Sudah sekian bulan berlalu semenjak hubungan Gavin dan Valerie merenggang. Kini hubungan mereka itu masih berlanjut dan akan segera menginjak usia 7 bulan dalam beberapa minggu. Selama 3 bulan belakangan ini, Valerie semakin dibuat bingung oleh sikap Gavin yang terus berubah-ubah.
Ada kalanya saat laki-laki itu membuat Valerie merasa seperti tak diinginkan lagi. Terabaikan, dicampakkan, dan tak dicintai. Tetapi ketika Valerie sudah mulai membulatkan hati untuk mengakhiri hubungan itu, sikap Gavin berubah.
Laki-laki itu akan secara tiba-tiba bersikap manis. Dia akan bertingkah seolah begitu mencintai Valerie dan tak bisa hidup tanpanya. Sama romantis ya seperti pada masa awal mereka memulai hubungan, bahkan lebih dari itu.
Selama 2 minggu terakhir ini, sikap Gavin benar-benar membuat Valerie senang. Dia bahkan sampai tak ingat bahwa dia pernah merasa dicampakkan oleh kekasihnya itu. Entah mengapa kali ini dia sangat yakin bahwa Gavin akan tetap memperdulikannya dan bersikap manis seperti ini. Tidak akan ada lagi masa di mana dia merasa seperti tak memiliki seorang kekasih.
Jangankan membayangkan sikap Gavin yang berubah jadi semanis ini, Valerie bahkan tidak bisa menayangka bahwa hubungannya dengan Gavin akan terus berlanjut. Padahal 3 minggu yang lalu, Valerie sudah berniat untuk mengakhiri hubungannya dengan Gavin setelah kegiatan live in mereka selesai.
Live in adalah kegiatan wajib bagi siswa kelas 11 di sekolah mereka. Pada kegiatan tersebut, seluruh siswa-siswi beserta beberapa guru pendamping akan menginap di rumah warga di sebuah pedesaan selama 5 hari dan 4 malam. Kegiatan itu bertujuan untuk menumbuhkan kesederhanaan, toleransi, dan rasa syukur di hati siswa-siswinya.
Pedesaan yang menjadi tempat terlaksananya live in saat itu sangatlah luas dan terdiri dari beberapa daerah. Untuk sampai ke daerah lainnya saja membutuhkan waktu hingga 20 menit menggunakan kendaraan bermotor.
Siswa-siswi yang diketahui berpacaran tentu saja menetap di daerah yang berbeda. Akan tetapi tak sedikit laki-laki yang rela menempuh jalan hingga 4 Km hanya demi menemui kekasih mereka. Berbeda dengan laki-laki itu, Gavin justru menyuruh Valerie untuk menghampirinya.
Dia beralasan bahwa dia sedang sibuk membantu warga setempat berjualan hingga tak bisa menemui Valerie. Valerie bisa memahami hal itu. Hanya saja, pada saat malam penutupun, di mana semua siswa-siswi berkumpul di satu tempat, laki-laki itu tetap tak menyempatkan diri untuk menemuinya.
Laki-laki itu terus sibuk bermain dengan teman-temannya, padahal Valerie sudah memintanya untuk meluangkan waktu sebentar untuk berfoto berdua. Sejak hari pertama mereka ada di sana, Valerie sama sekali belum mengabadikan momen dengan kekasihnya.
Padahal artis saja tidak sesulit ini untuk diminta foto sebentar, tetapi mengapa kekasihnya malah begini? Valerie merasa iri pada gadis-gadis yang masih diperhatikan oleh kekasihnya saat masa live in ini. Karena rasa iri dan kesalnya itu, Valerie ingin mengakhiri hubungannya dengan Gavin. Tetapi sebelum dia bisa mengatakan apa pun, Gavin justru merebah sikapnya dan mulai bersikap manis dan romantis.
Sikap laki-laki itu benar-benar berbeda dengan yang sebelumnya. Tanpa harus dibujuk-bujuk oleh Valerie, laki-laki itu datang ke rumahnya dengan sendirinya. Dia juga beberapa kali mengajak Valerie berkencan.
Entah hal apa yang menyebabkan perubahan sikap Gavin itu. Padahal beberapa bulan lalu, saat Valerie sampai melakukan hal tak pantas demi mempertahankan Gavin, laki-laki itu tak berubah sampai seperti ini.
Kejadian sekitar 2 bulan yang lalu….
Hujan turun dengan deras tanpa henti. Sudah 3 jam berlalu sejak tetesan hujan itu menampakkan dirinya. Gavin dan Valerie terduduk diam di sofa ruang tamu Valerie. Hanya ada mereka berdua di sana, anggota keluarga Valerie sudah ada di kamar mereka masing-masing.
Hari semakin larut, tetapi tak sekali pun muncul tanda bahwa hujan akan segera berhenti. Gavin ingin segera pulang. Padahal dirinya ada di sana hanya untuk mengantarkan makanan dari mamanya untuk Valerie, tetapi di malah terhalangi oleh hujan. Terdapat rasa dejavu di hatinya.
Valerie yang duduk tak jauh dari Gavin itu terus memandanginya. Dia ragu akan rencana yang sudah dia siapkan sejak kemarin. Entah apakah dia harus benar-benar menjalankan rencana tersebut? Dia tahu betul bahwa tak pantas dia melakukan hal itu, tetapi dia sudah tak terpikirkan cara lain.
“Aku penasaran, Gav. Ciuman bibir itu kayak apa sih?” Tanya Valerie sambil menyenderkan kepalanya di bahu Gavin. Laki- laki itu pun memeluk kekasih yang sedang dipangku olehnya.
“Sama aja kayak ciuman di pipi.”
“Masa sih? Terus kenapa orang-orang lebih suka ciuman di bibir?”
“Ga tau juga ya. Belum pernah nyoba sih aku. Kamu mau nyoba emangnya?”
“Mau. Aku penasaran aja gitu apa bedanya sama ciuman di-” Ucapan Valerie terpotong oleh bibir Gavin yang dengan lembut tertempel pada bibirnya. Walau dia yang memancing Gavin untuk melakukan itu, dia tetap merasa kaget.
Gavin melumat bibir Valerie dengan lembut, merasakan setiap inci dari bibir gadis itu. Bibirnya bergerak lihai seperti sudah terbiasa melakukannya. Valerie yang baru pertama kali berciuman hanya bisa berdiam, kaku.
Tiba-tiba Gavin menggigit bibir bawah Valerie, membuat bibir gadis itu yang semula tertutup rapat, terbuka. Gavin memasukkan lidahnya ke dalam mulut Valerie. Di sela ciuman mereka, Gavin berbisik pada Valerie untuk mengeluarkan lidahnya juga. Valerie hanya bisa menuruti perintah Gavin dengan kaku.
Untung saja saat itu ruang tamu sedang kosong. Tak ada yang bisa melihat perbuatan tak terpuji mereka itu. Jika saja salah satu kakak Valerie melihat, Gavin pasti tak akan bisa keluar dari rumah itu dalam keadaan hidup.
Benar saja, setelah kejadian hari itu, Gavin kembali memperlakukan Valerie dengan baik selama beberapa hari. Tentu saja sikap baik Gavin itu tidak berlangsung lama. Saat Valerie mulai menunjukkan penolakan pada kegiatan yang sangat disukai Gavin itu, dia mulai menjauh lagi.
Kembali ke masa kini….
Valerie sedang fokus membaca buku sambil mendengarkan musik di kamarnya. Irama lembut piano membuat Valerie merasa tenang. Suasana hatinya sangat baik hari itu. Tiba-tiba terdengar suara ketokan pintu. Pintu kamar Valerie terbuka, menampakkan Asther dengan wajah yang resah dan penuh rasa bersalah.
“Lho, As? Kamu kenapa? Kok mukanya suntuk gitu? Lagi ada masalah?” Tanya Valerie dengan raut wajah khawatir. Asther menghela napas pelan sebelum menjawab pertanyaan itu.
“Aku…. Mau jujur sama kamu, Val.”
“Jujur soal apa?”
“Soal Gavin…. Maaf aku ga jujur dari awal. Harusnya aku cerita ini ke kamu dari lama, tapi aku takut ini bakal makin memperburuk hubungan kamu sama Gavin,” Valerie terdiam, tak bisa mengerti apa yang berusaha disampaikan sahabatnya.
“Padahal selama ini kamu selalu cerita ke aku tiap ada masalah sama Gavin, tapi aku ga pernah ngomong apa-apa ke kamu.”
“Maksud kamu apa sih, As? Apa yang kamu sembunyiin dari aku?”
“Sebenernya Gavin sering cerita ke aku soal kamu. Tiap ketemu aku, dia selalu ngomongin kejelekan kamu. Entah itu dia ga suka sama sudut pandang kamu, kamu cemburuan, apa pun itu. Aku ga pernah nanggepin dia dan selalu nyuruh dia buat ngomong langsung aja ke kamu, tapi dia selalu ga mau dengan alesan ga mau nyakitin perasaan kamu.”
Ungkapan kejujuran Asther itu terus berlanjut. Valerie hanya bisa diam, berusaha memproses segala ucapan Asther sambil menahan tangisnya. Sebenarnya kenapa? Kenapa Asther harus menyembunyikan semua itu?
Setiap kali Valerie menceritakan kesedihannya itu pada Asther, gadis itu hanya menyemangatinya dan tak memberitahunya apa pun. Tetapi menang sekarang ketika hubungannya dengan Gavin sudah membaik, Asther malah mengungkapkan kebenarannya?
Valerie benar-benar tak bisa mengerti semua ini. Dadanya terasa sesak dan matanya terasa panas. Dia berusaha keras untuk menahan tangisannya. Dia merasa dikhianati oleh temannya sendiri. Sahabatnya yang selama ini terdiam, berpura-pura seakan tak mengetahui apa pun membuatnya kecewa.
Tak hanya pas Asther, Valerie juga teramat kecewa pada Gavin. Padahal laki-laki itu tau benar apa yang Valerie rasakan mengenai curhatan tentang pasangan kepada lawan jenis, tetapi kenapa lelaki itu tetap melakukannya? Dia bahkan melakukan hal itu dengan Asther, sahabat Valerie sendiri, dan menyuruhnya untuk tak memberitahukan apa pun.
Valerie tak bisa membiarkan hal ini begitu saja. Dia memutuskan untuk mengajak Gavin bertemu di sebuah cafe untuk membicarakan hal ini. Sudah hampir sejam Valerie menunggu, tetapi laki-laki itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
Valerie sudah tak tahan lagi. Dia memutuskan untuk pergi dari tempat itu, tak mau lebih lagi menunggu Gavin. Tepat saat dia sedang berjalan menuju pintu masuk, seorang lelaki memasuki cafe itu. Laki-laki itu adalah Gavin, orang yang sudah Valerie tunggu sejak lama.
Gavin tersenyum saat melihat Valerie. Dia menghampirinya dan hampir menciumnya, tetapi gadis itu malah memalingkan wajah ke sisi lain. Menyadari ekspresi kesal bercampur sedih yang tampak jelas di wajah Valerie, Gavin mengajaknya duduk di sebuah meja dekat jendela.
“Kamu kenapa, Val?” Valerie sama sekali tak mau menatap Gavin. Dia terus memandangi pemandangan yang tampak di luar jendela.
“Kamu telat,” Jawab Valerie dengan pelan.
“Engga ah. Kan kita janji ketemunya jam 3. Ini pas kok jam 3.”
“Janji kita jam 2, bukan jam 3,” Gavin membuka ponselnya dan melihat lagi percakapannya dengan Valerie, ingin memastikan waktu janji mereka yang sebenarnya. Gavin mengusap wajahnya kesal saat menyadari kesalahannya. Sesuai kata Valerie, mereka sudah berjanji untuk bertemu pada jam 2.
“Maafin aku, Val. Aku bener-bener lupa. Dari kemaren tuh aku pikir janji kita jam 3. Maaf aku udah buat kamu nunggu-” Valerie memotong ucapan Gavin. Dirinya meneteskan air mata.
“Kalau kamu dah bosan sama aku, bilang aja, Gav, ga perlu kayak gini.”
“Val, aku tau aku salah, tapi harus banget kita omongin ini lagi? Aku udah berkali-kali jelaskin ke kamu kan? Aku ga bosen sama kamu. Aku sayang banget sama kamu, Val.”
“Biasanya juga kamu bilang ga ngejauhin aku, tapi pada akhirnya kamu ngaku sendiri pas kamu bilang kamu ngevape.”
“Ya itu kadang-kadang aja. Ga sesering yang kamu omongin.”
“Yakin? Semua orang juga bisa liat lho, Gav. Bukan aku doang yang ngerasa kamu berubah ke aku.”
“Aku emang berubah. Dan kamu ga bisa minta aku untuk balik lagi kayak dulu. Aku udah bilang ke kamu berkali- kali, aku ga bisa. Aku ga bisa memperlakukan kamu sama kayak dulu lagi, bahkan jika itu kamu yang minta. Aku udah berusaha, Val, tapi semakin aku mencoba, semakin aku ngerasa tertekan.”
“Kenapa ga bisa? Kamu ga pernah jelasin ke aku kenapa kamu berubah dan kenapa kamu ga bisa kayak dulu lagi. Padahal kamu tau betapa kamu yang dulu bikin aku bahagia. Kalau kamu beneran sayang sama kamu, kenapa memperlakukan aku dengan lebih baik bikin kamu tertekan? Aku juga ga pernah minta kamu buat jadi persis kayak dulu lagi.”
“Kenapa sih kamu selalu nuntut aku untuk memperlakukan kamu dengan lebih baik? Emang cara aku ngetreat kamu selama ini kurang? Hampir tiap hari kamu minta aku dateng ke rumah, temenin kamu makan, dan lain- lain. Aku juga punya kehidupan di luar kamu, Val.”
“Kamu sadar ga sih kalau kamu yang bikin aku jadi kayak gini? Aku selalu bilang ke kamu, kamu ga perlu kayak gitu. Aku juga kan ga nuntut apa-apa dari kamu. Tapi kamu sendiri yang bilang kalau kamu sayang sama aku dan kamu jadian aku prioritas pertama kamu. Aku akui sikap kamu di 3 bulan pertama pacaran emang kayak gitu. Kamu bener-bener ngebuat aku ngerasa dicintai. Dan sekarang aku bener-bener ga ngerti kenapa kamu tiba-tiba berubah kayak gini. Setidak kalau kamu mau ngehindarin aku, lakukan yang konsisten. Jangan tiba- tiba kamu baik- bikin aku pas aku lagi marah-marahnya sama kamu. Yang aku butuh in sekarang itu cuman penjelasan jujur kamu, itu aja. Sesusah itu kah buat ngomong? Padahal kalau kamu mau ngomong, masalah ini bisa diselesaiin dengan mudah.”
“Terus kamu maunya aku mencintai kamu kayak gimana lagi? Yang sekarang ga cukup kan buat kamu? Tapi yang duku berlebih buat aku.”
“Lucu ya, kamu mikir begitu. Padahal tanpa aku jabarin panjang lebar lagi pun, seharusnya udah jelas apa yang aku mau. Dan gini ya, bukan berarti karna kamu cinta sama aku, aku ngerasa dicintai sama kamu. Aku yang sekarang sama sekali ga ngerasa dicintai sama kamu. Kenapa sih kamu selalu ga mau jawab tiap aku tanya alasan kamu? Kamu ada hubungan sama Asther?”
“Asther? Kamu mikir apa sih? Aku sama Asther ga ada hubungan apa-apa, kita cuman temen. Lagian dia itu kan sahabat kamu, masa kamu nuduh dia kayak gitu?”
“Ya abis kalian deket banget. Masa sama-sama dah punya pacar tapi malah jalan sama lawan jenis berduaan, kan ga wajar kayak gitu. Dan kalau kamu mau beralasan kalian cuman temen, emang kita awalnya apaan? Temen juga kan?” Gavin terdiam sejenak. Dia menggejala napas sebelum kembali berbicara.
“Asther itu temen curhat aku doang, Valerie. Aku curhat soal kamu.”
“Kenapa kamu harus curhat sama dia sih? Kenapa kamu ga ngomong langsung aja ke aku? Kamu tau sendiri kan apa yang aku rasain soal curhat sama lawan jenis soal pasangan kita? Ga etis tau ga! Tapi kenapa kamu malah kayak gitu?”
“Mending kita putus deh, Val. Jalan pikir kita udah ga searah lagi. Buat apa kita pacaran kalau ga ada kepercayaan di antara kita. Kalau begini terus kita berdua bakal makin saling nya kitin.”
“Oke. Makasih untuk selama ini…. Oh dan kamu harus tau. Selama ini aku percaya sama kamu. Kamu sendiri yang ngerusak kepercayaan aku dengan ga mau komunikasi. Andaikan kamu mau jelasin ke aku asalkan kenapa kamu jadi kayak gini, aku pasti ngerti. Tapi kalau keputusan kamu kayak gini, aku bisa apa kan,” Valerie bergegas keluar dari cafe itu, tak mau Gavin melihat tangisannya semakin deras.
Kehidupan berjalan bagaikan lelucon bagi mereka. Dari awal, tak ada satu pun hal yang berjalan sesuai dugaan. Tak ada yang menduga Gavin dan Valerie akan menjadi sepasang kekasih. Tak ada yang menduga juga mereka akan berakhir dengan cara seperti ini, tanpa adanya alasan yang jelas.
Walau pun menyisakan rasa sakit yang mendalam di hati keduanya, mereka tak bisa menyesali apa pun. Mereka hanya bisa mengikuti aluran kehidupan bagaikan sebuah daun yang terjatuh di aliran sungai, tak tahu akan dibawa ke mana.
Mereka hanya bisa menerima dengan lapang dada akhir dari hubungan mereka. Mungkin dari awal, mereka memang tidak ditakdirkan untuk bersama. Hanya ditakdirkan untuk menjadi pelajaran dan rasa sakit bagi satu sama lain. Walau begitu, mereka pernah menjadi bagian terpenting dalam hidup masing-masing, karena itu lah mereka saling mengharapkan kebahagiaan di ujung jalan berbeda yang mereka tempuh.