Sebuah sepeda motor melaju kencang dengan kecepatan diatas rata-rata. Sang pengemudi sedang terburu-buru menjemput Sang bidadarinya, siapa lagi kalau bukan Rekal Dirmagja.
Saat ini Rekal benar-benar seperti orang yang kesetanan saat mengemudikan motornya. Padahal, Rara sudah mengingatkan untuk tidak perlu terburu-buru saat menuju ke toko tersebut. Tapi, bukan Rekal namanya kalau sifatnya tidak keras kepala.
"I'm coming my angel," ucap Rekal bermonolog saat berkendara.
Sedangkan disisi lain sudah ada Rara yang menentang belanjaan. Di kantong sebelah kirinya sudah ada 2 baju couple yang Ia beli untuk di pakai bersama dengan Rekal.
Rara sudah tersenyum senang saat melihat kantong belanjaannya yang sebelah kiri. Ia sudah membayangkan ekspresi senangnya Rekal saat Ia tahu kalau Ia di belikan baju couple oleh Rara.
"Ekal pasti seneng," monolog Rara.
Rara masih berada di pinggir jalan, setia menunggu Rekal yang akan datang. Sesekali Rara melihat jam nya yang berada di sebelah kanannya.
Dan selang beberapa menit kemudian, sudah ada Rekal yang terlihat di seberang pertigaan. Tapi, Rekal berhenti karena terjebak lampu merah. Rara hanya tersenyum karena sudah melihat keberadaan Rekal dari kejauhan.
Begitu juga dengan Rekal. Rekal tersenyum dari balik helm nya yang tidak Ia kaitkan.
Saat lampu sudah berubah menjadi hijau, Rekal langsung menancap gas nya untuk menuju ke arah Rara.
Namun, ada satu mobil dari sebelah kiri pertigaan yang tampak melaju kencang, padahal lampunya akan berubah menjadi merah. Dan tanpa Rekal sadari, mobil tersebut melaju kencang ke arahnya.
Rara dan Rekal saling tersenyum, namun senyuman Rara hilang saat Ia sadar kalau ada mobil yang melaju kencang ke arah Rekal.
"REKAL AWASSSS!!!!" teriak Rara.
Kening Rekal mengerut dari balik helm full face nya, Ia menoleh ke sebelah kanannya dan ternyata ada mobil yang melaju kencang ke arahnya.
Sontak, Rekal langsung mengerem, walaupun sepertinya sudah telat.
Dan..
Brak..
Rekal ngerem mendadak dan disaat itu juga mobil tersebut menabraknya. Rekal terpental agak jauh dari motornya. Helm nya pun terlepas dari kepalanya karena pengait helm nya tidak Ia kaitkan.
Rara yang menyaksikan kejadian tersebut secara langsung terkejut dan badannya melemas. Ia tak percaya dengan kejadian yang baru saja terjadi. Kantong belanjanya Ia jatuhkan, dan Rara pun langsung berlari ke arah Rekal yang sudah jatuh terkapar dengan darah yang mengucur deras dari kepalanya.
Semua orang berdatangan dan berkumpul di tempat Rekal terkapar.
Rara berusaha menyadarkan Rekal, "Ekal, bangun Ekal. Ekal denger Ara, kan?" ucap Rara dengan suara yang bergetar.
Karena dada yang begitu sesak, Rara tak kuasa menahan tangisnya. Dan disaat itu juga air matanya turun begitu saja tanpa di perintah.
"Ekal..." panggil Rara dengan suara yang masih bergetar.
Rara pun melihat ke sekelilingnya, "KALIAN SEMUA TOLONG TELEPON AMBULANS!! JANGAN CUMAN LIAT DOANG!!"
Setelah itu Rara langsung beralih lagi ke Rekal, "REKAL BANGUN!!! ARA MOHON!!!" teriak Rara sembari mengguncangkan tubuh Rekal.
Karena tak ada jawaban dari Rekal, Rara pun langsung menangis sejadi-jadinya. Ia benar-benar tak percaya dengan kejadian yang baru saja Ia lihat di depan matanya. Dengan tangan yang bergetar dan penuh darah, Rara meraih ponselnya yang berada di dalam tas nya.
Di sana Rara mencari kontak bernama Nando. Karena Rara hanya mempunyai nomor Nando, dan Nando adalah teman dekatnya Rekal.
"Halo, Ra. Tumben nelepon, kenapa nih?"
"Nan.. Rekal, Nan."
"Hah? Rekal kenapa?"
"..."
"RA? REKAL KENAPA? JANGAN BIKIN GUE PANIK, DAH."
"Rekal kecelakan, Nan." ucap Rara di telepon sembari menangis sesegukan.
"APA?! DIMANA? PLISS, JANGAN BERCANDA, RA."
"Gue nggak bercanda, Rekal beneran kecelakan di pertigaan deket sekolah. Dan sekarang lagi nunggu ambulans."
"Oke-oke, gue kesana sekarang sama yang lain ya."
Saat itu juga ambulans datang.
"Eh... Nando! Datangnya ke rumah sakit aja, jangan kesini soalnya ambulans nya udah dateng."
"Rumah sakit mana?"
"Rumah sakit **** di jalan ****"
"Oke-oke, gue ama yang lain kesana sekarang."
Tut
Panggilan teleponnya pun di putus.
Dan petugas yang berada di ambulans pun keluar. Mereka langsung memasukkan Rekal ke dalam mobil ambulance.
Rara pun ingin ikut masuk ke dalam mobil tersebut, namun sebelum itu Ia mengambil kantong belanjaan yang berada di tempat Dia menunggu Rekal tadi. Setelah itu, Rara langsung buru-buru masuk ke dalam mobil ambulans untuk menemani Rekal.
Selang beberapa menit kemudian...
Mereka sudah sampai di rumah sakit tersebut, dan Rekal langsung di masukkan ke dalam ruangan ICU karena mengalami pendarahan di kepala yang cukup serius.
Tubuh Rara melemas, Ia merasa kalau ini semua salahnya. Kalau saja Rara tidak meminta Rekal untuk menjemputnya mungkin Rekal akan baik-baik saja sekarang. Yang bisa Rara lakukan saat ini hanyalah menangis dan juga berdo'a.
"Tuhan, Rara akan mencintainya, dan bahkan Rara sudah mencintanya. Jadi tolong biarkan Rekal hidup dan merasakan cinta dari Rara," batinnya.
Di saat dirinya sedang menangis, tiba-tiba ada notif di hp nya. Dan ternyata itu adalah pesan dari Rehan.
Dan Rara langsung memberitahukan Rehan & bundanya di telepon. Dan bundanya pun langsung terkejut, lalu bunda langsung menuju ke rumah sakit.
Tak sampai di situ, ternyata Rara menyambung kembali tangisnya. Ia menangkup kedua mukanya dan menumpahkan semua tangisnya.
~~~
Tak berselang lama, Nando, Angga, Jesica, dan Delina sampai di rumah sakit tersebut. Nando langsung mencecar beberapa pertanyaan yang membuat Rara semakin pusing di buatnya. Dan akhirnya Jesica pun memeluk Rara.
"It's okay, Ra," ucap Jesica yang memeluk Rara berusaha menenangkan Rara yang sedang menangis.
Derlin pun langsung mendekat dan ikut memeluk Rara dari sebelah kiri, "Lo nangis aja dulu sepuasnya."
Rara pun melepaskan pelukannya, "Jes, Lin,"
"Kalau gue nggak minta Rekal jemput gue, mungkin ini semua nggak akan terjadi," ucap Rara sembari sesegukan.
Matanya sudah sembab, bahkan hidungnya pun memerah karena nangis sedari tadi.
"Lo nggak boleh nyalahin lo sendiri, ini semua udah takdir, Ra," ujar Jesica.
"Bener, kalau udah takdir, kita udah nggak bisa buat apa-apa," jelas Derlin.
Rara terus-terusan menyeka air mata nya yang turun bebas dari matanya.
"Kalian ada yang tahu nomor orang tuanya Rekal? Tolong teleponin ya!" pinta Rara.
Dan mereka semua terdiam. Tak ada satu pun yang menjawab.
Rara mengerut, "Kalian semua nggak ada yang tahu nomor orang tua Rekal?"
Dan hanya anggukan yang jadi jawaban.
"Bunda tahu kok, Nak." Bundanya Rara datang dan langsung menjawab pertanyaan Rara.
Rara langsung terkejut, "Kok bunda bisa tahu nomor orang tuanya Rekal?"
"Bunda kan kenal dengan papahnya Rekal. Kamu lupa?"
"Oh iya. Terus bunda udah kasih tahu ke orang tuanya kalau Rekal kecelakaan?"
"Sudah. Orang tuanya dan adiknya akan segera datang kesini." Bunda langsung memeluk Rara.
"Ini bukan salah kamu, Nak."
Dan Rara langsung menangis sejadi-jadinya. Ia menumpahkan segala kesedihannya di pelukan Sang Bunda.
"Tapi kalau Rara nggak minta jemput ke Rekal, mungkin ini semua nggak akan terjadi, Bunda," ucap Rara yang masih menangis sesegukan.
Bayangkan saja, saat kamu menyaksikan sebuah kecelakaan tepat di depan matamu sendiri, apa yang akan kamu rasakan selain trauma?
Di saat Rara dan Bunda sedang berpelukan, datanglah kedua orang tua Rekal dan adiknya. Lebih tepatnya, adik tiri.
"Kak Rara," panggil Reva yang langsung menghampiri Rara.
Rara langsung melepas pelukannya dengan Sang Bunda. "Kamu siapa?" tanya Rara agak ragu.
"Aku Reva, adiknya Bang Rekal."
Terlihat dari sorotan mata Rara kalau Ia merasa bersalah.
"Maaf..." lirih Rara. Kemudian Rara bersimpuh di depan Reva. "Kakak minta maaf."
Reva langsung menyuruh Rara berdiri dengan memegang bahu Rara.
"Kak Rara nggak perlu minta maaf. Aku udah tau semuanya, tadi udah di ceritain sama bundanya kak Rara," ucap Reva yang langsung menyeka air mata Rara.
Bahkan Rara tak kuasa untuk menatap mata indahnya Reva yang begitu tulus saat memaafkannya.
"Dimana anak saya?" tanya papah Rekal.
Bunda langsung mendelik, "Di saat Rekal sedang sekarat, baru kamu ingat dengannya?"
Seketika semua orang yang ada di sana langsung menatap bunda bingung, terutama Rara.
"Bunda, kok bunda ngomongnya gitu?" tanya Rara yang merasa tak enak.
Bunda Rara langsung melangkah agak dekat pada papah Rekal, "Tanya dia, kenapa bunda berani bilang seperti ini."
Semua orang menatap bingung.
"Kamu ini punya hati nggak sih? Jihan sudah mengorbankan nyawanya untuk melahirkan Rekal. Tapi kenapa kamu malah bersikap keras pada Rekal?" tanya Bunda Jasmine kepada papahnya Rekal.
"Saya tahu saya salah, tapi saya sudah terlanjur membencinya. Karena Dia, istri saya meninggal," ucap Papah Rekal.
"Kamu gila? Jihan meninggal karena Ia berkorban melahirkan Rekal, harusnya kamu menghargai pengorbanannya dengan cara menjaga dan merawat Rekal dengan baik." Bunda Rara langsung menghela napasnya kasar.
Papa Rekal terdiam.
"Dan sekarang, bukan waktunya menyalahkan siapa pun. Dulu, kamu menyalahkan Rekal atas kepergian istri kamu. Dan apakah sekarang kamu mau menyalahkan anak saya karena sudah membuat Rekal kecelakaan?" tanya bunda Rara.
Papa Rekal hanya diam membisu.
"Kamu ngerti maksud saya? Maksud saya, ini semua sudah takdir. Kamu nggak perlu menyalahkan Rekal karena kepergian istri kamu. Dan kita juga tidak menyalahkan Rara karena Rekal kecelakaan."
Entah pikirannya sudah di cuci oleh istri barunya itu, tapi papa Rekal benar-benar masih terdiam.
"Saya..."
Ucapan papa Rekal terpotong oleh dokter yang baru keluar dari ruangan ICU.
Semua orang terkejut dan berharap kalau Rekal baik-baik saja. Dan mereka langsung mencecar beberapa pertanyaan kepada dokter tersebut.
"Dok, keadaan anak saya gimana?" tanya papah Rekal.
Sejahat-jahatnya orang tua, tidak mungkin Ia tidak sedih saat anaknya kenapa-kenapa, bukan?
"Ekal baik-baik saja kan, dok?"
"Keadaan teman saya gimana, dok?"
"Bang Rekal udah sadar, dok?"
Dokter masih terdiam.
Dan sedetik kemudian, dokter tersebut membuka suara.
"Maaf, tapi ananda Rekal sudah tidak bisa kami selamatkan akibat pendarahan di kepala dan juga penyakit yang di deritanya."
Deg