Tubuh semua orang yang ada disana langsung melemas. Air mata pun langsung keluar diiringi dengan isakan.
Begitu juga dengan Rehan yang baru saja datang, dan mendengar itu semua. Rasanya Ia tak sanggup berdiri lagi. Padahal, baru beberapa jam yang lalu Ia mengobrol dengan lelaki itu. Dan sekarang, lelaki itu sudah tidak ada di dunia.
"DOK! DOKTER BOHONG, KAN? EKAL MASIH HIDUP, DIA NGGAK MUNGKIN MENINGGAL. EKAL TUH ORANGNYA KUAT!!" histeris Rara.
Rara benar-benar merasa terpukul dengan peristiwa ini. Ia baru saja membuka hatinya untuk Rekal, namun semuanya ternyata sudah terlambat.
Rara menangis sejadi-jadinya di pelukan bundanya. Reva, Jesica, dan Derlina berusaha untuk menenangkan Rara.
Angga dan Nando berusaha untuk tetap tegar dan tidak menangis di depan yang lain.
"Dok, anda nggak bercanda, kan?" tanya papah Rekal memastikan.
"Saya benar-benar tidak bercanda, pak. Rekal mengalami pendarahan, namun tidak terlalu parah. Yang parah adalah penyakit kanker otak yang di deritanya sehingga membuat dirinya tidak bisa lagi di selamatkan," jelas dokter tersebut.
Semua orang langsung terdiam saat mendengar "Kanker otak," kecuali Reva dan Rehan.
"Maksudnya apa ya, dok? Anak saya sehat, kok." Papah Rekal dengan pedenya berbicara seperti itu.
Reva pun langsung menyela.
"SEHAT? KATA SIAPA ABANG SEHAT?" teriak Reva sembari mengeluarkan air mata.
Reva melangkah sedikit lebih maju, "Kata siapa abang sehat, pah? Abang itu sakit, tapi abang nggak mau kasih tau siapa-siapa kalau abang sakit. Abang selalu berusaha baik-baik aja di depan semua orang." Reva terus menitikkan air mata.
"Bahkan ternyata penyakit kanker nya itu udah lama, pah. Cuman abang baru sadar pas penyakitnya udah parah, pah. Dan aku pun baru tau penyakit bang Rekal kemarin." Reva kembali melangkah dengan berani.
"Papah tahu penyebabnya karena apa?" Reva menggantung kata-katanya.
Reva langsung menunjuk papahnya dengan jari telunjuknya. Persetan dengan kata tak sopan, Ia benar-benar membenci papah tirinya sekarang.
"ITU SEMUA KARENA PAPAH!! KALAU PAPAH NGGAK PUKUL BANG REKAL TERUS-TERUSAN DI KEPALA, MUNGKIN BANG REKAL NGGAK AKAN KENA KANKER, PAH," teriak Reva yang sangat menggebu-gebu.
Papah Rekal kembali terdiam, Ia berusaha mencerna kata-kata Reva. Bahkan Ia tak tahu keadaan anak kandungnya sendiri? Ayah macam apa dia?
"Jadi anda penyebabnya?" tanya Rehan yang langsung menyela. Kata-kata Rehan sangat dingin.
Dahi papah Rekal mengkerut, "Siapa lagi ini?"
"Saya temannya Rekal. Lebih tepatnya musuh jadi teman. Ya, saya awalnya tidak suka dengan kearoganan Rekal. Tapi, setelah tahu hal ini, saya sadar kalau Rekal bersikap seperti itu di sekolah karena siapa."
"Maksud kamu apa ya?" tanya Papah Rekal. "To the point saja."
"Dan saya jadi tahu kalau penyebab kanker tersebut karena anda. Anda ini papah kandung atau tiri, sih?"
Rara mendelik, "Lo nggak usah ikut campur, Han."
Ia merasa kalau Rehan tidak perlu ikut campur jika itu menyangkut masalah pribadi keluarga Rekal.
Rehan menoleh ke arah Rara, "Gimana gue nggak ikut campur kalau gue adalah salah satu orang yang tahu tentang penyakit Rekal, Ra."
"Ini di rumah sakit, jangan buat keributan!" cegah Angga dengan sigap.
Rara langsung mendekati Rehan, "Kenapa lo sembunyiin?"
"Gue aja baru tau beberapa jam yang lalu pas gue minta ketemuan sama dia di cafe. Dari situ dia ceritain soal kankernya, tapi dia nggak ceritain penyebabnya."
Mata Rara terpejam saat mendengar hal tersebut. Entahlah, dadanya sesak sekali rasanya.
Dan Rehan langsung merogoh saku celananya untuk mengambil sesuatu.
"Ini, Ra!" Rehan memberikan amplop putih dari Rekal kepada Rara.
Kening Rara mengerut, "Apa ini?"
"Nggak tau, ini dari Rekal. Dia kasih ini pas di cafe ke gue." Dan Rara langsung mengambilnya serta membukanya secara perlahan.
"Dia bilang kalau dia takut nggak bisa kasih ini ke lo, makanya dia kasih ini ke gue untuk di kasih ke lo," ucap Rehan yang sebenarnya merasakan rasa sesak di dada.
"Dan, dia suruh gue kasih itu ke lo saat dia udah nggak ada di dunia."
Tangan Rara langsung berhenti membuka amplopnya saat mendengar kata-kata yang baru saja di ucapkan oleh Rehan.
"Apa? Jadi, maksudnya..."
Rehan mengangguk, "Iya, ini semacam surat terakhir dari Rekal buat lo, Ra."
Tanpa sadar, air mata Rara turun kembali. Dadanya semakin merasa sesak, dan Ia merasa tak kuasa untuk berdiri.
Rara pun berbalik badan dan mencari tempat duduk dan langsung menangis sejadi-jadinya dengan tangan yang memukul-mukul dadanya. Dadanya benar-benar sesak sekarang, Ia juga merasa kalau ada yang kosong.
"Ekal... maaf...," monolog nya.
Kepalanya masih tetunduk sembari menangis. Percayalah, menangisi seseorang yang sudah tidak ada di dunia itu sakitnya bukan main.
"Kalau Ara berharap Ekal balik lagi, bisa nggak? Ara mohon."
Rehan mendekat dan memegang pundak Rara. "Ada gue dan teman-teman yang lain, Ra. Jangan merasa sendiri."
Rara langsung mendongak dan berdiri. "Lo tau nggak rasanya di tinggal sama orang yang baru aja lo sayang? Lo tau nggak rasanya udah buka hati tapi, orang yang mau masuk malah pergi?"
Rehan diam tak menanggapi.
"Sakit, Han. Sakit banget," lirih Rara sembari menekankan kata di kalimat terakhir. Tak lupa juga deraian air mata yang masih mengalir dari mata indahnya Rara.
Rehan mengepalkan tangannya. Rasanya Ia ingin sekali memeluk Rara di saat itu juga, tapi Ia sadar kalau itu semua tidak ada di terima oleh Rara.
"Andai kalau gue Rekal, apakah lo akan bersikap kayak gini juga kalau gue nggak ada?" batin Rehan.
"Gue juga mau di cintai sama lo, Ra," lirihnya dalam hati.
Rara kembali duduk dan mulai menyiapkan mental untuk membuka surat tersebut. Namun, sepertinya Ia ingin membuka surat tersebut di tempat yang sepi. Oleh karena itu, Ia langsung pergi dari sana untuk mencari tempat yang agak sepi.
Yang lain menatap heran Rara.
"Ra, mau kemana?" tanya Rehan.
"Gue mau sendiri dulu," ucapnya. "Nggak usah ngikutin!" cegahnya. Atau mungkin itu adalah sebuah perintah?
Dan pada akhirnya Rara duduk di kursi yang berada di salah satu lorong rumah sakit. Tempatnya agak sepi, jadi Rara memilih untuk duduk di sana walaupun dengan langkah yang begitu berat.
Dengan perlahan, jari mungilnya membuka amplop yang belum sepenuhnya terbuka. Matanya terpejam, suaranya mengeluarkan isakan-isakan kecil, dan badannya masih bergetar.
Sampai pada akhirnya, amplop tersebut terbuka sepenuhnya dan saat di lihat isinya adalah sebuah surat. Bibirnya bergetar, ia tak siap untuk membacanya. Tapi, Rara juga penasaran dengan isinya.
Mau tak mau, Rara membuka surat tersebut dan membacanya dalam hati. Sedetik kemudian tangis nya pun pecah saat membaca untaian kata yang indah namun menyakitkan.
Inilah isi surat tersebut.
From: Ekal
To: Bidadarinya Ekal
Halo, bidadariku... apa kabar? Bidadari lagi nangis, ya? Jangan nangis dong, bidadari. Bidadari Ekal tuh kuat, bidadari Ekal tuh cantik. Semoga aja surat ini sampai di bidadari Ekal yang palingg cantikkk. Siapa lagi kalau bukan Ara? Maaf ya, Ekal gak berani ngomong langsung, malah main surat-suratan kayak gini. Sebenarnya Ara nangis juga karena Ekal, jadi, Ekal minta maaf ya..
Ekal gak tau kalau nanti pas Ara baca surat ini, Ara udah tau semuanya atau belum. Tapi, Ekal mau kasih tau kalau Ekal sebenarnya punya penyakit kanker otak, Ra. Dan maaf banget kalau Ekal gak pernah kasih tau Ara. Ekal cuman pengen liat Ara bahagia, dan gak sedih lagi. Ya walaupun saat Ara baca ini, Ekal udah gak ada di dunia. Anggaplah ini sebagai surat terakhir dari Ekal untuk bidadari Ara yang sangat Ekal cinta ini. Ara adalah wanita kedua yang Ekal cintai setelah mamah kandung Ekal sendiri.
Maaf ya kepanjangan, hehe. Ra, Ekal cuman mau bilang, kalau Ekal sayang Rara, Ekal cinta Rara, dan akan selamanya begitu. Tapi, Ekal gak mau egois dan bikin Ara kepikiran terus. Jadi, lupain Ekal ya, Ra! Ini bukan permintaan tapi perintah. Jadikan Ekal sebagai pembelajaran Ara kedepannya ya. Intinya jangan terbayang-bayang masa lalu, oke? Lupakan dan jalani kehidupan baru di masa depan. Ekal gak apa-apa kalau Ara lupain Ekal, asal Ara bahagia:)
Maaf ya, bidadariku, karena Ekal gak bisa tepatin janji untuk terus bersama Ara selamanya. Dan Ekal juga minta maaf kalau Ekal buat Ara sakit hati apalagi jadi mati rasa lagi. Ekal bener-bener gak bermaksud. Ini semua udah takdir, Ra. Jangan salahin siapa-siapa kalau Ekal udah pergi, ya!
I Love you forever, my angel ❤
Dan pecah sudah tangis Rara sekarang. Dadanya benar-benar sesak saat membaca kalimat yang ada di surat tersebut. Rangkaian kata nya indah, namun sangat menyakitkan karena sang penulis sudah berada di Yang Maha Kuasa.
"Gimana caranya aku bahagia kalau sumber kebahagianku adalah kamu," lirihnya.
~~~
Hujan begitu deras membasahi bumi ini. Tak lupa juga di iringi oleh orang-orang yang berpakaian serba hitam dan itu menambah nuansa kelam.
Ya, sekarang adalah pemakaman Rekal. Suasananya sangat suram, hanya ada tangisan yang terdengar. Terutama Rara yang baru saja mulai mencintai Rekal. Dan ada orang tuanya Rekal yang berusaha untuk tetap tegar.
Tak lupa ada Nando dan Angga yang sudah menjadi teman dekat Rekal sedari kecil. Dan ya, satu lagi, ada Rere yang menghadiri pemakaman tersebut. Setelah Rere mengetahui segalanya, Ia benar-benar terpukul, namun Ia tidak menyalahkan siapapun. Toh, sudah takdirnya, kan?
Sekumpulan bapak-bapak mulai memasukkan jenazah Rekal ke dalam liang lahat. Dan di saat itulah tangisan orang-orang yang menyayangi Rekal mulai terdengar.
Dan setelah beberapa menit kemudian, acara pemakaman tersebut selesai. Semua orang pun kembali pergi ke rumahnya masing-masing, kecuali, Rara. Rara masih setia di samping kuburan Rekal yang masih baru itu.
"Ayo pulang, Ra!" ajak teman-temannya dan juga bundanya.
Rara menggeleng, "Emangnya harus pulang kemana?"
"Ke rumah dong, Ra," ucap Jesica yang khawatir saat melihat Rara yang sudah tidak bersemangat lagi.
Rara langsung tersenyum remeh, "Rumahku udah pergi. Dia pergi untuk selama-lamanya, dan tak akan bisa lagi kembali."
Semuanya pun langsung terdiam. Dan pada akhirnya Rere membuka suara.
"Ra, kita semua terpukul atas kepergiannya Rekal, bukan lo doang, kok. Tapi, kita nggak boleh egois, biarkan Rekal tenang di alam sana, ya!"
Dan pada akhirnya Rara pun mau pulang ke rumah setelah di bujuk berkali-kali.
Rara pun melangkah pergi sembari sesekali melihat ke arah kuburan Rekal yang masih baru.
"Teruntuk kamu, wahai pangeranku, Rekal Dirmagja. Kamu tidak akan pernah hilang dari dalam hatiku. Namamu akan selalu ku tulis dalam untaian kata yang di bangun oleh cinta. Terima kasih karena sudah mengajarkan apa itu cinta yang sebenarnya, walaupun pada akhirnya engkau pergi untuk selama-lamanya."
-Dari Rara Gleriska untuk pangeran Rekal Dirmagja, seseorang yang sudah meninggalkan dunia.
Kepergian seseorang yang bersifat amerta itu memang sangat menyakitkan. Apalagi orang yang meninggalkanmu adalah seseorang yang baru saja kamu cinta. Namun, takdir lah yang menentukan segalanya. Intinya, jangan menyia-nyiakan orang baru yang mencintaimu hanya karena kamu terbayang- bayang oleh masa lalu yang pernah menyakitimu.
Buka kembali hatimu dan ajarkan hatimu untuk kembali mencintai, jangan biarkan hatimu membeku karena tidak pernah di hangatkan oleh orang baru. Jika di sakiti, maka sembuhkanlah sendiri. Mencintai tak seburuk itu, jika kamu menemukan orang yang tepat.
[END]