Ide itu datang dari kakek Violet yang memiliki teman di Amerika dan baru saja mendirikan perusahaan cabang. Katanya, perusahaan sedang membutuhkan staf di bagian pemasaran, bidang yang dikuasai Ms. Jane. Mulanya, Violet tidak bereaksi apa-apa, tapi setelah dipikirkan, gagasan itu semakin mengusiknya.
Ibunya mengatakan kalau kehidupan mereka di Amerika tidak akan dimulai dengan mudah. Mereka harus berbagi apartemen kecil dan bertahan dari tabungan sampai Ms. Jane mendapat gaji pertama mereka. Sejenak, Violet merasa jadi anak sekaligus cucu paling menyusahkan—kakek neneknya memberi sejumlah uang dari tunjangan pensiun mereka. Namun, tampaknya tantangan itu memberi waktu pada Violet untuk melupakan masalahnya di Inggris. Lagi pula, dia bisa membantu dengan kerja sambilan jika Ms. Jane mengizinkan.
Terlebih, ayahnya sama sekali tidak berusaha mengajaknya pulang dan masih tetap ingin menikah dengan Magda. Setelah hak asuh Violet jatuh ke tangan sang ibu, lelaki itu semakin jarang menghubungi putrinya. Hanya tunjangan anak yang menunjukkan identitas Mr. Moon sebagai ayah Violet, tidak lebih.
“Kamu yakin kalau kepindahan ini nggak jadi masalah untuk sekolahmu?”
Violet menggeleng. Malam itu, dia sedang mengepak barang-barang yang akan dibawa ke Amerika. Tidak banyak. Hanya beberapa koper. Ibunya sendiri sudah mengirim beberapa barang terlebih dahulu ke apartemen yang sudah dipersiapkan oleh teman kakek Violet di sana.
Violet memang tidak mengatakan pada siapa pun kalau sebenarnya dia tidak sanggup lagi datang ke sekolah. Tempat itu membangkitkan kenangan buruk terlebih Casey dan Dave ada di sana. Mungkin orang-orang akan menganggapnya sebagai pengecut tapi Violet tidak peduli. Dia hanya ingin lari dan memulai hidup yang baru. Sesegera mungkin.
“Bagaimana dengan teman-temanmu? Apa kamu nggak merasa berat berpisah dengan mereka?”
Violet berhenti melipat salah satu kemeja yang biasanya dipakai saat ke sekolah. Sejenak, gadis itu memandang ponsel yang tergeletak di nakas. Asami masih mengirim pesan meski tidak setiap hari. Gadis blasteran itu menanyakan kabar dan Violet masih belum bilang kalau dia akan pindah. Violet pikir, Asami juga akan tahu kabar itu dari Hanz.
“Mom bicara seolah aku punya banyak teman saja.” Violet terkekeh, pedar.
“Vi ….” Ms. Jane meletakkan setumpuk baju di atas ranjang lalu duduk di sebelah Violet. “Aku tahu kalau semua yang terjadi padamu sangat berat. Aku merasa kalau ini terjadi juga gara-gara kepergianku dari rumah dan ….”
“Mom, aku bilang bukan itu, kan?” sergah Violet.
“Aku tahu kamu nggak merasa begitu, tapi tetap saja, aku bersalah karena nggak mendengarkanmu selama ini. Vi, aku bertemu dengan Hanz dan Asami beberapa waktu lalu. Kami bertemu di luar di dekat sekolahmu.”
“Apa?” Violet terperanjat karena Hanz dan Asami tidak pernah cerita. “Kenapa?”
“Mereka benar-benar ingin tahu keadaanmu yang sebenarnya. Aku bisa melihat kalau mereka benar-benar ingin jadi temanmu. Gadis yang bernama Asami itu bahkan berani jamin kalau tidak ada lagi yang akan mengganggumu di sekolah kalau kamu mau kembali. Sepertinya dia sangat ingin datang menjengukmu, tapi khawatir kalau kamu menolak. Dan pemuda itu, bukankah dia yang memberi gelang ini?” Ms. Jane menunjuk gelang yang ada di pergelangan Violet. “Kalau kamu menganggap itu nggak berarti, kamu nggak akan memakainya. Kalau kamu benar-benar nggak mau menganggap mereka teman, kamu nggak akan merasa takut seperti ini. Bukan begitu, Vi? Kamu merasa takut karena mereka adalah teman-teman yang berarti untukmu.”
Air mata mulai menggenang saat Violet memalingkan wajah. Selama ini, dia kira tidak ada yang memahami dirinya tapi ternyata intuisi seorang ibu memang tajam. Ms. Jane bisa menebak perasaan putrinya dengan tepat. Persis seperti yang dikatakan oleh dokter Margareth di pertemuan mereka tempo hari.
“Kemarilah,” Ms. Jane memeluk putrinya yang terisak. “Kamu boleh jujur pada perasaanmu mulai sekarang. Nggak ada yang salah dengan itu, Vi.”
“Bagaimana kalau mereka meninggalkan aku dan pada akhirnya nggak menyukaiku lagi seperti Dad?” suara Violet terdengar serak. “Aku pikir aku tidak sanggup untuk jatuh lagi, Mom.”
Violet bisa merasakan belaian lembut dari tangan ibunya yang mengusap pelan.
“Tidak semua orang seperti ayahmu, Vi. Sekalipun ya, itu bukan salahmu. Apakah itu kamu atau Mom, kita nggak bisa memaksa orang menyukai kita. Dan sebaliknya, kita nggak bisa menyukai semua orang. Itu adalah hal yang wajar dan normal. Mom tahu kamu terluka karena sikap dan penolakan ayahmu, tapi kamu masih punya aku. Ibumu. Dan aku yakin, kamu akan menemukan orang-orang yang tulus menyukaimu, sayang padamu seperti kamu menyukai dan menyayangi mereka.
“Nggak ada yang tahu kalau tidak dicoba. Bukan begitu, Vi? Apakah kamu rela melewatkan kesempatan untuk berbahagia hanya karena ketakutan yang tidak berarti? Kamu mau menyerah sebelum mencoba?”
Violet tidak menyahut dan membenamkan kepalanya di bahu Ms. Jane yang hangat. Hanya dua hari sebelum kepindahan mereka dan gadis itu tidak tahu apakah dia sanggup mengucapkan selamat tinggal atau tidak pada Asami dan Hanz.
Terutama pada Hanz.
***
Setelah ibunya pergi tidur, Violet berbaring di ranjang dan terjaga. Pikirannya melayang dan mulai merasa lelah pada perasan-perasaan takut juga cemas yang selama ini menghantuinya. Dan saat memikirkan Hanz, dia merasa kalau sudah bersikap tidak adil pada cowok itu. Begitu juga pada Asami. Mereka berusaha mendekat dan menunjukkan kalau ada di pihaknya tapi Violet malah menjauh. Kalau begitu, bukankah dia bersikap sama seperti ayahnya?
Violet bangkit dari ranjang dan mencari-cari buku hariannya. Sejak kejadian itu, dia jarang menulis. Setelah menjalani sesi konseling dan ada yang mendengarkan keluh kesahnya, Violet merasa tidak membutuhkan buku itu lagi. Cewek itu sadar kalau selama ini hanya itu yang dia inginkan: seseorang yang benar-benar mendengarkan. Hal sepele yang tidak dipahami sebagian besar orang terutama ayahnya.
Violet membuka halaman demi halaman dan melihat catatan tentang Hanz juga Asami. Bagaimana dia bertemu dengan gadis itu, bercanda dan bertukar cerita. Kunjungannya ke rumah perawatan lansia yang menyenangkan, mengetahui kalau Hanz juga menghadapi kehidupan yang tidak mudah setelah ditinggal oleh ayahnya, tapi tetap kuat. Asami yang tegar setelah diperalat orang-orang tidak bertanggung jawab.
Semua orang berjuang dengan caranya sendiri, pikir Violet. Tubuhnya meradang malu saat sadar kalau sebenarnya setiap orang juga memiliki masalah.
Tapi, bisakah aku memberanikan diri untuk bangkit dan percaya lagi pada seseorang?