Tiga bulan sudah berlalu sejak Hanz mendapat kabar kalau Violet pindah ke Amerika. Gadis itu tidak mengucapkan salam perpisahan atau apa pun. Saat Hanz ke rumah kakek dan nenek Violet, cewek itu sudah pergi tanpa meninggalkan surat atau pesan. Bahkan tidak juga dengan nomor telepon di tempat tinggalnya yang baru. Hanya ada headphone milik Hanz yang dititipkan untuk dikembalikan pada cowok itu.
“Mungkin dia butuh waktu,” ujar Hanz di suatu siang ketika dia dan Asami duduk bersama untuk menyantap makanan mereka di luar kafetaria. “Kita nggak bisa memaksanya kembali ke tempat yang membawa kenangan buruk baginya. Itu egois,” lanjut Hanz lagi sambil menyapu remah-remah roti lapis tuna dari kemeja.
Pemuda itu menghabiskan santapan siangnya dan memandang halaman sekolah. Udara terasa lebih hangat dengan sinar matahari yang cerah di luar. Banyak cewek berjemur di dengan duduk di rerumputan sambil menjulurkan kaki-kaki mereka sementara anak-anak lelaki bermain sepak bola. Wajah-wajah itu kelihatan senang karena terbebas dari cuaca musim dingin yang membekukan.
Asami membetulkan rok dan melepas jaket tipis yang dikenakan. Kulit pucat itu tertimpa sinar matahari dan tampak mengilap. Beberapa cowok yang lewat menatap Asami dan seperti biasa, saling berbisik dan menyikut dengan kagum walau gadis itu tetap saja cuek.
“Sekolah jadi lebih tenang kalau dia nggak cari ribut, ya,” ujar Asami sambil mengedikkan dagu.
Hanz melihat ke arah Asami memandang dan menyadari kalau Casey baru saja melintas. Cewek itu masih tampak menyebalkan, berjalan dengan kelompoknya dan berusaha menarik perhatian salah seorang cowok yang sedang bersandar di tembok sekolah.
“Jujur saja,” lanjut Asami dengan nada kesal, “aku masih sulit melupakan kejadian yang menimpa Violet dan kadang-kadang ingin menghajar cewek itu. Hukuman yang dijalani Casey nggak sepadan dengan luka batin dan trauma Violet. Dia cuma bakal kelelahan selama beberapa waktu dan bisa menghilangkannya dengan pergi ke spa mahal sementara Violet ….”
Hanz membuka cincin kaleng minuman dan menyerahkannya pada Asami yang kelihatan murung sekaligus marah. Hanz tidak pernah menduga sebelumnya kalau di balik sikap Asami yang kelihatan elegan dan glamor ternyata bisa jadi sangat pemarah dan gelisah seperti saat ini.
“Ngomong-ngomong, bagaimana rencana kuliahmu?” tanya Asami setelah meneguk minuman dan menarik napas panjang. “Jadi masuk jurusan kedokteran, kan?”
Hanz mendongak, melihat langit cerah dengan awan-awan tampak seperti bantal lembut nan nyaman. Dia memejamkan mata dan merasakan semilir angin. “Aku sedang berpikir ulang soal itu. Mungkin aku bakal bekerja dulu sambil menabung.”
“Nilai-nilaimu yang bagus itu pasti bisa menolong. Kamu akan dapat beasiswa dengan mudah,” timpal Asami dengan nada meyakinkan.
Hanz menyilangkan kedua lengan di atas lutut dan tersenyum. “Kita harus punya rencana cadangan. Ada banyak orang yang mengincar beasiswa sepertiku dan kalau rencana ini nggak berjalan lancar, aku harus siap menunda kuliah. Nggak masalah.”
“Kalau kamu menerima tawaranku, nggak perlu pusing begini.”
“Aku sangat menghargainya, Asami. Sungguh.” Hanz tertawa. “Tapi aku nggak mau merepotkan banyak orang. Ini jalan yang kupilih sendiri jadi aku harus siap dengan segala konsekuensinya.”
Hanz bisa melihat Asami yang memandangnya dengan ekspresi kagum. Cewek itu kemudian berdecak. “Aku sungguh berharap Violet bisa melihat betapa kerennya kamu waktu bilang begitu. Mungkin dia bakal jadi suka padamu dan melupakan Dave yang kurang ajar itu.”
Hanz terkekeh dan bayangan Violet melintas lagi di benaknya. Rasa rindu mulai meluap di dalam diri Hanz, nyaris setiap waktu. Namun, cowok itu berusaha menahan diri karena sekarang tidak ada yang bisa dilakukan. Menurut Hanz, kalau Violet bisa menyukai seseorang, cowok itu berharap Violet dapat menyukai dan menyayangi dirinya sendiri.
“Hanz, apa kamu masih menyukai Violet?” tanya Asami setelah terdiam sejenak. Dia melihat Hanz dengan tatapan serius.
“Tentu saja,” sahut Hanz, yakin.
“Kalau begitu, kenapa nggak mengejarnya? Aku bisa saja mencari tahu di mana dia sekarang dengan koneksi ayah dan ibuku. Aku bisa membantumu menyusulnya, di mana pun dia berada sekarang. Melihat kalian terpisah begini, bikin aku kesal dan sakit hati.”
Hanz menggeleng pelan. “Nggak usah. Sekarang dia perlu waktu untuk sendiri. Dia yang sekarang mungkin belum siap menerimaku setelah dikecewakan banyak orang yang disayanginya. Aku nggak mau memaksa. Aku ingin dia datang padaku saat dirinya sudah siap.”
“Begitu, ya … ah, kalau begitu, apa ada hal yang kamu ingin tahu dari Violet sekarang? Kalau aku, penasaran bagaimana wajahnya saat ini. Aku harap dia lebih gemuk dan lebih ceria.”
Hanz merebahkan diri ke rumput dan menyilangkan kedua lengan di belakang kepala. Mata pemuda itu memicing, menghalau cahaya matahari yang terasa hangat.
“Aku ingin tahu apa cita-cita dan impiannya,” ujar Hanz sembari tersenyum.
***
Hanz menendang kerikil dan memasukkan kedua tangan di saku jaket bomber biru gelap yang dikenakannya. Dia sudah berjalan lama di sepanjang jalan dengan pagar pada bagian tepi di Hampstead Heath. Hanz mungkin sudah melewati belasan rumah berwarna kecokelatan dengan dinding-dinding bata dan jendela berbingkai putih tapi kakinya masih enggan berhenti. Saat menuruni tangga di gang, ponsel Hanz bergetar. Cowok itu membiarkan pada mulanya tapi ketika gawai itu masih belum berhenti bergerak di saku, Hanz segera meraihnya.
Kening pemuda yang rambutnya sudah nyaris mencapai telinga itu berkerut ketika melihat logo surat muncul di layar. Dia juga tidak mengenal nama pengirim dan tidak ada subyek yang mengiringi E-mail itu. Hanz ingin membukanya tapi kemudian mengurungkan niat. Dia memasukkan benda pipih itu lagi ke dalam saku dan melanjutkan langkah ke taman.
Hari cerah dengan angin berembus sempurna membuat orang-orang keluar dari rumah dan membawa hewan peliharaan mereka. Hanz melihat seorang pria dengan janggut dan kaus oblong kelabu serta celana pendek putih, berlari bersama anjing terrier yang kelihatan sama senangnya menghabiskan waktu di luar. Sementara di salah satu bangku, seorang wanita muda tampak nyaman menggendong seekor kucing bertelinga kecil yang terlihat tenang memandang orang-orang di sekitar.
Taman itu ramai dan Hanz menyingkir ke sisi lain di dekat danau. Setidaknya, di situ agak sepi. Hanz mengeluarkan headphone dan mengenakan benda itu sambil mengecek ponsel. Matanya memelotot saat membuka isi e-mail.
Ada foto dan tidak hanya satu. Hanz kehilangan hitungan ketika gambar-gambar itu memenuhi layar dan dengan cepat, pemuda itu mengunduh semua foto yang dikirimkan—entah oleh siapa.
Foto-foto itu jelas diambil di Amerika karena Hanz bisa mengenali beberapa tempat. Brooklyn Bridge, Central Park, Terminal Grand Central dan lebih banyak tempat lagi yang tampaknya dipotret melalui kamera ponsel. Hanz terus menggeser layar dengan dada berdegup kencang. Entah bagaimana, dia yakin kalau foto-foto ini dikirim oleh Violet.
Hanz segera menutup E-mail dan beralih ke daftar kontak. Cowok itu nyaris menjatuhkan ponselnya ke danau karena tersandung ketika berdiri tergesa. Sambil mengambil ransel, Hanz menekan nomor Violet di layar dan berdoa agar telepon itu tersambung.
Nada panjang pertama. Kedua. Ketiga. Tidak terjadi apa-apa hingga terdengar suara operator yang memberi instruksi untuk merekam pesan suara. Hanz mematikan sambungan itu kemudian mencoba menelepon kembali. Dia mengulang sampai tiga kali sampai tidak sadar kalau hampir keluar dari area taman. Hanz mendesah kecewa, sesaat merasa dipermainkan.
Dia berusaha sabar, tapi pada akhirnya gemas dan berpikir, apa yang membuat Violet mendiamkannya begitu lama?
Hanz mendadak begitu kesal karena rasa penasaran sampai dia terus menunduk dengan tudung jaket terpasang dan hampir menabrak orang-orang yang berpapasan dengannya. Ketika Hanz sampai di halte bus, sebuah pesan masuk lagi di ponselnya. Meski enggan, Hanz membuka E-mail itu. Foto sebuah tiket pesawat dengan jadwal penerbangan dari New York menuju London.
Mata Hanz terbelalak ketika melihat tulisan-tulisan yang ada di kertas persegi itu. Ada nama Violet di sana dan dari jam penerbangan yang tertera, seharusnya gadis itu sudah tiba di London sejak dua jam yang lalu.
Apa ini sebuah kejutan? Kenapa dia main petak umpet begini, sih? pikir Hanz sambil mengacak rambut. Dia tidak bisa menebak apakah Violet akan tinggal di rumah ayahnya atau menginap di tempat kakek dan neneknya. Hanz menggeser layar dan menghubungi Asami. Ada suara berisik di belakang gadis itu ketika telepon tersambung.
[Kenapa?] tanya Asami di seberang, selalu tanpa basa basi.
“Apa Violet menghubungimu?”
[Ah, sebentar. Aku ke tempat yang sepi dulu. Di sini kayak kapal pecah, suaramu hampir nggak terdengar.]
Hanz menunggu beberapa saat sampai suara Asami terdengar lebih jelas. “Memangnya kamu ada di mana sekarang?”
[Ayahku mengadakan pesta di rumah dan aku menyambut tamu-tamu sebentar. Jadi, ada apa?]
Hanz melihat matahari yang perlahan berubah jadi jingga dan permadani oranye tampak seperti menutupi langit. Pemandangan itu tampak cantik hingga membuat beberapa orang berhenti untuk memotret.
“Violet mengirimiku e-mail. Apa dia mendapat alamatku darimu?”
[Benarkah? Soal e-mail, dia memang memintanya waktu kami terakhir ketemu. Lalu, apa isi e-mail itu? Kenapa dia nggak mengirimkan kabar apa-apa padaku?]
Hanz bercerita soal foto-foto dan juga potret tiket pesawat yang dikirim Violet. Suara Asami berubah dan terdengar antusias.
[Aku akan menghubunginya dan kalau benar dia sudah ada di London, kita bisa coba kunjungi rumah ayah dan kakeknya besok. Ah, aku harus balik ke pesta. Mom mencariku.]
Telepon terputus dan Hanz memutuskan untuk pulang ke rumah setelah melihat bus yang datang dari kejauhan. Pikirannya penuh dengan macam-macam pertanyaan juga soal Violet yang tiba-tiba kembali ke London.
Apa dia memutuskan untuk kembali ke sini? pikir Hanz ketika bus melewati toko barang antik. Dia bersandar pada leher kursi yang keras dan melihat beberapa turis bermata kecil menikmati perjalanan mereka. Salah seorang yang berambut lurus panjang dengan poni yang nyaris menutup mata, mengambil swafoto. Penumpang di bangku belakang tampak mengantuk di kantong belanjaan di tangan sementara seorang pria tua hampir botak membaca koran dan seolah tidak peduli dengan sekitar.
Melihat sekeliling, membuat Hanz membayangkan bagaimana Violet ketika naik bus di Amerika dan apakah gadis itu masih pergi konseling atau mulai bersekolah lagi. Banyak murid perempuan yang ingin sekolah di Amerika karena menurut mereka gaya sekolah di sana keren. Murid-murid bisa punya loker sendiri, membawa mobil ke sekolah dan punya segudang acara beken untuk dimanfaatkan sebagai ajang dandan habis-habisan.
Setelah beberapa menit, Hanz turun dari bus dan menyusuri jalan menuju rumah. Ibunya lembur lagi malam ini dan berarti cowok itu harus memesan makanan antar. Dia tidak memusingkan makan malam kalau berada di tempat kerja tapi malam ini bukan jadwalnya.
Hanz sedang berpikir untuk memasak sphagetti atau memesan makanan India yang pedas saat seseorang menarik headphone dari kepalanya. Hanz berjengit kaget dan berpaling. Mata itu membelalak ketika sadar siapa yang ada di depannya.
“Kaget?” Violet nyengir.
“Ke … kenapa bisa ….”
Violet mengembalikan penyuara jemala ke tangan Hanz yang memperhatikannya hampir tak berkedip. Gadis itu tidak banyak berubah kecuali rambutnya sudah melewati bahu. Violet mengenakan gaun selutut berlapis kardigan dan sepatu kets merah muda dengan ransel berukuran sedang tersampir di punggung. Secara keseluruhan, Hanz merasa kalau Violet baik-baik saja.
“Aku sudah menunggu di ujung jalan dan sembunyi waktu kamu muncul. Lain kali, kecilkan suara di headphone ini. Bahaya,” ujar Violet sambil melewati Hanz.
“Tunggu, kamu sudah menunggu? Sejak kapan?”
“Belum lama. Boleh mampir sebentar? Kepalaku pusing, masih jetlag,” Violet memegang kepala dan nyaris limbung.
Hanz menyusul cewek itu ke jalan masuk dan memintanya duduk di bangku serambi. Hanz membuat dua cangkir teh di dapur, masih merasa takjub dengan apa yang terjadi. Violet mengirim foto, memberi tahu kalau ada di London dan tiba-tiba sudah ada di rumahnya. Semua ini terasa tidak nyata dan datang bertubi-tubi sampai Hanz merasa sulit untuk mencerna.
“Bagaimana kamu tahu rumahku?” tanya Hanz ketika menaruh cangkir-cangkir di atas meja bulat dan duduk di sebelah Violet yang membuka mata lalu menoleh.
“Dulu pernah tanya ke Asami. Tadinya mau mampir ke rumahmu sebelum pergi untuk memberikan ini.” Violet merogoh saku kardigan dan mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas. Dia memberikannya pada Hanz yang menerima dengan bengong.
“Itu jurnal,” jelas Violet sambil tersenyum, “untuk menulis kalau kamu kuliah di kedokteran nanti. Aku memesannya secara khusus.”
Hanz memandang sampul buku yang tebal dan polos. Ada ukiran namanya di sudut bawah, tertulis dalam tinta berwarna putih, kontras dengan sampul yang kecokelatan. Hanz membalik halaman dan melihat gambar stetoskop dan alat suntik di sudut bawah serta atas. Cowok itu terkekeh.
“Terima kasih, ya. Ini bakal berguna banget.”
Kemudian keduanya terdiam. Mereka tidak saling bicara dan menyeruput teh hangat selama beberapa saat dalam keheningan. Hanz tidak berani lama-lama memandang Violet dan malah melihat ke jalan.
“Bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Hanz kemudian setelah bimbang sesaat.
Terdengar helaan napas Violet. “Masih belum sepenuhnya baik tapi aku sudah nggak apa-apa. Aku masih konseling di sana beberapa kali dalam sebulan dan Mom nggak memaksa untuk cepat-cepat masuk sekolah. Tapi aku sudah berpikir untuk pergi belajar lagi. Bosan rasanya menunggu Mom di apartemen sendirian.”
“Dan foto-foto itu? Kenapa mengirimnya padaku?”
Violet terdiam sejenak lalu melihat ke arah Hanz, membuat cowok itu tersipu. “Waktu pikiranku sedang kalut, aku pergi jalan-jalan. Ke mana saja, nggak tentu arah. Aku pergi dari satu tempat ke tempat lain. Tiba-tiba sudah ada di Central Park, Brooklyn Bridge. Makan di satu tempat, minum kopi di kafe lain. Baru pulang ke rumah. Aku memotret tempat-tempat yang kudatangi dan tiba-tiba saja teringat padamu.”
Hanz bisa merasakan pipinya merona dan bersyukur langit sudah gelap karena kalau tidak, Violet bisa melihat wajahnya yang memerah.
“Apa kamu masih suka berpikir untuk … kamu tahu ….”
Violet tersenyum tipis dan memandang langit. Dia mengembuskan napas dan terlihat seperti menerawang. “Kadang-kadang, aku membantu Mom masak di dapur dan waktu melihat pisau atau benda tajam lainnya, aku berpikir, bagaimana, ya, kalau pisau ini menancap di dadaku? Kadang aku juga membayangkan diriku melompat dari apartemen dan berpikir, apa yang bakal terjadi? Kepala atau kaki lebih dulu. Pikiran-pikiran mengerikan ini masih sulit hilang meski aku sudah kehilangan minat untuk melakukannya.”
Hanz diam-diam menarik napas lega. Setidaknya, dia tidak melihat luka di pergelangan tangan Violet waktu gadis itu menyodorkan buku padanya.
“Hanz, boleh aku tanya sesuatu?”
Hanz mengangguk dengan kedua alis bertaut ketika sadar betapa serius nada bicara Violet.
“Apa kamu nggak takut padaku? Nggak menganggapku aneh?” suara Violet terdengar gemetar. “Apa kamu nggak menganggapku gila karena punya pikiran nggak waras seperti yang barusan kubilang? Orang lain mungkin berpikir aku ini remaja sinting atau psikopat yang ….”
“Cukup, Vi,” sergah Hanz. “Kalau kamu memandang dirimu sendiri seperti itu, kamu nggak bisa bahagia,” tegasnya lagi.
Hanz bangkit dari kursinya dan berlutut di depan Violet. Mata gadis itu tampak berkaca-kaca dan dari dekat, barulah Hanz sadar kalau Violet masih menyimpan banyak luka. Ekspresinya tampak tidak yakin, gelisah, dan takut di saat yang bersamaan. Hanz tidak bisa membayangkan, hari-hari seperti apa yang sudah dialami Violet dalam masa pemulihan. Ketika dia tidak ada sisinya dan itu membuat hati Hanz perih.
Benar kata Casey. Luka batin memang nggak semudah itu disembuhkan, batin Hanz. Cowok itu mengambil penyuara jemala yang masih terpasang ke music player dan memakaikan benda itu di kepala Violet.
“Seperti yang kubilang, kamu nggak perlu mendengar kata-kata orang lain yang nggak penting. Aku nggak takut padamu. Aku justru menyukaimu.”
“Bahkan kalau aku seperti ini?”
“Bahkan kalau kamu lebih parah dari ini,” Hanz mengangguk yakin.
Violet tertawa kecil, membuat Hanz ingin merengkuhnya tapi cowok itu menahan diri. Dia beranjak dari lantai kayu dan duduk di tangga. Violet menyusul dan duduk di anak tangga teratas di serambi.
“Jadi,” tanya Hanz lagi, “apa kali ini kamu pulang untuk … seterusnya?” cowok itu berpaling pada Violet yang memandang ke langit.
“Nggak. Aku cuma mampir karena Mom harus mengurus beberapa berkas untuk pekerjaan. Mom menyukai pekerjaan di sana dan aku nggak bisa tinggal dengan ayahku di sini. Aku masih belum bisa bersikap seolah nggak ada yang terjadi di antara kami. Itu masih terasa … berat. Aku harap kamu dan Asami bisa mengerti alasan ini.”
Hanz tidak bisa menyembunyikan kekecewaan dan terdiam. Mulanya, dia pikir Violet kembali untuk bisa bersekolah lagi di London dan mereka bisa bersama. Namun, mendengar apa yang dikatakan gadis itu barusan, membuat Hanz tidak tega untuk memaksanya tinggal. Lagi pula, mereka berdua tidak memiliki hubungan apa-apa.
“Ah, aku harus pulang. Mom mengajak Rosie untuk makan malam di Muswell Hill,” Violet bangun dari tangga dan menepuk-nepuk gaunnya. Cewek itu menuruni tangga, melewati Hanz yang masih belum beranjak dari tempat duduk. Wajah cowok itu tampak suram sampai tidak sadar kalau Violet masih memakai headphone miliknya.
“Hei, Hanz.”
Pemuda itu mendongak dan melihat Violet yang tersenyum lebar. “Makasih banyak untuk semuanya. Aku bersyukur sudah bertemu denganmu dan Asami.”
“Kamu ini,” potong Hanz sambil menghela napas dan berdiri menghampiri Violet. “Jangan bicara seolah kita bakal berpisah selamanya.”
Violet tertawa lalu menunjuk benda yang menempel di kepalanya. “Kalau kamu mau ini kembali,” kata gadis itu dengan mata sendu, “kamu harus datang ke New York. Aku akan tunggu sampai kamu muncul. Satu tahun, dua tahun. Selama kamu mau datang, aku akan tunggu.”
Hanz bisa mendengar suara Violet yang serak ketika gadis itu berpaling dan berjalan menjauh. Pemuda itu melihat punggung Violet yang perlahan semakin jauh dan nyaris menghilang di tikungan. Jantung Hanz berdebar keras sekaligus terasa hangat saat membuat corong di depan mulut menggunakan kedua tangan.
“OKE!” teriak Hanz, “AKU AKAN DATANG KE SANA UNTUK MENGAMBILNYA DAN PADA SAAT ITU, KAMU NGGAK BOLEH KABUR LAGI. KAMU DENGAR, KAN, VIOLET MOON?”
Di ujung gang, Hanz bisa melihat Violet membalikkan badan. Gadis itu melambaikan tangan dan tersenyum lebar. Senyum paling tulus dan bahagia yang pernah dilihat Hanz sejak pertemuan pertamanya dengan Violet. Senyum yang Hanz harap akan menghias wajah gadis itu, selamanya.