Jantung Hanz berdegup keras. Sebagian karena tegang, sebagian karena merasa lelah karena dia tidak bisa tidur semalaman. Dia mengecek ponselnya lagi dan belum ada balasan dari Violet. Cowok itu terpaksa meminta nomor Violet pada Asami yang segera curiga kalau ada sesuatu tak beres sedang terjadi di London Utara. Cewek itu bilang kalau dia akan segera pulang setelah mengomeli Hanz yang ikut-ikutan Violet berbohong padanya.
Hanz setengah berlari saat menikung di gang rumah Violet dan berhenti mendadak saat melihat kerumunan orang serta mobil ambulans dengan sirine nyaring. Hanz merasakan ada sesuatu yang buruk tengah terjadi dan berlari sekencang mungkin.
Saat tiba di halaman, dua orang petugas berseragam keluar dari pintu rumah yang terbuka lebar. Kedua lelaki berbadan tegap itu mendorong ranjang tinggi dan salah seorang di antaranya mengangkat lengan yang terjulur.
Hanz segera mengenali siapa yang sedang mereka bawa. Violet tidak sadarkan diri dengan lengan dibebat kain yang tampak merah pekat sementara seorang gadis yang kelihatan lebih muda darinya, berjalan di sisi ranjang sambil terus menangis.
“Ya, Tuhan,” ujar seorang wanita dengan kardigan rajut ungu yang berdiri sambil memeluk kucing kecil. “Bagaimana bisa terjadi?”
“Kelihatannya dia mencoba bunuh diri,” terdengar suara lain dengan nada prihatin.
“Aku nggak lihat Mr. Moon. Di mana pria itu?”
“Sepertinya dia pergi bersama seorang wanita kemarin. Jangan-jangan dia nggak pulang?”
“Kasihan Violet. Gadis malang. Pertama perceraian orang tuanya dan sekarang ini.”
Hanz menyeruak dan hanya bisa bengong saat melihat pintu ambulans menutup.
***
Hanz tiba di rumah sakit setelah menelepon ke ponsel Violet dan bersyukur kalau adik gadis itu membawanya. Saat tiba di rumah sakit, Hanz segera ke ruang gawat darurat. Dia melihat seorang cewek dengan jeans dan mantel, berdiri di depan ruangan itu. Wajahnya tegang dan Hanz berasumsi kalau itu adik Violet.
“Apa kamu Rosie? Hai, aku yang tadi menelepon,” ujar Hanz dengan napas terengah. “Bagaimana keadaannya?”
“Hanz?” Rosie berpaling, memperlihatkan muka sembap.
“Benar. Aku teman sekolah Violet. Jadi, dia … bagaimana?”
Gadis di depan Hanz mengangguk. Wajahnya kelihatan acak-acakan dengan rambut berantakan dan keringat yang mengilap di bagian pipi dan kening.
“Aku nggak tahu. Dia masih di dalam sana.” Rosie menunjuk ruangan dengan tirai-tirai lebar. Hanz melihat sekilas seorang wanita bertubuh tinggi dengan jas putih, berdiri di dekat ranjang. Badan perempuan itu membungkuk, seolah sedang melakukan sesuatu.
“Kamu sendirian?” tanya Hanz.
“Aku sudah berusaha menelepon Dad tapi ponselnya mati. Aku juga sudah mengirim pesan pada Mom. Dia belum membalas,” suara Rosie terdengar serak dan mukanya kelihatan pengar.
“Aku tahu ini mungkin terdengar nggak sopan, tapi bagaimana kejadiannya?”
Rosie membersit hidung dan menarik napas panjang. “Aku sedang mengetuk pintu kamarnya karena nggak biasanya dia telat bangun. Beberapa hari belakangan, Vi agak aneh dan pernah bilang sesuatu soal keinginannya untuk mati. Aku selalu cemas memikirkannya dan tadi pagi, dia nggak menjawab atau membuka pintu. Waktu aku memaksa masuk dengan memakai kunci cadangan, dia sudah ada di kamar mandi, di samping bak dengan tangan teriris. Aku menelepon 911 dan ….” Rosie terisak. “Maaf, aku ….”
“Sudah, sudah. Aku yang minta maaf. Aku ….”
“ROSIE!”
Hanz dan Rosie menoleh ke asal suara dan melihat seorang wanita dengan tubuh kurus berkulit pucat, masuk dari pintu kaca.
“Mom!” Rosie menghampiri ibu perempuan itu dan memeluknya. Kedua bahunya terlihat gemetar hebat, seolah-olah sedang melepaskan semua ketakutannya.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Violet masuk rumah sakit? Apa kamu baik-baik saja?” Ms. Jane membelai-belai kepala Rosie. Mukanya yang cekung kelihatan bingung sekaligus cemas ketika melihat seorang dokter keluar dari ruang gawat darurat.
“Keluarga Violet Moon?”
Ms. Jane merangkul putrinya dan mendekat ke dokter wanita dengan rambut lurus yang diikat cepol itu. “Saya ibunya. Apa yang terjadi?”
“Putri Anda tampaknya menyayat lengannya sendiri hingga terjadi pendarahan. Tapi Anda tidak perlu cemas karena pendarahannya tidak masif dan saat ini lukanya sedang ditangani. Hanya, anak Anda tidak bisa langsung pulang. Badannya sangat lemah dan terindikasi kurang nutrisi. Saya ingin melakukan observasi lebih lanjut dan sebaiknya pasien dirawat inap selama beberapa hari,” jelas dokter dengan papan nama Colette Gates di jas itu.
“Oh, syukurlah. Terima kasih, Dokter.” Rosie berseru dan terlihat lega.
“Setelah pasien selesai ditangani dan stabil, dia akan dipindah ke kamar perawatan. Anda bisa mengurus dokumennya,” dokter Gates mengangguk lalu kembali ke ruang gawat darurat.
Hanz bisa melihat kalau ibu Violet nyaris limbung setelah mendengar penjelasan dokter barusan. Sangat jelas kalau wanita itu tidak tahu apa yang terjadi pada putrinya.
“Apa yang terjadi, Ros? Kenapa Violet bisa sampai mencoba bunuh diri? Apa yang terjadi di rumah saat aku tidak ada?” Suara Ms. Jane terdengar frustrasi sambil memandang Rosie yang berlinang air mata.
“Dan, siapa kamu?” Tiba-tiba Ms. Jane berpaling pada Hanz, akhirnya sadar kalau ada orang lain di sana yang tampak sedang menunggu.
Hanz tersenyum datar. “Saya Hanz Schaeffer, teman sekolah Violet, putri Anda. Selamat siang, Bu.”
“Dia menemaniku waktu Mom belum datang,” imbuh Rosie sambil meraih lengan jaket untuk mengusap hidungnya yang sudah memerah.
Tatapan menyelidik Ms. Jane menghilang, berganti dengan desahan lega. Wanita itu merangkul Rosie sejenak dan tampak meremas lembut bahu putrinya. “Ah, terima kasih kalau begitu, Hanz. Bisakah kamu temani Rosie sebentar? Aku harus mengurus dokumen rumah sakit,” Ms. Jane mengangguk dan pergi ke arah lobi sementara Hanz dan Rosie menyingkir ketika ranjang beroda dibawa keluar.
***
Kamar perawatan itu sepi. Hanya ada suara rendah dari televisi yang menyala dan tidak ditonton sementara Rosie kelihatan pulas setelah tertidur di sofa dengan jaket menutup bagian atas tubuhnya. Hanz duduk di dekat ranjang, memandang wajah Violet yang pucat dengan lingkaran hitam di bagian bawah mata. Rambut gadis itu tampak kusut dan kering sementara lengan kurusnya dibalut perban. Kantong infus terpasang di sisi lain, memperlihatkan tetesan-tetesan yang jatuh dalam gerak lambat.
Baru kali ini Hanz melihat jelas luka-luka yang ada di lengan-lengan Violet. Bekas-bekas sayatan lama ditimpa luka yang tampaknya masih baru, membuat dada Hanz terasa nyeri. Dia membayangkan bagaimana Violet menjalani hari-harinya, memendam semua emosi. Amarah, kesedihan, kekecewaan, dan juga keinginannya untuk mati. Pasti tidak mudah untuk menahan hal-hal yang ingin dikatakan sementara orang-orang lain berpikir keadaannya baik-baik saja.
Rosie sudah menceritakan beberapa hal padanya, termasuk soal Mr. Moon yang ingin menikah lagi dan insiden tamparan beberapa waktu lalu. Seketika, Hanz merasa marah dan teringat ayahnya sendiri. Pria yang meninggal ketika Hanz masih duduk di bangku SMP itu tidak pernah sekali pun memukul dirinya atau ibunya. Hanz tidak bisa membayangkan bagaimana rasa sakit hati Violet, terluka oleh ayahnya sendiri—orang yang harusnya paling melindungi anak-anak.
Setelah membetulkan letak selimut, Hanz memandang ke arah jendela dan menghela napas panjang. Rupanya hujan turun cukup lebat di luar sampai Hanz hanya bisa melihat sinar-sinar lampu gedung dan kendaraan yang samar. Cowok itu merasa kering di tenggorokan dan memutuskan untuk membeli minuman, mungkin juga beberapa makanan ringan sebelum pergi bekerja. Pemuda itu baru memegang kenop saat tiba-tiba terdengar suara di balik pintu. Seperti ada yang bertengkar dalam suara berbisik tapi tidak menyurutkan nada marah dari salah seorang di antaranya.
“Kamu nggak punya hak untuk ada di sini, Jane.”
“Dia putriku. Jangan kamu lupakan itu, Thomas!”
Hanz menelan ludah dan bersandar di dinding, berusaha tidak menimbulkan suara sekecil apa pun.
“Kamu meninggalkanku dan anak-anak lalu berpikir bisa kemari seenaknya? Benar-benar keterlaluan!” Suara si lelaki terdengar meninggi meski dalam volume kecil.
“Lihat siapa yang bicara? Siapa yang sedang bersama perempuan lain saat anaknya dibawa ke rumah sakit? Jangan bicara seolah aku nggak peduli dengan keadaan mereka. Kamu yang tinggal seatap dengan Violet, tapi justru kamu yang tidak tahu apa-apa soal putrimu sendiri. Rosie sudah cerita semua padaku dan kalau kejadian itu kubawa ke pengadilan, kamu bisa kehilangan hak asuh atas anak-anak.”
Hening sesaat sebelum terdengar suara Ms. Jane lagi.
“Cukup aku saja yang menjadi korban keegoisanmu selama delapan belas tahun. Cukup aku saja yang kehilangan jati diri karena sikap kekanakanmu selama itu. Jangan putri-putriku. Kamu sudah gagal jadi suami dan sekarang juga gagal menjadi seorang ayah? Harusnya kamu malu pada dirimu sendiri, Thomas. Pergilah, Violet nggak perlu melihatmu saat dia sadar nanti.”
Tidak lama kemudian, terdengar langkah-langkah yang terdengar marah disusul helaan napas panjang dan derap-derap di sepanjang lantai koridor. Setelah yakin tidak ada orang lagi di luar, Hanz membuka pintu dan sempat melihat punggung Ms. Jane yang berbelok di dekat toilet.
***
Hanz melihat nama Asami di layar dan segera tahu kalau video itu sudah sampai padanya. Video yang sudah menyebar di dunia maya, memperlihatkan punggung Violet dengan remasan-remasan kertas dilempar ke arahnya. Tidak hanya itu saja, berbagai foto yang sudah disunting dengan software muncul dan Rosie juga bilang kalau dia menemukan komentar-komentar aneh di akun media sosial Violet. Banyak yang menyebutnya dengan panggilan menjijikkan.
[APA YANG TERJADI DI SANA? KENAPA CASEY DAN DAVE MASIH BERULAH JUGA?]
Hanz harus menjauhkan ponsel dari telinganya saat Asami bicara di seberang dengan nada tinggi. Harusnya cowok itu tahu kalau Asami bakal sangat marah.
“Maaf nggak memberi tahu lebih cepat. Kamu masih di Jepang?”
[Sudah di bandara. Aku sudah bilang pada Mom dan Dad kalau ada urusan mendesak. Dad juga sudah jauh lebih baik jadi nggak ada masalah untuk pulang sekarang. Pesawatku sebentar lagi take off. Shoushou omachi kudasai.]
Hanz bisa mendengar suara gemerisik di seberang dan suara Asami yang sedang bicara dalam bahasa Jepang.
[Sori, aku lagi di ruang tunggu. Nah, bakal makan waktu sampai aku tiba di sana jadi pastikan kamu mengawasi Casey dan Dave supaya mereka nggak berulah lagi. Lalu, bagaimana keadaan Violet sekarang?]
Hanz menyingkir ketika hampir menabrak seorang pejalan kaki yang menenteng kantong-kantong belanjaan. Cowok itu berjalan ke tepi dan menunggu di pinggir jalan saat kendaraan lalu lalang di depannya.
“Sudah nggak apa-apa. Kata dokter, kondisinya nggak kritis. Hanya saja, dia dirawat inap karena kurang nutrisi. Dokter juga bilang kalau menemukan zat dari obat tidur di lambungnya.”
[Kamu di rumah sakit terus sejak pagi?]
“Ya, aku menemani Rosie, ikut mendengar waktu dokter masuk ke kamar dan memberi penjelasan. Violet sudah siuman waktu aku pulang, tapi dia masih lemah dan sepertinya sedang nggak ingin bicara dengan siapa pun.”
Terdengar desahan napas panjang di ujung telepon.
[Kenapa dia bisa sampai sekacau itu, sih? Dan kenapa dia nggak cerita apa pun?]
“Kurasa masalahnya bukan hanya soal kejadian di sekolah. Aku juga baru tahu hari ini kalau ayah dan ibu Violet sudah bercerai. Sepertinya dia juga tertekan gara-gara itu dan mengalami masalah dengan ayah dan calon ibu barunya. Aku bisa cerita lebih lengkap nanti.”
Asami kemudian mematikan sambungan telepon dan Hanz menyeberangi jalan, menuju ke kafe tempatnya bekerja. Pemuda itu bersyukur bisa tiba agak terlambat dan tidak ada yang keberatan. Semua orang bertanya-tanya apa yang sedang terjadi dan Hanz hanya bilang kalau dia harus mengunjungi seseorang di rumah sakit.
Dia sudah coba menelepon Dave, tapi kelihatannya cowok itu berusaha menghindar. Ketika mengikat tali celemek, Hanz tiba-tiba merasa sangat marah dan menyusun rencana di kepalanya.