Valerie hanya bisa menghela napas saat menatap secarik kertas yang ada di hadapannya. Kertas yang ditempel di mading sekolahnya itu, berhasil mengundang tawa serta kekecewaan teman-temannya. Dia sedang membaca dengan saksama nama anak-anak yang akan berada di kelasnya, sebelum melewati nama yang membuatnya terdiam sejenak. Valerie menghela napas lantaran tak begitu menginginkan nama itu berada di sana.
“Ternyata tahun ini kita sekelas lagi ya.”
“Eh? Iya.”
“Haha males ya sekelas sama aku lagi? Sampe menghela napas gitu tadi.”
“Yah begitu lah,” Perkataan laki-laki yang berada di sampingnya itu membuat ujung bibirnya sedikit tertarik ke atas.. Ya, benar. Valerie memang sedikit malas berada di kelas yang sama lagi dengan laki-laki itu. Bukan karena sosok itu jahat, melainkan karena dia sedikit pembuat onar. Walau pun begitu, laki-laki dengan nama Gavindra Alexander Maurine itu sangat disenangi semua orang di sekolah.
Saat pertama kali mengenal Gavin di kelas 10, Valerie mengira bahwa dia adalah anak pendiam yang tidak memiliki banyak teman. Ternyata dia salah besar. Memang, saat itu Gavin tak mengenal kebanyakan anak yang ada di kelasnya, tetapi tak membutuhkan waktu lama baginya untuk menjadikan mereka semua temannya.
“Kalau ga ada aku ga seru weh! Anak IPA 2 pada anak rajin dan kalem semua.”
“Ya bagus lah! Ga berisik kelasnya. Kalau ada kamu tuh berisik, jadi ga fokus belajarnya.”
“Iya deh maaf…. Entar aku ga berisik lagi deh, jadi anak kalem.”
“Mana mungkin seorang Gavin jadi anak kalem.”
“Ih ga percaya. Liat aja nanti!”
Percakapan singkat mereka itu harus terhenti ketika bel sekolah mulai berdering. Semua orang bergegas masuk ke kelas mereka masing-masing. Saat memasuki kelas, Valerie merasa sedikit tak nyaman karena tak mengenal kebanyakan anak di sana. Berbeda dengannya, Gavin sudah mengenal semuanya, bahkan berteman dengan kebanyakan dari mereka.
Seperti hari pertama sekolah pada umumnya, mereka semua memperkenalkan diri di depan kelas. Dilanjutkan dengan pemilihan perangkat kelas yang dilakukan dengan sistem voting. Ada beberapa kandidat yang dicalonkan oleh wali kelasnya, diantaranya adalah Gavin. Tentu saja Valerie tak mungkin memilihnya. Entah akan jadi seperti apa kelas itu bila Gavin yang menjadi ketua kelasnya.
Di luar dugaan Valerie, Gavin berhasil menjadi wakil ketua kelas. Memang bukan ketua kelas, tetapi tetap saja dia berpikir bahwa Gavin tak cocok menempati posisi itu.
“Bisa-bisanya yang jadi wakil ketua tuh Gavin. Pada mikir apa sih waktu milih dia? Jelas-jelas anaknya ga bertanggung jawab gitu,” Ucap Valerie dengan terheran-heran. Dia masih tidak bisa menerima hasil dari voting itu.
“Ga kaget sih. Dia kan banyak temen di kelas, pasti banyak yang milih. Biasanya emang gitu kan? Yang dipilih tuh anak-anak yang populer, bukan yang emang mampu,” Yang dikatakan Asther, sahabatnya memang benar. Tak hanya pemilihan perangkat kelas, pemilihan ketua MPK dan OSIS pun sering kali didasari kepopuleran kandidat.
“Tapi As-”
“Udah, udah. Kalau diomongin terus, lama-lama suka lho,” Ucap Asther menggoda sahabatnya. Menurutnya, Valerie dan Gavin sangatlah cocok. Entah dari mana dia bisa berpikir seperti itu karena kedua temannya itu sangat berbeda dari segi sifat mau pun ketertarikan mereka. Untuk beberapa orang, dari segi penampilan mereka juga.
Sayangnya, laki-laki itu sudah memiliki kekasih. Perempuan bernama Mary dari kelas 11 IPS 3. Gavin pernah menunjukkan foto perempuan itu pada Valerie. Sangat cantik sampai Valerie tidak percaya bahwa dia adalah kekasih Gavin.
Sayangnya, laki-laki itu sudah memiliki kekasih. Gadis cantik bernama Mary dari kelas 11 IPS 3. Gavin pernah menunjukkan foto kekasihnya itu pada Valerie, dan sangking cantiknya, Valerie tak bisa mempercayai bahwa dia adalah kekasih Gavin. Jika tak melihat langsung keduanya berinteraksi layaknya sepasang kekasih, Valerie mungkin masih mengira temannya itu hanya bergurau saja.
“Apaan sih, As? Dia kan udah punya pacar,” Ucap Valerie dengan nada sedikit kesal.
“Bisa aja udah putus. Ga pernah keliatan bareng lagi tuh.”
“Ya kan ini baru hari pertama abis libur. Siapa tau mereka butuh waktu untuk bareng temen dulu.”
Walau pun dia terus menyangkal, Valerie memang merasa Gavin sudah tak memiliki hubungan dengan Mary lagi. Lantaran, laki-laki yang terkenal sangat ‘bucin’ pada kekasihnya itu, bahkan tak menghampirinya seharian ini. Entah yang dikatakan sahabatnya itu benar atau tidak, tetapi Valerie tidak peduli. Dia sama sekali tidak bisa membayangkan dirinya memiliki hubungan dengan Gavin.
Mau dilihat dari arah mana pun, dia sangat jauh berbeda dengan tipe Valerie. Perempuan itu memang menyukai pria tampan yang memiliki tubuh tinggi, layaknya idola-idola Korea yang dia lihat di TV, namun dia juga tak begitu memperdulikan penampilan dalam menjalin hubungan. Baginya itu hanyalah sebuah bonus. Sifat dan cara berperilaku adalah yang paling penting baginya.
Hanya saja.... Para lelaki di sekolahnya tak hanya kurang dalam segi penampilan, tetapi sifat mereka juga. Tak sedikit dari mereka yang tak tahu cara memperlakukan perempuan dengan benar. Sekali pun ada, sering kali ada hal lain yang membuat Valerie merasa 'illfeel' pada mereka. Karena sifatnya yang pemilih itu, dia tak yakin akan bisa menjalin hubungan asmara selama masa SMAnya ini.
Tetapi hidup adalah hal yang tak bisa ditebak. Akan selalu ada suatu hal yang menjadi kejutan dalam hidup ini. Memang itu lah bagian paling menyenangkan dalam hidup, hanya mengikuti arus yang tak tahu akan membawa kita kemana.