Setelah bekerja, Hanz tidak langsung pulang ke rumah. Dia mampir ke rumah Dave dan menekan bel. Cowok itu harus menahan diri untuk tidak menghajar Dave yang muncul di ambang pintu beberapa detik kemudian.
“Mau apa kemari?” Wajah Dave kelihatan tak acuh.
“Ayo, bicara,” ketus Hanz dengan nada suara rendah.
Dave melengos, seolah tahu akan ke mana pembicaraan itu mengarah. “Kalau ini soal video, lupakan saja. Itu kerjaan Casey.” Dave hampir menutup pintu ketika kaki Hanz menahannya. Kaki cowok itu terjepit dan membuat Dave kaget.
“Apa-apan, sih? Dia segitu berharganya, ya, buatmu? Cewek jelek yang suram itu?”
“Violet Moon hampir mati karena bunuh diri tadi pagi,” desis Hanz dengan nada marah.
Dave membuka pintu kembali lalu menutupnya lagi dan berjalan ke teras. Hanz mundur beberapa langkah lalu berdiri di depannya, dengan sorot mata penuh kebencian. Sorot yang tidak pernah dilihat Dave sebelumnya.
“Apa katamu?”
“Dia menyayat pergelangan tangannya. Menurutmu, apa yang sudah mendorongnya sampai dia terpojok begitu?”
“Kamu menyalahkanku?” Dave tampak kaget dengan mulut menganga. “Wah, jahat benar! Aku nggak pernah memintanya bunuh diri. Kalau dia selemah itu, ya, itu masalahnya. Bukan masalahku!”
Tangan Hanz terkepal erat di sisi tubuh cowok itu. “Kalian mungkin nggak menyuruhnya, tapi tindakan kalian yang konyol sudah mendorong seseorang untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Apa kamu nggak merasa malu, Dave? Nggak ada rasa bersalah sama sekali?”
Hanz bisa melihat Dave terdiam dan kehilangan kata-kata.
“Kamu dan Casey sudah berbohong pada semua orang. Kalian berdua menyebar gosip dan menganggap hal itu lucu. Kamu pikir aku nggak mendengar rumor? Kamu yang sudah mencoba memerkosanya. Sekarang kamu berlagak seperti korban? Harusnya kamu dan Casey pergi ke psikiater dan cek keadaan mental kalian karena ini perbuatan nggak waras.”
Dave mendorong Hanz yang kemudian tersungkur jatuh setelah menabrak anak-anak tangga di serambi. “Kamu bicara apa barusan?” Wajah cowok itu terlihat naik pitam, sama sekali tak merasa bersalah saat sahabatnya meringis di tanah.
Hanz bangkit dan menepuk-nepuk lengannya yang kotor. “Kalian berdua memang pasangan serasi dari dulu. Sama-sama suka menyiksa orang demi kepuasan diri sendiri. Aku nggak menggubris tapi ternyata tindakanmu justru semakin jauh.” Hanz menarik napas lalu mengembuskan perlahan seolah sedang menenangkan diri. “Ingat ini, Dave, kamu boleh menyebar fitnah sepuasnya, tapi kita sama-sama tahu apa yang terjadi hari itu dan kebenaran nggak akan bisa diubah. Kalau kamu terus hidup seperti ini, suatu hari kamu juga akan menerima akibatnya.”
Dave meludah ke tanah dan berkacak pinggang. “Seorang pahlawan baik hati sedang memberi petuah sekarang? Kamu belum pernah ngomong panjang lebar begini, Hanz. Cewek itu benar-benar sudah mengubahmu, ya?”
Hanz tidak peduli pada Dave yang memandang dengan tatapan meremehkan sambil tertawa. “Kalau aku tidak mengatakan sesuatu setelah melihat apa yang sudah kamu lakukan, aku akan merasa terhina. Aku merasa ikut bertanggung jawab atas ketololan sikapmu, Dave. Tapi kalau kamu tetap keras kepala seperti ini, terserah. Anggap ini saran terakhirku sebagai seorang teman.”
Lalu Hanz pergi dari sana dengan langkah gusar. Pemuda itu bisa menangkap sosok Dave yang mematung, terperenyak.
***
Berita soal Violet yang mencoba bunuh diri terdengar di seantero sekolah. Sebagian merasa simpati sementara yang lain menganggap kalau gadis itu hanya berusaha menarik perhatian dengan tindakan berlebihan. Hanz hampir murka ketika melihat ketidakpedulian dari banyak orang yang seolah menganggap kabar itu hanya berita biasa.
Seseorang mencoba untuk mengakhiri hidupnya sendiri dan bagi mereka, itu tidak cukup buruk untuk direnungkan. Atau membuat mereka merasa bersalah. Tidak heran jika kasus perundungan dan penindasan bisa memojokkan seseorang kalau manusia memiliki sikap cuek begini. Pengabaian sama buruknya dengan perundungan. Mereka melihat, mereka tahu itu salah dan mereka tidak berbuat apa-apa.
Hanz mulai merasa muak dan semakin menjauhi orang-orang. Cowok itu memilih untuk duduk di salah satu meja di kantin sendirian sementara sudut matanya melihat Dave dan Casey yang duduk bersama di meja lain. Saling pandang dan tertawa seolah tidak terjadi apa-apa. Seolah-olah mereka tidak melakukan hal buruk.
“Ng, Hanz ….”
“Apa?”
Kedua cewek di depan Hanz tampak kaget sementara Hans juga terkejut dengan nada suaranya yang ketus. Tanpa sadar, kemarahan menguasai dirinya sejak kemarin dan dia belum benar-benar tenang dari ketegangan. Cowok itu menghela napas.
“Sori. Kenapa?”
“Aku Judy dan ini Samantha. Kami teman sekelas Violet. “
“Lalu?”
Kedua gadis itu saling pandang dan raut mereka berubah sedih. “Bagaimana keadaannya?” tanya salah seorang di antara mereka yang mengenakan kemeja biru dan jaket hitam. “Kami benar-benar ingin tahu, Hanz.”
“Dia nggak apa-apa. Hanya perlu dirawat beberapa hari.”
“Syukurlah.” cCewek yang mengenakan jaket kelabu tampak nyaris menangis. “Kami benar-benar takut waktu mendengar dia ingin bunuh diri.”
“Benarkah?” tanya Hanz, tidak bisa menyingkirkan nada sinis dalam suaranya. “Baru sekarang? Kalian diam saja waktu Violet dipermalukan tempo hari dan sekarang tiba-tiba peduli?”
Kasak kusuk mulai terdengar dan sekarang semua orang berpaling ke meja Hanz. Cowok itu tidak peduli saat orang-orang mulai memandangnya dengan tatapan tajam.
“Itu … karena ….”
“Karena kalian ingin cari aman dan nggak terlibat dengan masalah. Tapi tahu nggak? Kalian sama saja dengan para penindas itu. Sikap cuek kalian yang pura-pura tidak tahu dan tidak melihat, ikut menyebar gosip, tertawa bersama, nggak lebih baik dari mereka yang terang-terangan menindas Violet.” Suara Hanz meninggi, serak dan nyata-nyata marah dengan kilat dari mata cokelat terangnya.
Hanz sempat mengerling sekilas pada Dave yang masih memasang ekspresi datar dan tidak bersalah sementara Casey berbicara dengan suara pelan pada beberapa cewek lalu tertawa cekikikan. Pemuda itu merasa tidak tahan lagi. Kejadian sudah separah ini tapi tidak ada dari mereka yang merasa bersalah. Tidak ada yang bicara ketika cowok itu bangkit dan nyaris membanting pintu kantin.
***
Saat tiba di rumah, Hanz langsung naik ke kamar dan menyalakan komputer. Setelah masuk ke akun surat elektroniknya, benda pipih itu berdenting. Ada sebuah e-mail masuk. Tertulis nama Asami sebagai pengirim dengan subjek yang membuat kening Hanz berkerut. Cowok itu segera membuka dan membacanya. Isinya tidak banyak, hanya memberi tahu kalau Asami sudah menyuruh seseorang untuk melacak si penyebar video. Kalau berhasil, hanya soal waktu sampai Asami menemukan pelakunya dan bisa mengajukan tuntutan atas tuduhan fitnah.
Hanz menghela napas, sejenak bersyukur karena Asami ada di pihak Violet. Di saat bersamaan, dia merasa aneh karena mereka bertiga jarang menghabiskan waktu bersama tapi sudah terikat dalam jalinan pertemanan yang kuat. Apakah karena mereka sama-sama orang yang menarik diri dari sekitar? Atau karena mereka sama-sama tidak tahan melihat ketidakadilan? Yang mana pun, Hanz lega karena setidaknya ada langkah yang dapat dicoba untuk membuat Dave dan Casey kapok. Jika ada bukti, mereka tidak akan bisa omong besar seperti saat ini.
Hanz melepas jaket dan mengganti bajunya dengan kaus wol dan celana panjang katun yang hangat. Pemuda itu merebahkan diri di ranjang lalu meraih ponsel yang baterainya tinggal separuh. Agak lama dia mengamati layar sebelum akhirnya mengirim pesan pada Rosie. Setelah lima menit, pesan balasan masuk ke gawai genggam itu. Hanz berhenti mengerjakan tugas sekolah dan meraih ponsel. Balasan dari Rosie tidak panjang.
Violet sudah sadar tapi dia nggak banyak bicara. Dokter datang untuk mengontrol dan bilang pada Mom kalau Violet sebaiknya menemui psikiater.