sol sepatu hak tinggi hitamku kembali ke lantai kayu.
Ia memandangku lagi dengan tatapan heran lalu berusaha menjawab setelah melihat arloji di tangannya. “Sudah jam delapan, sih. Harusnya sebentar lagi dimulai.”
“Kalau yang berkumpul di sana karyawan baru juga, ya?”
“Em… Iya. Gue sama dua perempuan di sana juga satu tim sama lo. Itu yang serius main handphone namanya Nisa. Lalu yang sedang berbicara dengan karyawan lain di sebelah Nisa itu Andin. Keduanya teman kuliah gue. Sisanya belum tahu.”
Aku mengangguk sambil melihat ke arah yang ditunjuk Luna. Terlihat dua orang wanita sedang duduk bersandar di atas beanie bags. Wanita yang bernama Nisa sepertinya pemalu karena ia berfokus pada layar ponselnya dan membiarkan rambut hitamnya yang panjang menutupi hampir seluruh bagian depan wajahnya daripada ikut berbicara dengan orang yang di sekeliling Andin. Sementara Andin di sampingnya sibuk berbicara dengan karyawan lain. Kurasa Andin senang berpenampilan mencolok karena sekarang ia mengenakan celana kain dan blazer pink yang membuatnya seperti sedang cosplay Elle Woods di Legally Blonde minus rambut pirang. Tapi wajahnya memang hampir mirip Reese Witherspon saat memerankan tokoh ikonik itu.
Belum sempat aku membuka mulut untuk basa-basi, sudah terdengar suara lantang dari wanita yang sudah berdiri di belakan meja dengan tumpukan kotak. Aku segera menegakkan punggung dari senderan di tembok dan mengajak Luna untuk mendekat ke arah sumber suara.
Karyawan baru lainnya termasuk Nina dan Andin juga sudah berdiri mengelilingi wanita bertubuh kecil berkebalikan dengan besar suaranya tadi.
Wanita itu berdeham lalu tersenyum lebar hingga kedua matanya seperti dua bulan sabit. “Welcome to Gautama Books, guys! We’re so excited to have you here! Saya Ailin, Manajer HRD Gautama Books. Bisa kalian panggil pakai Cici, Kakak, atau Mbak. Asal jangan Ibu aja ya.”
Seketika situasi gugup karyawan baru di sekitarku berubah menjadi riang melihat perlakuan akrab dari Ci Ailin.
“Alright, hari ini kita ada jadwal pengenalan kantor dan setiap tim yang akan bekerja sama untuk menerbitkan buku-buku dari penulis tercinta kalian. Gimana, sudah siap?”
Serentak kami semua menjawab Ci Ailin, “Siap!”
“Excellent! Saya suka semangat kalian pagi ini,” ia menepuk tangannya senang. “Oh ya, sebelum kita mulai tur pengenalan kantor, kalian buat antrian tiga baris di depan saya untuk absen dan pembagian onboarding kit, ya!”
Menuruti arahannya, kami pun buru-buru membentuk barisan dan aku berada di barisan kedua di belakang Luna dan lima orang lainnya. Angin dari air conditioner tepat di depan kami menghembuskan tidak hanya udara dingin tapi aroma manis gula yang sangat akrab di hidungku. Penasaran, aku pun melongok ke samping dan melihat kotak paling atas yang sudah terbuka menampilkan deretan kue berbentuk bulat dengan olesan gula putih di atasnya. Lagi-lagi aroma kayu manis dari bulatan kue surga itu menari-nari masuk ke hidungku dan seakan mengirimkan dopamin yang membuatku tersenyum.
Bless my soul, it’s a cinnamon roll!
Menahan rasa bahagiaku yang hampir saja membuatku lompat kegirangan, langkahku terus maju satu persatu menunggu karyawan lain di depanku untuk scan barcode absen dan mengambil satu kotak kecil berwarna biru tua senada dengan logo Gautama Books serta mengambil piring lalu mengisinya dengan cinnamon rolls dan pilihan kue lainnya. Saat tiba giliran Luna, kedua tanganku sudah berdekap di depan wajahku untuk menahan perasaan bahagia ini.
“Hai! Silahkan scan barcode absen dulu, lalu bisa pilih snack untuk dibawa saat tur kantor, ya!”
Luna mengangguk dan dengan cepat melakukan arahan tadi. Ia segera mengambil croissant yang memang terlihat menggoda, tetapi mataku tetap tertuju pada kue favoritku itu.
Dengan tangan gemetar tidak sabar, aku mengeluarkan ponsel dari dalam totebag polos hitam yang tersampir di pundakku dan segera memindai barcode yang tertempel di atas meja putih sambil sesekali melirik ke arah target.
Laman form absen masih berputar saat bayangan besar menutupi layar ponselku. Saat aku melirik ke sosok di hadapanku, aku harus mendongakkan kepalaku lebih jauh karena tinggi sosok ini. Tanpa sadar aku beradu tatap dengan matanya, mata hitam yang dingin tersembunyi di balik lensa kacamata kotak dengan bingkai hitam. Warna kelam tanpa emosi positif yang terpancar dari kedua matanya. Namun entah mengapa terlihat menawan hingga membuatku tidak bisa mengalihkan pandangan.
“Ehem…” Seakan tersadar dari tawanan matanya, pandanganku mulai melihat wajah pria itu secara keseluruhan. Tulang rahangnya terlihat jelas dan dahinya yang lebar tertutup dengan rambut hitam. Setiap sudut tajam dari wajahnya memancarkan kekakuan seperti pahatan patung. Lalu fokusku beralih ke alisnya yang terangkat memandangku heran. Satu hal yang muncul di benakku saat ini adalah, “Wah, ganteng-ganteng galak nih cowok.”
Matanya memicing ke arahku sebelum memanggil karyawan wanita yang sedang duduk di depanku dengan ketus.
“Felice, gue mau ambil konsumsi buat rapat tim.”
“Oh, ambil dari konsum anak baru, Rey?”
Ia mengangguk menunjuk ke arah dua tumpuk kotak kue di depanku. Lantas karyawan yang dipanggil Felice itu mengemasi kotak yang ditunjuk pria itu. Pikiranku yang masih berproses setelah mendapat serangan visual apalagi ditambah suara rendah pria galak ini yang benar-benar sesuai dengan tipe idealku.
Bersamaan dengan berpindahnya dua kotak tadi ke tangannya, akhirnya aku tersadar juga.
My cinnamon rolls!
“Ehm… Kak, apa masih ada cinnamon rolls yang tersisa?” tanyaku ragu membuat Felice dan pria galak itu bersamaan memandangku.
Tunggu kenapa wajah pria ini sekarang seperti sedang menahan tawa. Dia sedang meledekku, ya?
Tawa canggung keluar dari mulut wanita di depanku. Well, not a good sign, pikirku.
“Sorry. Kita cuma pesan dua kotak dan kebetulan tim PR, anggota tim Reynaldo, penggemar cinnamon rolls. Jadi… yah, kamu bisa pilih opsi kue lain, ya. We still have croissant and brownies.”
Apa kubilang! Aku terdiam membeku beberapa detik sebelum membalas kaku senyumnya. “Oh, that’s okay. Saya ambil croissant saja. Thank you.”
“Pft…”
Langkahku tertahan saat mendengar suara tawa tertahan dari arah sosok di hadapanku. Kepalaku sontak terangkat. Di hadapanku aku melihatnya tersenyum penuh kemenangan lalu langsung berbalik pergi. Setengah bagian diriku yang diturunkan dari keluarga Papa berdesir dan memanas. Emosiku semakin membara ketika melihat warna merah pada sneakers yang ia kenakan. Reynaldo, is it? Fine, aku harap dia bersiap menghadapi amarah menggila keturunan Garcia yang membara ini.
Aku mendengus berjalan ke barisan Luna dan karyawan lainnya. Belum juga hari pertamaku resmi dimulai dan aku sudah merasakan kegilaan yang menunggu di tempat kerja baruku ini.
Still monday and it’s already full of misery! Sungguh permulaan yang sangat menyebalkan.